Disusun Oleh :
i
Universitas Sumatera Utara
1
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar isi ................................................................................................................
ii
iii
3.
4.
Etiologi .....................................................................................................
5.
Epidemiologi ............................................................................................
6.
7.
Diagnosis .................................................................................................
8.
11
9.
11
12
13
14
i
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Halaman
ii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Halaman
iii
Universitas Sumatera Utara
Latar Belakang
Kehilangan kemampuan penglihatan, defisit lapangan pandang dan
adanya defek pupil aferen akibat trauma disebut sebagai trauma optik
neuropati. Trauma optik neuropati berhubungan dengan cedera akibat
adanya deselarasi disertai dengan gaya yang besar. Umumnya
diasosiasikan dengan trauma wajah.Kecelakaan lalulintas adalah penyebab
tersering, sekitar 17 63% kasus ini. 1-3 Dari penelitian yang melibatkan
101 pasien dengan trauma kepala setelah kecelakaan mengendarai sepeda
motor, terdapat 18 kasus trauma optik neuropati (18%). Penyebab
berikutnya adalah terjatuh, benturan di kepala, penganiayaan, luka tusuk,
luka tembak dan pembedahan sinus dengan mengunakan endoskopi.4,5
Anatomi Saraf Optik
Saraf Optikmerupakan saraf kranial kedua yang terdiri dari lebih 1juta
akson yang berasal dari lapisan sel ganglion retina dan menyebar menuju ke
korteks oksipital. Nervus optikus dibagi menjadi beberapa daerah topografi,
yaitu1 :
1. Regio intraokular yaitu optic disc, prelaminar area dan laminar
area
2. Region intraorbital (berada di dalam corong otot)
3. Regio intrakanalikular (berada didalam kanal optik)
4. Regio Intrakranial (berakhir di kiasma optikum)
Regio
Panjang (mm)
Diameter (mm)
Intraokular
1.0
1,5 x 1,75
Optic Disc
Prelaminar
Laminar
Intraorbital
25
34
Intrakanalikular
4 10
34
Intrakranial
10
47
Tabel 2.1. Ukuran saraf optik berdasarkan regio(Dikutip dari :Skuta GL,
Cantor LB, Weiss JS. Fundamentals and Principles of Ophtalmology
Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2012.)
1
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2.Meningeal Sheaths(Dikutip dari :Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS.
Fundamentals and Principles of Ophtalmology Singapore: American Academy of
Ophtalmology; 2012.)
2
Universitas Sumatera Utara
c. Regio Intrakanalikular
Didalam kanal optik, suplai darah saraf optik berasal dari pembuluh
pial yang merupakan percabangan dari arteri oftalmika.Saraf optik dan
araknoid yang mengelilinginya terhubung ke kanalperiosteum.
d. Regio Intrakranial
Setelah melewati kanal optik, 2 saraf optik akan membentang di atas
arteri oftalmika dan arteri karotis interna. Arteri serebri anterior juga
melintasi saraf optik dimana arteri komunikans anterior juga akan saling
berhubungan sehingga membentuk sirkulus Willisi. Kemudian saraf optik
melintas kearah posterior melewati sinus kavernosus dan mencapai kiasma
optikum.
Kiasma optikum dibagi menjadi dua yaitu jalur kanan dan kiri yang
berakhir di korpus genikulatum lateralis.Dari daerah ini keluar jalur
genikulokalkarin yang melewati setiap korteks penglihatan primer.Kiasma
optikum dilapisi oleh pia dan araknoid dan memiliki vaskularisasi yang
sangat banyak.Ukuran kiasma optikum diperkirakan memiliki lebar 12
millimeter dan panjang 8 millimeter pada daerah anteroposterior dengan
ketebalan 4 millimeter.
