Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan

adalah

usaha

untuk

menciptakan

kemakmuran

dan

kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil pembangunan harus dapat dinikmati
seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan
makmur. Sebaliknya berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat,
yang berarti pembangunan harus dilaksanakan seluruh rakyat secara merata oleh
segenap lapisan masyarakat. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional
yang diatur dalam undang-undang No. 17 Tahun 2007 adalah dokumen perencanaan
pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintah
Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan
nasional untuk masa 20 tahun ke depan yang mencakupi kurun waktu mulai dari
tahun 2005 hingga tahun 2025 yang disepakati bersama, sehingga seluruh upaya yang
dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling
melengkapi satu dengan lainnya didalam satu pola sikap dan pola tindak.
Pembangunan di bidang fisik dewasa ini perkembangannya seiring dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembangunan fisik seperti gedung sekolah, jalan tol, rumah sakit dan lain-lain
termasuk pembangunan jaringan telekomunikasi seperti tower adalah obyek dari
1

Universitas Sumatera Utara

perjanjian, khususnya perjanjian pemborongan bangunan. Perjanjian pemborongan


bangunan dilihat dari sistem hukum merupakan salah satu komponen dari hukum
bangunan (bouwrecht). Bangunan di sini mempunyai arti yang luas, yaitu segala
sesuatu yang didirikan di atas tanah. Dengan demikian yang dinamakan hukum
bangunan

adalah

seluruh

perangkat

peraturan

perundang-undangan

yang

berhubungan dengan bangunan, meliputi pendirian, perawatan, pembongkaran,


penyerahan, baik yang bersifat perdata maupun publik.1
Di Indonesia proyek-proyek pembangunan fisik tersebut datang dari
pemerintah, swasta domestik maupun asing. Sedangkan pelaksanaannya hanya
sebagian kecil yang ditangani pemerintah, selebihnya sangat diharapkan peran serta
pihak swasta baik sebagai investor maupun sebagai kontraktor. Dalam hal ini
kontraktor bekerja dengan sistem pemborongan pekerjaan. Itulah sebabnya kontraktor
disebut rekanan karena kontraktor dianggap sebagai rekan/mitra kerja. Untuk
memberikan kesempatan berpartisipasi serta memberikan kesempatan berusaha bagi
swasta maka dapat dibedakan darimana asal pekerjaan pemborongan pekerjaan
tersebut, yaitu :2
a. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang berasal dari pemerintah untuk pengadaan
barang dan jasa dilakukan melalui proses lelang.
b. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang berasal dari swasta yang diperoleh
langsung sebagai hasil perundingan antara pemberi tugas (swasta) dengan
1

Pasal 1601 huruf (b) KUH Perdata.


Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
2

Universitas Sumatera Utara

pemborong (swasta). Borongan pekerjaan yang berasal dari pihak swasta dan
dikerjakan oleh perusahaan jasa konstruksi (pemborong) tersebut perlu dibuat
suatu perjanjian atau kontrak yang mengikat kedua belah pihak.
PT. Telkomsel sebagai salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa
telekomunikasi, juga sering kali harus bekerjasama dengan pihak lain dalam proses
pembangunan fisik, misalnya pembangunan tower dengan perusahaan mitra kerja.
Pembangunan tower telkomsel dimaksudkan untuk peningkatan kualitas dan
kwantitas pelayanan sekaligus pula sebagai pengembangan dan perluasan jaringan
komunikasi telkomsel agar dapat digunakan secara lebih efektif dan efesien oleh para
pelanggannya. Tower telkomsel adalah suatu bangunan yang berupa tiang pemancar
komunikasi yang berfungsi untuk menangkap sinyal frekuensi radio agar dapat
memperlancar jaringan komunikasi antar sesama pelanggan telkomsel. Jangka waktu
pelaksanaan pembangunan tower telkomsel sesuai dengan perjanjian pada umumnya
adalah 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Perintah Kerja (SPK). Dalam
pelaksanaan pembangunan tower tersebut ada faktor resiko yang harus dihadapi baik
oleh telkomsel maupun oleh developer (pelaksana pembangunan) resiko tersebut
dapat berupa radiasi sinyal yang berasal dari tower yang cukup kuat yang dapat
membahayakan masyarakat disekitarnya, resiko rubuhnya tower baik pada saat
pelaksanaan pembangunan maupun pada saat telah selesainya pelaksanaan
pembangunan tower tersebut. Resiko yang dihadapi tersebut harus dapat
diminimalisir oleh pihak telkomsel maupun oleh developer. Pada saat pelaksanaan
pekerjaan pihak developer meminimalisir resiko bahaya dengan cara menggunakan

