Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I
PENDAHULUAN
Pemimpin merupakan pemegang peranan yang sangat strategis dalam setiap organisasi.
Keberhasilan suatu organisasi didalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan kualitas
dari pemimpinnya, sehingga kedudukan pemimpin sangat mendominasi setiap aktivitas yang
dilakukan.
Apabila tugas umum seorang pemimpin adalah membawa orang-orang yang dipimpinnya
ke arah tujuan yang hendak dicapai, tugas pemimpin Indonesia modern tercantum dalam alinia
ke-4 Pembukaan UUD 1945: mendorong bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki rasa
aman, sejahtera, terdidik dan menjadi partisipan aktif dan konstruktif dalam tata pergaulan
internasional. Ini berarti bahwa tugas mengisi kemerdekaan identik dengan merancang program
program pembangunan yang akan memudahkan rakyat mencapai tujuan-tujuan di atas. Karena
program-program pembangunan dirancang dan dilaksanakan oleh para pemimpin, dengan segala
kemungkinan akibat negatifnya bagi rakyat, peranan dan tanggung jawab pemimpin-pemimpin
ini pantas ditanyakan dan dinilai.
Krisis terbesar bangsa saat ini adalah krisis kepemimpinan ataukah krisis keteladanan
atau kedua-duanya. Krisis ini jauh labih dahsyat dari krisis energi, kesehatan, pangan,
transportasi dan air. Karena dengan absennya seorang pemimpin yang visioner, kompeten, dan
memiliki integritas yang tinggi, maka masalah air, konservasi hutan, kesehatan, pendidikan,
sistem peradilan, dan transportasi akan semakin parah.
Perkembangan demokrasi Indonesia ibarat berlari di atas landasan yang goyah.
Perubahan demi perubahan terus terjadi di atas kerapuhan basis moral kenegaraan. Politik
sebagai teknik mengalami pencanggihan, tapi politik sebagai etik mengalami kemunduran.

Praktik politik cenderung mengalami pengerdilan menjadi sekadar perjuangan kuasa demi kuasa;
bukan politik sebagai perjuangan mewujudkan kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah
seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya, kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti
ketakwaan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan mengalami kelumpuhan.
Misi besar reformasi untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih serta pelayanan publik yang
baik, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, masih jauh dari harapan. Proses konsolidasi
demokrasi terhambat oleh ketidaksiapan birokrasi dan perluasan korupsi.
Seiring dengan laju korupsi, wajah negeri seperti tercermin dari warta media
menampakkan yang buruk seperti kemiskinan keteladanan, kehilangan keadilan dan
perlindungan hukum, kesenjangan sosial, keretakan jalinan sosial, perluasan tindak kekerasan,
kejahatan dan premanisme, gurita narkoba, kerusuhan di wilayah tambang dan perkebunan,
kecelakaan transportasi dan kerawanan sarana publik.
Pada titik genting krisis multidimensi ini, para penyelenggara negara justru seperti
kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab. Kepemimpinan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif lebih mempedulikan apa yang dapat diambil dari negara, bukan apa yang dapat
diberikan pada negara. Kepemimpinan negara hidup dalam penjara narsisme yang tercerabut
dari suasana kebatinan rakyatnya. Perhatian elit politik lebih tertuju pada upaya memanipulasi
pencitraan, bukan mengelola kenyataan; lebih mengutamakan kenyamanan diri ketimbang
kewajiban memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Situasi inilah yang melahirkan krisis kepemimpinan. Pemimpin ada kalau mereka hadir
dalam alam kesadaran dan penderitaan rakyatnya. Bung Karno mengatakan, Mereka
seharusnya belajar, bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke

dalam lingkungan mereka.Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh
lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.
Maka dalam tulisan ini penulis mencoba untuk mengekplorasi bagaimana strategi dan
etika kepemimpinan nusantara dalam dinamika politik yang ada di Indonesia, ditengah-tengah
adanya krisis kepemimpinan yang sedang melanda negara Indonesia. Sehingga kelak dapat
memberikan masukan dalam diskusi mengenai tema-tema kepemimpinan dalam aspek akademis.

BAB II
TELAAH LITERATUR
A. Kepemimpinan
James Macgregor Burns (1978)1, pemenang Penghargaan Pulitzer lewat bukunya
Leadership menyatakan, kepemimpinan adalah fenomena yang paling banyak dicermati dan
paling jarang dimengerti. Meski begitu banyak kajian tentangnya, tetap saja kepemimpinan
tampil sebagai konsep yang multi-tafsir, tak jelas bentuk dan banyak salah dipahami.
Beragamnya definisi kepemimpinan bisa menjadi indikasi dari kekaburan konsep ini. Suatu
hal yang memiliki begitu banyak definisi biasanya merupakan hal yang sulit dipahami. Definisi
sebagai penjelasan yang berfungsi membedakan satu hal dari hal lainnya, dapat diberikan secara
lengkap dan tepat jika hal yang didefinisikan dapat dikenali batas-batasnya dan dapat dipisahkan
secara jelas serta terpilah dari hal-hal yang lain.
Salah satu defenisi kepemimpinan seperti yang dikemukakan oleh House et. Al. dalam
buku Kepemimpinan Dalam Organisasi, dijelaskan jika kepemimpinan adalah kemampuan
individu untuk mempengaruhi, memotivasi dan membuat orang lain mampu memberikan
kontribusinya demi efektivitas dan keberhasilan organisasi. 2
Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu, pemimpin
sebagai subjek dan yang dipimpin sebagai objek. Kata pimpin mengandung pengertian
mengarahkan,

membina

atau

mengatur, menuntun

dan

juga

menunjukkan

ataupun

mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual
terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak
1 J.M. Burns, Leadership, Harper Row, New York, 1978.
2 Yulk, Gary., Kepemimpinan Dalam Organisasi,

mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan
kepemimpinannya.

B. Kepemimpinan Etis
Pengaruh merupakan esensi dari kepemimpinan, dan para pemimpin yang berkuasa dapat
memiliki dampak besar pada kehidupan dari para pengikut dan nasib dari sebuah organisasi. Tapi
yang menjadi permasalahan bukan pemimpin akan menggunakan kekuasaan, tetapi apakah
mereka akan menggunakannya dengan bijaksana dan baik.
Ada banyak pemikiran dari para ahli mengenai konsep dari kepemimpinan etis itu, salah
satunya oleh Burns dalam buku Kepemimpinan Dalam Organisasi dijelaskan mengenai konsep
kepemimpinan etis. Bagi Burns, peran atau fungsi kepemimpinan utama adalah meningkatkan
kesadaran mengenai masalah etis dan membantu orang menyelesaikan nila-nilai yang berkonflik.
Burn menjelaskan kepemimpinan sebagai sebuah proses dimana pemimpin dan para pengikut
saling meninggikan yang lainnya ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. 3 Olehnya
itu para pemimpin berusaha untuk meninggikan kesadaran dari para pengikut dengan menarik
idealisme dan nilai moral seperti kebebasan, keadilan, kesetaraan, kedamaian, humanitarisme,
bukan emosi dasar seperti ketakutan, kerakusan, kecemburuan atau kebencian. Para pengikut
ditinggikan dari diri mereka sehari-hari menjadi diri mereka yang lebih baik.
C. Kepemimpinan Strategis
Kepemimpinan selalu menarik untuk diperbincangkan, bahkan menjadi wacana politik
yang utama dan tak akan pernah habis dibahas. Masalah kepemimpinan akan selalu hidup dan
digali pada setiap jaman, dari generasi ke generasi untuk mencari formulasi sistem
kepemimpinan yang aktual dan tepat untuk diterapkan pada jamannya. Hal ini mengindikasikan

3 ibid

bahwa paradigma kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat dinamis dan memiliki kompleksitas
yang tinggi.
Ada banyak teori yang membahas mengenai kepemimpinan dari yang jaman dahulu
hingga kepemimpinan kontemporer, tetapi teori-teori tersebut adalah sebuah proses pencarian
formulasi sistem kepemimpinan yang aktual dan tepat untuk diterapkan pada jamannya. Atau
dengan kata lain sebuah upaya pencarian sistem kepemimpinan yang strategis. Kepemimpinan
yang strategis adalah kepemimpinan yang berprinsip4
Kepemimpinan yang berprinsip menurut Stephen R. Covey dalam bukunya Principle
Centered Leadership, terdiri dari :5
1. Belajar terus menerus, mereka membaca, berlatij dan mendengarkan masukan
2. Berorientasi pada pelayanan, mereka melihat hidup sebagai suatu misi dan tidak
hanya sebagai suatau karir.
3. Memancarkan energi positif, mereka optimistis, porsitif, dan modern.
4. Mempercayai orang lain, mereka tidak bereaksi berlebihan pada perilaku negatif,
kritik dan kelemahan.
5. Hidup seimbang, mereka memperhatikan keseimbangan jasmani dan rohani, abtara
yang tradisional, dan yang modern.
6. Melihat hidup sebagai petualangan, mereka menghargai hidup diluar kenyamanan.
7. Sinergistik, mereka memilih untuk memfokuskan diri pada kepentingan orang lain
dan mampu membinan energi-energi yang dimiliki organisasi, dan
8. Melaksanakan pembaharuan diri, mereka memiliki karakter yang kuat, sehat, serta
berdisiplin tinggi.
D. Kepemimpinan Nasional
Masalah kepemimpinan merupakan salah satu masalah utama yang tengah dihadapi oleh
bangsa Indonesia.Krisis nasionalisme adalah konsekuensi dari persoalan mendasar yakni krisis
kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional tak mampu memberdayakan seluruh
komponen bangsa di segala dimensi untuk bangkit dari keterpurukan dan aneka masalah.
4 tjahjo h.77
5

Kepemimpinan nasional belum mampu memberikan keteladanan serta belum mampu


memberikan harapan tentang perubahan.
Tjahjo Kumolo dalam bukunya Tjahjo Kumolo Menjawab Tentang Kepemimpinan
Nasional memberikan gambaran, seperti apa yang dimaskud dengan sosok kepemimpinan
nasional tersebut. Pemimpin Nasional atau Pemimpin Bangsa adalah pribadi yang berjiwa besar,
mampu menerima saran dan kritik dari berbagai pihak, mampu memahami persoalan,
memeberikan evaluasi atas suatu keadaan, memberikan orientasi pasti bagi seluruh komponen
bangsa, serta mampu merangkul semua unsur kebangsaan dan mempunyai prinsip dan ketegasan
dalam mengambil keputusan.6
Sosok kepemimpinan nasional kita selama ini sering kali cuma mampu melahirkan
kepemimpinan

egois

menyederhanakan

yang

menyederhanakan

kepemimpinan

pada

kepemimpinan

persoalan

figuritas

pada

dan

pesroalan

yang

popularitas, sehingga

meninggalkan nilai-nilai moral dari kekuasaan dan mengabaikan tiga hal yang dibilang Ki Hajar
Dewantara mengenai Ing Ngarso Sungtulodo, Ing Madya Mangunkarso, Tutwuri Handayani.
Jika pemimpin itu harus ada ditengah memberi perlindungan dan peneguhan, serta dia harus ada
di belakang untuk memberikan dorongan.
E. Dinamika Politik di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu

negara yang memakai sistem pemerintahan yang

demokratis, namun satu kesulitan dalam memahami demokrasi, menutip pemikir besar dalam
studi demokrasi Jack Lively di bagian awal bukunya yang berjudul Democracy, adalah prinsip
demokrasi sebagai pemerintahan rakyat atau disebutnya demos.

Pengertian konsisten

bertahan selama ribuan tahun sehingga seolah-olah tidak ada masalah dengan pengertian
6 Tjahjo Kumolo h.4
7 Lively, Jack., Democracy, Oxford. Basil Blackwell. 1975, hal. 8

demokrasi itu sendiri. Selain sebagai pemerintahan oleh banyak orang, demokrasi juga
dipahami sebagai prinsip kesetaraan yang menekankan keadilan di dalam pelaksanaannya.
Prinsip kesetaraan ini mengacu pada kesamaan hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat,
termasuk di depan hukum. Maka lebih tepatnya lagi, demokrasi adalah prinsip kesetaraan
politik.8
Walaupun Indonesia menganut sistem demokrasi, namun secara keseluruhan Indonnesia
belum dapat dikatakan menjadi negara yang betul-betul demokratis secara utuh. R. William
Liddle memberi penilaian yang menarik tentang ini. Ia berangkat dari penjelasannya mengenai
empat ciri negara demokrasi, yang di dalamnya Indonesia, menurut Liddle, tidak memenuhi
kriteria yang ada.9
Pertama, partai-partai politik yang : (1) melalui proses pemilu yang luber memilih
pejabat-pejabat yang secara formal dan informal bertanggung jawab atas pengambilan keputusan
kebijaksanaan negara; (2) bersifat bebas dari kekuatan lain, khususnya penguasa pribadi, birokrat
atau militer; (3) secara keseluruhan mempunyai dukungan luas di masyarakat; dan (4)
mengandaikan kepemimpinan yang dapat dipercaya dan dianggap mampu memimpin negara.
Kedua, persetujuan umum atau konsesus mengenai aturan main politik dan nilai-nilai
sosial, ekonomi, dan budaya yang ingin dicapai atau dipertahanklan oleh masyarakat.
Masalahnya. menurut liddle, seringkali terjadi ketidaksesuaian nilai dikalangan para pengambil
keputusan. perbedaan nilai itu justru bisa membahayakan demokrasi.
Ketiga, adanya lembaga eksekutif yang dominan dalam menentukan keputusan/
kebijakan pemerintahan. Keempat, birokrasi negara yang mampu melaksanakan kebijakan
pemerintah.

8 Meyer, Thomas., Demokrasi (Cetakan Kedua). Jakarta. FES, 2003, hal.1


9 Liddle, R. William., Revolusi Dari luar : Demoratisasi di Indonesia. Jakarta. Nalar. hal. 18-19

Dari keempat ciri tersebut, menurut Liddle, Indonesia dalam banyak hal masih gagal.
Partai politik belum berhasil menciptakan kepemimpinan politik yang mendapat legitimasi kuat
dari masyarakat terkait dengan praktek permainan uang dalam politik.
Salah satu masalah demokrasi di Indonesia, seperti pandangan Liddle di atas adalah,
birokrasi. Kalau birokrasi sebagai mesin paling penting dari suatu pemerintahan dalam
melaksanakan kebijakan itu rusak, sukar dibayangkan bagaimana rusaknya kehidupan suatu
negara. Indonesia mengalami persoalan serius mengenai birokrasi ini. Masalah kelambahan,
kurang profesionalitas, manajemen buruk, dan korupsi adalah sekian dari begitu banyak
persoalan birokrasi di Indonesia.
Dualisme kepemimpinan ini menjadi salah satu faktor penyebab rumitnya transisi
demokrasi yang terjadi di Indonesia. Sebagai contoh ketika seseorang menjadi pejabat publik
sekaligus merangkap sebagai pemimpin partai, Publik sering merasa rancu, apakah perjalanan
atau kebijakan yang dikeluarkan untuk kepentingan partai atau untuk kepentingan publik. Siapa
yang membiayai pejabat tersebut, negara, rakyat atau partai politik di mana pejabat tersebut
berafiliasi? Publik masih trauma dengan peristiwa-peristiwa korupsi yang ditangani oleh KPK
yang ternyata
sebagian besar melibatkan pejabat publik yang sekaligus juga pemimpin parpol. Contoh : kasus
penyalahgunaan anggaran pembangunan pelatnas di Hambalang-Bogor, penanganan kasus
mafia import daging sapi, dll. yang disinyalir ada korelasi antara korupsi dan kekuasaan.
Suradika menyatakan gambaran buram tentang kekuasaan karena kita sering merujuk praktik
kekuasaan yang digenggam oleh politisi busuk. Korupsi mengiringi kekuasaan karena kekuasaan
merupakan pintu masuk bagi perilaku korupsi. Hal ini senada dengan Lord Acton dalam Budiarjo
(2005) yang menyatakan: Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely
(kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.

10

Perangkapan kepemimpinan ini dapat dengan mudah digunakan pemimpin untuk


mengakumulasi kekuasaan. Senada dengan Anderson dalam Budiarjo (1984:54) dalam konsepsi
kekuasaan Jawa bukanlah masalah bagaimana menggunakan kekuasaan, melainkan bagaimana
menghimpunnya selanjutkan memusatkan dan mempertahankan kekuasaan.10 Penghimpunan
kekuasaan ini tidak hanya terjadi di kalangan elit politik di tingkat pusat, tetapi juga di tingkat
daerah. Kondisi ini semakin parah dengan berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada daerah melalui
asas desentralisasi.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Moral dan Etika Kepemimpinan Nasional
Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan, untuk memulihkannya perlu lebih dari
sekadar politics as usual. Kita perlu visi politik baru yang mempertimbangkan kenyataan bahwa
krisis nasional itu berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Usaha
penyembuhan perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa
berdasarkan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia. Tanpa menjangkarkan kepentingan pada

10

Budiarjo, Miriam. (Eds). (1984). Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta:Sinar Harap. hal.
54

11

nilai etis, demokrasi pada masa reformasi telah menghadirkan surplus kebebasan, namun belum
kunjung mebawa keadilan dan kebahagian bagi rakyat secara keseluruhan.
Moral kepemimpinan nasional bersumber padaPancasila tercermin secara terpadu dalam
ke lima sila dari Pancasila : 11
1. Moral takwa dalam dimensi vertikal dan horisontal. Moral ketakwaan dalam dimensi
vertikal adalah sikap dan perilaku pemimpin yang melaksanakan ibadah secara
konsisten menurut agama yang dianutnya. Moral ketakwaan dalam dimensi
horisontal ditandai oleh sikap dengan orang-orang yang dipimpinnya sebagai
manusia ciptaan tuhan yang maha esa.
2. Moral kemanusiaan. Aktualisasi moral kemanusiaan dalam kepemimpinan nasional
identik dengan sikap dan perilaku pemimpin menyadari adanya hak-hak asasi
perangkat aturan kebersamaan yang melapangkan aktualisasi HAM dalam batasbatas tanggung jawab sosial bermasyarakat. Aktualisasi HAM berkaitan erat pula
dengan

moral

ketakwaan

dalam

dimensi

horisontal

yang

meluangkan

berkembangnya hubungan-hubungan sosial yang akrab, saling menghargai, saling


menghormati diantara pemimpin dan yang dipimpin.
3. Moral kebersamaan dan kebangsaan. Aktualisasi moral kebersamaan berkaitan
dengan moral ketakwaan dan moral kemanusiaan identik dengan semangan persatuan
di antara sesama warga (pemimpin dan yang dipimpin). Mereka sadar bahwa hanya
dengan semangat kebersamaan dapat mencapai tujuan. Apabila moral kebersamaan
diterapkan dalam kehidupan bernegara maka terbangunlah semangat kebangsaan dan
semangat pengabdian dalam kepemimpinan nasional yang lebih mengutamakan
kepentingan nasional dari pada kepentingan pribadi dan golongan.

11 muladi adi hal. 99

12

4. Moral kerakyatan. Aktualisasi moral kerakyatah dalam kepemimpinan ansioanl


ditandai oleh sikap dan perilaku keterbukaan, konsistensi dan kepastian dalam
implementasi kebijaksanaan.
5. Moral keadilan. Aktualisasi moral keadilan dalam kepemimpinan nasional ditandai
dengan sikap dan perilaku keadilan dan kejujuran yang didasarkan pada tuntutan
keimanan dan ketakwaan.
Etika kepemimpinan nasional berhimpitan dengan moral kepemimpinan berdasarkan
Pancasila. Etika kepemimpinan merupakan tindak lanjut dari moral kepemimpinan. Karena etika
kepemimpinan nasioanl merupakan aktualisasi nilai-nilai instrumental Pancasila yang terpatri
dalam UUD 1945.
Adapun yang menjadi nilai instrumen Pancasila yang menjadi muatan UUD 1945 sebagai
landasan konstitusional berbangsa dan bernegara adalah instrumen keorganisasian, kelembagaan,
kekuasaan dan kebijaksanaan pemerintah. Empat instrumen itulah yang merupakan instrumen
dalam pemerintahan negara dan menjadi ruang gerak etika kepemimpinan nasional. 12
1. Etika keorganisasian. Ruang gerak perilaku kepemimpinan nasional haruslah terbatas
pada aturan keorganisasian dalam pemerintahan bernegara.
2. Etika kelembagaan. Gerak dinamikan kepemimpinan nasional haruslah senantiasa
melembaga dan kelembagaan pemerintah perlu akomodasi terhadap perkembangan
lingkungan strategis
3. Etika kekuasaan. Etika kekuasaan menghendaki adanya keterbatasan pengguna
kekuasaan

dan

menghindari

penyalahgunaan

kekuasaan

dan

menghindari

penyalahgunaan wewenang.
Keempat jenis etikan kepemimpinan nasional pada haikaktnya haruslah menyatu dalam
praktik kepemimpinan dari segena komponen bangsa baik dalam tatanan hirarki maupun dalam
tatanan horizontal. Aktualisasinya pada diri sang pemimpin harus menyatu dan tersistem serta
membangun sistem etika kepemimpinan berdasarkan Pancasila. Sistem etika kepemimpinan
12 muladi adi hal. 101

13

nasional tentunya merupakan salah satu sentra pengembangan strategi kepemimpinan nasional
Indonesia.
B. Strategi Kepemimpinan Nasional
Kepemimpinan merupakan fenomena kemasyarakatan, kebangsaan dan berpengaruh
terhadap perkembangan kenegaraan. Kepemimpinan juga merupakan salah satu fungsi yang
dapat mendorong terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional, serta aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat yang timbul karena adanya interaksi antara pemimpin dan pengikutnya.
Dalam era reformasi pada saat ini para pemimpin kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan
Indonesia harus benar-benar memahami dan menghayati nila-nilai dasar negara, yaitu pancasila
yang bersifat integratif. Oleh karena itu para pemimpin dan kader kepemimpinan nasional harus
merupakan bagian integral dari kepemimpinan nasional Integratif.
Kriteria pokok kepemimpinan nasional integratif adalah sebagai berikut :13
1. Terciptanya interaksi/keterpaduan yang harmonis antara pemimpin dengan yang
dipimpin.
2. Ciri, gaya, sifat, prinsip, teknik, dan asas serta jenis kepemimpinan yang handal,
antara lain : 11 asas kepemimpinan dan Hasta Brata
3. Strategi Kepemimpinan Nasional yang tepat (sesuai situasi dan kondisi, serta waktu
yang dihadapi)
Kepemimpinan nasional yang integratif harus memiliki pola pikir, pola sikap dan pola
tindak sebagai negarawan. Dan makna dari negarawan adalah seorang pemimpin diharapkan
mampu mengubah kondisi saat ini melalui proses untuk menciptakan kondisi yang diharapkan
dalam rangka mencapai tujuan nasioan dan mewujudkan cita-cita nasional.
Kepemimpinan nasional di masa mendatang harus mampu memnentukan prioritas
sasaran kepemimpinan dan strategi pokok kepemimpinan yang tepat. Prioritas sasaran
kepemimpinan adalah kesatuan nasional, transformasi sosial dan pembangunan ekonomi, sasaran
pendukung adalah asosiasi yang lebih luas dari negara. Sedangkan strategi pokok yang dapt

13 tjahjo kumolo hal-87

14

dipilih adalah menitik beratkan ideologi, pengembangan ekonomi, memperluas partisipasi politik
dan penggunaan politik luar negeri.

14

Prioritas sasaran kesatuan nasional dipilih berdasarkan

pada sikap dasar budaya kepemimpinan nasional Indonesia dan kondisi obyektif gatra alamiah
dan sosial budaya ketahanan nasional Indonesia.

14 muladi adi sujatni hal.181

Anda mungkin juga menyukai