3
Universitas Sumatera Utara
4
Universitas Sumatera Utara
parvocellular (Sel P) dan sel magnocellular (Sel M). Sel P sangat lemah
terhadap interpretasi warna dan mempunyai lapangan reseptor yang kecil
dan sensitivitas kontras yang lemah. Sementara sel M memiliki lapangan
reseptor yang luas dan lebih responsif terhadap cahaya dan pergerakan.
Neurotransmitter yang didapati pada retina adalah glutamat, asam
gamma-aminobutirat (GABA), asetilkolin dan dopamin.20
2. Saraf optik
Secara fisiologis, saraf optik dimulai dari lapisan sel ganglion yang
menyelubungi seluruh retina. Akson darisaraf optik tergantung dari
produksi metabolik badan sel ganglion retina. Transpor aksonal baik
molekul maupun sistem ekstra dan intraseluler memerlukan oksigen yang
cukup tinggi. Hal ini menyebabkan sistem transpor aksonal sangat
sensitif terhadap kejadian iskemik, inflamasi, dan proses kompresi. 20
3. Kiasma optikum
Setelah melewati saraf optik, maka impuls sensoris akan diteruskan
melewati kiasma optikum yang berada dibagian anterior dari hipotalamus
dan dibagian anterior dari ventrikel 3. Dibagian ini akan terjadi
persilangan impuls dari kedua mata baik yang berasal dari daerah medial
maupun lateral.20
4. Traktus optikus
Lateral geniculate nucleus merupakan terminal dari akson yang
berasal dari sel ganglion retina. Bagian ini berada dibawah talamus
posterior. Dibagi menjadi 6 tingkat, yaitu 4 level tertinggi adalah
terminal untuk akson sel P yang mana hal ini untuk meningkatkan
sensitivitas dari sel P. 2 tingkat dibagian bawah merupakan bagian untuk
menerima impuls dari sel M untuk mendeteksi gerakan. Akson yang
berasal dari mata kontralateral memiliki terminal di lapisan 1,4 dan 6.
Sedangkan dibagian kolateral berujung pada lapisan 2,3 dan 5. 20
5
Universitas Sumatera Utara
6
Universitas Sumatera Utara
7
Universitas Sumatera Utara
8
Universitas Sumatera Utara
jelas.Kemungkinan terpapar
benda
berbahaya
juga
harus
dipertimbangkan.Riwayat kelainan mata harus ditelaah untuk
mengetahui penyebab pasti kehilangan kemampuan penglihatan
memang disebabkan oleh trauma.Demikian juga dengan penggunaaan
obat-obatan, pengobatan, dan alergi obat. Luka terbuka menimbulkan
risiko tetanus dan riwayat imunisasi tetanus juga harus ditelaah. 2,6
2. Pemeriksaan Fisik
a. Visus
Penilaian visus merupakan langkah paling mudah dan paling
penting dalam menentukan fungsi visual. Visus merupakan
kemampuan untuk membedakan bagian suatu objek dan
mengidentifikasinya secara utuh. Penilaian visus dapat
menggunakan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan Snellen
Chart dan Bailey-Lovie Chart. Pemeriksaan ini dilakukan dalam
jarak baku, yaitu jarak antara chart dan pasien dalam jarak 6 meter.
Kemudian pasien diminta untuk membaca setiap baris huruf yang
ada.21,22
Nilai visus pada trauma saraf optik tidak langsung sering kali
menurun dengan sangat signifikan.Pada penelitian dengan 56
kasus, semuanya dengan ketidakmampuan untuk melihat setelah
terjadinya trauma saraf optik tidak langsung. Penilaian visus sangat
penting untuk dilakukan pada pasien trauma optik. Nilai visus
dapat bervariasi.2,6,18
b. Pupil
Pada kasus trauma optik neuropati unilateral, ditemukan
kondisi yang memungkinkan untuk ditegakkan diagnosis trauma
optik neuropati yaitu adanya defisit pupil aferen. Defek pupil
aferen dapat dinilai secara kuantitatif dengan menggunakan filter
fotografik densitas normal.Trauma optik neuropati dapat terjadi
unilateral ataupun bilateral. Ditandai dengan adanya relative
afferent pupillary defect (RAPD) dalam kasus TON bilateral yang
simetris. 2,6,18
c. Warna
Pada pemeriksaan ini minta pasien untuk melihat objek
berwarna merah dengan satu mata secara bergantian. Objek ini
dapat dilihat dan diinterpretasikan secara berbeda pada mata yang
bermasalah. Dapat dilihat sebagai warna hitam ataupun coklat.6
Pemeriksaan warna dilakukan untuk menilai sel kerucut
yang masing-masing mempunyai sensitivitas spesifik untuk setiap
gelombang warna yaitu warna biru, merah dan hijau. Pemeriksaan
ini umumnya dilakukan untuk menilai defek kongenital pada ketiga
sel tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan
pada defek warna yang didapat. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu
dengan cara Ishihara, Hardy-Rand-Rittler, City University dan
9
Universitas Sumatera Utara
10
Universitas Sumatera Utara
Diagnosis Banding
Cedera saraf optik dapat disertai oleh cedera mata lainnya. Beberapa
proses yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan adalah aneurisma
vaskular, inlamasi orbita, inflamasi saraf optik, anterior ischemic optic
neuropathy atau penyakit sinus akut dengan keterlibatan daerah orbita.2
Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologis
Pemeriksaan dengan menggunakan pencitraan radiologis
merupakan pilihan terbaik untuk melihat adanya cedera pada saraf
optik.Computed Tomography (CT) scan dan Magneting Resonance
Imaging (MRI) memiliki efek yang sangat bagus dalam mendiagnosa
trauma optik. CT scan dalam kejadian trauma optik neuropati
memperlihatkan implikasi patologis spesifik dalam fungsi saraf optik,
termasuk hematoma selubung saraf optik dan dugaan kista araknoid. 2,9,10
Penggunaan CT scan berada jauh di atas MRI untuk melihat garisgaris fraktur tulang, sedangkan MRI lebih baik digunakan untuk melihat
jaringan-jaringan lunak yang berada di daerah orbita, salah satunya untuk
menilai trauma kiasma. Terkadang kedua pemeriksaan ini diperlukan
secara bersamaan untuk menilai keadaan klinis. Namun, MRI harus
dilakukan setelah CT scan untuk menghindari apabila ada benda asing
yang mengandung logam di daerah orbital.2,9,10
Penggunaan teknik imaging non invasif berupa optical coherence
tomography (OCT) memberikan gambaran resolusi tinggi dan melintang
dari retina manusia. Digunakan untuk memperkirakan ketebalan lapisan
retina. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan kerusakan akson dari
lapisan fiber saraf retina dan makula pada kasus glaukoma dan cedera
saraf optik.19
11
Universitas Sumatera Utara
Tatalaksana
Penanganan trauma optik neuropati dapat dilakukan dengan terapi
farmakologi maupun terapi pembedahan. Dalam sebuah penelitian mengenai
trauma optik neuropati melaporkan bahwa 0-48% kasus mempunyai
prognosis yang baik tanpa pengobatan, 44-82% mengalami perbaikan
dengan pengobatan steroid dosis tinggi dan 37-71% mengalami perbaikan
dengan terapi pembedahan untuk dekompresi dari saraf optik.2,18
1. Konservatif
Penanganan trauma optik neuropati belakangan ini dilakukan
hanya dengan pendekatan konservatif. Di Inggris, ditemukan bahwa