Universitas Sumatera Utara

bahan-bahan material bangunan yang telah sesuai dan diakui berdasarkan standard
internasional. Di samping itu digunakan juga alat anti radiasi pada tower tersebut
sehingga radiasi yang ditimbul dari tower dapat diminimalisir. Pihak telkomsel dalam
mengantisipasi rubuhnya tower wajib mengasuransikan tower tersebut. Apabila tower
yang telah terpasang dan telah selesai pembangunan rubuh maka penggantian rugi
dapat dilaksanakan oleh pihak asuransi dalam mengkafer seluruh kerugian yang
ditimbulkan oleh rubuhnya tower telkomsel tersebut. Pemilihan lahan/bangunan
tempat didirikannya tower telkomsel didasarkan kepada perhitungan kwantitas sinyal
frekuensi yang dihasilkan ditempat tersebut. Semakin banyak sinyal frekuensi yang
dihasilkan disuatu lahan/bangunan maka semakin strategis pendirian tower di lokasi
tersebut. Dengan demikian pendirian tower telekomunikasi tidak dapat dilakukan
disembarang tempat karena apabila pembangunan tower telekomunikasi tersebut
dilakukan di lokasi yang tidak memiliki sinyal frekuensi yang baik maka akan
berdampak sia-sia dalam peningkatan kualitas dan kuantitas jaringan telekomunikasi.
Pelaksanaan perjanjian pembangunan tower telekomunikasi ini tunduk
kepada hukum perjanjian, khususnya perjanjian pemborongan. Pembangunan tower
merupakan proses pembangunan jaringan telekomunikasi. Berdasarkan Pasal 1 angka
(6) Undang-undang NO. 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi dinyatakan bahwa
jaringan

telekomunikasi

adalah

rangkaian

perangkat

telekomunikasi

dan

kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi. Selanjutnya di dalam


Pasal 8 undang-undang diatur bahwa penyelenggaraan jaringan telekomunikasi bisa
dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah

Universitas Sumatera Utara

(BUMD), badan usaha swasta atau koperasi. Oleh karena itu, pembangunan tower ini
bisa dilakukan oleh perusahaan mitra kerja, baik pihak swasta maupun pemerintah.
Perjanjian pemborongan bangunan sebagaimana disebutkan di atas, tunduk
pada hukum perjanjian secara umum yang diatur oleh KUHPerdata Buku III tentang
Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang
mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihakpihak tertentu.3 Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan
kedalam hukum tentang diri seseorang dan hukum kekayaan karena hal ini
merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan
dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang
dinilai dengan uang.4
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian pemborongan
disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 huruf (b)
KUH Perdata, pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan nama pihak yang
satu (si pemborong), mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi
pihak yang lain (pihak yang memborongkan), dengan menerima suatu harga yang
ditentukan. Jadi dalam perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak yang terkait
dalam perjanjian pemborongan yaitu pihak kesatu disebut pihak yang memborongkan
atau prinsipal dan pihak kedua disebut pihak pemborong kontraktor.5

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1979), hal. 49.
R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata=Burgerlijk
Wetboek (terjemahan), Cet. 28, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996), hal. 323.
5
FX. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1995), hal. 3
4

Universitas Sumatera Utara

Secara garis besar, tatanan hukum perdata Indonesia memberikan peluang


yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk saling mengadakan perjanjian tentang apa
saja yang dianggap perlu bagi tujuannya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH
Perdata yang menyatakan perlu bagi tujuannya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1338
KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagaimana undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Mensikapi hal
tersebut R. Subekti menjelaskan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang
berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat
mereka yang membuatnya seperti undang-undang. Atau dengan perkataan lain,
perjanjian tersebut merupakan suatu undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila tidak mengadakan aturanaturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat tersebut.6
Menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang
berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal.7
Menurut Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal, perjanjian adalah suatu
persetujuan antara dua orang atau lebih, tidak hanya memberikan kepercayaan tetapi
secara bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa
mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka.8 Hubungan kedua orang yang

6
7

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1987), hal. 14.


Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, Cet. 1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006),

hal. 1.
8

Salim, H.S, Op.cit.

Universitas Sumatera Utara

bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban
kedua belah pihak atas suatu prestasi.
Salim, H.S, perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang
satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan. Perlu diketahui
bahwa subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum
yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya.9
Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu hubungan hukum
kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada
satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain
untuk menunaikan prestasi. Dari pengertian ini dapat dijumpai beberapa unsur antara
lain hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara
dua orang (person) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada
pihak lain tentang suatu prestasi.10
Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi di atas adalah :11
a. Adanya hubungan hukum
Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
b. Adanya subjek hukum
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban.
9

Ibid, hal. 17.


M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cet. II, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 6.
11
J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya, 1992), hal. 322.
10

Universitas Sumatera Utara

c. Adanya prestasi
Prestasi terdiri atas melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat
sesuatu.
d. Dibidang harta kekayaan
Perjanjian pemborongan secara khusus di dalam KUH Perdata disebut dengan
istilah pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 huruf (b) KUH Perdata,
pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan nama pihak yang satu
(si pemborong), mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi
pihak yang lain (pihak yang memborongkan), dengan menerima suatu harga yang
ditentukan. Jadi dalam perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak yang terkait
dalam perjanjian pemborongan yaitu pihak kesatu disebut pihak yang memborongkan
atau prinsipal dan pihak kedua disebut pihak pemborong kontraktor.12
Perjanjian pemborongan antara pihak pemborong dengan perorangan sebagai
pemberian borongan dibuat oleh kedua belah pihak, sedangkan perjanjian
pemborongan antara pemborong dan pemerintah sebagai pemberian borongan sebagai
peraturan

standar,

yaitu

peraturan

tentang

syarat-syarat

umum

perjanjian

pemborongan yang berlaku sejak tahun 1941, algemene vooawaarden voor de


uitvoering bij van openbare werken in Indonesia (selanjutnya disingkat dengan AV),

