Pengertian PDF
Pengertian PDF
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
arthritis,
asma,
diabetes,
alergi,
anemia,
penyakit
Alzheimer,
fibrosis,
karena mekanisme penghambatan COX-1, seperti kerusakan lambung dan ginjal tetapi
belakangan ini dilaporkan bahwa beberapa obat golongan inhibitor selektif terhadap
COX-2 memiliki efek samping terhadap kardiovaskuler (Dogne dkk., 2005). Contohnya
Rofecoxib (Vioxx) dan Valdecoxib (Bextra) telah ditarik dari pasaran karena
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler antara lain serangan jantung dan stroke
(Topol, 2004; Fitzgerald 2004; Dogne dkk., 2005).
Migrasi leukosit merupakan tahap yang penting dalam proses inflamasi (Robert
& Morrow, 2001; Di Rosa , 1979; Spector & Willoughby, 1964). Indometasin diketahui
dapat bekerja melalui mekanisme penghambatan enzim COX dan migrasi leukosit
polimorfonuklear seperti yang terlihat pada Gambar 1 (Caramis & Varonos, 1980;
Vane, 1971). Obat ini merupakan obat yang poten pada pengobatan antiinflamasi, tetapi
pada saat ini obat tersebut sudah mulai jarang digunakan karena tingginya insidensi dan
keparahan efek samping yang ditimbulkan akibat pemberian dalam jangka waktu yang
lama. Obat ini hanya digunakan pada kondisi tertentu jika demam tidak dapat memberi
respon terhadap obat lain (Roberts & Morrow, 2001).
Gambar 1. Grafik penghambatan produksi Prostaglandin (open bars) dan migrasi leukosit
(stippled bars). *P = < 0,1 ; ** P = < 0,01; ***P = < 0,005 (Vane, 1971)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah ekstrak etil asetat daun sukun memiliki aktivitas sebagai
antiinflamasi melalui mekanisme penghambatan migrasi leukosit?
2. Golongan senyawa apakah yang terdapat dalam ekstrak etil asetat daun
sukun?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui aktivitas antiinflamasi dari ekstrak etil asetat daun sukun
melalui mekanisme penghambatan leukosit pada mencit yang diinduksi
oleh thioglikolat.
2. Mengidentifikasi golongan senyawa metabolit yang terdapat dalam ekstrak
etil asetat daun sukun.
D. Tinjauan Pustaka
1. Inflamasi
a. Definisi
Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada
jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein
plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Inflamasi pada
dasarnya merupakan sebuah mekanisme pertahanan terhadap infeksi dan perbaikan
jaringan tetapi terjadinya inflamasi secara terus-menerus (kronis) juga dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dan bertanggung jawab pada mekanisme beberapa
penyakit (Abbas dkk., 2010). Terjadinya proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di
dalam pembuluh darah yang meningkatkan rekrutmen leukosit dan perpindahan cairan
serta protein plasma di dalam jaringan. Proses tersebut merupakan langkah pertama
untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan
yang rusak. Tubuh mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat benda asing dan
mikroorganisme yang masuk tubuh atau jaringan yang rusak tersebut. (Judarwanto,
2012).
b. Mekanisme Inflamasi
Inflamasi dibagi dalam 3 fase, yaitu inflamasi akut (respon awal terhadap cidera
jaringan), respon imun (pengaktifan sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan
untuk merespon organisme asing), dan inflamasi kronis (Katzung, 2004). Proses
inflamasi akut dan inflamasi kronis ini melibatkan sel leukosit polimorfonuklear
sedangkan sel leukosit mononuklear lebih berperan pada proses inflamasi imunologis
(Sedwick & Willoughby, 1994). Secara umum, dalam proses inflamasi ada tiga hal
penting yang terjadi yaitu :
a. Peningkatan pasokan darah ke tempat benda asing, mikroorganisme atau
jaringan yang rusak.
b. Peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel endotel
yang memungkinkan pergerakan molekul yang lebih besar seperti antibodi.
c. Fagosit bergerak keluar pembuluh darah menuju menuju ke tempat benda asing,
mikroorganisme atau jaringan yang rusak. Leukosit terutama fagosit PMN
(polymorphonuclear neutrophilic) dan monosit dikerahkan dari sirkulasi ke tempat
benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang rusak. (Hamor,1989)
Terjadinya respon inflamasi ditandai oleh adanya dilatasi pada pembuluh darah
serta pengeluaran leukosit dan cairan pada daerah inflamasi. Respon tersebut dapat
dilihat dengan munculnya gejala-gejala seperti kemerahan (erythema) yang terjadi
akibat dilatasi pembuluh darah, pembengkakan (edema) karena masuknya cairan ke
dalam jaringan lunak serta pengerasan jaringan akibat pengumpulan cairan dan sel-sel
(Ward, 1993).