65% oftalmologis melakukan hal ini, dengan mempertimbangkan
perbaikan visus dan kemampuan penglihatan.18
2. Farmakologi
Dalam beberapa dekade belakangan, penggunaan kortikosteroid
dosis tinggi dalam kasus-kasus trauma merupakan pilihan utama.Hal ini
berdasarkan pada kerja kortikosteroid yang menurunkan angka sintesis
protein.Sehingga nantinya diharapkan radikal bebas yang secara
patologis dapat merusak sel-sel tubuh dapat dicegah. Penggunaan
kortikosteroid ini mulai dilakukan sejak tahun 1980 berdasarkan hasil
penelitian yang mengemukakan bahwa obat ini memiliki sifat
antioksidan dan penghambat munculnya radikal bebas.2,18
Penelitian yang telah dilakukan dalam memperkenalkan
penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam pengobatan trauma optik
neuropati didasarkan dari efek yang bermanfaat yang didapati pada
penelitian eksperimental cedera sistem saraf pusat.Dalam hal ini,
kombinasi pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan pembedahan
memberikan hasil yang baik pada penderita trauma optik
neuropati.Pemberian kortikosteroid yang dianjurkan untuk pertama kali
adalah deksametason dengan dosis 3 5 mg per kilogram berat badan
perhari.Namun sejumlah penelitian tidak menunjukkan baik itu terapi
kortikosteroid dosis tinggi, pembedahan maupun kombinasi
kortikosteroid dosis tinggi dengan pembedahan menunjukkan
penanganan yang lebih baik satu sama lain.Penelitian dengan
menggunakan metilprednisolon intravena dengan pemberian 1 gram
selama 3 hari pada pasien dengan trauma optik neuropati terbukti
efektif dalam meningkatkan visus penderita 2,4
Pada sebuah penelitian dengan lebih dari 10.000 orang dewasa
yang mengalami cedera kepala dan dengan Glasgow Coma Score
dibawah 14, diarahkan untuk mendapatkan 48jam infus kortikosteroid
(metilprednisolon). Hasil yang didapatkan ternyata memiliki
kemunduran kemampuan visual dibandingkan dengan kelompok yang
tidak mendapatkan terapi sama sekali.7
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi pada kasus TON dalam 8
jam pertama setelah cedera dan dekompresi pembengkakan saraf optik
oleh karena penekanan akibat fragmen tulang untuk menunda
kehilangan kemampuan penglihatan memiliki efek yang sangat
12
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
13
Universitas Sumatera Utara
14
Universitas Sumatera Utara
14. Awan AH. Traumatic Optic Neuropathy. Pak J Ophthalmol. 2007; 23(2).
15. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology.
17th ed. New York: Lange; 2007.
16. Kuo MT, Teng ICLMC. Serial Follow-Up in Traumatic Optic Neuropathy
Using Scanning Laser Polarimetry and Visual Field Testing. Chang Gung
Medical Journal. 2005 August; 28(8).
17. Ahmad S, El-Sherbiny N, El-Sherbini A, Fulzele S, Liou GI. Adenosine
Kinase as A Therapeutic Target in Traumatic Optic Neuropathy. In
International Genomic Medical Conference; 2013; Jeddah.
18. Lee V, Ford R, Xing W, Bunce C, Foot B. Surveilance of Traumatic Optic
Neuropathy in The UK. Eyenet. 2010; 24.
19. Cunha LP, Cunha LVFC, Malta RFS, Monteiro MLR. Comparison Between
Retinal Nerve Fiber Layer and Macular Thickness Measured with OCT
Detecting Progressive Axonal Loss Following Traumatic Optic Neuropathy.
Arq Bras Oftalmol. 2009; 72(5).
20. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Neuro-Ophtalmology Singapore: American
Academy of Ophtalmology; 2012.
21. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology A Systematic Approach. 6th ed.
Philadelphia: Elsevier Limited; 2007.
22. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American
Handbook of Ophtalmology. 1st ed. New York: Oxford University Press;
2011.
23. Carta A, Ferrigno L, Salvo M, Bianchi-Marzoli S, Boschi A, Carta F. Visual
Prognosis After Indirect Traumatic Optic Neuropathy. Journal of
Neurosurgery Psychiatry. 2003; 74.
15
Universitas Sumatera Utara