12

FX. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1995), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

yang terjemahannya adalah syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan


pekerjaan umum di Indonesia.13
Perjanjian pemborongan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang jasa konstruksi bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi tahap
perencanaan dan tahap pelaksanaan beserta pengawasannya yang masing-masing
tahap dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan, pengerjaan, dan pengakhiran. Di
dalam Keputusan Presiden No. 29 Tahun 1984 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (selanjutnya disingkat Keppres Nomor 29
Tahun 1984), bahwa perjanjian pemborongan itu harus dengan harga yang pasti.
Perjanjian pemborongan atas dasar cost plus fee dilarang. Cost plus fee adalah
biaya pemborongan yang jumlahnya tidak dinyatakan dengan pasti terlebih dahulu,
melainkan akan ditetapkan kemudian dengan menghitung biaya ditambah dengan
upahnya (keuntungannya).14
Perjanjian pemborongan khususnya dalam pembangunan tower ini akan
menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara PT. Telkom dengan pihak
perusahaan mitra kerja selaku pemborong pekerjaan tersebut. Hubungan hukum
antara kedua belah pihak adalah merupakan hubungan hukum keperdataan, yang

13

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan,


(Yogyakarta : PT. Liberty, 1982), hal. 54.
14
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1986),
hal. 96.

Universitas Sumatera Utara

10

tunduk pada hukum perjanjian atau hukum kontrak, sehingga kedua belah pihak
mempunyai posisi dan kedudukan yang sama.15
Hubungan hukum antara kedua belah pihak (PT. Telkom dan perusahaan
mitra kerja) dalam hal pemborongan pekerjaan (pembangunan Tower milik
PT. Telkomsel) sebagaimana tersebut di atas, tidak terlepas dari harus terpenuhinya
syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian seperti yang tercantum dalam Pasal
1320 KUHPerdata, antara lain sebagai berikut :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu
perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya.
Banyak aspek yuridis yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak dalam
perjanjian pemborongan ini khususnya yang terkait dengan tanggung jawab para
pihak. Permasalahan mungkin saja terjadi misalnya menyangkut batas waktu

15

Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian
(beginsel der contracts vrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang
menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari
pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat
ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar
ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, bahkan
pada umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam
KUHPerdata. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).

Universitas Sumatera Utara

11

penyelesaian pekerjaan sesuai kontrak. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakan sesuai
perjanjian, maka tentu akan menghambat penyelesaian pekerjaan yang dilaksanakan.
Selain itu permasalahan juga dapat timbul dari pihak pemberi pekerjaan
pemborongan bangunan (dalam hal ini PT. Telkomsel) menyangkut penyelesaian
pembayaran yang telah terjadwal sebagaimana yang telah diperjanjikan, yang
mungkin saja bisa terjadi keterlambatan. Selain masalah-masalah yang umum yang
telah disebutkan di atas, mungkin juga terjadi masalah-masalah lain, seperti
kesesuaian pembangunan dengan rancangan (design pembangunan), ukuran
bangunan, kualitas bangunan dan sebagainya. Oleh karena hal-hal tersebut di atas,
penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai aspekaspek yuridis dalam perjanjian pembangunan Tower PT. Telkomsel dengan
perusahaan mitra kerja di dalam sebuah tesis yang berjudul : Tinjauan Yuridis
Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Tower Antara PT. Telkomsel Dengan
Perusahaan Mitra Kerja.

B. Perumusan Masalah
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah, sebagai berikut :
1. Apakah hubungan hukum yang timbul antara telkomsel dengan perusahaan mitra
kerja berdasarkan perjanjian sewa-menyewa lahan/bangunan dan perjanjian
pembangunan tower telekomunikasi telah sesuai dengan persyaratan mengenai
hukum perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ?

Universitas Sumatera Utara

12

2. Apakah pelaksanaan perjanjian pembangunan tower telekomunikasi antara


telkomsel dengan mitra kerja telah sesuai dengan ketentuan dan prosedur hukum
berdasarkan Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi ?
3. Hambatan-hambatan apa saja yang dapat terjadi pada pelaksanaan perjanjian
pembangunan Tower PT. Telkomsel dengan perusahaan mitra kerja tersebut, dan
bagaimana cara mengatasi hambatan tersebut ?

C. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa
penelitian tentang Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Tower
PT. Telkomsel dengan perusahaan mitra kerja belum pernah dilakukan, baik dalam
judul, topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini adalah merupakan hal
yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuwan, yaitu jujur, rasional,
objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya
membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apakah hubungan hukum yang timbul antara PT. Telkom
dengan perusahaan mitra kerja telah sesuai dengan persyaratan mengenai hukum
perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Universitas Sumatera Utara

13

2. Untuk mengetahui pengaturan hukum atas pembangunan tower telekomunikasi


di Indonesia berdasarkan undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang
telekomunikasi.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dapat terjadi pada
pelaksanaan perjanjian pembangunan Tower PT. Telkomsel dengan perusahaan
mitra kerja tersebut, dan bagaimana cara mengatasi hambatan tersebut.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi
yaitu :
1. Secara Teoritis
Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat dan masukan dalam upaya penegakan hukum perjanjian
khususnya perjanjian pemborongan kerja sehingga akan lebih menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan bagi para pihak yang terkait.
2. Secara Praktis
a. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah
dalam hal merumuskan kebijakan dan peraturan tehnis terkait dengan
perjanjian kerja pemborongan bangunan, yang selama ini masih tunduk pada
hukum perdata.
b. Bagi Dunia Pendidikan dan Akademisi

Universitas Sumatera Utara

14

Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi dunia pendidikan dan


akademisi khususnya untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman
terkait dengan hukum perjanjian pemborongan bangunan sehingga dapat lebih
mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan.
c. Bagi Masyarakat
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya
dalam rangka menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat
yang sebagai pihak yang terlibat dalam perjanjian pemborongan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi


1. Kerangka Teori
Kerangka teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk
mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek
masalah yang diteliti dengan cara mengkontruksi keterkaitan antara konsep secara
deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini
berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan
sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum
yang dianggap paling relevan.
Teori yang digunakan untuk menganalisa tesis ini adalah teori keadilan yang
dipelopori oleh Aristoteles. Teori keadilan menyatakan bahwa setiap orang/pihak
wajib memperoleh hak dan kewajibannya secara seimbang (proporsional) dalam
suatu kesepakatan perjanjian. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan

Universitas Sumatera Utara

15

kesepakatan maka perlu dilihat apa itu perjanjian, dapat dilihat pasal 1313
KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal ini, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Sebab Kesepakatan atau kata sepakat merupakan bentukkan atau merupakan unsur
dari suatu perjanjian (Overeenkomst) yang bertujuan untuk menciptakan suatu
keadaan dimana pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian mencapai suatu
kesepakatan atau tercapainya suatu kehendak.16
Kata sepakat sendiri bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dimana
pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian mencapai suatu kehendak. Menurut
Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah:17
suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.
Menurut Riduan Syahrani bahwa:18
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung bahwa para pihak yang
membuat perjanjian telah sepakat atau ada persetujuan kemauan atau menyetujui
kehendak masing-masing yang dilakukan para pihak dengan tiada paksaan,
kekeliruan dan penipuan.

16

Pasal 1320 KUHPerdata


Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), hl. 16.
18
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2000),
hal. 214.
17

Universitas Sumatera Utara

16

Jadi yang dimaksud dengan kesepakatan adalah penyesuaian pernyataan


kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Tentang kapan
terjadinya persesuaian pernyataan, ada empat teori, yakni:19
1.

Teori Pernyataan (uitingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat


pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran
itu.

2.

Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang


menerima penawaran mengirimkan telegram.

3.

Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang


menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum
diterimanya (tidak diketahui secara langsung).

4.

Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang


menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Azas Konsensualitas mempunyai pengertian yaitu pada dasarnya perjanjian

terjadi sejak detik tercapainya kesepakatan, dimana perjanjian tersebut harus


memenuhi persyaratan yang ada, yaitu yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Syarat sahnya suatu perjanjian seharusnya ditandai dengan adanya kata
sepakat secara suka rela dari para pihak. Pasal 1321 KUHPerdata yang mengatakan

19

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2003), hal. 33-41.

Universitas Sumatera Utara

17

bahwa: Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau
diperbolehnya dengan paksaan atau tipuan.20
Dengan demikian jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat-syarat
subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan jika suatu perjanjian
yang dibuat oleh kedua pihak tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian itu
adalah batal demi hukum.
Saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditor
dan debitur, adakalanya tidak ada persesuaian. Mengenai ketidaksesuaian ini ada tiga
teori yang menjawab, yaitu:
1. Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian
antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi.
2. Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang
tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian
adalah pernyataan. Jika terjadinya perbedaan antara kehendak dan pernyataan
maka perjanjian tetap terjadi.
3. Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan
perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang
menimbulkan perjanjian.
Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi ketiga teori di atas
sebagai berikut:

20

Subekti dan Titrosudibio, KUHPerdata, (Jakarta: Paramita), 1974.

Universitas Sumatera Utara

18

1. Dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak yang menganggap perjanjian


terjadi jika tidak terjadi persesuaian, pemecahannya: pihak lawan mendapat ganti
rugi, karena pihak lawan mengharapkannya.
2. Dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak, hanya pelaksanaanya kurang
ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.
3. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standart contract), yaitu
suatu perjanjian yang didasarkan kepada ketentuan umum didalamnya. Biasanya
dalam bentuk formulir.
Dalam Burgelijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh R.
Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana
hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak
dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan kedalam
Hukum tentang Diri Seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal ini merupakan
perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan
hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai
dengan uang.21

21

R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata = Burgelijk


Wetboek (terjemahan), Cet. 28, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996), hal. 323.