Mekanisme terjadinya inflamasi secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.
Adanya rangsang iritan atau cidera jaringan akan memicu pelepasan mediator-mediator
inflamasi. Senyawa ini dapat mengakibatkan vasokontriksi singkat pada arteriola yang
diikuti oleh dilatasi pembuluh darah, venula dan pembuluh limfa serta dapat
meningkatkan permeabilitas vaskuler pada membran sel. Peningkatan permeabilitas
vaskuler yang lokal dipengaruhi oleh komplemen melalui jalur klasik (kompleks
antigen-antibodi), jalur lectin (mannose binding lectin) ataupun jalur alternatif.
Peningkatan permeabilitas vaskuler lokal terjadi atas pengaruh anafilatoksin (C3a, C4a,
C5a). Aktivasi komplemen C3 dan C5 menghasilkan fragmen kecil C3a dan C5a yang
merupakan anafilatoksin yang dapat memacu degranulasi sel mast dan basofil untuk
melepaskan histamin. Histamin yang dilepas sel mast atas pengaruh komplemen,
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos, memberikan jalan untuk
migrasi sel-sel leukosit serta keluarnya plasma yang mengandung banyak antibodi,
opsonin dan komplemen ke jaringan perifer tempat terjadinya inflamasi (Abbas dkk.,
2010). Sel-sel ini akan melapisi lumen pembuluh darah selanjutnya akan menyusup
keluar pembuluh darah melalui sel-sel endotel (Ward, 1993).
Aktivasi komplemen C3a, C5a dan C5-6-7 dapat menarik dan mengerahkan selsel fagosit baik mononuklear dan polimorfonuklear. C5a merupakan kemoaktraktan
untuk neutrofil yang juga merupakan anafilatoksin. Makrofag yang diaktifkan
melepaskan berbagai mediator yang ikut berperan dalam reaksi inflamasi. Beberapa
jam setelah perubahan vaskuler, neutrofil menempel pada sel endotel dan bermigrasi
keluar pembuluh darah ke rongga jaringan, memakan patogen dan melepaskan mediator
yang berperan dalam respon inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan akan
melepaskan sitokin diantaranya IL-1 (interleukin-1), IL-6 dan TNF- (tumor necrosis
factor-)
menginduksi koagulasi. IL-1 akan menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel
endotel sedangkan TNF- akan meningkatkan ekspresi selektin-E yang kemudian
menginduksi peningkatan eksresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan
vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1). Neutrofil, monosit, dan limfosit
mengenali molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah selanjutnya
bergerak menuju ke jaringan. IL-1 dan TNF- juga berperan dalam memacu makrofag
dan sel endotel untuk memproduksi kemokin yang berperan pada influks neutrofil
melalui peningkatan ekspresi molekul adhesi. IFN- (interferon-) dan TNF- akan
mengaktifkan makrofag dan neutrofil yang dapat meningkatkan fagositosis dan
pelepasan enzim ke rongga jaringan (Abbas dkk., 2010).
10
11
meluas sehingga mengakibatkan kerusakan organ. Proses inilah yang kemudian akan
mengakibatkan berbagai macam penyakit (Kumar dkk., 2005). Interaksi antara sel
dengan sistem imun bawaan, sistem imun adaptif, dan mediator-mediator inflamasi
menginisiasi terjadinya inflamasi yang mendasari banyak penyakit pada organ (Libby,
2007). Peningkatan ekspresi gen proinflamasi dapat dipicu oleh adanya senyawa radikal
dan faktor transkripsi.
Menurut Chung dkk. (2011), adanya faktor-faktor transkripsi seperti redoxsensitive transcription factor, nuclear factor-kappaB (NF-B), dan forkhead box O
(FOXO) memegang peranan penting dalam ekspresi mediator-mediator proinflamasi.
