Anda di halaman 1dari 42

UNIVERSITAS INDONESIA

KEBIJAKAN PAJAK UNTUK MENDORONG


PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: INSENTIF
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA INDUSTRI
GALANGAN KAPAL

MATA KULIAH PENGANTAR KEBIJAKAN PAJAK

KELOMPOK 4
MUTHIA KHAIRUNNISA HAPSARI
NUR IMAN AFFANDI
SABILA SITI SALIFIDA

1306461895
1306461983
1306398005

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM SARJANA KELAS PARALEL DEPARTEMEN ILMU
ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
MARET 2016

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS


Makalah ini adalah hasil karya kami sendiri, dari semua sumber baik yang
dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar.

Nama

: Muthia Khairunnisa Hapsari

NPM

: 1306461895

Tanda Tangan

Nama

: Nur Iman Affandi

NPM

: 1306461983

Tanda Tangan

Nama

: Sabila Siti Salifida

NPM

: 1306398005

Tanda Tangan

Tanggal: 23 Maret 2016

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS..................................................i


DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1

Latar Belakang..........................................................................................1

1.2

Rumusan Masalah.....................................................................................5

BAB II KERANGKA TEORI.............................................................................6


2.1

Kebijakan Publik.......................................................................................6

2.2

Kebijakan dan Insentif Pajak.....................................................................8

2.2.1.

Kebijakan Pajak.................................................................................8

2.2.2.

Insentif Pajak....................................................................................10

2.3

Cost of Taxation.......................................................................................12

2.3.1.

Biaya Administrasi (Administrative Cost).......................................13

2.3.2.

Biaya Kepatuhan (Compliance Cost)...............................................13

BAB III GAMBARAN UMUM.......................................................................15


3.1

Gambaran Umum Industri Transportasi Galangan Kapal di Indonesia. .15

3.2

Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2015...........17

BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................20
4.1

Analisis Pembentukan PP No. 69 Tahun 2015.........................................20

4.2

Analisis Kelebihan dan Kekurangan PP No. 69 Tahun 2015..................21

4.2.1

Kelebihan PP No. 69 Tahun 2015....................................................21

4.2.2

Kekurangan PP No. 69 Tahun 2015.................................................26

BAB V SIMPULAN DAN SARAN.................................................................28


5.1

Simpulan..................................................................................................28

5.2

Saran........................................................................................................29

LAMPIRAN......................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................34

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan

terkait

pertumbuhan

ekonomi

telah

menjadi

permasalahan global yang dialami baik oleh negara berkembang


(developing countries) maupun negara maju (developed countries). Secara
umum, masalah pertumbuhan ekonomi di negara berkembang lebih mudah
dilihat dibanding masalah pertumbuhan ekonomi di negara maju. Jika
dilihat dari perspektif yang berbeda, adanya permasalahan ekonomi
tersebut akan memberikan dampak positif bagi setiap negara. Negara akan
dipaksa untuk terus bergerak dan berpikir (AnneAhira.com, 2013).
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang tak luput dari masalah
pertumbuhan ekonomi yang hingga kini masih terus menjadi pekerjaan
rumah yang harus diselesaikan pemerintah. Pemerintah memiliki peran
yang penting dalam perekonomian Indonesia (Hadiwibowo, 2010).
Berdasarkan Working Paper Bank Indonesia nomor WP/06/2008,
kondisi perekonomian Indonesia terus membaik meskipun menurut survei
ekonomi OECD terhadap Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
menyatakan tingkat pertumbuhan ekonomi sedikit menurun.

Namun

baiknya pertumbuhan ekonomi tersebut lebih banyak didukung oleh sektor


konsumsi rumah tangga. Kontribusi konsumsi terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) cukup besar bila
dibandingkan kontribusi investasi pada tahun 2003-2007 (Working Paper
Bank Indonesia, 2008). Turut mendukung pernyataan tersebut, harian
Bisnis Indonesia menyatakan bahwa kekuatan sektor konsumsi di
Indonesia sejalan dengan besarnya jumlah penduduk dan korelasinya
dengan daya beli masyarakat kelas menengah yang jumlahnya terus
meningkat (Bisnis Indonesia, 2015).
Jika dilihat dari kontribusi pengeluaran terhadap komponen
pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia telah lama
bergantung

pada

kekuatan

konsumsi

rumah

tangga.

Situasi

1
UNIVERSITAS INDONESIA

ketergantungan yang telah lama berlangsung tersebut belum mampu


menggeser peran konsumsi rumah tangga ke sektor investasi. Dependensi
yang begitu tinggi pada sektor konsumsi rumah tangga dinilai akan
menciptakan struktur ekonomi yang rapuh.

Untuk dapat menggeser

tumpuan pertumbuhan ekonomi menuju investasi memerlukan waktu dan


strategi yang memunyai dampak jangka panjang (Pulungan, 2015).
Konsumsi masyarakat hingga tahun 2014 berdasarkan survei OECD
didukung oleh tingkat kepercayaan yang menguat, bantuan langsung tunai
kepada keluarga miskin, kenaikan upah yang kuat, dan pasar tenaga kerja
yang meningkat. Namun survei atas sektor investasi masih melemah pada
tahun 2013-2014 diakibatkan oleh penurunan investasi dalam mesin dan
alat transportasi (OECD, 2015).

Kontribusi Investasi dan Konsumsi dalam GDP


68.18

19.85

68.34

20.4

68.5

68.35

20.43

68.24

21.42

19.62

Konsumsi (%)

67.31

66.29

22.48

21.82

65.4

22.41

Investasi (%)

Grafik 1. Kontribusi Investasi dan Konsumsi dalam GDP


Sumber: Working Paper Bank Indonesia 2008

Jika ditinjau dari sisi pengeluaran, ketimpangan rasio kontribusi


investasi dan konsumsi dalam GDP seperti yang disajikan dalam grafik di
atas telah lama menjadi tren dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Bahkan hingga tahun 2015, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)
sebagaimana dikutip dalam harian Republika Online tanggal 15 Februari
2016, meski peran investasi mengalami kenaikan namun rasio investasi
terhadap konsumsi masih mengalami ketimpangan.

Rasio investasi

terhadap PDB selama tahun 2015 mencapai 33,19%; meningkat dibanding


2
UNIVERSITAS INDONESIA

tahun 2014 yang mencapai 32,58%. Sementara itu, rasio konsumsi rumah
tangga relatif tidak berubah; dari 55,97% pada tahun 2014 menjadi
55,91% di tahun 2015 (Republika Online, 2016).
Meskipun tingkat dependensi terhadap konsumsi masih tinggi,
pemerintah hingga kini terus berupaya untuk mendorong investasi.
Melemahnya investasi dalam mesin dan alat transportasi sebagaimana
yang telah disebutkan mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian
lebih kepada industri yang berkaitan dengan sektor alat transportasi.
Dengan

pertimbangan

kondisi

geografis,

peningkatan

investasi

infrastruktur transportasi menjadi hal yang penting dalam meningkatkan


produktivitas kepada dunia usaha (OECD, 2015).
Sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah,
keberadaan infrastruktur transportasi memberikan kemudahan bagi
masyarakat Indonesia terkait pendistribusian barang dan pemerataan
ekonomi. Oleh karena itu, industri transportasi menjadi salah satu industri
yang saat ini sedang mendapat perhatian dari pemerintah dan berperan
penting bagi Indonesia.

Pentingnya peran dan perkembangan industri

transportasi disebabkan karena industri ini dapat menjadi kunci bagi


pertumbuhan

ekonomi

di

Indonesia.

Ketersediaan

infrastruktur

transportasi dapat memacu proses interaksi antar wilayah yang terpencil


sehingga dapat tercipta pemerataan pembangunan. Dengan adanya alat
transportasi, pendistribusian barang terutama barang ekonomi dan aktivitas
ekonomi lainnya dapat berjalan lebih lancar terkait waktu maupun biaya.
Transportasi merupakan salah satu dasar untuk meningkatkan
pembangunan ekonomi dan perkembangan masyarakat serta pertumbuhan
industrialisasi.

Penggunaan transportasi dapat menmbuat suatu barang

menjadi berguna berdasarkan waktu dan tempat. Alat transportasi yang


digunakan sebagai penggerak perekonomian di Indonesia terdiri dari alat
transportasi darat, alat transportasi laut dan alat transportasi udara.
Pemerintah Indonesia dalam Nawacita telah menyadari bahwa
kondisi geografis Indonesia, yang luas wilayah lautnya mencapai tiga per
empat dari seluruh wilayah, memiliki banyak potensi yang harus segera
3
UNIVERSITAS INDONESIA

dilindungi dan dikembangkan terutama pada industri maritim. Menurut


Penasihat Kehormatan Menteri Pariwisata, Indroyono Soesilo dalam
seminar bertajuk "Kekayaan Energi dan Sumber Daya Mineral untuk
Pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia Guna Mewujudkan
Kejayaan

dan

Kemakmuran

Bangsa",

Indonesia

harus

segera

mengembangkan industri maritim seperti industri galangan kapal nasional


untuk memperkuat konektivitas maritim di tanah air (AntaraNews.com,
2015).
Menteri Perindustrian, Saleh Husin, melalui media online Antara
News menyatakan bahwa hingga kini terdapat sekitar 250 perusahaan
industri galangan kapal di Indonesia yang mampu memproduksi kapal
baru maupun memperbaiki kapal.

Sejumlah 104 industri diantaranya

berada di daerah Batam, sedangkan sisanya tersebar di daerah lain di


Indonesia (Antara News, 2015). Angka tersebut merupakan jumlah yang
besar, akan tetapi sejumlah besar industri galangan kapal tersebut hanya
terpusat di satu daerah, yakni Batam, Kepulauan Riau.

Hal tersebut

dikarenakan lokasi strategis Batam di free trade zone yang telah lama dan
terlebih dahulu menikmati berbagai fasilitas, termasuk fasilitas perpajakan.
Sementara industri galangan kapal di daerah lain selama ini belum
menikmati berbagai kemudahan termasuk insentif fiskal yang tersedia bagi
industri galangan kapal seperti di Batam. Akibatnya, industri galangan
kapal di daerah lain sulit bersaing dengan produksi kapal luar negeri untuk
memenuhi kebutuhan transportasi laut dan logistik dalam negeri.
Target untuk memperkuat dan melindungi maritim Indonesia yang
tertuang pada Nawa Cita kemudian dioperasionalisasikan dalam paket
kebijakan kabinet kerja tahun 2015 lalu.

Salah satu bentuk

operasionalisasi visi dan misi tersebut adalah melalui kebijakan pemberian


insentif pajak berupa fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak
dipungut untuk industri galangan kapal melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 69 Tahun 2015 (selanjutnya disebut PP-69) tentang Impor dan
Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak
terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan
4
UNIVERSITAS INDONESIA

Nilai sebagai revisi dari insentif pembebasan PPN pada Peraturan


Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 (selanjutnya disebut PP-146)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003
(selanjutnya disebut PP-38) tentang Impor dan atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang
Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yang sebelumnya
belum berhasil mendorong peningkatan daya saing industri galangan
kapal.
Insentif pajak pada PP-69 tersebut ditujukan dengan harapan agar
industri transportasi yang berada di luar Batam juga dapat menikmati
fasilitas tersebut dan mendorong investasi galangan kapal beserta investasi
komponennya kemudian mampu meningkatkan daya saing industri
sehingga dapat memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang
signifikan.
Berbagai maksud dan tujuan pemerintah dalam pemberlakuan PP69 tersebut kemudian memotivasi penulis untuk mengkaji lebih lanjut
bagaimana kebijakan tersebut dapat mendorong industri transportasi dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia serta kelebihan dan kekurangan dari
peraturan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan fenomena tersebut maka penulis mengangkat permasalahan
yang terkait yaitu:
1. Apa yang melatarbelakangi revisi PP-146 sebagaimana terakhir diubah
dengan PP-38 menjadi PP-69?
2. Apa kelebihan dan kekurangan insentif pajak dalam PP-69?

5
UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Kebijakan Publik


Dye (2010) mendefinisikan kebijakan publik sebagai apa yang
pemerintah lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan perubahan apa
yang dibuat dari kebijakan tersebut (Dye, 2010).

Sementara Laswell

(1971) mendefinisikan kebijakan publik sebagai program proyeksi untuk


tujuan, nilai-nilai, dan praktik. Anderson (2010) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai tujuan pasti dari tindakan diikuti oleh seseorang atau pihak
dalam menghadapi permasalahan atau urusan lain. Persamaan dari ketiga
pengertian diatas adalah bahwa ketiganya mengatakan bahwa kebijakan
publik terkait dengan proses dari kegiatan atau keputusan pemerintah
dalam penyelesaian permasalahan publik, baik yang sudah terjadi maupun
yang telah diperkirakan.
Menurut Steward, Hedge, dan Lester (1996), suatu kebijakan
publik memiliki siklus dimana berbagai proses politis terjadi di dalamnya.
Steward dkk. (1996) berpendapat bahwa kebijakan publik dapat
digambarkan sebagai serangkaian tahap sebagaimana yang tergambar pada
Gambar 1 berikut, yakni rangkaian aktivitas yang dapat diklasifikasikan
dalam proses pembuatan kebijakan publik (Stewart, Hedge, & Lester,
1996).

6
UNIVERSITAS INDONESIA

Stage
1:
Stage
6:
Stage
Stage
2:
5:
Stage
3:
4:
Policy
T
ermination
Stage
Agenda
Setting
Policy
Termination
Policy
Change
Policy
Formulation
Policy
Evaluation
Policy
Implementation
Policy Implementation

Gambar 1. Siklus Kebijakan Publik


Sumber: Steward, Hedge, dan Lester (1996)

1. Agenda Setting
Agenda setting adalah daftar subjek atau permasalahan bagi pejabat
pemerintahan yang diberi perhatian khusus dalam waktu tertentu.
Misalnya, daftar yang sangat serius di pertimbangkan dalam
pertemuan pejabat pemerintah atau legislatif merupakan agenda
publik. Beberapa permasalahan tidak pernah sampai ke agenda
publik, sementara beberapa masalah lainnya dapat dengan segera
dipertimbangkan sebagai agenda publik.
2. Policy Formulation
Tahap formulasi kebijakan dimana dari permasalahan yang ada,
dibentuk beberapa peraturan atau perundang-undangan yang dinilai
dapat menjadi penyelesaian masalah. Dari sekian alternatif
kebijakan yang ada, dipilih kebijakan yang dinilai paling baik
dalam penyelesaian masalah.
3. Policy Implementation
Tahap ini sering dikatakan sebagai what happens after a bill
becomes a law, yang dapat didefinisikan sebagai serangkaian
keputusan dan tindakan pemerintah yang diarahkan menempati
mandat yang berlaku. Dari kebijakan yang sudah terpilih,
seterusnya kebijakan tersebut diimplementasikan ke permasalahan
yang ada.
4. Policy Evaluation
7
UNIVERSITAS INDONESIA

Dalam tahap ini memperhatikan apa yang terjadi sebagai hasil dari
kebijakan publik yang telah dipilih atau setelah kebijakan tersebut
diimplementasikan. Tahap ini juga fokus terhadap dampak aktual
dari legislasi atau sejauh mana kebijakan benar-benar mencapai
hasil yang diharapkan.
5. Policy Change
Tahap ini mengacu kepada titik dimana kebijakan telah dievaluasi
dan di desain kembali sehingga seluruh proses kebijakan dimulai
dengan yang baru.
6. Policy Termination
Tahap ini adalah dimana berakhirnya kebijakan yang usang atau
kebijakan tersebut sudah tidak memadai lagi.

2.2 Kebijakan dan Insentif Pajak


2.2.1. Kebijakan Pajak
Suandy

(2008)

menyatakan

bahwa

kebijakan

perpajakan

merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam


sistem perpajakan. Dari berbagai kebijakan aspek pajak, terdapat berbagai
faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak (Suandy,
2008). Sementara menurut Mansury sebagaimana dikutip dalam Rosidana
dan Irianto (2013), kebijakan pajak dalam arti yang luas adalah kebijakan
untuk memengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi,
dengan menggunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran
belanja negara.

Kebijakan pajak dalam arti sempit menurut Mansury

adalah kebijakan yang berhubungan dengan penentuan apa yang akan


dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak atau tax base, siapa pihak yang
dikenakan pajak, siapa saja pihak yang dikecualikan, hal atau situasi
hukum apa yang akan dijadikan sebagai objek pajak, apa saja yang
dikecualikan, bagaimana menentukan besarnya pajak yang terutang, dan
bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak terutang
(Irianto & Rosdiana, 2012).

8
UNIVERSITAS INDONESIA

Menurut

AICPA (American

Institute

of

Certified

Public

Accountant) atau organisasi nasional profesi akuntan publik di Amerika


Serikat, terdapat sepuluh prinsip kebijakan pajak yang baik, yaitu:
1. Equity and Fairness. Wajib pajak yang sama kemampuannya
dikenakan jumlah pajak yang sama.
2. Certainty. Peraturan mengenai pajak harus jelas menentukan
kapan pajak harus dibayar, bagaimana cara pembayarannya,
dan bagaimana cara menentukan besarnya pajak yang
dibayarkan.
3. Convenience of Payment.

Pajak harus dilunasi atau

dibayarkan pada saat paling nyaman untuk wajib pajak.


4. Economy in Collection.

Biaya yang dikeluarkan untuk

memperoleh atau membayar pajak harus seminimal mungkin


baik untuk pemerintah maupun wajib pajak.
5. Simplicity.

Peraturan mengenai pajak harus sederhana

dengan tujuan wajib pajak dapat memahai peraturan tersebut,


memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik, dan
dengan biaya yang efisien.
6. Neutrality.
keputusan

Efek dari peraturan perpajakan terhadap


wajib

pajak

mengenai

bagaimana

untuk

melaksanakan transaksi tertentu atau untuk memutuskan


terlibat dalam transaksi tertentu dijaga tetap minimal.
7. Economic Growth and Efficiency. Sistem perpajakan tidak
boleh

menghalangi

atau

mengurangi

produktivitas

perekonomian.
8. Transparency and Visibility. Wajib pajak harus memahami
bahwa pajak berlaku serta bagaimana dan kapan pajak
dikenakan ke wajib pajak.
9. Minimum Tax Gap.

Pajak harus memiliki struktur untuk

meminimalisir ketidakpatuhan.

9
UNIVERSITAS INDONESIA

10. Appropriate Government Revenues. Sistem perpajakan harus


memungkinkan pemerintah untuk menentukan berapa banyak
dan kapan penghasilan pajak dapat dikumpulkan.
AICPA merekomendasikan 10 prinsip ini dapat digunakan untuk
menganalisis rencana peraturan perundang-undangan, begitu pula terhadap
seluruh sistem perpajakan (American Institute of Certified Public
Accountants, 2001).
Untuk merancang perpajakan yang optimal, Smith (1776) dalam
Salani (2011) menyebutkan bahwa terdapat empat kriteria pengenaan
pajak yang baik (Salani, 2011):
1) Setiap wajib pajak harus membayar dengan jumlah yang adil
terkait dengan ability-to-pay nya atau manfaat yang wajib pajak
tersebut dapatkan dari negara.
2) Pajak harus secara tegas didefinisikan dan tidak sewenang-wenang.
3) Pajak harus dikumpulkan dengan cara yang cukup tidak
menyulitkan Wajib Pajak (painless).
4) Pajak harus memiliki biaya administrasi (administrative costs) dan
deadweight losses yang rendah.
Salani (2011) kemudian menambahkan dua kriteria sesuai situasi
terkini yaitu:
5) Pajak harus dapat diadaptasi terhadap fluktuasi perekonomian dan
secara otomatis menjadi stabilisator (flexibility).
6) Wajib Pajak harus mengetahui pihak mana yang menanggung
beban pajak (tax incidence).

10
UNIVERSITAS INDONESIA

2.2.2. Insentif Pajak


Insentif

pajak

mengacu

pada

pengurangan,

pengecualian, atau pembebasan dari kewajiban pajak (tax


liability), yang ditawarkan sebagai daya tarik agar sasaran
insentif tersebut terlibat dalam kegiatan tertentu, seperti
investasi dalam jangka waktu tertentu (Smith, 2003;
Munyanyi & Chiromba, 2015).
Menurut Munyanyi dan Chiromba (2015), insentif
pajak

(tax

incentives)

dikembangkan

dalam

pertumbuhan

ekonomi.

dan

insentif

konteks

fiskal

untuk

Berdasarkan

lainnya

menstimulasi
pemahaman

tersebut, pemerintah menganggap insentif pajak sebagai


instrumen

untuk

mendorong

perkembangan

dan

pertumbuhan berbagai sektor yang ditargetkan dalam


perekonomian (Munyanyi & Chiromba, 2015).
Konsep

insentif

pajak

kini

secara

luas

sedang

digunakan dalam kebijakan fiskal di negara maju maupun


berkembang untuk merangsang pertumbuhan investasi.
Menurut Munyanyi dan Chiromba (2015), setiap insentif
pajak memiliki potensi biaya dan manfaat.

Akan tetapi,

manfaat dari insentif tersebut harus lebih besar daripada


biaya untuk menjadikan insentif tersebut produktif dan
dapat diterima (approvable) oleh sasaran insentif. Menurut
James (2009) dalam Munyanyi dan Chiromba (2015), biaya
yang mungkin muncul adalah terutama dalam bentuk
kerugian pendapatan dari investasi yang seharusnya dapat
diperoleh tanpa insentif, biaya tidak langsung seperti
distorsi ekonomi, hingga biaya administrasi dan kebocoran
(leakage

costs).

Insentif

pajak

harus

menghasilkan

dampak berupa investasi jangka panjang yang terlihat dari

11
UNIVERSITAS INDONESIA

perolehan pendapatan disamping peningkatan penciptaan


lapangan pekerjaan dan eksternalitas positif.
Menurut Thuronyi (1998), jenis insentif pajak secara
umum adalah (Thuronyi, 1996):
1. Tax Holidays
Insentif pajak yang berupa tax holiday merupakan
insentif pajak yang diberikan melalui pembebasan dari
pajak dan/atau pengurangan tarif pajak.
2. Tax Sparing credit
Insentif pajak berupa tax sparing credit adalah suatu
kredit pajak semu yang disepakati oleh negara asal
investor di mana negara asal investor memperbolehkan
investor mengakui adanya kredit pajak di luar negeri
dalam

penghitungan

pajak

global

di

negara

asal

investor (the country of resident) walaupun dalam


kenyataannya tidak ada pajak yang dibayar di negara
sumber karena negara sumber memberikan insentif
pajak (tax holiday).

Insentif pajak berupa tax holiday

yang diberikan oleh negara sumber tidak akan efektif


jika di negara asalnya, investor harus membayar pajak
atas dasar keseluruhan penghasilan yang diterima dari
seluruh dunia (world wide income).
3. Investment Allowances and Tax Credits
Investment allowances and tax credits pada umumnya
diterapkan

pada

investasi

baru

yang

dibuat.

Investment allowances and tax credits adalah bentuk


insentif pajak yang didasarkan pada besarnya investasi.
Tax allowance berarti mengurangi penghasilan kena
pajak

perusahaan.

Sedangkan

tax

credit

secara

langsung mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.


4. Accelerated Depreciation (Timing Difference)
Perbedaan waktu dapat terjadi dalam hal pembebanan
biaya yang dipercepat atau penangguhan pengakuan
penghasilan.

Bentuk umum dari pembebanan biaya


12
UNIVERSITAS INDONESIA

yang dipercepat adalah penyusutan, yaitu penyusutan


dibebankan dalam periode waktu yang lebih pendek
dari umur ekonomis aktiva

tersebut atau melalui

pembebanan khusus di periode tahun pertama. Maksud


dari

insentif

perusahaan

tipe

ini

adalah

memperoleh

untuk

membantu

pengembalian

modalnya

(return on investment) lebih cepat. Namun, insentif ini


secara keseluruhan tidak mempengaruhi jumlah pajak
yang seharusnya dibayar ke negara, tetapi hanya
menggeser beban pajak ke belakang.
5. Tax Rate Reductions
Pengurangan tarif pajak secara umum diterapkan atas
penghasilan

dari

sumber

tertentu

atau

kepada

perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu. Misalnya,


kepada perusahaan kecil di bidang manufaktur atau
pertanian. Pengurangan tarif ini berbeda dengan tax
holiday sebab kewajiban pajak dari perusahaan tidak
dibebaskan secara keseluruhan, dan insentif ini dapat
diperluas pada perusahaan baru termasuk penghasilan
dari kegiatan yang telah ada serta tidak dibatasi pada
periode

waktu

menerapkan

tertentu.
insentif

Persoalan
tipe

ini

utama
adalah

dalam
dalam

mengidentifikasi penghasilan yang memenuhi syarat


dan kriteria perusahaan tertentu.

Seringkali dalam

membuat definisi atas penghasilan dan perusahaan


tertentu

yang

menimbulkan

berhak

peluang

untuk

mendapatkan
dimanipulasi.

insentif
Untuk

mencegah dimanipulasi, biasanya dibuat aturan hukum


yang ketat sehingga justru mengurangi efektivitas dari
insentif tersebut.

13
UNIVERSITAS INDONESIA

2.3 Cost of Taxation


Teori perpajakan secara normatif telah menekankan bahwa suatu
sistem perpajakan harus seimbang antara tujuan keadilan (equity), efisiensi
(efficiency), dan kemudahan (simplicity). Sebagian besar tulisan ilmiah
telah

memusatkan

mengesampingkan
perpajakan.

fokusnya
fokus

pada

terhadap

keadilan

kemudahan

dan
sistem

efisiensi;
perpajakan

Hasil dari kurangnya fokus terhadap kemudahan tersebut

adalah berkembangnya sistem perpajakan dengan kompleksitas yang


semakin tinggi (Sandford, Godwin, & Hardwick, 1989, hal. 293).
Namun kini tujuan kemudahan telah menjadi perhatian di kalangan
pembuat kebijakan dan peneliti. Alasannya adalah karena biaya sumber
daya (resources costs) dari menghimpun pajak cukup besar, kemungkinan
sama besarnya dengan biaya efisiensi yang selama ini telah menjadi
perhatian para pembuat kebijakan. Menurut Standford dkk. (1989), biaya
untuk menghimpun pajak tersebut terdiri dari biaya administrasi
(administrative costs) yang dikeluarkan oleh pemerintah dan biaya
kepatuhan (compliance costs) yang dikeluarkan oleh wajib pajak. Biayabiaya tersebut dikeluarkan oleh wajib pajak sebagai upaya untuk
mengusahakan kewajiban atau utang pajak yang lebih rendah.

2.3.1. Biaya Administrasi (Administrative Cost)


Biaya administrasi (administrative cost) adalah biaya yang
ditanggung oleh otoritas perpajakan terkait pengumpulan pajak (tax
collection) serta kewajiban-kewajiban lainnya terhadap Wajib Pajak
(Juddoo, 2014).

Sistem perpajakan membutuhkan administrasi untuk

mengendalikan penilaian (assessment) dan pengumpulan (collection) pajak


(Yitzhaki, 1979).

Menurut Slemrod dan Yitzhaki (1996), administrasi

perpajakan antara lain berurusan dengan pengumpulan informasi. Namun


pengumpulan informasi tersebut bukan hal yang mudah sebab tingkat
kualitas

informasi

yang

dibutuhkan

bervariasi.

Biaya

untuk

mengumpulkan informasi bergantung pada seberapa mudah akses terhadap


informasi tersebut, dan apakah dapat dengan mudah disembunyikan.
14
UNIVERSITAS INDONESIA

2.3.2. Biaya Kepatuhan (Compliance Cost)


Biaya kepatuhan adalah biaya yang dituanggung oleh para Wajib
Pajak untuk dapat mematuhi peraturan dari otoritas perpajakan (Juddoo,
2014). Menurut Juddoo (2014), biaya kepatuhan mencakup berbagai biaya
seperti memperoleh pengetahuan yang diperlukan dan relevan dari sistem
perpajakan, melakukan pembukuan atau pencatatan (compiling records),
mengelola sistem akuntansi perpajakan serta menyampaikan form SPT,
mengevaluasi pengelolaan efektivitas pajak dari transaksi-transaksi
alternatif beserta metode yang memenuhi persyaratan hukum, hingga
menghimpun dan menyetorkan pajak kepada otoritas perpajakan.
Dari perspektif efisiensi, biaya yang tinggi dari aktivitas kepatuhan
dianggap sebagai pemborosan sumber daya ekonomi, sebab biaya tersebut
meningkatkan beban Wajib Pajak namun tidak meningkatkan penerimaan
pemerintah (Eichfelder & Vaillancourt, 2014).

Menurut Eichfelder &

Vaillancourt (2014), biaya kepatuhan (compliance cost) dapat mendistorsi


pengambilan keputusan ekonomis serta alokasi sumber daya yang optimal.
Selain itu, berbagai penelitian membuktikan bahwa tingginya kompleksitas
pajak

(tax

complexity)

dapat

mengakibatkan

kesalahan

terhadap

pengambilan keputusan ekonomis (Rupert, Single dan Wright, 2003),


memengaruhi perilaku pengambilan risiko atau risktaking behavior
(Ackermann, Fochmann dan Mihm, 2013), meningkatkan permintaan
terkait tax advice (Kristen, Gupta dan Lin, 1993), dan memengaruhi
kesediaan wajib pajak untuk patuh terhadap peraturan perpajakan (Alm,
Jackson and McKee, 1992) sebagaimana dikutip oleh Eichfelder &
Vaillancourt (2014).

15
UNIVERSITAS INDONESIA

BAB III
GAMBARAN UMUM
3.1 Gambaran Umum Industri Transportasi Galangan Kapal di
Indonesia
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, transportasi air
memunyai peran yang vital dalam menghubungkan pulau-pulau di
Indonesia

(Ministry of

Industry Republic

of

Indonesia,

2012).

Berdasarkan pernyataan tersebut, wahana galangan kapal bagi negara


maritim seperti Indonesia memiliki peranan yang sangat penting sebab
berpengaruh besar terhadap perkembangan industri penunjang komponen
kapal. Berdasarkan pernyataan KPP BUMN terkait industri perkapalan,
diperlukan adanya suatu badan usaha sebagai sentra industri perkapalan
sebagai industri induk, penyedia lapangan kerja, penyedia alat angkut dan
jasa angkutan, serta pendaya gunaan dan pengelolaan sumber daya laut
(KPP BUMN).
Perusahaan yang bergerak di bidang industri perkapalan memiliki
kegiatan pokok usaha yaitu membuat atau membangun kapal beserta
perawatan dan pemeliharaannya. Kegiatan usaha tersebut sebagaimana
dikutip dari penjelasan yang disajikan KPP BUMN secara umum diiringi
dengan:
1) Perluasan kelompok customer dengan memasuki segmen pasar
baru

(baik

domestik

maupun

internasional)

serta

mempertahankan existing access yang telah ada kepada pasar


internasional dalam rangka mengembangkan produk di pasar
45.000 DWT.
2) Meningkatkan

struktur

permodalan

perusahaan

melalui

penarikan dana dari perbankan maupun lembaga keuangan atau


pasar modal.
3) Mengembangkan

dan

meningkatkan

kapasitas

output

berdasarkan kapabilitas dan pengalaman yang dimiliki melalui


program Productivity Improvement.
4) Mengimplementasikan prinsip-prinsip

Good

Corporate

Governance di dalam proses bisnis perusahaan.


16
UNIVERSITAS INDONESIA

5) Menetapkan Core Competencies serta menyusun MPP dalam


rangka optimalisasi sumber daya manusia.
Menurut Menteri Perindustrian Saleh Husin, jumlah industri
galangan kapal di Indonesia hingga kini telah mencapai 250 industri.
Namun, hanya terdapat beberapa saja yang beraktivitas secara aktif,
misalnya di Batam. Industri galangan kapal di luar Batam belum ada yang
tumbuh atau tidak aktif. Dengan banyak tidak aktifnya galangan kapal
yang ada di Indonesia, hal tersebut membuat biaya logistik menjadi mahal
karena industri harus membayar dua kali biaya logistik (saat berangkat dan
pulang). Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Suwasono
dkk. (2010) terhadap kondisi galangan kapal Indonesia, masih dijumpai
proses kerja ulang, munculnya barang sisa yang relatif berlebihan, dan
waktu pembangunan kapal yang relatif cukup lama untuk beberapa
galangan kapal di Indonesia (Suwasono, Widjaja, Zubaydi, & Yuliadi,
2010).
Selain itu, keterbatasan industri perkapalan di Indonesia menurut
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Suryo
Bambang Sulisto, dapat terjadi karena keterbatasan sumber daya manusia
yang dimiliki Indonesia belum memadai. Masalah lain yang tidak kalah
penting selain SDM adalah masalah pembiayaan industri perkapalan yang
menjadi salah satu kunci keberhasilan industri tersebut. Terkait konteks
pemeliharaan, galangan kapal Indonesia belum mampu melakukan
perbaikan kapal dengan ukuran lebih besar dari 20.000 DWT (dead weight
tonnageton bobot mati) karena ukuran docking domestik yang sangat
terbatas.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, saat ini terdapat 250
galangan kapal yang sebagian besar adalah galangan kapal skala kecil dan
empat galangan kapal milik pemerintah, yaitu PT Dok dan Perkapalan
Kodja Bahari, PT PAL Indonesia, PT Dok dan Perkapalan Surabaya, serta
PT Industri Kapal Indonesia. Galangan kapal tersebut tersebar di seluruh
Indonesia dengan presentase 37% berada di Pulau Jawa, 26% di Sumatera,
25% di Kalimantan, dan 12% di kawasan Indonesia bagian timur. Ratarata produksi kapal per tahun sebesar 85.000 GT, sedangkan rata-rata
17
UNIVERSITAS INDONESIA

reparasi kapal baru mencapai 65.000 per tahun. Potensi pasar galangan
kapal dalam negeri sangat besar, dilihat dari tingginya kebutuhan angkutan
perdagangan internasional dan antarpulau yang mencapai volume 400 juta
ton per tahun.

3.2 Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2015


Dalam rangka mendorong pengembangan angkutan
nasional di bidang angkutan darat, angkutan air, dan
angkutan udara, menjamin tersedianya peralatan Tentara
Nasional

Indonesia

dan

Kepolisian

Negara

Republik

Indonesia yang memadai untuk melindungi wilayah Negara


Kesatuan Republik Indonesia baik dari ancaman eksternal
maupun internal, Pemerintah memiliki wewenang untuk
memberikan insentif berupa fasilitas PPN tidak dipungut
atau dibebaskan sebagaimana tercantum dalam Pasal 16B
UU PPN.
Selain itu, pemberian kemudahan PPN tidak dipungut
tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing
industri dan penyedia jasa dalam negeri, mengingat
dengan kemudahan PPN tidak dipungut, industri yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dapat mengkreditkan pajak masukan yang telah dibayar
pada saat perolehan faktor input. Alat angkutan tertentu
yang atas penyerahannya tidak dipungut PPN meliputi:
1. Alat angkutan di air, alat angkutan di bawah
air, alat angkutan di udara, dan kereta api,
serta

suku

Kementerian

cadangnya

yang

Pertahanan,

diimpor

Tentara

oleh

Nasional

Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia,


dan

oleh pihak

lain

yang

ditunjuk

oleh

18
UNIVERSITAS INDONESIA

Kementerian
Indonesia,

Pertahanan,

Tentara

Nasional

Kepolisian

Negara

Republik

dan

Indonesia untuk melakukan impor tersebut;


2. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal
angkutan

danau

dan

kapal

angkutan

penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal


pandu, kapal tunda, kapal tongkang, dan suku
cadangnya,
dan

serta

alat keselamatan

alat keselamatan

manusia

pelayaran

yang

diimpor

dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga


Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional,
Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan
Nasional,

dan

Perusahaan

Angkutan

Sungai,

Danau

Penyelenggara Jasa
dan

Penyeberangan

Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;


3. Pesawat udara dan suku cadangnya serta alat
keselamatan penerbangan dan alat keselamatan
manusia,

peralatan untuk

perbaikan

dan

pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh


Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan
suku

cadangnya,

perbaikan
yang

serta

peralatan

dan pemeliharaan

diimpor

Perusahaan

oleh

pihak

Angkutan

untuk

pesawat

udara

yang ditunjuk

Udara

Niaga

oleh

Nasional

yang digunakan dalam rangka pemberian jasa


perawatan dan reparasi pesawat udara kepada
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional; dan
4. Kereta

api

peralatan

dan

suku

cadangnya

untuk perbaikan dan pemeliharaan

serta prasarana perkeretaapian yang


dan

serta

digunakan

Penyelenggara

oleh

Badan

Sarana Perkeretaapian

diimpor
Usaha
Umum

19
UNIVERSITAS INDONESIA

dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana


Perkeretaapian Umum, dan komponen atau bahan
yang diimpor oleh pihak yang
Badan

Usaha

ditunjuk

Penyelenggara

oleh
Sarana

Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha


Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum,
yang digunakan untuk pembuatan kereta api,
suku

cadang,

pemeliharaan,
yang

akan

peralatan
serta

untuk perbaikan dan

prasarana

digunakan

Penyelenggara Sarana

oleh

perkeretaapian
Badan

Usaha

Perkeretaapian

Umum

dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana


Perkeretaapian Umum.
Pemberian kemudahan di bidang perpajakan ini
bersifat sementara, apabila dunia usaha sektor-sektor
tertentu tersebut sudah mandiri maka kemudahan di
bidang perpajakan tersebut tidak perlu diberikan lagi. Agar
tidak terjadi penyimpangan dalam penerapannya, maka
perlu dilakukan pengawasan dan dalam hal fasilitas yang
diberikan tidak digunakan sesuai dengan maksud dan
tujuan diberikannya kemudahan di bidang perpajakan
tersebut maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

20
UNIVERSITAS INDONESIA

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisis Pembentukan PP No. 69 Tahun 2015 berdasarkan Siklus


Kebijakan
Penetapan Peraturan PP-69 merupakan satu kesatuan siklus dengan
kebijakan sebelumnya.

Berdasarkan pernyataan tersebut maka PP-69

muncul sebagai ketentuan khusus atas pelaksanaan Pasal 16B Undangundang Nomor 42 Tahun 2009 dan revisi atas Peraturan Pemerintah
Nomor 146 Tahun 2000 (PP-146) sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 (selanjutnya disebut PP-38) untuk
mengatur fasilitas PPN yang semula dibebaskan pada industri galangan
kapal. Munculnya PP-69 dapat dijelaskan melalui siklus kebijakan sebagai
berikut:

Agenda Setting
Pemerintah kini lebih menyadari potensi maritim Indonesia.
Namun untuk dapat mengembangkan potensi tersebut hingga
mencapai visi kedaulatan maritim sebagaimana yang terdapat
dalam Nawacita, pemerintah perlu menyelesaikan berbagai
masalah terkait maritim Indonesia, tak terkecuali permasalahan
pada industri galangan kapal. Pemerintah bersama dengan pihakpihak terkait yang mewakili industri galangan kapal di Indonesia
memiliki daftar masalah pada industri galangan kapal di luar
wilayah Batam seperti banyaknya industri perkapalan yang tidak
aktif, sumber daya manusia yang belum memadai, masih dijumpai
proses kerja ulang, munculnya barang sisa yang berlebihan, dan
waktu pembangunan kapal yang cukup lama, hingga pembiayaan
industri mulai dirumuskan untuk dibuatkan kebijakan pada tahap
pertama.

Policy Formulation

21
UNIVERSITAS INDONESIA

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi industri galangan


kapal Indonesia sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
dibutuhkan suatu upaya peningkatan daya saing yang memenuhi
tiga kriteria utama menurut penelitian yang dilakukan oleh
Suwasono dkk. (2010), yaitu: (1) harga jual kapal yang kompetitif,
(2) kecepatan proses dan mutu pembangunan kapal yang relatif
baik, dan (3) semakin kecilnya proses kerja ulang dan barang sisa
di setiap proses produksi (Suwasono, Widjaja, Zubaydi, & Yuliadi,
2010).
Untuk mendapatkan harga jual kapal yang kompetitif, maka
setiap proses atau tahapan produksinya harus mencapai efisiensi
yang tinggi terkait penggunaan sumber daya. Salah satu alternatif
yang dapat pemerintah lakukan sebagai intervensi melalui
kebijakan fiskal yakni pemberian insentif atau fasilitas pajak
berupa PPN tidak dipungut atas impor dan penyerahan faktor
produksi berupa alat atau komponen tertentu serta jasa kena pajak
yang terkait di industri tersebut.

Policy Implementation
Kebijakan ini mulai diterapkan 30 hari setelah PP-69
diundangkan pada 17 September 2015, yakni 16 Oktober 2015.
Respon positif bermunculan dari industri galangan kapal di
Indonesia, namun dampak kebijakan ini belum terlalu dapat terlihat
sebab penerapan kebijakan ini terhitung masih baru sehingga
belum terdapat data yang dapat dikaji terkait implementasi PP-69.

4.2 Analisis Kelebihan dan Kekurangan PP No. 69 Tahun 2015


4.2.1

Kelebihan PP No. 69 Tahun 2015


Upaya mendorong inovasi industri merupakan salah satu hal yang

harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan yang memiliki arah


untuk meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi terutama
terkait dengan knowledge-based economy.

22
UNIVERSITAS INDONESIA

Melalui berbagai pengenaan pajak atas berbagai komoditas,


pemerintah melakukan intervensi dengan mengubah harga dari setiap
komoditas yang dikenakan pajak. Perubahan harga karena munculnya
berbagai pengenaan pajak tersebut membuat industri sulit untuk memiliki
daya saing.

Insentif pajak adalah satu di antara berbagai instrumen

kebijakan yang digunakan pemerintah untuk mendanai atau mendukung


industri lokal.

Pemberian insentif pajak selain dapat menekan biaya

produksi kapal, dapat pula memengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam


jangka panjang. Selain itu, insentif pajak memberikan ketersediaan dana
bagi wajib pajak untuk mengalokasikan biayanya atas pengeluaran lain
yang sifatnya meningkatkan produktivitas.
Insentif atau kemudahan pajak yang diberikan pemerintah pada PP69 adalah berupa fasilitas PPN tidak dipungut atas impor dan penyerahan
komponen tertentu serta atas aktivitas penyerahan jasa kena pajak yang
dilakukan industri transportasi tertentu. Industri galangan kapal dalam
negeri kemudian juga merupakan salah satu sasaran dari kebijakan ini.
Sebelumnya, industri transportasi telah mendapatkan insentif PPN
dibebaskan yang diatur dalam PP-146 sebagaimana diubah dengan PP-38.
Hal

yang

membedakan

dengan

pengkreditan Pajak Masukan.

PP-69

adalah

dalam

ketentuan

Pada PP-146, ketentuan mengenai

perlakuan pengkreditan Pajak Masukan tercantum pada Pasal 4 sebagai


berikut:
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak
dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat
dikreditkan.
Sedangkan

pada

PP-69,

ketentuan

mengenai

perlakuan

pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana tercantum pada Pasal 4 ayat (1)


adalah:
Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak
dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
Contoh:
23
UNIVERSITAS INDONESIA

PT. Java Marina merupakan perusahaan produsen kapal perikanan


di daerah Bekasi, Jawa Barat.

Hasil produksi perusahaan terdiri atas

berbagai macam kapal perikanan yang orientasi penjualannya adalah untuk


dijual di dalam negeri. Pada bulan Maret, PT. Java Marina melakukan
pembelian dan penjualan BKP/JKP sebagai berikut:
a. Mengirim tiga unit kapal ikan fiber kepada PT. Tangkap Ikan,
Pengusaha Kena Pajak di bidang perikanan tangkap. Masingmasing unit yang diserahkan senilai Rp 1.115.000.000.
b. Membeli tiga set alat jaring dari PT. Jaring (PKP) yang
masing-masing berukuran 250 meter x 30 meter dengan total
Rp15.000.000 tidak termasuk PPN.
c. Membeli tiga unit kompas brunton dari PT. Indonetwork
(PKP) yang masing-masing seharga Rp 5.600.000 tidak
termasuk PPN.
d. Membeli 15 unit tempat tidur single masing-masing
Rp3.000.000 tidak termasuk PPN.
e. Membeli 30 buah lampu penerangan 40 watt masing-masing
seharga Rp55.000 tidak termasuk PPN.
f. Membeli tiga set roda kemudi masing-masing seharga Rp
6.500.000.
Simulasi Penghitungan PPN Tidak Dipungut dan Dibebaskan
terhadap Mekanisme Pengkreditan PPN

Transaksi
Pembelian 3 set alat
jaring ukuran 250m
x 30m @
Rp5.000.000.
Pembelian 3 unit
kompas @
Rp5.600.000
Pembelian 15 unit
tempat tidur single
@ Rp3.000.000.

15.000.000

1.500.000

PPN Tidak Dipungut


(PP 69/2015)
PPN
PPN
PM yang
Keluaran
Masukan
dapat
Dikreditkan
1.500.000
1.500.000

16.800.000

1.680.000

1.680.000

1.680.000

45.000.000

4.500.000

4.500.000

4.500.000

Dasar
Pengenaan
Pajak

PPN Dibebaskan
(PP 38/2003)
PPN
PPN
Keluaran
Masukan

PM yang
dapat
Dikreditkan

24
UNIVERSITAS INDONESIA

Pembelian 30 buah
lampu penerangan
40 watt @
Rp100.000.
Pembelian 3 set
roda kemudi @
Rp6.500.000
Penyerahan 3 unit
kapal ikan fiber @
Rp1.115.000.000
Total PM
Total PK
Total PM yang
dapat dikreditkan
PPN Kurang/Lebih
Bayar

3.000.000

300.000

300.000

300.000

19.500.000

1.950.000

1.950.000

1.950.000

3.345.000.000

334.500.000

334.500.000
9.930.000

9.930.000

334.500.000

334.500.000

(9.930.000)

334.500.000

324.570.000

Pajak masukan (VAT Input) secara akuntansi dapat dibebankan


sebagai biaya yang mengurangi penerimaan di pos laporan laba rugi, atau
dapat dikreditkan bersama pajak keluarannya dan dilaporkan di neraca.
Perlakuan atas pajak masukan tersebut bersifat opsional, artinya
tergantung kebijakan masing-masing entitas apakah memilih untuk
memperlakukan PPN masukan sebagai beban atau sebagai kredit bagi
pajak keluarannya (VAT Output).

Pada umumnya untuk impor dan

perolehan faktor produksi beserta jasa kena pajak yang berkaitan, PPN
masukannya dapat dikreditkan bersama PPN keluaran sehingga berbagai
entitas memperlakukan PPN masukan tersebut sebagai kredit atau
pengurang pajak (tax credit). Sementara untuk PPN yang penyerahannya
mendapat fasilitas, bisa terdapat dua pilihan. Jika PPN masukan dari
penyerahan tersebut mendapat fasilitas pembebasan PPN sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 4 PP-146, maka atas PPN masukan tersebut tidak
dapat dikreditkan dengan PPN keluaran. Sedangkan pada fasilitas PPN
tidak dipungut pada Pasal 4 PP-69, PPN masukannya tetap terhutang
namun tidak dipungut sehingga terhadap PPN masukan tersebut masih
dapat dikreditkan (sebagai tax credit) dengan PPN keluarannya, atau
dibebankan sebagai biaya tergantung pada kebijakan perusahaan.
Sehingga PPN masukan dalam PP-69 atas impor dan perolehan komponen
kapal dapat menjadi pengurang bagi beban pajak yang seharusnya
25
UNIVERSITAS INDONESIA

terutang, bukan menjadi komponen biaya yang dapat memengaruhi harga


jual produksinya.
Berdasarkan ilustrasi simulasi di atas, PPN yang kurang dibayar
dan harus disetor oleh PT. Java Marina lebih besar jumlahnya oleh karena
PPN masukan yang telah dibayar saat perolehan BKP dan/atau JKP
komponen kapal ikan fiber tersebut tidak dapat dikreditkan dengan PPN
keluaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP berupa kapal ikan fiber yang
dilakukan PT. Java Marina sebab penyerahan tersebut mendapat fasilitas
dibebaskan dari pengenaan PPN. Akibatnya, PPN masukan yang tidak
dapat dikreditkan sebesar Rp9.930.000 tersebut akan menjadi komponen
biaya perusahaan yang menambah harga pokok penjualan dalam pos
laporan laba rugi sehingga harga akhir kapal ikan fiber produksi PT. Java
Marina menjadi lebih tinggi.
Akan tetapi jika PT. Java Marina mendapat insentif berupa PPN
tidak dipungut, maka PPN masukan atas perolehan komponen kapal ikan
fiber tersebut dapat dikreditkan di pos neraca sebab penyerahan atas kapal
ikan fiber tersebut mendapat fasilitas terutang namun tidak dipungut atas
pengenaan PPN-nya. Sehingga tidak terdapat komponen PPN masukan
yang memengaruhi harga kapal pada harga pokok penjualan yang
dibiayakan di pos laba rugi.
Industri galangan kapal di luar wilayah Batam kini dapat
mengeliminasi beban pajak masukan yang selama ini mendapat fasilitas
pembebasan PPN terkait impor dan penyerahan komponen serta jasa yang
dibutuhkan, sebab melalui PP-69 kini industri manufaktur tersebut
mendapat fasilitas PPN tidak dipungut sehingga industri perkapalan dapat
mengkreditkan pajak masukannya dan segera mengalokasikan pengeluaran
yang semula ditujukan untuk kepentingan perpajakan, kepada pengeluaran
lain misalnya terkait inovasi dan/atau untuk pengembangan manusia yang
dibutuhkan di industrinya sebagaimana yang telah menjadi permasalahan
di industri galangan kapal selama ini.
Bagi pemerintah, pemberian insentif pajak tentu akan mengurangi
penerimaan negara, termasuk distorsi pada perekonomian sebagai hasil
26
UNIVERSITAS INDONESIA

dari perlakuan istimewa (preferential treatment) dari kualifikasi investasi


untuk mendapatkan insentif.
4.2.2

Kekurangan PP No. 69 Tahun 2015


Berdasarkan prinsip kebijakan pajak yang baik, peraturan ini masih

belum memenuhi dua prinsip, yakni pada economy in collection dan


simplicity. Selain itu berdasarkan prinsip pengenaan pajak yang baik,
dalam peraturan ini masih terdapat biaya administrasi (administrative
costs) dan biaya kepatuhan (compliance cost) serta deadweight losses yang
cukup tinggi dan menyulitkan Wajib Pajak.
Biaya administrasi terkait dengan biaya yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk memungut pajak, dalam konteks galangan kapal biaya
ini dikeluarkan oleh pemerintah dalam mendata dan mengumpulkan
informasi terkait dengan Wajib Pajak mana saja yang memiliki usaha
industri galangan kapal.

Terkait dengan sistem pemungutan pajak di

Indonesia yang memiliki sistem self-assessment, maka dalam hal ini biaya
compliance cost atau biaya kepatuhan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak
cukup tinggi dan menyulitkan Wajib Pajak industri galangan kapal.
Pada operasionalisasi PP-69 melalui PMK No. 193/PMK.03/2015
tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan
Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan
Penyerahan Jasa Kena Pajak terkait Alat Angkutan Tertentu, terdapat
aturan untuk membuat Rencana Kebutuhan Impor dan Perolehan (RKIP)
dan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD).

Wajib Pajak harus

mengurus Rencana Kebutuhan Impor dan Perolehan (RKIP) dan Surat


Keterangan Tidak Dipungut (SKTD).

RKIP merupakan syarat untuk

mendapatkan fasilitas melalui SKTD, yang harus dibuat secara berkala


setiap tiga bulan. Biaya untuk mengajukan SKTD dengan membuat RKIP
secara berkala tersebut membuat biaya kepatuhan yang harus dikeluarkan
oleh Wajib Pajak menjadi lebih besar sehingga beban biaya Wajib Pajak
pun bertambah.

27
UNIVERSITAS INDONESIA

Meski telah sedemikian rupa dirumuskan kebijakan untuk


mendorong industri galangan kapal agar lebih kompetitif, namun muncul
biaya dalam bentuk lain yakni biaya administrasi perpajakan yang tidak
sedikit dalam mengurus RKIP dan SKTD. Padahal berdasarkan konsep
biaya kepatuhan (compliance cost), biaya tersebut tidak menambah
penerimaan pemerintah namun memberikan tambahan beban terhadap
Wajib Pajak sebagai pembayar pajak.

Hal ini dapat dimungkinkan

bertentangan dengan tujuan pemberian insentif pajak sebelumnya yang


hendak diberikan oleh pemerintah pada industri tersebut.

Mengutip

pernyataan Fiscal and Financial Policy Sub-Committee (1986) dalam


Juddoo (2014), kompleksitas dalam sistem perpajakan akan membebankan
biaya kepatuhan yang tinggi terhadap masyarakat dan biaya yang sama
tinggi pada administrasi perpajakan.

28
UNIVERSITAS INDONESIA

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Meski teori menyatakan bahwa setiap pemberian fasilitas sulit
untuk tidak menyimpang dari prinsip keadilan dan netralitas PPN, namun
dalam pengambilan keputusan yang akan dijadikan kebijakan maka harus
dipilih alternatif second best policy-nya.
Selama ini industri galangan kapal termasuk pihak yang mendapat
fasilitas pembebasan PPN atas impor maupun penggunaan jasa kena pajak
yang terkait sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2003. Akan tetapi dampak dari fasilitas pembebasan PPN tersebut
adalah komponen harga kapal dan jasa yang diproduksi menjadi lebih
tinggi dan sulit bersaing.
Sebagai salah satu bentuk keseriusan pemerintah mewujudkan
kedaulatan maritim dan memperkuat daya saing nasional maupun
internasional, maka pemerintah berupaya untuk mengurangi berbagai
biaya yang berhubungan dengan pembangunan kapal di industri galangan
kapal. Pemerintah menyadari pentingnya industri galangan kapal dalam
pertumbuhan ekonomi.

Kondisi industri yang belum kompetitif

mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi melalui kebijakan


fiskal.
PP No. 69 Tahun 2015 sebagai revisi PP No. 38 Tahun 2003
diharapkan dapat menghilangkan biaya yang selama ini ditanggung
industri galangan kapal agar lebih memperhatikan alokasi biaya-biaya lain
yang

selama

ini

dikesampingkan

sehingga

dapat

meningkatkan

produktivitas modal manusia dan daya saing industri.


Namun pada salah satu ketentuan di peraturan teknisnya pada
PMK No. 193/PMK.03/2015, terdapat ketentuan yang cukup menyulitkan
industri terkait munculnya beban administrasi perpajakan yang cukup
tinggi untuk mendapatkan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD)
dengan mengurus Rencana Kebutuhan Impor dan Perencanaan (RKIP).
29
UNIVERSITAS INDONESIA

5.2 Saran
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, tingginya biaya kepatuhan
terkait pembuatan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) dan Rencana
Kebutuhan Impor dan Perencanaan (RKIP) yang harus dikeluarkan oleh
Wajib Pajak menjadi salah satu pertimbangan pelaku industri galangan
kapal dalam mengambil langkah menyikapi kebijakan ini.

Kami

mengajukan saran terkait penerapan insentif Pajak Pertambahan Nilai pada


industri galangan kapal, yaitu agar dalam pelaksanaan administrasinya
dapat lebih disederhanakan sehingga tidak mengurangi tujuan pemberian
insentif. Apabila kompleksitas persyaratan yang diajukan dalam rangka
pelaksanaan kebijakan ini disederhanakan, maka maksud dan tujuan
kebijakan pemberian insentif ini dapat lebih tersampaikan dengan
memungkinkan lebih banyaknya industri galangan kapal atau pihak-pihak
di luar industri yang tertarik untuk memanfaatkan kebijakan tersebut untuk
membangun dan meningkatkan daya saing industri perkapalan Indonesia.

30
UNIVERSITAS INDONESIA

LAMPIRAN
NOTULENSI DISKUSI PENGANTAR KEBIJAKAN PAJAK
Hari, tanggal
Tempat
Waktu
Penyaji

: Selasa. 23 Maret 2016


: Gedung M, Kelas M. 304, FISIP UI
: 11.00-13.30 WIB
:
1. Muthia Khairunnisa Hapsari/1306461895
2. Nur Iman Affandi/1306461983
3. Sabila Siti Salifida/1306398005

Dosen
Topik Presentasi
dan Diskusi

: Murwendah
: Kebijakan Pajak untuk Mendorong Pertumbuhan
Ekonomi Di Indonesia: Insentif Pajak Pertambahan
Nilai pada Industri Galangan Kapal
: Kelompok 10
1. Adya Cintya Daniswara
2. Pongsilurang Merdin Elisa
3. Prima Afiari

Tim Pembahas

Tim Floor

: Kelompok 2
1. Chaterine Hana Maria
2. Diodi Aulia Fajri
3. Tjut Naridha Selsa
Kelompok 3
1. Ajen Yoga Pradana
2. Gupto Andreantoro
3. Tiara Risma Ayudianty
Kelompok 4
1. Muthia Khairunnisa Hapsari
2. Nur Iman Affandi
3. Sabila Siti Salifida
Kelompok 5
1. Amanda Solihah
2. Hanna Marliana Donda P
3. Thalia Medina Lopung
Kelompok 6
1. Hana Athiyyah M.N
31
UNIVERSITAS INDONESIA

2. Nathasia I Tobing
3. Raissha Adyanara
Kelompok 7
1. Ardesty Bachdani
2. Muhammad Dicky
3. Safira Rahma Ningrum
Kelompok 8
1. Muhammad Arief Erdi P
2. Muhammad Efril M
3. Sheylla Azka Saffanah
Kelompok 9
1. Alvin Heryana
2. Ilham Muhammad
3. Janice Zerlinda August T
Kelompok 11
1. Fitri Intan Permatasari
2. Ria Rizki Zulfah
3. Shabrina Adzhani Dewi
Susunan Acara

: 1. Pembukaan
2. Presentasi oleh kelompok penyaji
3. Tanggapan dan pertanyaan dari kelompok pembahas
4. Tanggapan dan pertanyaan dari tim floor
5. Saran dari Dosen Pengajar sebagai bahan revisi
6. Penutup

SESI TANYA JAWAB


Pertanyaan
Jawaban
Kelompok 10 (Pembahas)
Prima Afiari
Investor tidak harus berasal dari
Apa saja kriteria menjadi investor? luar negeri atau asing, melainkan
Apakah harus orang asing?
tergantung pada ketertarikan dan
kontribusi yang akan diberikan
investor tersebut.
Oleh karena itu dalam berbagai
kebijakan untuk mendorong
32
UNIVERSITAS INDONESIA

investasi, terdapat kriteria investor


seperti jumlah penanaman modal
atau jumlah daya tampung pekerja
untuk menyerap tenaga kerja dalam
negeri yang dapat disediakan oleh
investor tersebut sebagai indikator.
Pemerintah memiliki regulasi
tersendiri terkait indikator investor
yang tidak dibahas lebih jauh pada
makalah ini.
Pongsilurang Merdin Elisa
a. Apa sajakah yang termasuk
aktivitas galangan kapal?
b. Apakah dengan adanya kebijakan
ini, akan menjadi mata pisau bagi
perusahaan dan negara Indonesia
sendiri, karena dengan adanya
kebijakan ini akan mendorong
investor luar dan bisa jadi
mematikan industri dalam negeri?
c. Adakah solusi di luar pulau Batam,
agar wilayah lain tidak mengalami
kesenjangan dengan kebijakan
yang dimiliki Batam, menurut asas
neutrality, equity?
d. Apakah
kebijakan
ini
memunculkan usaha penghindaran
pajak?

a. Secara umum, aktivitas pada


usaha galangan kapal memiliki
kegiatan pokok usaha yaitu
membuat atau membangun
kapal beserta perawatan dan
pemeliharaannya.
b. Pemerintah memiliki regulasi
tersendiri terkait batasan hak
para investor yang tidak
dibahas pada makalah ini.
c. Secara bertahap Pemerintah
terus memberikan insentif
untuk mendorong industri di
luar Batam, salah satunya
termasuk melalui PP-69.
d. Penghindaran pajak
dimungkinkan selama
paradigma mengenai pajak dan
pembelanjaannya masih sulit
diterima oleh masyarakat dan
pada ketentuannya masih
terdapat celah legal untuk
dijadikan pengelolaan pajak
bagi perusahaan.

Kelompok 1
Diah Ambarsari
Insentif kebijakan ini merupakan
Mengapa insentif kebijakan ini kurang insentif kebijakan yang ditujukan
terdengar? Apakah sosialisasinya kurang? khusus kepada pengusaha yang
bergerak di bidang transportasi,
salah satunya adalah perkapalan.
Tidak seperti kebijakan yang
33
UNIVERSITAS INDONESIA

diberlakukan untuk pada Orang


Pribadi, kebijakan ini
menggunakan sosialisasi langsung
terhadap pengusaha atau asosiasi
yang berkaitan seperti Indonesian
National Shipowners' Asociation
(INSA).
Oleh karena itu mungkin
sosialisasinya kurang terdengar di
masyarakat umum.
Kelompok 2
Tjut Naridha Selsa
Terkait impor, apakah fasilitas tersebut
juga diberikan untuk fasilitas Bea
Masuk?
Kelompok 3
Ajen Yoga P.
Apakah terhadap penyediaan komponen
kapal akan terus mengandalkan impor?

Kelompok 5
Amanda Solihah
Apakah langkah yang dilakukan apabila
PP tersebut gagal?

Tidak, pemberian fasilitas tersebut


hanya untuk PPN impor kapal
maupun komponen sebagaimana
tercantum dalam PP-69.
Sejauh ini kapal yang dirakit di
industri perkapalan dalam negeri
mayoritas komponennya menurut
Kementerian Perindustrian sebesar
70-80% masih berupa barang
impor. Hal tersebut dikarenakan
belum terdapat banyak komponen
yang qualified sesuai spesifikasi
yang dibutuhkan, yang tersedia dari
dalam negeri.
Apabila setelah diimplementasikan
mengalami kendala yang berarti,
maka kebijakan tersebut akan
dievaluasi atau melakukan kajian
ulang, seperti misalnya
penyederhanaan pengurusan SKTD
dengan RKIP.
Namun jika setelah dievaluasi
masih belum mampu menjadi
solusi, maka kebijakan ini akan
serta merta mengikuti siklus
kebijakan sebagaimana yang terjadi
pada PP-146.

Kelompok 6
Nathasia Imanuella Tobing

a. Perusahaan yang bergerak di


34
UNIVERSITAS INDONESIA

a. Apa sajakah yang termasuk


aktivitas galangan kapal?
b. Mengapa
kebijakannya
tidak
dipungut?

Kelompok 7
Muhammad Dicky
Kenapa targetnya untuk investor asing
padahal untuk kapal dalam negeri?

bidang industri perkapalan


memiliki kegiatan pokok usaha
yaitu
membuat
atau
membangun kapal beserta
perawatan
dan
pemeliharaannya.
b. Terkait dengan mekanisme
pengkreditan pajak masukan
agar
dapat
mengurangi
komponen harga jual kapal
dalam negeri sehingga dapat
meningkatkan daya saing.
Pada dasarnya tidak harus investor
asing yang diharapkan untuk
menanamkan modalnya dalam
pengembangan industri ini.

Kelompok 8
Sheylla Azka Saffanah
Bagaimanakah realitas biaya yang
dikeluarkan?
Kelompok 9
Ilham Muhammad
Mengapa cenderung untuk menggunakan
tenaga ahli luar negeri, padahal akan
meningkatkan biaya produksi?
Bagaimana dengan SDM dalam negeri?

Sudah ditambahkan dengan


simulasi di revisi ini pada halaman
23 dan 24.
Berdasarkan riset yang dilakukan
oleh Suwasono dkk. (2010), SDM
dalam negeri yang belum mumpuni
merupakan salah satu permasalahan
industri galangan kapal, sehingga
industri tersebut cenderung
menggunakan tenaga ahli dari luar
negeri yang cenderung
meningkatkan biaya produksi dari
faktor input. Namun apabila dilihat
dari segi efisiensi, hal ini akan lebih
efisien karena menggunakan SDM
yang lebih baik. Biaya untuk
memperkerjakan SDM yang lebih
baik tersebut akan memberikan
efisiensi untuk pos-pos biaya
lainnya.
Akan tetapi apabila pengusaha
berpikir lebih jauh, mungkin biaya
yang dihemat dari insentif tersebut
dapat dialokasikan untuk

35
UNIVERSITAS INDONESIA

mengembangkan SDM dalam


negeri yang berpotensi untuk
mengembangkan industri
perkapalan dalam negeri.
Kelompok 11
Fitri Intan Permatasari
Seberapa signifikan-kah PP 69/2015?

Asosiasi terkait industri perkapalan


adalah salah satu asosiasi usaha
transportasi yang mengapresiasi
pada awal diumumkannya
pemberlakuan PP-69 ini.
Dengan pemberian fasilitas tersebut
diharapkan dapat mendorong daya
saing hasil produksi kapal dalam
negeri.
Akan tetapi implementasinya
belum dapat terukur karena
kebijakan ini baru terlaksana sejak
akhir tahun 2015 lalu dan belum
terdapat riset ilmiah yang
menunjukkan signifikansi PP
tersebut.

36
UNIVERSITAS INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA
REGULASI
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana terakhir diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 tentang Impor dan
atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa
Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2015 tentang Impor dan Penyerahan Alat
Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak terkait Alat Angkutan
Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai.

BUKU DAN SUMBER ONLINE

American Institute of Certified Public Accountants. (2001). Guiding Principles of


Good Tax Policy: A Framework for Evaluating Tax Proposals.
AnneAhira.com. (2013). Masalah Pertumbuhan Ekonomi di Negara Maju dan
Berkembang. Diambil kembali dari AnneAhira.com:
http://www.anneahira.com/masalah-pertumbuhan-ekonomi.htm
Antara News. (2015, Agustus 3). Menperin Harap Industri Galangan Kapal
Nusantara Seperti Batam. Indonesia.
AntaraNews.com. (2015, November 4). Indonesia Harus Kembangkan Industri
Maritim. Indonesia.
Dye, T. R. (2010). Understanding Public Policy (13th Edition). Pearson; 13
Edition.
Eichfelder, S., & Vaillancourt, F. (2014). Tax Compliance Costs: A Review of
Cost Burdens. Hacienda Pblica Espaola / Review of Public Economics,
111-148.
Hadiwibowo, Y. (2010). Fiscal Policy, Investment and Long-Run Economic
Growth: Evidence from Indonesia. Asian Social Science Vol. 6 No. 9.

37
UNIVERSITAS INDONESIA

Irianto, E. S., & Rosdiana, H. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Juddoo, K. (2014). The Compliance Costs of Value Added Tax (VAT): The Case
of the Republic of Mauritius. eJournal of Tax Research, 499-521.
KPP BUMN. (t.thn.). Industrial Profile: Kegiatan Usaha Industri Perkapalan.
Diambil kembali dari KPP BUMN Departemen Keuangan:
http://www.kppbumn.depkeu.go.id/Industrial_Profile/Industrial%20Profile
%20JEFRI/Industrial%20Profile%20Perkapalan_files/page0001.htm
Ministry of Industry Republic of Indonesia. (2012). Industry: Facts & Figures.
Ministry of Industry Republic of Indonesia.
Munyanyi, W., & Chiromba, C. (2015). Tax Incentives and Investment Expansion:
Evidence from Zimbabwes Tourism Industry. Ad-minister, 27-51.
OECD. (2015). Survei Ekonomi OECD: Indonesia. Survei Ekonomi OECD.
Parker, J. (2012). 5 Theories of Endogenous Growth. Dalam Economics 314
Coursebook.
Pulungan, A. M. (2015, September 2). Mengukur Kekuatan Sektor Konsumsi.
Bisnis Indonesia.
Rahayu, A. S. (2010). Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta: Bumi Aksara.
Republika Online. (2016, Februari 15). Membaca Arah Perekonomian ke Depan.
Salani, B. (2011). Ch. II Optimal Taxation. Dalam B. Salani, Economics of
Taxation (2nd Edition) (hal. 63). MIT Press.
Sandford, C., Godwin, M., & Hardwick, P. (1989). Administrative and
Compliance Costs of Taxation. U.K.: Fiscal Publications.
Sawitri, H. (2006). Dampak Defisit Anggaran terhadap Pertumbuhan Ekonomi.
Jurnal Organisasi dan Manajemen 2(1), 1-10.
Stewart, J., Hedge, D., & Lester, J. (1996). Public Policy: An Evolutionary
Approach. USA: West Publishing Company.
Suandy, E. (2008). Perencanaan Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
Sukirno, S. (2003). Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suwasono, B., Widjaja, S., Zubaydi, A., & Yuliadi, M. (2010). Strategi
Produktivitas Tenaga Kerja dan Daya Saing: Studi Kasus Galangan Kapal
Kawasan Pulau Batam dan Jawa. Jurnal Manajemen Bisnis, 203-222.
38
UNIVERSITAS INDONESIA

Thuronyi, V. (1996). Tax Law Design and Drafting. International Monetary Fund.
Working Paper Bank Indonesia. (2008, Juni). Peran Investasi dalam Mendorong
Economic Growth. Working Paper Bank Indonesia.
Yitzhaki, S. (1979). A Note on Optimal Taxation and Administrative Costs. The
American Economic Review, Vol. 69, 475-480.

39
UNIVERSITAS INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai