Anda di halaman 1dari 23

A.

DEFINISI
Dengue Haemorragik Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari disertai dua atau lebih gejala klinis
berupa nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia / artralgia, ruam kulit, manifestasi
perdarahan (tes tourniket positif dan petechiae) dan leukopenia 1. Dan disertai
manifestasi perdarahan yang lebih nyata (tes tourniket positif, petechiae,
echimosis atau purpura, perdarahan mukosa), trombositopenia ( 100.000/L) dan
kebocoran plasma akibat meningkatnya permeabilitas kapiler yang ditandai oleh
peningkatan hematokrit 20%. 2,3,4
B. ETIOLOGI
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan
oleh virus dengue termasuk grup B Arthropod borne virus (arboviruses) dan
sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4
jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Keempat
jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan
dengan kasus berat. 2,3

Gambar 1. Virus Dengue


Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies
yang lain dapat juga menularkan virus ini tapi merupakan vektor yang kurang
berperan. Nyamuk aedes tersebut dapat menularkan virus dengue ke manusia baik

secara langsung yaitu setelah menggigit orang yang sedang mengalami viremia
maupun secara tidak langsung yaitu setelah melalui masa inkubasi dalam
tubuhnya selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Pada manusia diperlukan
waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus
masuk ke dalam tubuh. Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan
berkembangbiak didalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan menularkan virus
selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia, penularan hanya dapat
terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yang timbul pada saat menjelang
gejala klinik tampak hingga 5 - 7 hari setelahnya. 2,3,5

Gambar 2. Aedes aegypti

C. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS


Ada dua patofisiologi utama pada DBD, yaitu : pertama, meningkatnya
permeabilitas kapiler yang menghasilkan kebocoran plasma dan ini menyebabkan
hipovolemia, hemokonsentrasi serta renjatan; kedua, adanya hemostasis yang
1

abnormal,

melibatkan

perubahan

pembuluh

darah,

trombositopeni

dan

koagulopati.
1. Sistem vaskuler
Patofisiologi primer DBD adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler
yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma
menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post
mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Tidak
terjadinya lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan
sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita
sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat,
menimbulkan

penurunan

hematokrit.

Perubahan

hemostasis

pada

DBD

melibatkan 3 faktor : perubahan vaskuler, trombositopeni dan kelainan koagulasi.


Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan
trombositopeni, dan banyak diantaranya penderita menunjukkan koagulogram
yang abnormal. 6
Hemostasis yang abnormal menyebabkan bermacam-macam manifestasi
perdarahan. Mediator-mediator apa yang meningkatkan permeabilitas kapiler dan
bagaimana mekanisme phenomena perdarahan, belum dapat diidentifikasi.
Penyebab perdarahan pada DBD sangat komplek dan mungkin melibatkan satu
atau lebih dari trombositopeni, kerusakan pembuluh darah kecil, gangguan fungsi
trombosit dan diseminated intravasculan coagulation (DIC). Kerusakan trombosit
dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, pasien dengan
trombosit lebih dari 100.000/ mm3 mungkin didapat waktu perdarahan yang
memanjang. DIC terjadi pada renjatan berkepanjangan dan berat serta
menyebabkan perdarahan hebat dan irreversibel syok dengan prognosis buruk. 7
Manusia dapat terinfeksi 4 serotipe dengue selama hidup. Hampir semua
pasien DBD pernah terinfeksi dengan salah satu dari 4 serotipe virus dengue
sebelumnya, yang dikenal dengan hipotesa antibodi heterotipik. 7
Adanya ikatan antigen-antibodi (komplek antibodi-virus) ini dalam
sirkulasi darah akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :

a. Agregasi trombosit melepaskan ADP dan mengalami metamorfosis yang


kemudian kehilangan fungsi sehingga dimusnahkan sistem retikulo endotel
dengan akibat trombositopeni hebat dan perdarahan. Disamping itu trombosit
yang mengalami metamorfosis melepaskan faktor trombosis ke-3 yang
mengakibatkan sistem pembekuan.
b. Aktifasi faktor Hageman (faktor XII) akan mengakibatkan sistem pembekuan
dengan akibat terjadinya pembekuan intravaskuler yang sangat luas. Dalam
proses ini plasminogen menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan
anafilatoksin

menjadi

plasmin

yang

berperan

dalam

pembentukan

anafilatoksin dan penghancuranfibrin menjadi fibrin degradation product.


Disamping itu aktifasi faktor XII menggiatkan sistem kinin yang berperan
meningkatkan permeabilitas kapiler, menurunnya faktor pembekuan yang
disebabkan aktifasi sistem pembekuan dan kerusakan hati akan menambah
beratnya perdarahan. 2

Secondary Heterologous Dengue Infection


Replikasi virus

Respon antibodi sebelumnya

Komplek virus-antibodi

Agregasi trombosit

Aktifasi koagulasi

Aktifasi komplemen

Plasmin

Pelepasan faktor III trombosit


Pelepasan trombosit oleh RES
Aktifasi faktor Hageman

Trombositopeni

Kegagalan fungsi trombosit

Pemakaian koagulopati

Faktor pembekuan

Anafilatoksin
Sistem kinin
Kinin

Permeabilitas pembuluh darah

FDP
Perdarahan hebat

Renjatan

Gambar 3. Patofisiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)

Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi


pada pasien DBD disebabkan oleh kerja bersama seperti suatu konser dari aktivasi
komplemen, induksi kemokin, dan kematian sel apoptotik. Bila terjadi hipovolemi
akibat kebocoran plasma maka tubuh akan melakukan kompensasi melalui
mekanisme neurohumoral yang akan meningkatkan kemampuan kardiovaskuler
sehingga tekanan darah bisa dipertahankan. Akibat kompensasi ini maka terjadi
takikardia, vasokonstriksi, penyempitan tekanan nadi, akral dingin dan penurunan
produksi urin. 6,8

D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari berbagai faktor
yang mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Terdapat berbagai keadaan mulai
dari

tanpa

gejala

(asimtomatik)

demam

ringan

yang

tidak

spesifik

(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue dan


Dengue Syok Syndrome. 2
Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam , tetapi
mempunyai risiko terjadi renjatan bila mendapat pengobatan yang tidak adekuat.
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3
sampai hari sakit ke-7. Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala
klinis menghilang setelah demam turun. Demam turun disertai keluarnya keringat,

perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah, akral ekstremitas dingin, disertai
kongesti kulit. Perubahan ini menunjukkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai
akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. 2,9
Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah
beberapa hari demam. Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara hari
sakit ke 3 -7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi. Sesaat sebelum syok seringkali
pasien mengeluh nyeri perut.

Syok ditandai dengan kulit pucat, dingin dan

lembab terutama pada ujung kaki dan tangan, gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor dan koma; denyut nadi cepat dan lemah; tekanan
nadi menurun ( 20 mmHg); hipotensi (tekanan sistolik 80 mmHg); oligouri
sampai anuria. Pasien dapat dengan cepat masuk ke dalam fase kritis yaitu syok
berat (profound shock), pada saat itu tekanan darah dan nadi tidak terukur lagi. 2,8,9
Mengingat derajat beratnya penyakit yang bervariasi dan sangat erat
kaitannya dengan pengelolaan dan prognosis maka WHO (1997) membagi DBD
dalam derajat setelah kriteria laboratoris terpenuhi yaitu : 2
Derajat I :

Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi


perdarahan adalah uji tourniquet positif.

Derajat II :

Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan


lain.

Derajat III :

Terdapat kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,


tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi disertai kulit
dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.

Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tak teraba dan tekanan darah
yang tak terukur, kesadaran amat menurun.
E. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis DBD didasarkan pada kriteria menurut
WHO (1997), yaitu : 4
1. Kriteria Klinis
a. Panas tinggi mendadak, terus menerus selama 2 7 hari tanpa sebab yang
jelas (tipe demam bifasik)

b. Manifestasi perdarahan
1) Uji Tourniquet positif
2) Petechie, echimosis, purpura
3) Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
4) Hematemesis dan atau melena
c. Hepatomegali
d. Kegagalan sirkulasi (syok) yang ditandai dengan :
1) Nadi cepat dan lemah
2) Tekanan nadi menurun ( 20 mmHg)
3) Hipotensi (tekanan sistolik 80 mmHg)
4) Akral dingin
5) Kulit lembab
6) Pasien tampak gelisah

2. Kriteria Laboratoris
a. Trombositopenia (AT <100.000/ul)
b. Hemokonsentrasi ditandai dengan nilai hematokrit lebih dari atau sama
dengan 20% dibandingkan dengan masa konvalesen yang dibandingkan
dengan nilai Hct sesuai umur, jenis kelamin dari populasi.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi (atau peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan
diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia dapat
memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemi dan atau terjadi
perdarahan. Pada kasus syok,

adanya peningkatan hematokrit dan adanya

trombositopenia mendukung diagnosis DBD. 2


Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/l biasa
ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau

bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang


disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu
diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan
atau oleh perdarahan. 2
Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis,
limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum
suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa
ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin
III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.
Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN
ditemukan pada syok berat. 2
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai
perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa
minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila
sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat
dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk
Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb. 2
Pemeriksaan Serologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang
untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi virus dengue. Pemeriksaan
serologi terdapat 4 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan
adanya infeksi virus dengue yaitu : 2
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI test)
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF test)

3. Uji neutralisasi (Neutralization test = NT test)


4. Uji Eliza
Pemeriksaan serologi yang banyak dipakai yaitu uji Hemaglutinasi
Inhibisi dan uji Eliza. 3
1. Hemaglutinasi Inhibisi
Sampai sekarang ini uji HI masih menjadi patokan baku WHO untuk
konfirmasi dan klasifikasi jenis infeksi virus dengue. Prinsip metode ini
adalah mengukur kadar Ig M dan Ig G melalui prinsip adanya
kemampuan antibodi antidengue menghambat reaksi hemaglutinasi darah
angsa. 3
2. Eliza
Uji Eliza mempunyai sensitivitas yang sama dengan uji H.I. Prinsip
metode ini adalah mendeteksi adanya antibodi Ig M dan Ig G dalam
serum penderita dengan cara menangkap antibodi yang beredar dalam
darah penderita. Uji Eliza ini tidak mengadakan reaksi silang dengan
golongan flaviirus yang lain, sehingga metode ini lebih spesifik
dibandingkan metode H.I. 3
F. DIAGNOSIS BANDING
1.

Pada awal perjalanan penyakit,


diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau protozoa seperti
demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya,
leptospirosis dan malaria.

2.

Idiopatic

Thrombocytopenic

Purpura (ITP)
3.

Perdarahan seperti petekie dan


ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya sepsis,
meningitis meningokokus; leukemia atau anemia aplastik.4

G. PENATALAKSANAAN
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas
manifestasi klinis adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan

perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan


kematian. 4
Pengobatan pada DBD dapat meliputi pengobatan oral maupun
intravena. Bila pasien mengalami demam maka dapat diberikan antipiretik
seperti paracetamol. Selain itu pasien juga diberikan cairan secara intravena.
Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang
adekuat akan mencegah terjadinya syok. Perembesan plasma biasanya terjadi
pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase
afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu
pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya
perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan
klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis
cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan
pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, tranfusi darah, dan
obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat. 4,9
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah,
tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum
per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya
syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila
terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena
bolus perlahan-lahan. 4,8,9
Penggantian Volume Plasma Segera
Pada pasien DBD tanpa syok dapat diberikan terapi cairan intravena
larutan ringer laktat dengan rumus
1500 + (20 x (BB dalam kg-20))
Contoh volume rumatan untuk BB 70 kg, 1500 + (20 x (70-20)) =
2500 ml per hari.14

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, trombosit


tiap 24 jam, bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah
cairan tetap seperti rumus yang di atas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombosit
dilakukan tiap 12 jam. Bila Hb, Ht meningkat > 2% dan trombosit < 100.000
maka dilakukan pemberian cairan sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam kemudian
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila menunjukkan perbaikan maka
diturunkan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila keadaan memburuk maka pemberian
cairan ditingkatkan menjadi 10 ml/kgBB/jam.4
Pada pasien DBD yang disertai syok diberikan pengobatan awal
pemberian oksigen 2-4 L / menit dan cairan intravena larutan ringer laktat 1020 ml/kgBB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Bila
tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid 10-20
ml/kgBB selama 20-30 menit. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid
dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga
sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar.
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai
keadaan klinis dankadar hematokrit. 4
Pemeriksaan hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik
dan kadar hematokrit turun. Cairan intravena dapat dihentikan apabila
hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg
BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik.
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi
reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan
hipervolemia dengan akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan
hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah
normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase
reabsorbsi. 4,8,9

10

H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang harus diwaspadai, antara lain : 4
b.

Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada


DBD dengan atau tanpa syok. Evaluasi gejala sisa sistem saraf pusat
sangat penting, mengingat organ ini sangat sensitif terhadap hipoksia yang
dapat terjadi pada renjatan berkepanjangan

c.

Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan


dapat terjadi gagal ginjal akut

d.

Edema

paru,

seringkali

terjadi

akibat

overloading cairan.
e.

Depresi miokard-gagal jantung

f.

Gangguan koagulasi/pembekuan (DIC)

ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Tn. M

Usia

: 40 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Swasta

Alamat

: Surakarta

11

II. ANAMNESIS
A.

Keluhan Utama
Panas

B.

Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)


Seorang pasien datang ke RSDM sejak 5 hari yang lalu. panas dirasakan
terus menerus disertai mual, muntah, dan nyeri sendi. Hari berikutnya
penderita mengalami gusi berdarah saat menggosok gigi. Pasien tidak
mengalami mencret, batuk, dan nyeri tenggorokan. Istri pasien berusaha
menurunkan panasnya dengan obat penurun panas, namun panasnya
kembali muncul.

C.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan

D.

: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan

: disangkal

Riwayat sakit demam berdarah

: disangkal

III.PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum

: compos mentis, gizi kesan baik

Berat badan

: 70 kg

Tinggi badan

: 175 cm

B. Tanda vital
Tekanan Darah

: 110/80 mmHg

Nadi

: 112 x/menit, regular, simetris

Laju Pernapasan

: 26 x/menit, tipe torakoabdominal

Suhu

: 38,1 0C

12

C. Kulit :

warna

sawo

matang,

lembab,

ujud

kelainan
kulit (-), uji torniquet (+)
D. Kepala

: bentuk mesocephal, rambut hitam

sukar dicabut
E. Mata

: conjungtiva anemis (-/-), sclera

ikterik (-/-), air mata (+/+), Refleks cahaya (+/+),


pupil isokor

(3 mm/ 3 mm), bulat, di tengah,

mata cekung (-/-)


F.Hidung

: nafas cuping hidung (-/-), sekret

(-/-)
G. Mulut

: bibir pucat (-), sianosis (-), mukosa

basah (+), gusi berdarah (+)


H. Telinga

sekret (-), mastoid pain (-),

tragus pain (-)


I. Tenggorok : uvula di tengah, mukosa faring
hiperemis (-), tonsil T1 T1
J. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
K. Thorax
Bentuk

: normochest

Cor
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi

kanan atas

: SIC II linea parasternalis dextra

kiri atas

: SIC II linea parasternalis sinistra

kanan bawah

: SIC IV linea parasternalis dextra

kiri bawah

:SIC V linea medioclavicularis sinistra

: bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo

13

Inspeksi

: pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-)

Palpasi

: fremitus raba dada kanan = kiri

Perkusi

: sonor di seluruh lapang paru


batas paru hepar

: SIC VI dextra

batas paru lambung :spatium intercosta VII Sinistra

Auskultasi

pekak relatif

: batas paru hepar

pekak absolut

: hepar

: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan RBK (-/-),


RBH (-/-), wheezing (-/-)
L. Abdomen

Inspeksi

: dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (+), hepar teraba 3 cm BACD, lien


tidak teraba, turgor kulit baik
M. Ekstremitas :
Akral dingin

Oedema

Sianosis ujung jari


-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium Darah
Hb

: 17,1 g/dL

(11,7-16,2)

14

AE

: 5,80 x 106 uL

(4,1-5,1)

Hct

: 50,6 %

(33-45)

AL

: 14,3 x 103 uL

(4,4-14,5)

: 30 x 103 uL

AT

(150-450)

Golongan darah

:B

SGOT

: 40 x 103 uL

(0-35)

SGPT

: 52 x 103 uL

(0-45)

V. DIAGNOSA BANDING
-

Demam Typhoid

ITP ( Idiopatic Trombositopenia Purpura)

VI. DIAGNOSIS KERJA


-

Demam Berdarah Dengue

VII.

PENATALAKSANAAN

IVFD RL 2500 ml per hari (100 ml/jam)

Paracetamol 500 mg (diberikan jika panas)

Mondok bangsal

VIII.

PLANNING

Diagnosis :
Pemeriksaan Hb, HCT, dan AT tiap 24 jam
Monitoring :
Keadaan umum dan tanda vital tiap 6 jam
Balans cairan dan diuresis tiap 6 jam
Edukasi :
Motivasi banyak minum
Tujuan Penggunaan Obat

15

1. Penggantian cairan
2. Antipiretik

: IVFD RL 100 ml / jam


: paracetamol diberikan jika panas

Resep :
R/ Ringer Laktat inf. flab

No. V

cum infus set

No. I

IV catheter no. 22

No. I

imm

R/ Paracetamol tab mg 500

No IV

prn (1-4) dd tab I agrediente febre

Pro : Tn M ( 40 th )

PEMBAHASAN OBAT

16

A. Ringer laktat
Injeksi Ringer laktat adalah larutan steril dari Kalsium klorida, Kalium
klorida, Natrium klorida dan Natrium laktat dalam Air untuk injeksi. Injeksi
Ringer laktat tidak boleh mengandung bahan antimikroba.
Ringer laktat termasuk cairan kristaloid yaitu larutan dengan air
(aqueous) yang terdiri dari molekul-molekul kecil yang dapat menembus
membran kapiler dengan mudah. Biasanya volume pemberian lebih besar,
onset lebih cepat, durasinya singkat, efek samping lebih sedikit dan harga
lebih murah. Yang termasuk cairan kristaloid antara lain salin (salin 0,9%,
ringer laktat, ringer asetat), glukosa (D5%, D10%, D20%), serta sodium
bikarbonat. Masing-masing jenis memiliki kegunaan tersendiri, dimana salin
biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh sehari-hari dan saat
kegawat daruratan, sedangkan glukosa biasa digunakan pada penanganan
kasus hipoglikemia, serta sodium bikarbonat yang merupakan terapi pilihan
pada kasus asidosis metabolik dan alkalinisasi urin.
Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran
kapiler dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial,
kemudian didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25%
dari jumlah pemberian awal yang tetap berada intravaskuler, sehingga
penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang
hilang. Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan
kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk pasien yang
membutuhkan cairan segera.
Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama
pada kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis.
Pada kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang
memiliki molekul lebih besar, yaitu jenis koloid.

17

Keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi


elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung
cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan
menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma
darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi
untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk
menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik
termasuk syok perdarahan.
Indikasi pemberian ringer laktat adalah untuk mengembalikan
keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik.
Ringer laktat menjadi kurang disukai karena memiliki efek samping
hiperkloremia

dan

asidosis

metabolik,

karena

akan

menyebabkan

penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.


Kontraindikasi pemberian ringer laktat yitu hipernatremia, kelainan
ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.

B. Paracetamol
Kandungan dalam paracetamol yaitu acetaminophen. Paracetamol
umumnya digunakan sebagai analgetik dan antipiretik. Sebagai analgesik,
paracetamol bekerja denga meningkatkan ambang rasa sakit, sebagai
antipiretik, paracetamol bekerja langsung pada pusat pengatur panas yaitu
hipothalamus.
Paracetamol diabsorbsi melalui saluran gastrointestinal. Paracetamol
didistribusikan ke hampir seluruh jaringan tubuh. Waktu paruh eliminasi
bervariasi antara 1- 3 jam. Sebagian besar dimetabolisme di hati dan
diekskresi melalui urin, terutama dalam bentuk glucoronide dan konjugasi
sulfat, kurang dari 5 % dikeluarkan dalam bentuk tetap paracetamol.
Mekanisme kerja paracetamol yaitu dapat menurunkan panas dengan
bekerja pada hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasidan pengeluaran

18

keringat. Pada dosis terapeutik, inhibisi sekresi prostaglandin tidak signifikan


pada jaringan perifer sehingga paracetamol memiliki efek inflamasi yang
rendah. Dosis paracetamol untuk orang dewasa yaitu 500 mg 1 g boleh
diulang setiap 6 jam per hari atau diberikan 4 dosis per hari. Sedangkan pada
anak 10-15 mg/kgBB per tiap kali pemberian dan dapat diberikan samapi 4
kali sehari.
Efek samping dapat terjadi mual, muntah, nyeri perut. Pemberian
dalam jangka panjang dapat menyebabkan neutropenia, leukopenia,
trombositopenia, dan reaksi hipersensitivitas yang berupa urtikaria, hipotensi.
Kontraindikasi paracetamol yaitu pemberian pada pasien dengan
gangguan

fungsi

hepar

dan

ginjal,

dan

penderita

dengan

reaksi

hipersensitivitas pada paracetamol.

19

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengue Haemorragik Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari disertai dua atau lebih gejala klinis
berupa nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia / artralgia, ruam kulit, manifestasi
perdarahan (tes tourniket positif dan petechiae) dan leukopenia.
Ada dua patofisiologi utama pada DBD, yaitu : pertama, meningkatnya
permeabilitas kapiler yang menghasilkan kebocoran plasma dan ini menyebabkan
hipovolemia, hemokonsentrasi serta renjatan; kedua, adanya hemostasis yang
abnormal,

melibatkan

perubahan

pembuluh

darah,

trombositopeni

dan

koagulopati.
Pengobatan pada DBD dapat meliputi pengobatan oral maupun intravena.
Bila pasien mengalami demam maka dapat diberikan antipiretik seperti
paracetamol. Selain itu pasien juga diberikan cairan secara intravena. Deteksi dini
terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan
mencegah terjadinya syok. Pada kasus ini pasien diberikan pengobatan secara oral
dengan menggunakan paracetamol sediaan tablet 500 mg, dan cairan ringer laktat
yang diberikan secara intravena.
B. Saran
Selain pemberian penatalaksanaan secara kuratif, pada kasus demam
berdarah dengue juga perlu dilakukan preventif untuk mencegah berkembangnya
penyakit demam berdarah dengue. Penatalaksanaan secara preventif dapat
meliputi menutup tempat penampungan air, dan membersihkan barang bekas yang
dapat menampung air.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO, 1997. Dengue Haemorrhagic Fever, 2nd edition. WHO. Geneva
2. Sri Rejeki HH, 2002. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan
bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
dalam Tatalaksana Kasus DBD. Balai Penerbit FK UI. Jakarta
3. Staf Medis Fungsional Ilmu Penyakit Dalam RSDM, 2004. Standar
Pelayanan Medis Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam. RSUD Dr,
Moewardi. Surakarta
4. Hendarwanto, 2007. Demam Berdarah Dengue dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, jilid 1, ed. 3., editor : Aru W Sudoyo. Balai Penerbit FK UI.
Jakarta.
5. Saford, Jay, P, 1999. Infeksi Arbovirus dalam : Harrison Prinsip-prinsup Ilmu
Penyakit Dalam, vol. 2 ed.13., editor : Kurt J Isselbacher, Eugene
Braunwaald, Jean Wilson, Joseeph B Martin, Anthony S Fauci, Dennis L
Kasper. EGC. Jakarta
6. Soegijanto S, 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus
Dengue. http://www. pediatrik.com
7. Price D, 2006. Dengue Fever. www.emedicine.com/emerg/byname/denguefever.htm
8. Wills B, 2006. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome.
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue
9. Ashadi T, 2006. Terapi Cairan Intravena pada Syok Hipovolemik.
http://www.pdpi.com
10. Bongard F.S., Sue D.Y., Vintch J.R., 2008. Current Diagnosis and Treatment
Critical Care Third Edition. McGraw Hill.

21

11. Brenner M., Safani M., 2005. Critical Care and Cardiac Medicine. Current
Clinical Strategies Publishing.
12. Sue, D.Y., 2005. Current Essentials of Critical Care. McGraw Hill.
13. Sweetman S. 2002. Martindale. The Complete Drug Reference 33rd Edition.
London Chicago : Pharmaceutical Press.
14. Mashford M. 2007. Therapeutic Guidelies :Analgetik. Australia : Terapeutic
Guidelines Limited.

22

Anda mungkin juga menyukai