Ekspresi gen proinflamasi IL-1, IL-6, TNF-, COX-2, lipooksigenase dan iNOS
ditingkatkan oleh redox-sensitive transcription factor, NF-B selama proses degenerasi
sel. IL-6 berkontribusi pada atropi neural, diabetes tipe 2 dan arterosklerosis. Mediatormediator proinflamasi lain seperti molekul adhesi (VCAM-1, ICAM-1, P-selectin, dan
E-selectin) semuanya ditingkatkan oleh aktivasi NF-B dalam aorta selama proses
tersebut. Proses signaling cellular redox, misalnya protein kinase biasa diawali dengan
transfer protein tyrosine kinase/ protein tyrosine phosphatase (PTK/PTP). PTP dapat
menginisiasi fosforilasi tirosin yang berkontribusi terhadap patogenesis penyakit seperti
kanker dan diabetes (Bouallegue dkk., 2009; Parkkila dkk., 2009). Aktivasi NF-B
dapat merangsang ekspresi mediator-mediator proinflamasi seperti COX-2, TNF-,
iNOS dan molekul adhesi pada aorta dan ginjal (Kim dkk., 2002) serta menginisiasi
terjadinya inflamasi kronis (Rahman dkk., 2004; Yu & Chung, 2006). Penghambatan
mediator-mediator proinflamasi dan faktor trankripsinya diperlukan dalam pengobatan
penyakit yang terkait dengan inflamasi.
12
2. Obat-obat antiinflamasi
13
14
obat
kortikosteroid
juga
memiliki
efek
mineralokortikoid.
menjadi
angiotensin
penyebab
vasokontriksi
yang mengubah
sehingga
dapat
15
16
3. Indometasin
Indometasin merupakan suatu senyawa turunan indol termetilasi seperti yang
terlihat pada Gambar 6. Efek antiinflamasi dicapai melalui mekanisme penghambatan
enzim siklooksigenase secara tidak selektif, obat ini juga diketahui dapat menghambat
17
migrasi leukosit polimorfonuklear (Caramis & Varonos, 1980; Roberts & Morrow,
2001). Obat ini memiliki sifat antiradang yang lebih poten dan analgetik-antipiretik
yang mirip dengan obat-obat turunan salisilat. Efek analgetik dan antipiretik
indometasin dicapai melalui kerja sistem saraf pusat dan perifer (Roberts & Morrow,
2001).
18
mediator
lipid
Histamin
enzim : netral protease (triptase
dan chymase), asam hidrolase,
cathepsin G, karboksipeptidase
prostaglandin D2
IL-3
TNF-, MIP-1
IL-4, IL-13
IL-5
platelet-activating factor
Sitokin
Eosinofil
disimpan di
dalam granul
sitoplasma
Sitokin
IL-8, IL-10, RANTES, MIP-1,
eotaxin
19
a. Leukosit Polimorfonuklear
Menurut Kelly (1984), ketiga leukosit tipe polimorfonuklear diproduksi oleh
ekstravaskulerisasi dari sumsum tulang panjang. Bentuk leukosit polimorfonuklear
dapat dilihat pada Gambar 7. Bentuk awal polimorfonuklear disebut dengan mieloblast.
Mieloblast akan berkembang dan mengalami proses proliferasi menjadi progranulosit
yang kemudian membentuk generasi berikutnya yaitu mielosit yang dapat dibedakan
antara satu dengan yang lain pada pembentukan granuler dan memungkinkan untuk
identifikasi neutrofil, eosinofil, dan basofilik mielosit. Tahap selanjutnya setelah
mielosit dewasa adalah metamielosit. Menurut (Leavel and Thorup 1960) pada tahap ini,
struktur kromatin nukleus menjadi lebih kasar, proses pembentukan granul terus
berlanjut lebih spesifik, dan nukleus bisa teridentifikasi. Metamielosit ini akan
berkembang menjadi band cell dan segmented cell. Menurut Tizard (1982), sel utama
dalam sistem mieloid adalah sel granulosit polimorfonuklear neutrofil.
1) Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sumsum tulang dikeluarkan dalam
sirkulasi dan jumlahnya 60 sampai 70% dari leukosit yang beredar.
Sitoplasma banyak diisi oleh granula-granula yang spesifik. Menurut
Tizard (1982), terdapat 2 granul pada neutrofil yaitu:
20
macam
substansi
beracun
yang
mengandung
bahan
21
2) Eosinofil
Jumlah eosinofil hanya 1 sampai 4 % dari leukosit darah,
mempunyai diameter yang sedikit lebih kecil dari neutrofil. Inti biasanya
berlobus dua. Eusinofil mempunyai granula ovoid yang mengandung
asam fosfatase, katepsin, dan ribonuklase, tetapi tidak mengandung
lisosim. Eosinofil bergerak secara amuboid dan mampu melakukan
fagositosis lebih lambat tetapi lebih selektif dibanding neutrofil. Eosinofil
dapat memfagositosis komplek antigen dan antibodi yang spesifik.
Eosinofil
mengandung
profibrinolisin
yang
diduga
berperan
penurunan
jumlah
eosinofil
darah
dengan
cepat
(Judarwanto, 2012).
3) Basofil
Basofil adalah granulosit dengan populasi paling kecil, yaitu
sekitar 0,01 sampai 0,3% dari sirkulasi sel darah putih. Basofil
mengandung banyak granula sitoplasmik dengan dua lobus. Seperti
granulosit lain, basofil dapat tertarik keluar menuju jaringan tubuh dalam
kondisi tertentu. Saat teraktivasi, basofil akan mengeluarkan zat-zat
seperti histamin, heparin, kondroitin, elastase, lisofosfolipase, leukotrien,
dan beberapa macam sitokin (Delmann & Brown, 1989). Basofil
memainkan peran dalam reaksi alergi. Contohnya pada penyakit asma.
Granula basofil bersifat metakromatik dan dapat mensekresi histamin
22
dan heparin dalam keadaan tertentu. Basofil merupakan sel utama pada
tempat peradangan dan sering dinamakan hipersesitivitas kulit basofil
(Guyton, 1995).
b. Leukosit Mononuklear
Leukosit mononuklear terdiri dari limfosit dan monosit seperti yang
terlihat pada Gambar 8. Sel mononuklear memiliki sitoplasma yang tidak
memiliki granul seperti pada leukosit polimorfonuklear dan hanya memiliki satu
inti.
1) Limfosit
Limfosit merupakan sel yang sferis, dan berjumlah 20 sampai
30% dari leukosit darah. Limfosit memiliki inti relatif besar, bulat, dan
sedikit cekungan pada satu sisi. Sitoplasmanya sedikit sekali, bersifat
basofilik, mengandung granula-granula azurofilik yang berwarna ungu
serta mengandung ribosom bebas dan poliribisom. Beberapa diantaranya
membawa reseptor seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik
pada membrannya. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah
bening akan tampak dalam darah pada keadaan patologis (Kelly, 1984).
23
2) Monosit
Monosit merupakan sel leukosit yang besarnya sekitar 3 sampai
8% dari total leukosit. Inti biasanya eksentris terdapat lekukan yang
dalam berbentuk tapal kuda. Monosit memiliki jumlah lisosom primer
lebih banyak tapi lebih kecil ukurannya. Jumlah retikulum endoplasma,
ribosom, dan pliribosom sedikit, sedangkan mitokondrianya banyak.
Aparatus golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan
mikrotubulus pada daerah identasi inti (Tizard, 1982). Monosit ditemui
dalam darah, jaingan penyambung, dan rongga-rongga tubuh. Monosit
tergolong fagositik mononuklear dan mempunyai tempat-tempat reseptor
pada permukaan membrannya. Monosit beredar melalui aliran darah,
menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung.
24
a. Sinonim
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angisopermae
Kelas
: Dicotyledoneae
25
Bangsa
: Urticales
Suku
: Moraceae
Marga
: Artocarpus
Jenis
d. Morfologi
Sukun merupakan tanaman yang berupa pohon tegak, berkayu, berakar
tunggal, batangnya berbentuk bulat, dan memiliki percabangan simpopodial.
Tanaman sukun berdaun tunggal yang tersebar, tepi daun bertoreh, ujung daun
meruncing, pangkal daunnya membulat, memiliki pertulangan daun menjari
dengan permukaan licin, dan tulang daun menonjol. Buahnya berbentuk lonjong
dengan permukaan bergigi tumpul yang tersusun teratur dan berwarna hijau.
Buah ini dapat mengeluarkan getah. Bijinya berwarna cokelat dan berbentuk
lonjong dan pipih (Ragone, 1997).
e. Budidaya tanaman
Sukun merupakan spesies anggota suku Moraceae. Tanaman sukun
banyak tumbuh di daerah tropis (Ragone, 1997). Sukun dapat tumbuh pada
berbagai tipe tanah alluvial maupun daerah pantai (Massal & Barrau 1954) tetapi
paling cocok ditanam pada tanah liat yang berpasir dan banyak mendapatkan
hujan (Coronel, 1983) dengan ketinggian 600-650 m di atas permukaan air laut
(Coronel, 1983, Rajendran, 1992). Tanaman ini mampu bertahan hidup di tanah
yang gersang atau pada musim kering. Sukun dibudidayakan secara vegetatif
dengan cara memotong bagian akar atau tunasnya. (Ragone, 1997).
f. Kandungan kimia
26
Daun dan kulit batang sukun banyak mengandung tanin dan polifenol.
Menurut Siddesha (2011), daun sukun mengandung tanin, fenolik, glikosida,
saponin, steroid, terpenoid, dan antrakinon. Ekstrak kloroform dari kulit akar
sukun mengandung senyawa prenilflavonoid (Lin dkk., 2008; Ko dkk., 2005;
Weng dkk., 2006) sedangkan ekstrak etil asetat daun sukun mengandung
senyawa sitosterol dan flavonoid (Wang dkk., 2006). Fraksi etil asetat yang
diisolasi dari ekstrak metanol daun sukun juga mengandung senyawa geranyl
dihydrochalcone dan geranyl flavonoid (Wang dkk., 2007), sedangkan fraksi
kloroformnya mengandung senyawa auron yaitu atilisin (Mai, 2012).
g. Khasiat dan Kegunaan
Tanaman sukun banyak dibudidaya untuk diambil buahnya dan dijadikan
sebagai bahan makanan (Ragone, 1997; Anonima, 2013). Getah dari tanaman
sukun dapat digunakan untuk mengobati diare, sakit perut, dan disentri (Ragone,
1987). Daun sukun juga berkhasiat sebagai obat hipertensi, diabetes, dan rematik
(Lans, 2006; Do, 2005; Ragone, 1997). Ekstrak daun sukun terbukti memiliki
aktivitas antihipertensi sebagai inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme),
antagonis -adrenoreseptor dan mengeblok kanal kalsium (Shiddesa, 2011;
Nwokocha, 2012). Ekstrak metanol daun sukun memiliki aktivitas sebagai
antimikroba (Raman dkk., 2012). Menurut Mai dkk. (2012), senyawa geranyl
aurone yang diisolasi dari daun sukun memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim
tirosinase dan enzim -glukosidase. Ekstrak etil asetat daun sukun menunjukkan
adanya efek cytoprotective pada sel yang teroksidasi oleh adanya LDL (Wang
27
28
dikandung simplisia sudah diketahui maka akan mempermudah pemilihan pelarut dan
cara ekstraksi yang tepat (Anonim, 2000). Proses ekstraksi dilakukan di luar pengaruh
cahaya matahari langsung. Ekstraksi akan lebih baik bila permukaan serbuk simplisia
yang bersentuhan dengan cairan penyari semakin luas.
Hasil yang diperoleh dari ekstraksi tersebut disebut ekstrak. Ekstrak merupakan
sediaan yang dapat berupa kering, kental ataupun cair yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut dan cara
yang sesuai. Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar diperoleh kadar zat berkhasiat yang
tinggi (Anief, 2000). Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari wujud dan bahan
uji yang akan disari (Harborne, 1973).
Metode dasar ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah ekstraksi
secara panas dengan refluks dan penyulingan uap air serta ekstraksi secara dingin
dengan maserasi, perkolasi, dan soxhlet (Anonim, 1986). Pemilihan terhadap metode
tersebut harus disesuaikan dengan kepentingan agar didapatkan hasil yang baik
(Harborne, 1973).
Maserasi merupakan metode yang paling sering digunakan. Maserasi merupakan
proses perendaman bahan yang sudah halus dalam cairan penyari sampai meresap dan
melunakkan susunan sel sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Cairan
penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung
zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat
aktif di dalam sel dengan yang di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam
sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik. Proses tersebut berulang sehingga
terjadi keseimbangan antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Selama proses maserasi
29
30
waktu
analisis
relatif
pendek,
dan
ekonomis.
31
32
33
e. Pengembangan
Pengembangan ialah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut
pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembangan normal, yaitu jarak
antara garis awal dan garis depan, ialah 100 mm di samping pengembangan sederhana,
yaitu perambatan satu kali sepanjang 10 cm ke atas, pengembangan ganda dapat juga
digunakan untuk memperbaiki efek pemisahan yaitu dua kali merambat 10 cm ke atas
berturut-turut pada pengembangan dua kali. Lapisan KLT harus dalam keadaan kering
diantara kedua pengembangan tersebut, ini dilakukan dengan membiarkan plat di udara
selama 5-10 menit (Stahl, 1973).
f. Analisis KLT
Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf dan hRf yang berguna untuk
menunjukkan letak suatu senyawa pada kromatogram. Nilai Rf dapat didefinisikan
sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang
ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan
dengan nilai Rf dari senyawa baku. Oleh karena itu bilangan Rf selalu berupa pecahan
dan terletak antara 0,01 dan 0,99. Namun akan lebih mudah jika bilangan tersebut
dikalikan dengan 100 dan dinyatakan dengan hRf (Harborne, 1973). Berikut ini rumus
untuk menghitung nilai hRf :
hR f =
g. Deteksi Bercak
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna.
Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia
34
yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui
cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan
untuk menampakkan bercak adalah dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar
ultraviolet. Bila komponen tersebut tidak berwarna dan sulit diamati dengan mata
telanjang maka komponen tersebut dieksitasi dengan sinar ultra violet (UV) untuk
menghasilkan fluoresensi atau fosforesensi pada panjang 366 nm (Sherma & Fried,
1994). Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi,
membuat bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan
penyerapnya diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan
kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan kelihatan berfluoresensi (Gandjar &
Rohman, 2007).
8. Thioglikolat
Thiglikolat merupakan senyawa dengan rumus molekul C2H3O2SNa atau yang
sering dikenal dengan nama sodium thioglikolat. Thioglikolat memiliki rumus molekul
seperti yang terlihat pada Gambar 10 dan berat molekul 114,1 (Anonimb, 2013).
Thioglikolat relatif tidak stabil dalam kondisi basa. Kecepatan oksidasi thiglikolat akan
meningkat seiring dengan kenaikan pH. Thioglikolat berwarna kuning dalam kondisi
basa. Adanya dekstrosa menyebabkan thoglikolat lebih mudah teroksidasi pada keadaan
netral dibanding ketika berada dalam kondisi basa (Cook & Steel, 1959)
35
E. Landasan Teori
Inflamasi merupakan respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologi. Ketika
proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskuler dimana cairan, elemen-elemen darah,
sel darah putih, dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera jaringan serta pelepsan
berbagai mediator kimia (Katzung, 2004). Proses inflamasi yang berlangsung terusmenerus justru dapat merusak jaringan dan menyebabkan berbagai penyakit sehingga
diperlukan obat antiinflamasi (Libby, 2007; Chung dkk., 2011; Glass dkk., 2010;
Theoharides & Cochrane, 2004)
Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) merupakan salah satu tanaman yang
telah banyak digunakan oleh masyarakat sebagai antiinflamasi, demam yang disebabkan
karena malaria, diare, diabetes, dan infeksi cacing pita (Jagtap & Bapat, 2010). Rebusan
dari daun sukun telah diketahui dapat beraksi sebagai antagonis Prostaglandin E2 (PGE2)
dan Bradikinin pada trakea yang merupakan mediator inflamasi (Singh dkk., 2001).
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa senyawa-senyawa flavonoid yang terdapat
dalam daun sukun dapat menghambat pelepasan mediator-mediator inflamasi (Wei, 2005).
36
Senyawa turunan fenolik dari ekstrak etil asetat dari tanaman bermarga Artocarpus telah
terbukti dapat menghambat pembentukan i-NOS dan ekspresi enzim COX-2 pada
inflamasi (Fang dkk., 2008).
Migrasi leukosit merupakan salah satu tahap yang penting dalam mekanisme
terjadinya inflamasi yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur adanya mekanisme inflamasi
dalam tubuh. Proses migrasi leukosit dapat terjadi salah satunya dengan menginduksi
thioglikolat secara peritoneal (Call dkk., 2001). Senyawa yang dapat menghambat proses
migrasi leukosit memiliki efek sebagai antiinflamasi (Di Rossa, 1979; Spector &
Willoughby, 1964)
F. Hipotesis
Ekstrak etil asetat daun sukun diduga memiliki aktivitas antiinflamasi dengan
menghambat migrasi leukosit pada mencit yang diinduksi oleh thioglikolat melalui rongga
peritonial.