Universitas Sumatera Utara

19

Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak,
tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian
seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu
perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya.
Istilah hukum perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu
contract

law,

sedangkan

dalam

bahasa

Belanda

disebut

dengan

istilah

overeenscomrecht.22 Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang


berjanji kepada seorang lain atau diaman dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.23 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua
orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya,
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

22

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet II, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hal. 3.
23
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XII, (Jakarta: PT. Intermasa, 1990), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

20

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain. Dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka
hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah
hubungan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena karena
timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan
kewajiban merupakan beban. Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum
perjanjian dapat dikemukakan sebagai berikut:24
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis
dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum
yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual
beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum
adat.
2. Subyek hukum
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam

24

Salim HS, Op Cit, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

21

hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang
berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3. Adanya Prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu
prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:
a. Memberikan sesuatu;
b. Berbuat sesuatu;
c. Tidak berbuat sesuatu.
4. Kata sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian
seperti dimaksud di atas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus).
Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
5. Akibat hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
Dalam Pasal 1338 KUHPerdata disebutkan bahwa semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selama dengan sepakat kedua
belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu.
Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang
dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas

Universitas Sumatera Utara

22

kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (consensualisme),


asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas
kepribadian (personality). Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas
dimaksud.
1.

Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)


Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata, yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk:25
a.

Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b.

Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c.

Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta

d.

Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

2.

Asas Konsensualisme (concensualism)


Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata.
Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah
adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya diadakan secara formal, melainkan
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah

25

Tirtodiningrat, K.R.T.M, Ihtisar Perdata dan Hukum Dagang, (Jakarta: Pembangunan,


1966), hal. 83.

Universitas Sumatera Utara

23

persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman.
Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih
dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.
3.

Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)


Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda

merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undangundang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja.
Dalam hukum gereja itudisebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada
kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini
mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak
merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun,
dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum,
yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat
saja.

Universitas Sumatera Utara

24

4.

Asas Itikad Baik (good faith)


Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang

berbunyi: Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini merupakan
asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi
dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap
dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak
pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Berbagai putusan
Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat
diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol
adalah kasus sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan
turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Parang Dunia I.26
5.

Asas Kepribadian (personality)


Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang

akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan


saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315
KUHPerdata menegaskan: Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan ini sudah jelas
bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan
26

Ibid, hal, 11.

Universitas Sumatera Utara

25

dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: Perjanjian hanya berlaku antara
pihak yang membuatnya. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat
oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian,
ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317
KUHPerdata yang menyatakan: Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan
pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini
mengkontruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk
kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di
dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri,
melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang
memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317
KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal
1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang
yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317
KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal.
Sebagaimana di sebutkan di atas, perjanjian pembangunan tower PT.
telkomsel dengan Perusahaan mitra dikategorikan ke dalam perjanjian pemborongan.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian pemborongan disebut
dengan istilah Pemborongan Pekerjaan. Menurut Pasal 1601 huruf (b) KUHPerdata,
Pemborongan Pekerjaan adalah persetujuan dengan nama pihak yang satu
(sipemborong), mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak

Universitas Sumatera Utara

26

lain (pihak yang memborongkan), dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Jadi dalam Perjanjian Pemborongan hanya ada dua pihak yang terkait dalam
perjanjian pemborongan yaitu pihak kesatu disebut pihak yang memborongkan atau
prinsipal dan pihak kedua disebut pihak pemborong kontraktor.27
Menurut Subekti, pemborongan pekerjaan (aanneming van werk) ialah suatu
perjanjian, dimana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya,
melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula.28
Pemborongan pekerjaan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak
yang menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lainnya,
atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan. Disini tidaklah penting
bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaiman pihak yang memborong
pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil dari pekerjaan
tersebut, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik (mutu dan
kwalitas/kwantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Perjanjian pemborongan bangunan dapat dilaksanakan secara tertutup, yaitu
antara pemberi tugas dan kontraktor atau terbuka yaitu melalui pelelangan umum atau
tender. Lain halnya dengan pemborongan bangunan milik pemerintah dimana harus
diadakannya pelelangan. Kontrak kerja bangunan dapat dibedakan dalam 2 (dua)
jenis yaitu:

27
28

FX. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995), hal, 3.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Bandung: PT. Intermasa, 1987), hal. 174.

Universitas Sumatera Utara

27

1. Kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, sedangkan bahan-bahannya


disediakan oleh pemberi tugas.
2. Kontraktor melakukan pekerjaan dan juga menyediakan bahan-bahan bangunan.
Dalam hal kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, jika barangnya
musnah sebelum pekerjaan diserahkan, maka ia bertanggung jawab dan tidak dapat
menuntut harga yang diperjanjikan kecuali musnahnya barang itu karena suatu cacat
yang terdapat di dalam bahan yang disediakan oleh pemberi tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1606 dan 1607 KUHPerdata.
Menurut Subekti, Undang-Undang Membagi perjanjian untuk melakukan
pekerjaan dalam tiga macam yaitu:
1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, adalah perjanjian dimana satu pihak
menghendaki dari pihak lainnya dilakukan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan,
untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan
untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali tergantung pada pihak lainnya.
2. Perjanjian kerja/perburuhan, adalah perjanjian diaman pihak yang satu, si buruh
mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak lainnya yaitu si majikan, untuk
suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.
3. Perjanjian pemborongan pekerjaan, adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si
pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak
yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.29

29

R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 57.

Universitas Sumatera Utara

28

Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip dengan


perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa, yaitu sama-sama
menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan
pihak lain dengan pembayaran tertentu. Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah
bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan antara
buruh dengan majikan. Pada pemborongan bangunan dan perjanjian melakukan jasa
tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya
secara mandiri.30
Ketentuan pemborongan pada umumnya diatur dalam Pasal 1601 sampai
dengan

Pasal 1617 KUHPerdata. Perjanjian pemborongan bangunan juga

memperhatikan

berlakunya

ketentuan-ketentuan

perjanjian

untuk

melakukan

pekerjaan, khususnya bagi bangunan yang diatur dalam KUHPerdata yang berlaku
sebagai hukum pelengkap peraturan tersebut pada umumnya mengatur tentang hakhak dan kewajiban pemborongan yang harus diperhatikan baik pada pelaksanaan
perjanjian, dan berakhirnya perjanjian. Pemborong bertanggungjawab dalam jangka
waktu tertentu, pada masa ini pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti
adanya cacat ataupun kegagalan bangunan. Dalam prakteknya pemborong
bertanggungjawab sampai masa pemeliharaan sesuai dengan tertulis dikontrak.
Menurut Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa
Konstruksi : kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa

30

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op cit, hal. 52.

Universitas Sumatera Utara

29

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir
pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil, artinya perjanjian pemborongan
lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, yaitu pihak yang
memborongkan dengan pihak pemborong mengenai suatu karya dan harga
borongan/kontrak. Dengan adanya kata sepakat tersebut, perjanjian pemborongan
mengikat kedua belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian
tanpa persetujuan pihak lainnya.
Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormurij) artinya perjanjian
pemborongan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Dalam prakteknya,
apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil, biasanya
perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian
pemborongan dengan biaya agak besar maupun besar, perjanjian pemborongan dibuat
secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta outentik (akta
notaris).
Menurut cara terjadinya perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dibedakan
dalam:
1. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil pelelangan atas
dasar penawaran yang diajukan.
2. Perjanjian pemborongan pekerjaan atas dasar penunjukkan
3. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil perundingan
antara pemberi tugas dengan pemborong.

Universitas Sumatera Utara

30

Sedangkan menurut cara penentuan harganya perjanjian pelaksanaan


pemborongan itu dapat dibedakan atas 3 bentuk utama sebagai berikut:
1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Disini harga
pemborongan telah ditetapkan secara pasti, ialah baik mengenai harga kontrak
maupun harga satuan.
2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga umum. Disini harga borongan
diperhitungkan secara keseluruhan.
3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar satuan (unit price), yaitu harga
yang diperhitungkan untuk setiap unit. Disini luas pekerjaan ditentukan menurut
jumlah perkiraan jumlah unit.
4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost plus
fee). Disini pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan jumlah biaya
yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya. Pada
umumnya pemborongan pekerjaan sektor dikenal dua prosedur pemilihan
pemborongan, yaitu:31
a. Pemilihan kontraktor secara negosiasi
Melalui sistem negoisasi, pemilihan kontraktor tidak dilakukan dengan suatu
tender tertentu, akan tetapi pihak pemilik pekerjaan bernegoisasi langsung
dengan pihak pemborong untuk memastikan apakah kontraktor tersebut dapat
dipilih untuk mengerjakan proyek yang bersangkutan. Sehingga prosedur
negoisasi ini praktis lebih bersifat informal. Dalam hal ini pihak pemilik
31

Ibid, hal. 59-60.

Universitas Sumatera Utara

31

pekerjaan mengontak satu atau lebih pemborong yang menurut penilaiannya


mampu

mengerjakan

persyaratan-persyaratan

pekerjaan
untuk

itu.

dimaksud,
Biasanya

sambil
pihak

menginformasikan
pemilik

pekerjaan

memintakan pihak pemborong untuk memasukkan juga penawaran kepada


pihak pemilik pekerjaan.
b. Pemilihan kontraktor secara tender
Ada dua macam tender yang lazim dilakukan dalam praktek, yaitu pertama
sistem tender terbuka, pada sistem ini tender mengundang semua pihak yang
berkepentingan untuk berpartisipasi dalam tender tersebut, dalam hal ini dapat
diumumkan dengan cara pemasangan iklan dimedia massa. Kemudian tender
terbatas, yaitu hanya beberapa pihak tertentu saja untuk berpartisipasi dalam
tender tersebut. Tentu saja sungguh pun sistem tender ini terkesan formal
dengan dokumentasi yang lebih rumit akan tetapi sistem ini mengandung
manfaat yang lebih nyata, antara lain dengan semakin banyaknya pihak yang
berpartisipasi dalam tender tersebut, tentu akan dikemukakan semakin banyak
pilihan yang pada akhirnya akan menemukan kontraktor yang terbaik.
Isi perjanjian pemborongan pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Luasnya pekerjaan yang harus dilaksanakan dan memuat uraian tentang
pekerjaan dan syarat-syarat pekerjaan yang disertai dengan gambar (bestek)
dilengkapai dengan uraian tentang bahan material, alat-alat, dan tenaga kerja
yang dibutuhkan.
2. Penentuan tentang harga pemborongan.

Universitas Sumatera Utara

32

Mengenai jangka waktu penyelesaian sengketa


3. Mengenai sanksi dalam hal terjadinya wanprestasi
4. Tentang resiko dalam hal terjadi Overmacht
5. Penyelesaian jika terjadi perselisihan
6. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan.
Perjanjian pemborongan juga mengenal jaminan. Macam-macam jaminan
dalam perjanjian pemborongan adalah Bank/Garansi Bank/Jaminan Bank.
Didalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 80 Tahun 2003
disebutkan bahwa terhitung sejak diterbitkannya surat keputusan penetapan penyedia
barang/jasa,

penyedia

barang/jasa

diwajibkan

menyerahkan

surat

jaminan

pelaksanaan sebesar 5 % (lima persen) dari nilai kontrak kepada pengguna


barang/jasa. Surat jaminan adalah jaminan tertulis yang ditawarkan bank
umum/lembaga keuangan lainnya yang diberikan oleh penyedia barang/jasa untuk
menjamin terpenuhinya persyaratan/kewajiban penyedia barang/jasa. Bank garansi
merupakan salah satu bentuk dari penanggungan yang diatur dalam Bab XVII Buku
III KUHPerdata dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850. Apabila terjadi
wanprestasi yang dilakukan oleh debitur/terjamin, maka bank sebagai penanggung/
penjamin menggantikan kedudukan debitur/terjamin, oleh karena itu bank membayar
sejumlah uang kepada kreditur/penerima jaminan. Sejak saat itu menjadi hubungan
antara pihak yang memberikan kredit/kreditur.
Surat jaminan yang dikeluarkan oleh bank umum dapat dikeluarkan baik oleh
bank umum pemerintah maupun swasta, baik devisa, di Indonesia atau bank diluar

Universitas Sumatera Utara

33

Negeri yang direkomendasikan oleh Bank Indonesia jika rekanan berkedudukan di


luar Negeri. Selain surat jaminan tertulis yang dikeluarkan oleh bank umum, dapat
juga dikeluarkan surety bond yaitu jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan
oleh perusahaan asuransi kerugian yang mengakibatkan kewajiban membayar
terhadap pihak yang menerima jaminan apabila yang dijamin cidera janji
(wanprestasi).
2. Kerangka Konsep
Untuk menghindarkan kesalahan dalam memahami konsep-konsep yang
dipergunakan, maka perlu dibuat defenisi operasional atau konsepsi, yaitu sebagai
berikut:
1.

Perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini
menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
secara sebagian.32

2.

Perjanjian Pemborongan, adalah : Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian


dengan mana pihak yang satu, sipemborong, mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang
memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.33

3.

Pembangunan, adalah proses, cara, perbuatan membangun.34

32

Blacks Law Dictionary dalam Salim, H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di
Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal, 16. Inti defenisi yang tercantum dalam Blacks
Law Dictionary adalah bahwa kontrak dilihat sebagai persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan
kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.
33
Pasal 1601 butir (b) KUHPerdata.
34
http://kamusbahasaindonesia.org/pembangunan.

Universitas Sumatera Utara

34

4.

Tower, adalah sarana telekomunikasi yang berfungsi untuk menempatkan antena


pemancar sinyal (jaringan akses) untuk memberikan layanan kepada pelanggan
di sekitar tower tersebut. Selain itu, penggunaan tower telekomunikasi juga
berfungsi untuk menempatkan antena pemancar sinyal transmisi (jaringan
transport dengan menggunakan teknologi microwave) untuk menghubungkan
pelanggan di daerah tersebut dengan sentral (BSC). Jadi bagian yang terpenting
mengapa diperlukan pembangunan tower adalah untuk penempatan antennaantenna tersebut, dimanadibutuhkan ketinggian tertentu untuk dipenuhinya
memancarkan dan menerima sinyal.35

5.

Perusahaan mitra, adalah : perusahaan yang menjadi rekanan kerjasama PT.


Telkomsel.

Perusahaan

tersebut

baru

dapat

diketahui

setelah

tender

dimenangkan.
6.

Kontraktor adalah perusahaan pelaksana pembangunan tower telkomsel yang


diperoleh setelah tender dimenangkan.

7.

Pemborongan pekerjaan, adalah : ialah suatu perjanjian, dimana satu pihak


menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya, melakukan suatu pekerjaan tertentu
dengan pembayaran upah yang ditentukan pula. Pemborongan pekerjaan
merupakan persetujuan antara kedua belah pihak yang menghendaki hasil dari
suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lainnya, atas pembayaran sejumlah
uang sebagai harga hasil pekerjaan. Disini tidaklah penting bagi pihak yang
memborongkan pekerjaan bagaiman pihak yang memborong pekerjaan
35

http://catursinggih.blogspot. Com/2010/02/tower-telekomunikasi_24.html.

Universitas Sumatera Utara

35

mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil dari pekerjaan tersebut,


yang

akan

diserahkan

kepadanya

dalam

keadaan

baik

(mutu

dan

kwalitas/kwantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam


perjanjian.36
8.

Kontrak kerja, adalah : hubungan antara dua pihak yang harus memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:37
a. Adanya pekerja dan pemberi kerja Antara pekerja dan pemberi kerja memiliki
kedudukan yang tidak sama. Ada pihak yang kedudukannya diatas (pemberi
kerja) dan ada pihak yang kedudukannya dibawah (pekerja). Karena pemberi
kerja mempunyai kewenangan untuk memerintah pekerja, maka kontrak kerja
diperlukan untuk menjabarkan syarat, hak dan kewajiban pekerja dan si
pemberi kerja.
b. Pelaksanaan Kerja Pekerja melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang
ditetapkan di perjanjian kerja.
c. Waktu tertentu pelaksanaan kerja dilakukan dalam kurun waktu tertentu yang
telah ditetapkan oleh pemberi kerja.

9.

Adanya upah yang diterima Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari
pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut
suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar

36
37

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.Intermasa, Bandung, 1987, hal 174.


Pasal 1601 (a) KUHPerdata.

Universitas Sumatera Utara

36

suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik
untuk buruh sendiri maupun keluarganya.38

G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada proposal penelitian ini, sebagai
berikut:
a.

Jenis dan Sifat Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif yang didukung oleh penelitian yuridis sosiologi yang berupa wawancara
dengan pihak-pihak terkait yaitu pejabat telkomsel dan pihak mitra kerja yang
mendukung pelaksanaan pembangunan tower telkomsel, yang dalam penelitian ini
memiliki kapasitas sebagai informan dan nara sumber. Penelitian hukum normatif
adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,39
yang berkaitan dengan perjanjian pembangunan Tower PT. Telkomsel dengan
perusahaan mitra kerja. Dalam penelitian hukum normatif yang digunakan adalah
merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada normanorma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.
Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normative disebut juga sebagai
penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis

38

Pasal I huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2004), hal. 14.
39

Universitas Sumatera Utara

37

baik hukum yang tertulis dalam buku (law as written in the book), maupun hukum
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law ias is decided by the judge
throught judicial process).40 Selanjutnya Ronald Dworkin menyebutkan penelitian
seperti ini sebagai penelitian doktrinal (Doctrinal Research), yaitu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is wrritten in the
book), maupun yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is
decided by the judge through Judical Process).41
Adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriftif analitis, yaitu penelitian ini
hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap
permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada
suatu analisis terhadap pelaksanaan perjanjian pembangunan Tower PT. Telkomsel
dengan perusahaan mitra kerja.
b. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitin hukum terdapat beberapa pendekatan. Penelitian ini
menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu:
1.

Pendekatan undang-undang (Statute approach)

40

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,


disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi, Medan,
tanggal 18 Februari 2003, hal.1.
41
Pendapat Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, Metode Penelitian
Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada acara Dialog Interaktif
tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum
USU, 18 Februari 2003, hal.1.

Universitas Sumatera Utara

38

Pendekatan undang-undang (Statute approach) dilakukan dengan menelaah


semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan issue hukum yang
sedang ditangani.
2.

Pendekatan kasus (case approach)


Pendekatan kasus (case approach) ini dilakukan dengan cara menelaah

kontrak/perjanjian pembangunan Tower PT. telkomsel dengan perusahaan mitra


kerja. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi
atau reasoning, yaitu pertimbangan dalam setiap proses hukum yang terjadi di dalam
perjanjian/kontraki kerja.42
c.

Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, didasarkan pada

penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan menghimpun datadata sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh dari :
1.

Bahan Hukum Primer, terdiri dari :


a. Norma dan kaedah dasar;
b. Peraturan dasar;
c. Peraturan perundang-undangan yang terkait perjanjian pemborongan kerja
beserta peraturan-peraturan terkait lainnya.

2.

Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,


majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya
yang relevan dengan penelitian ini.
42

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta Predana Media Group, 2007), hal. 94.

Universitas Sumatera Utara

39

3.

Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer,
sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan
untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.43

d. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library
research), yaitu meneliti sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan
permasalahan dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikelartikel, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, pendapat sarjana dan
bahan-bahan lainnya. Informasi dari para informan yakni pejabat telkomsel dan juga
mitra kerja yang mendukung dalam pelaksanaan pembangunan tower telekomunikasi
telkomsel tersebut. Sepanjang yang relevan dalam penelitian ini juga menjadi bahan
dalam penulisan tesis ini.
e.

Analisis Data
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah

dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal
yang berisi kaidah-kaidah hukum yang terkait dengan pelaksanaan perjanjian
pembangunan tower PT. Telkomsel dengan perusahaan mitra kerja. Kemudian

43

Bambang Sungggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998),


hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soejono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif
suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 41.

Universitas Sumatera Utara

40

membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klsifikasi


tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Proses analisa tidak selalu harus dilakukan secara berurutan, namun dilakukan
berdasarkan data yang terkumpul, kemudian disinkronkan satu dengan yang lain.
Pada bagian akhir, data yang berupa studi kasus ini diteliti dan dianalisis secara
induktif kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung yang
diperoleh, yaitu berupa data-data sekunder melalui penelitian kepustakaan (library
research).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai