Anda di halaman 1dari 32

OBESITAS PADA ANAK

Disusun oleh:
Indra Putra Wendi

2014 061 168

Jevon Andra

2015 061 112

Martha Triana R.

2015 061 199

Theresia Herestuwito

2015 061 200

Pembimbing:
dr. Andy Setiawan, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
JAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Obesitas dapat didefinisikan sebagai peningkatan adipositas yang
dapat diukur secara tak langsung menggunakan IMT (indeks massa tubuh)
sebagai tolak ukur.1,2 Pada anak berusia 2-20 tahun, dikarenakan level
adipositas normal cenderung fluktuatif penentuan obesitas dilakukan
menggunakan kurva CDC (Central for Disease Control and Prevention) usia
terhadap IMT. Anak dengan IMT rentang persentil >95% dianggap sebagai
obesitas, sedangkan IMT pada rentang persentil 85-95% dianggap sebagai
overweight.2
Obesitas pada anak diketahui telah menjadi masalah yang mendunia.
WHO (World Health Organization) mencatat terdapat peningkatan jumlah
anak berusia 0-5 tahun yang menderita obesitas dari 32 juta jiwa pada tahun
1990 menjadi 42 juta jiwa pada tahun 2013. Diperkirakan bila tren ini terus
berlanjut jumlah penderita pada populasi yang sama dapat mencapai 70 juta
jiwa pada tahun 2020. Diketahui pula bahwa angka kejadian obesitas di
negara berkembang lebih tinggi 30% dibanding negara maju 3. Di Indonesia
sendiri data RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) menunjukkan prevalensi
obesitas pada anak berusia 5-18 tahun sebesar 11.9% dengan proporsi
terbesar pada anak berusia 5-12 tahun yaitu sebesar 8.8%4,5.
Peningkatan prevalensi obesitas ini juga diikuti dengan meningkatnya
angka kejadian penyakit penyertanya semisal peningkatan tekanan darah,
aterosklerosis, hipertrofi ventrikel kiri, diabetes mellitus tipe 2, dan
sebagainya. Dislipidemia ditemukan pada 45% anak obesitas usia sekolah
dasar. Resistensi insulin juga ditemukan pada 47% anak obesitas berusia 5-9
tahun dimana kita tahu bahwa kelainan-kelainan tersebut umumnya dikaitkan
pada onset usia yang lebih tua.4
Peningkatan prevalensi obesitas di usia dini dan peningkatan kejadian
komorbid yang sering menyertai obesitas seperti yang telah dipaparkan di
atas menjadi dasar bagi penulis untuk membuat referat ini untuk
meningkatkan kesadaran pentingnya mendeteksi dan menatalaksana obesitas
dari sejak dini.

1.2

Rumusan Masalah
Bagaimana mendiagnosis dan menatalaksana obesitas pada anak ?

1.3

Tujuan Penulisan
Mengetahui patofisiologi obesitas pada anak.
Mengetahui gejala klinis dan kriteria diagnosis obesitas pada anak.
Mengetahui komplikasi obesitas pada anak.
Mengetahui penatalaksanaan dan pencegahan obesitas pada anak.

1.4

Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat dalam Bidang Pendidikan
Sebagai sumber ilmu dan referensi.
1.4.2 Manfaat dalam Bidang Pelayanan
Sebagai alat bantu untuk klinisi agar memahami dan mampu
mendiagnosis serta menatalaksana obesitas pada anak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi
Obesitas didefinisikan sebagai peningkatan adipositas. Standar
pengukuran untuk peningkatan adipositas ini menggunakan IMT. Pada anakanak, standar pengukuran ini dilakukan menggunakan kurva IMT menurut
usia oleh CDC dimana IMT >95 persentil dinyatakan sebagai obesitas dan
IMT 85-95 persentil dinyatakan sebagai overweight2.

2.2.

Epidemiologi
Menurut data WHO mencatat terdapat peningkatan jumlah anak
berusia 0 5 tahun yang menderita obesitas dari 32 juta jiwa pada tahun 1990
menjadi 42 juta jiwa pada tahun 2011 dan diperkirakan mencapai 70 juta jiwa
pada tahun 2020. Diketahui pula bahwa angka kejadian obesitas di negara
berkembang lebih tinggi 30% dibanding negara maju. 3 Di Indonesia sendiri
data RISKESDAS menunjukkan prevalensi obesitas pada anak berusia 5 18
tahun sebesar 11,9% dengan proporsi terbesar pada anak berusia 5 12 tahun
yaitu sebesar 8,8%.4,5

2.3.

Etiologi
Obesitas disebabkan karena ketidakseimbangan kalori yang masuk
terhadap penggunaan energi dimana kelebihan kalori barang sesedikit apapun
dapat berkontribusi pada peningkatan adipositas dan hal ini dipengaruhi oleh
habitus, selera makan, aktivitas fisik, dan pengeluaran energi. Secara kasar
etiologi obesitas dipengaruhi 3 hal yaitu lingkungan, genetika, dan
neuroendokrinal.
1.

Lingkungan
Lingkungan berpengaruh dengan beberapa cara. Pertumbuhan
pesat di industri makanan menyebabkan mudahnya mendapat
makanan dan bertambah banyaknya makanan berkalori tinggi siap
saji. Gaya hidup juga cenderung sedenter, dimana permainan anak
didominasi dengan gadget dan kegiatan olahraga minim dikarenakan
tingginya harapan dalam prestasi anak. Aktivitas tidur di masa
sekarang juga cenderung berkurang dimana hal ini dikaitkan dengan

penurunan kadar leptin dan peningkatan kadar ghrelin dan hal ini
menyebabkan peningkatan rasa lapar dan selera makan. Terjadi pula
penurunan toleransi glukosa terkait perubahan glukokortikoid dan
aktivitas simpatis.2
2.

Genetika
Beberapa kelainan genetik, misalnya pada gen FTO, defisiensi
MC4R,

atau

kondisi

semisal

sindroma

Prader-Willi

dapat

berkontribusi terhadap kejadian obesitas pada anak.2


3.

Neuroendokrinal
Kelainan

semisal

sindroma

Cushing,

defisiensi

GH,

hipotiroidisme, serta pseudohipoparatiroidisme dapat menjadi etiologi


neuroendokrin daripada obesitas pada anak.2
2.4.

Faktor Risiko
Anak dengan overweight memiliki risiko untuk menjadi dewasa
dengan overweight yang berhubungan dengan penyakit kronis. Faktor risiko
pada anak dengan overweight dan obesitas sangatlah kompleks. Kelebihan
berat badan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembakaran kalori
dan pemasukan kalori dalam tubuh. Beberapa faktor predisposisi yang
berperan pada anak dengan obesitas.6
2.4.1 Faktor Genetik
Riwayat obesitas dalam keluarga, terutama indeks massa tubuh
(IMT) ayah dan ibu, dapat menjadi prediktor yang kuat untuk anak
dengan obesitas. Gen FTO (fat mass and obesity-associated)
merupakan gen pada kromosom 16. Gen ini berperan dalam
peningkatan asupan energi dan pembentukan jaringan adiposa pada
anak. Selain itu, defisiensi pada MC4R (melanocortin 4 receptor gene),
berhubungan dengan obesitas onset awal pada anak dan perilaku
mencari makan pada anak kecil. Defisiensi MC4R dapat menyebabkan
hiperfagia, hiperinsulinemia dan peningkatan massa lemak.2,6

2.4.2 Gaya Hidup


Perilaku sedentari dan aktivitas fisik yang rendah berhubungan
dengan peningkatan risiko obesitas. Perilaku sedentari seperti

menghabiskan waktu di depan layar (menonton televisi, bermain di


depan komputer atau video game), merupakan komponen yang sangat
berperan terhadap obesitas pada anak, karena aktivitas ini tidak
membakar kalori. Hampir separuh dari anak dengan obesitas,
menggunakan waktu lebih dari 2 jam untuk bermain di depan layar.6
2.4.3 Tingkat Aktivitas Fisik
Dengan kemajuan teknologi, gaya hidup sekarang semakin
tergantung dengan kendaraan bermotor dan semakin berkurang aktivitas
berjalan. Selain itu tuntutan untuk meningkatkan nilai akademis seorang
anak, telah mengurangi kesempatan anak untuk melakukan aktivitas
fisik di sekolah. Adanya persepsi mengenai lingkungan luar rumah yang
tidak aman sehingga kegiatan anak hanya terbatas di dalam rumah, juga
merupakan faktor lain yang mengurangi aktivitas fisik seorang anak.
Anak dengan aktivitas fisik yang rendah memiliki risiko 3-5x lebih
tinggi untuk mengalami penambahan berat badan.2,6
2.4.4 Pola Makan
Dengan berkembangnya teknologi, kemajuan industri makanan
menjadi faktor penting dalam perubahan sosial suatu negara. Semakin
banyak industri makanan yang menyediakan makanan tinggi kalori,
karbohidrat simpel dan lemak. Hal ini menyebabkan perubahan pola
makan menjadi makanan dengan porsi besar dan meningkatkan jumlah
cemilan diantara waktu makan.2
Selain itu banyaknya industri minuman yang tinggi karbohidrat
seperti jus, soda, fruit punch, dan lain-lain. Anak dengan kebiasaan
mengonsumsi minuman dengan pemanis yang tinggi karbohidrat
memiliki faktor risiko dalam peningkatan berat badan. Minuman
dengan pemanis ini akan meningkatkan level fruktosa dalam darah dan
konsumsi minuman tinggi kalori ini biasanya tidak diikuti dengan
pengurangan porsi makanan.2

2.5.

Patofisiologi

Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran


kalori dari tubuh yang menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian
tubuh. Kemampuan dalam mendeteksi energi yang tersimpan dalam tubuh
dapat menimbulkan rasa lapar dan kenyang yang terjadi melalui mekanisme
umpan balik neuroendokrin yang melibatkan jaringan adiposit, sistem
pencernaan, dan sistem saraf pusat. Sistem pencernaan menghasilkan
beberapa hormon yang terlibat dalam rasa kenyang yaitu kolesistokinin,
glucagon like peptide I dan peptide YY, sedangkan hormon yang
menstimulasi rasa lapar adalah ghrelin.2

Sekresi
hormon

Gambar 2.1. Hormon yang dihasilkan sistem pencernaan untuk stimulasi rasa lapar
dan kenyang
Beberapa neuropeptida di otak yang memilki efek stimulasi rasa lapar
adalah agouti-related peptide dan orexin. Sedangkan melanocortin dan alpha
melanocortin stilmulating hormone berperan dalam rasa kenyang.2

Gambar 2.2. Hormon yang dihasilkan otak untuk stimulasi lapar


dan kenyang

Jaringan adiposit berperan dalam memberikan umpan balik mengenai


energy storage kepada otak melalui sekresi hormon adiponektin dan leptin
yang bekerja pada nukleus arkuata di hipotalamus dan nukleus solitarius di
batang otak. Hormon adiponektin akan dihasilkan jaringan adiposit bila
kebutuhan energi lebih besar daripada asupan energi, sehingga hormon akan
dihasilkan dan disekresi ke sirkulasi darah yang akan bekerja pada orixogenic
center di hipotalamus dan menimbulkan rasa lapar. Penurunan kadar hormon
ini terjadi pada keadaan obesitas dan peningkatan terjadi dalam keadaan
puasa. Adiponektin berkaitan dengan sensitivitas insulin dan memiliki efek
protektif terhadap vaskuler sehingga berkurangnya kadar adiponektin
menyebabkan penurunan sensitivitas insulin dan memiliki efek samping
terhadap sistem kardiovaskuler. Bila asupan energi meningkat, maka jaringan
adiposit dapat mengalami peningkatan disertai dengan meningkatnya kadar
leptin dalam darah. Leptin berfungsi untuk menimbulkan rasa lapar, dimana
kadar yang rendah akan menstimulasi asupan makan sedangkan kadar yang
tinggi menyebabkan rasa kenyang.. Pada sebagian besar penderita obesitas
terjadi resistensi terhadap leptin sehingga tingginya kadar leptin tidak
menurunkan nafsu makan. 2,7,8,9

Gambar 2.3. Hormon yang dihasilkan jaringan lemak (adiposit) untuk stimulasi
rasa lapar dan kenyang
2.6

Evaluasi dan Diagnosis


Evaluasi anak dengan overweight dan obesitas dimulai melalui
pemeriksaan berat, tinggi dan IMT. Perlu juga dievaluasi pola pemberian
makan di keluarga, pola aktivitas fisik. Dilakukan juga pemeriksaan fisik
serta penunjang untuk mendiagnosa dan mengidentifikasi kondisi komorbid
lainnya. Tahapan yang dilakukan dalam mengevaluasi anak dan remaja
dengan overweight atau obesitas adalah sebagai berikut:4
-

Anamnesis terkait obesitas dilakukan untuk mencari tanda atau gejala

yang dapat membantu penentuan faktor risiko obesitas.


Pemeriksaan fisik dan antropometris
Pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium,

pencitraan, ekokardiografi, dan respirometri atas indikasi


Penilaian komorbiditas

Berikut merupakan algoritme dalam meninjau obesitas pada anak

Gambar
2.4 Algoritme diagnosa dan tatalaksana obesitas pada anak10
2.6.1
Anamnesa
Anak dengan obesitas seringkali tidak memiliki keluhan khusus
terhadap peningkatan berat badan yang dialaminya, perlu dilakukan
penilaian terhadap faktor risiko obesitas atau gejala obesitas yang sudah
muncul.
Pada anamnesis dapat dianalisa faktor risiko medis dan perilaku.
Dapat ditanyakan juga periode mulai timbulnya obesitas, riwayat
tumbuh kembang untuk mencari obesitas yang disebabkan oleh faktor
endogen seperti riwayat pemberian steroid, atau adanya kemungkinan
kerusakan hipotalamus yang disebabkan oleh tumor otak, radiasi atau
trauma. Secara klinis obesitas idiopatik/nutrisional dan endogen/nonnutrisional dapat dibedakan dengan beberapa karakteristik (Tabel 2.1.).
Selain itu perlu ditelusuri tanda dan gejala risiko kesehatan yang terkait
dengan obesitas pada anak seperti mengorok, sering terbangun pada
saat tidur di malam hari, mengantuk di siang hari, riwayat menstruasi
dini, siklus menstruasi yang tidak teratur, nyeri panggul atau lutut. Perlu
ditelusuri juga bagaimana pola makan dan pola aktivitas fisik.4
Riwayat keluarga dan riwayat psikososial turut serta dalam kasus
obesitas anak. Oleh karena itu perlu ditelusuri riwayat keluarga seperti
riwayat

obesitas

pada

anggota

keluarga

lainnya,

penyakit

kardiovaskular, hipertensi, dislipidemia, hipertiroid dan penyakit


kandung empedu. Riwayat psikosial yang perlu dinilai seperti riwayat
depresi dan ansietas, riwayat pergaulan serta kepercayaan diri anak.4
Tabel 2.1. Karakteristik dan etiologi obesitas4
Obesitas idiopatik ( nutrisional )
>90% kasus
Perawakan tinggi (umumnya TB/U >

Obesitas endogen ( non-nutrisional )


<10% kasus
Perawakan pendek (umumnya TB/U < P50)

P50)
Umumnya ada riwayat obesitas pada

Umumnya tidak ada riwayat obesitas pada

keluarga
Fungsi mental normal
Usia tulang normal / advanced
Pemeriksaan fisik umumnya normal

keluarga
Fungsi mental sering retardasi
Usia tulang terlambat (delayed)
Terdapat stigma pada pemeriksaan fisik

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh dan dicari juga
kemungkinan terjadinya komorbiditas. Pada pemeriksaan umum anak
dengan overweight dan obesitas dapat ditemukan:4
- Tanda vital : Peningkatan tekanan darah
- Kepala
: wajah membulat, pipi tembem dan dagu rangkap.
- Leher
: lebih relatif pendek.
- Dada
: dada yang membusung dengan payudara membesar.
- Perut
: perut membuncit dengan dinding perut yang berlipat.
- Ekstremitas: tungkai umumnya berbentuk X,
- Genitalia : anak laki-laki didapatkan penis tampak kecil.
- Kulit
: akantosis nigrikans, jerawat berlebihan, hirsutism
- Antropometri :
o Anak < 2 tahun (IMT WHO 2006) :
Overweight (z score >+2 SD)
Obesitas (z score >+3 SD)
o Anak 2-18 tahun (IMT CDC 2000)
Overweight (IMT >P85 P95)
Obesitas (IMT > P95)
2.6.2.1. Pemeriksaan Antropometri
IMT mencakup dari pengukuran berat badan (dalam
kilogram) dan tinggi badan (dalam meter) yang akurat IMT
diukur dengan menghitung berat badan dibagi dengan kuadrat
dari

tinggi

badan.

Batas

abnormalitas

IMT

dibedakan

berdasarkan usia dan jenis kelamin. IMT dapat dianggap sebagai


alat ukur lemak dalam tubuh. Anak yang tubuhnya sangat
berotot memiliki kecenderungan IMT yang abnormal akibat
peningkatan berat badan yang meningkat.
Bila pada hasil klasifikasi IMT pada pengukuran
didapatkan potensi gizi lebih (Z score > +1 SD) atau berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) > 110%, maka grafik IMT sesuai
usia dan jenis kelamin digunakan untuk menentukan adanya
obesitas.
Overweight dan obesitas pada anak usia < 2 tahun
ditegakkan jika Z score > +2 SD dan > +3 SD dengan
menggunakan grafik IMT WHO 2006, sedangkan pada anak
usia 2-18 tahun menggunakan grafik IMT CDC 2000. Ambang
batas yang digunakan untuk overweight adalah di atas P85
P95, sedangkan obesitas adalah lebih dari P95 grafik IMT CDC
2000.

Pengukuran pinggang dapat digunakan untuk mengukur


lemak

viseral

yang

berhubungan

dengan

penyakit

kardiovaskular dan gangguan metabolisme terutama pada


dewasa

serta

dapat

menggambarkan

profil

lipid

dan

hiperinsulinemia pada anak. Ukuran pinggang ini dapat


digunakan untuk penentuan distribusi lemak dan penentuan
faktor risiko namun tidak bisa digunakan untuk klasifikasi berat
ringannya obesitas pada anak. 4
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan

penunjang

berupa

gula

darah

puasa,

level

trigliserida, level low density lipoprotein (LDL) dan high density


lipoprotein (HDL), fungsi hepar direkomendasikan untuk evaluasi awal
pada anak dengan obesitas. Pada anak dengan overweight (IMT 85th-95th
persentil), dan memiliki riwayat keluarga diabetes mellitus atau
menunjukkan tanda-tanda resistensi insulin perlu dilakukan evaluasi
gula darah puasa. Pemeriksaan penunjang lainnya perlu disesuaikan
dengan temuan klinis dan temuan skrining dari pemeriksaan penunjang
untuk evaluasi awal anak dengan obesitas. Pengukuran lemak dalam
tubuh dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang MRI atau CT.
Pemeriksaan ini tidak umum dilakukan namun merupakan gold
standard dalam pengukuran antropometri.2,4
2.7.

Tatalaksana
Penatalaksanaan obesitas pada anak bukan suatu hal yang mudah
untuk dilakukan. Penatalaksanaan obesitas pada anak harus dilakukan secara
multimodal untuk mencapai perubahan gaya hidup. Multimodal yang
dimaksud adalah butuh beberapa pihak untuk membantu keberhasilan dari
terapi yang dilakukan.
Kombinasi terapi yang dilakukan berupa anjuran nutrisi, olahraga dan
pendekatan perilaku kognitif. Kombinasi dari ketiga ini biasanya bekerja
dengan baik. Selain kombinasi tersebut, dapat juga dipertimbangkan untuk
dilakukannya operasi bariatrik, walaupun belum ada bukti yang jelas apakah
pasien dapat mempertahankan berat badan idealnya setelah operasi dan
keamanan jangka panjangnya masih belum jelas.2

Secara umum terapi obesitas dibagi atas modifikasi gaya hidup dan
terapi intensif. Modifikasi gaya hidup harus dilakukan secara berkelanjutan
sebelum memilih terapi intensif. Modifikasi gaya hidup diantaranya adalah
pengaturan diet, peningkatan aktifitas fisik, perubahan perilaku serta yang
terpenting adalah dukungan dan keterlibatan keluarga dalam proses terapi
yang dilakukan.
Tabel 2.2. Rencana penurunan berat badan pada anak dengan obesitas.4
Komponen
Menetapkan target penurunan

Keterangan
Mula-mula 2,5 5 kg, atau dengan

berat badan
Pengaturan diet

kecepatan 0,5 2 kg/bulan


Nasihet diet disertai pencantuman
jumlah

Aktifitas fisik

kalori/hari

dan

anjuran

komposisi makronutrien .
Awalnya disesuaikan kebugaran anak
dengan tujuan akhir 20-30 menit/hari

Modifikasi perilaku

diluar aktifitas fisik anak di sekolah


Pemantauan mandiri, pendidikan
gizi,

mengendalikan

stimulus,

modifikasi pola makan, aktivitas


fisik,
Keterlibatan keluarga

perubahan

perilaku,

serta

sistem reward and punishment


Analisis ulang aktifitas kelurga, pola
menonton telivisi, konsultasi gizi
melibatkan orangtua

2.7.1 Non Farmakoterapi


Nutrisi
Pada terapi pasien anak dengan obesitas, sangat penting untuk
mengetahui terlebih dahulu mengenai kebutuhan asupan kalori dari anak
tersebut. Untuk mengetahui kebutuhan asupan kalori dapat digunakan
acuan dari angka kecukupan gizi anak dari depkes. Berikut tabel
kebutuhan asupan kalori pada anak.

Tabel 2.3. Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013 menurut DEPKES5

Setelah mengetahui asupan kalori anak, kita dapat mengurangi kalori


tersebut secara bertahap. Sebagai contoh, anak 10 tahun yang
membutuhkan kalori sebanyak 2000 kkal/hari dan anak tersebut
mengkonsumsi sebanyak 4000 kkal/hari. Kita dapat mengurangi asupan
kalorinya, misalnya dengan mengurangi 2 kaleng minuman berkarbohidrat
sebesar 280 kkal/hari. Walaupun cara ini tidak menurunkan berat badan
secara langsung, namun cara ini dapat memperlambat peningkatan berat
badan. Bila pengurangan seperti contoh di atas sudah dapat dilakukan
secara mandiri, maka dapat dilakukan pengurangan kalori bertahap
lainnya, misalnya mengurangi asupan makanan ringan pada anak, dan
sebagainya.
Dalam mengatur kalori yang dikonsumsi, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu4 :
1. Kalori yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan normal.
Pengurangan kalori berkisar 200-500 kalori sehari dengan target
penurunan berat badan 0.5 kg per minggu. Penurunan berat badan

ditargetkan sampai mencapai 20% di atas berat badan ideal dan cukup
dipertahankan mengingat anak dalam masa pertumbuhan.
2. Diet seimbang dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 30%
dan protein cukup untuk tumbuh kembang normal. Bentuk dan jenis
makanan harus dapat diterima anak, serta tidak dipaksa mengonsumsi
makanan yang tidak disukai
3. Diet tinggi serat dapat membantu pengaturan berat badan. Diet tinggi
serat selain dapat mengenyangkan, juga meningkatkan oksidasi lemak
sehingga mengurangi jumlah lemak yang disimpan.
Untuk pemilihan jenis makanan dapat menggunakan traffic light diet.
Pada Traffic light diet diatur makanan apa saja yang boleh untuk
dikonsumsi setiap hari dan jenis makanan apa saja yang boleh dikonsumsi
dan makanan yang boleh dimakan 1 kali seminggu. Berikut adalah tabel
traffic light diet : 2

Tabel 2.4. Traffic Light Diet 4


Green Food
Makanan yang boleh
dimakan setiap hari
Definisi

Komposisi

Makanan yang mengandung


tinggi vitamin, mineral dan

Yellow Food
Makanan yang
boleh dikonsumsi
dalam porsi kecil,
tetapi tidak
dianjurkan untuk
dikonsumsi setiap
hari
Makanan yang
mengandung

Red Food
Makanan yang
boleh dimakan
1x/minggu

Makanan yang
mengandung

serat, tetapi rendah energi,


lemak jenuh, gula, dan
garam

Jenis kelompok
makanan

Contoh

Buah-buahan dan sayursayuran


Daging tanpa lemak dan
ikan
Kacang-kacangan, bijibijian, buncis dan lentil
Roti gandum, sereal,
beras dan pasta
Produk susu rendah
lemak
Air dan susu

vitamin, mineral,
energi, lemak
jenuh, gula, dan
garam dalam
jumlah sedang
Daging
olahan
rendah lemak
dan garam
Roti dan
sereal olahan
Produk susu
tinggi lemak
Kue dan
biskuit
rendah
lemak/gula
Susu dan jus
buah rendah
lemak tanpa
tambahan
gula
Daging babi,
sereal olahan,
roti, keju,
pancreas atau
biscuit manis

rendah vitamin
dan mineral tetapi
tinggi energi
lemak jenuh, gula
dan garam
Makanan yang
digoreng dan
kentang
olahan
Daging olahan
yang
mengandung
tinggi lemak
Makanan
penutup yang
berbahan dasar
susu
Kue manis dan
biscuit
Coklat dan
minuman
manis
Kentang goreng,
sosis,salami, pie,
hot dogs, nugget
ayam, keripik
kentang, makanan
manis seperti kue
coklat, mufins,
donat, soft drink

Yoghurt rendah lemak,


sandwich gandum, bubur,
kacang panggang, jus buah
kalengan, ikan tuna
kalengan, buah dan sayuran
segar atau beku, daging sapi,
daging babi atau domba
tanpa lemak, ayam tanpa
kulit
Pola makan pada anak juga harus dijaga supaya benar. Pemberian diet

seimbang sesuai requirement daily allowance (RDA) menjadi prinsip


pengaturan diet pada anak gemuk karena anak masih tumbuh dan
berkembang dengan metode. Metode pola makan yang dapat dilakukan
berupa2 :
1. Pola makan besar dijadwalkan 3x/hari dan camilan 2x/hari yang
terjadwal. Camilan berupa buah segar dan anak diberikan air putih di
antara jadwal makan utama dan camilan, serta lama makan 30 menit /
kali

2. Lingkungan netral dengan cara tidak memaksa anak untuk


mengonsumsi makanan tertentu dan jumlah makanan ditentukan oleh
anak
3. Prosedur dilakukan dengan pemberian makan sesuai dengan
kebutuhan kalori yang diperoleh dari : RDA x berat badan ideal di
mana RDA yang digunakan adalah RDA menurut tinggi dan usia.
Psikologis
Pendekatan psikologis sangat penting dalam melakukan terapi
obesitas pada anak. Tujuan dari pendekatan psikologis ini adalah untuk
mengubah kebiasaan makan dan aktivitas perilakunya. Pendekatan ini
membutuhkan adanya peranan dari orang tua sebagai komponen
intervensi. Terapi psikologis dapat menggunakan teknik kognitif perilaku
(Cognitive Behavior Therapy / CBT).4 Pada teknik CBT, pasien diberi
pengetahuan mengenai keadaannya saat ini dan diharapkan pasien dapat
mengubah pemikirannya untuk melakukan diet. Setelah pasien mempunyai
pengetahuan tersebut, kita dapat mengajak pasien untuk melakukan
perubahan perilaku pada dirinya. Kita dapat memberikan semangat kepada
anak untuk melakukan perubahan yang lebih baik.
Berdasarkan rekomendasi IDAI, cara pengubahan perilaku dapat
dilakukan dengan :
1. Pengawasan sendiri terhadap berat badan, masukan makanan dan
aktivitas fisik, serta mencatat perkembangannya
2. Kontrol terhadap rangsangan, misalnya pada saat menonton televisi
diusahakan untuk tidak makan karena menonton televisi dapat
menjadi pencetus makan. Peran orang tua sangat penting dalam
meniadakan semua stimulus di sekitar anak.
3. Mengubah perilaku makan, misalnya belajar mengontrol porsi dan
jenis makanan yang dikonsumsi, serta, mengurangi makanan camilan.
4. Penghargaan, yaitu orangtua dianjurkan untuk memberikan dorongan,
pujian terhadap keberhasilan atau perilaku sehat yang diperlihatkan
anaknya, misalnya makan makanan menu baru yang sesuai dengan
program gizi yang diberikan, berat badan turun, dan mau melakukan
olahraga
5. Pengendalian diri, misalnya dapat mengatasi masalah apabila
menghadapi

rencana

bepergian

atau

pertemuan

sosial

yang

memberikan risiko untuk makan terlalu banyak, yaitu dengan memilih

makanan yang berkalori rendah atau mengimbanginya dengan


melakukan latihan tambahan untuk membakar energi.
Aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan bagian penting dalam melakukan terapi
obesitas. Walaupun aktivitas fisik tidak menunjukkan penurunan berat
badan secara langsung, namun aktivitas fisik merupakan faktor penting
dalam mencegah kenaikan berat badan karena aktivitas fisik berpengaruh
terhadap penggunaan energi.11 Aktivitas yang diberikan pada anak
disesuaikan dengan tingkat perkembangan motorik, kemampuan fisik dan
umurnya. Pada anak usia 6-12 tahun atau usia sekolah lebih tepat untuk
memulai latihan fisik dengan keterampilan otot seperti bersepeda,
berenang, menari, karate, senam, sepakbola, dan basket.4 Sedangkan anak
di atas usia 10 tahun lebih menyukai olahraga dalam bentuk kelompok.
Aktivitas sehari-hari dioptimalkan seperti berjalan kaki atau bersepeda ke
sekolah, menempati kamar tingkat agar naik dan turun tangga, mengurangi
lama menonton tv atau bermain komputer, dan menganjurkan bermain di
luar rumah. Untuk waktu aktivitas yang dilakukan berbeda-beda pada lain
penelitian. Berdasarkan pedoman health Canada, latihan fisik dilakukan
minimal 30 menit dan menurunkan aktivitas fisik kurang gerak setiap hari.
Sedangkan menurut CDC, anak dan remaja harus melakukan latihan fisik
setiap hari selama 60 menit atau lebih yang terdiri dari aktivitas aerobik,
penguatan otot, dan penguatan tulang. Aktivitas fisik dapat dilakukan
dalam banyak cara, seperti berjalan kaki saat ke sekolah, melakukan
olahraga bersama saat waktu keluarga. Dalam hal ini, keluarga pasien juga
perlu diajak untuk terlibat dalam terapi, misalnya membuat jadwal untuk
pergi berolahraga atau aktivitas di luar rumah. Anak sering menjadikan
orang tua sebagai role model dan bila orang tua dapat memberikan contoh
yang baik, diharapkan anak juga ikut melakukan hal tersebut sehingga
perubahan perilaku dapat terjadi.4
Peranan keluarga juga dapat berupa penetapan peraturan-peraturan di
rumah. Misalnya dengan membatasi waktu menonton televisi tidak lebih
dari 2 jam / hari.4 Menonton televisi sering dikaitkan dengan makan dan
dari televisi anak dipromosikan secara langsung makanan berkalori tinggi,
seperti makanan ringan.

Tabel 2.5. Contoh aktivitas fisik aerobik dengan intensitas sedang dan bugar serta
aktivitas penguatan otot dan tulang4
2.7.2. Farmakoterapi

Penggunaan obat-obatan dalam menangani obesitas pada anak mulai


sering dilakukan. Namun, pilihan obat yang digunakan terbatas dan
keamanan serta keefektifan obat belum jelas. Ada beberapa obat dalam
menangani obesitas, yaitu sibutramine, orlistat, dan metformin. 12 Namun
obat yang disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) hanya
orlistat. Terapi dengan medikamentosa hanya digunakan pada anak di atas
usia 12 tahun karena penelitian mengenai efek samping jangka panjang
pada anak usia di bawah 12 tahun belum tuntas. Sibutramine tidak
disetujui karena adanya efek pada kardiovaskular,4 walaupun sibutramine
merupakan obat yang paling efektif dalam mengobati obesitas dengan cara
kerja menimbulkan rasa kenyang dan meningkatkan pengeluaran energi
dengan menghambat reuptake noradrenalin dan serotonin. Metformin
merupakan obat yang digunakan pada diabetes mellitus tipe 2 tetapi sering
disalahgunakan sebagai farmakoterapi untuk obesitas. Obat ini tidak
disetujui oleh FDA karena dapat menyebabkan resistensi insulin pada anak
dan remaja obesitas dengan hiperinsulinemia. Indikasi penggunaan obat
pada pasien anak dengan obesitas yaitu4,13 :

Usia anak 12 tahun atau lebih


Anak dengan IMT yang tinggi, disertai dengan penyakit komorbid
seperti hipertensi, resistensi insulin, dyslipidemia, fatty liver dan

obstructive sleep apnea


Orlistat
Orlistat, atau banyak dikenal dengan xenical, merupakan obat. Orlistat
menghambat penyerapan lemak sebesar 30% dengan cara menghambat
pancreatic dan gastic lipase. Orlistat dikonsumsi secara oral dengan dosis
120 mg sebanyak 3 kali sehari. Orlistat hanya digunakan pada anak usia 12
tahun atau lebih. Pada penelitian trial orlistat dilaporkan terdapat
penurunan IMT berkisar antara 0,7 sampai 0,8 kg/m 2. Walaupun orlistat
mempunyai keamanan yang baik, ada beberapa hal mengenai tolerabilitas
seperti oily spotting, oily evacuation, fecal urgency, dan nyeri perut.14 Efek
samping lain yang sering muncul pada penggunaan orlistat antara lain:
feses lunak, nyeri abdomen, flatus, inkontinesia yang paling sering terjadi
selama 1-2 bulan pertama dengan derajat ringan sampai sedang dan
cenderung membaik seiring berlanjutnya penggunaan.15

2.7.3 Pembedahan
Tatalaksana

dengan perubahan

gaya

hidup

dan farmakologi

memberikan banyak keterbatasan. Untuk mengubah gaya hidup butuh


waktu yang lama dan butuh dukungan dari lingkungan sekitar, sedangkan
dalam

menggunakan

obat-obatan

sebagai

farmakoterapi

dapat

disalahgunakan oleh pasien, baik dari anak itu sendiri maupun orangtua
pasien. Obat-obatan dapat dianggap sebagai jalan pintas untuk
menurunkan berat badan dan hal ini banyak ditemukan di Indonesia. Oleh
karena itu, untuk menangani kasus obesitas dapat dipertimbangkan
tindakan pembedahan, yaitu operasi bariatrik. Prinsip terapi bedah pada
obesitas adalah :4
1. Mengurangi asupan makanan (restriksi) atau memperlambat
pengosongan lambung

dengan

cara

gastric

banding

dan

vertical-banded gastroplasty
2. Mengurangi absorbsi makanan dengan cara membuat gastric
bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus.
Namun bukan berarti bahwa teknik pembedahan dapat berdiri sendiri.
Setelah melakukan teknik pembedahan, perubahan gaya hidup juga
dibutuhkan agar berat badan dapat dipertahankan. Indikasi operasi
bariatrik adalah sebagai berikut :
IMT > 40 kg/m2 dengan komorbid yang berat :
o Diabetes mellitus tipe 2
o Sleep apnea sedang berat
o Pseudotumor serebri
o NASH dengan fibrosis
IMT > 50 kg/m2 dengan komorbid ringan
o Hipertensi
o Dislipidemia
o Obstruktif sleep apnea ringan
o Insufisiensi vena kronik
o Panniculitis
o Inkontinensia urin
o Gangguan pada aktivitas sehari-hari
o NASH
o Gastroesofageal reflux disease (GERD)
o Distress psikologis berat
o Nyeri sendi akibat berat badan berlebih
2.8. Pencegahan

Pencegahan awal lebih baik dibila dibandingkan dengan pengobatan.


Pencegahan pada obesitas harus dilakukan oleh berbagai pihak untuk
mendukung hasil yang optimal. Pihak yang terlibat dapat diawali dari keluarga,
kemudian di lingkungan sekolah, dan komunitas.
Pencegahan pada obesitas dibagi ke dalam 3 jenis, yaitu pencegahan primer,
sekunder dan tersier4.
2.8.1 Pencegahan primer
o

Peran dokter dalam usaha pencegahan obesitas pada bayi 0-12 bulan
dapat berupa11 :
1. Mendorong pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan
meneruskan pemberian ASI sampai usia 12 bulan dan sesudahnya
setelah pengenalan makan padat dimulai.
2. Mendorong orang tua untuk menawarkan makanan baru secara
berulang serta menghindari minuman manis dan makanan selingan.
3. Tidak meletakkan tv di dalam kamar tidur anak
4. Pengasuh selain orangtua harus menerapkan strategi yang
dianjurkan

Peran dokter dalam usaha pencegahan obesitas pada bayi 12-24 bulan
dapat berupa :
1. Menghindari minuman manis, konsumsi jus dan susu yang
berlebih.
2. Makan bersama di meja makan dengan anggota keluarga lainnya
sebanyak 3x/hari dan TV dimatikan selama proses makan bersama
3. Keluarga tidak membatasi jumlah makanan dan selingan yang
dikonsumsi anak, tetapi memastikan bahwa semua makanan yang
tersedia sehat serta cukup buah dan sayuran
4. Selingan dapat diberikan sebanyak 2 kali, dan orang tua hanya
menawarkan air putih bila anak haus diantara selingan dan makan
padat.
5. Anak harus mempunyai kesempatan bermain aktif, membatasi
menonton televisi atau DVD serta tidak meletakkan tv di dalam
kamar tidur anak
6. Orangtua dapat menjadi model untuk membantu anak belajar lebih
selektif dan sehat terhadap makanan yang dikonsumsi. Orangtua
berperan aktif dalam pendidikan media anak dengan menemani

anak saat menonton program televisi dan mendiskusikan acara


tersebut dengan anak
7. Membuat jadwal penggunaan media, membatasi waktu menonton
<1-2 jam/hari dan mengurangi pajanan media.
2.8.2 Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendeteksi early adiposity
rebound. Anak mengalami peningkatan IMT pada tahun pertama
kehidupan. Indeks massa tubuh menurun setelah usia 9-12 bulan dan
mencapai nilai terendah pada usia 5-6 tahun, dan selanjutnya meningkat
kembali pada masa remaja dan dewasa. Titik pada saat IMT meningkat
setelah mencapai IMT terendah disebut adiposity rebound. Waktu
terjadinya

adiposity

rebound

merupakan

periode

kritis

untuk

perkembangan obesitas pada masa anak. Adiposity rebound yang terjadi


lebih dini dan cepat (<5tahun) berhubungan dengan peningkatan risiko
obesitas dan sindrom metabolik di kemudian hari.8 Mekanisme hubungan
antara risiko obesitas dan early adiposity rebound sangatlah kompleks.
Program metabolik tubuh yang mengarah pada resistensi insulin pada
masa dewasa merupakan salah satu penyebab dari early adiposity
rebound. Proses penyimpanan lemak tubuh yang lebih awal pada anak
usia dini menunjukan adanya kerentanan terhadap resistensi leptin dan
resistensi insulin.16,17
Mula-mula ukuran sel lemak membesar dari lahir sampai usia
setahun sehingga IMT meningkat, kemudian ukuran sel lemak stabil
sampai usia 4-6 tahun menyebabkan IMT menurun sampai titik terendah di
usia 4-6 tahun karena tinggi badan bertambah. Akhirnya ukuran dan
jumlah sel lemak meningkat lagi sehingga IMT meningkat kembali.
Titik pada saat IMT meningkat setelah mencapai IMT terendah disebut
adiposity rebound. Adiposity rebound biasanya terjadi saat usia 4-6 tahun.
Maka dari itu semakin dini usia adiposity rebound (early adiposity
rebound), pada usia kurang dari 4 tahun maka semakin tinggi risiko
obesitas di kemudian hari.18

Gambar 2.5. Adiposity Rebound4


2.8.3 Pencegahan tersier
Pencegahan tersier dilakukan dengan mencegah komorbiditas dengan
cara melakukan tatalaksana pada anak dengan obesitas. Tatalaksana
obesitas

pada

anak

dan

dewasa

berbeda

karena

pada

angka

dipertimbangkan proses tumbuh kembang anak. Mengatasi obesitas pada


anak memerlukan adanya keseimbangan dari pengaturan diet, peningkatan
aktivitas fisik dan mengubah perilaku pola hidup serta melibatkan keluarga
dalam

proses

terapi.

Sulitnya

mengatasi

obesitas

menyebabkan

kecenderungan untuk menggunakan jalan pintas, yaitu diet rendah lemak


dan kalori, diet golongan darah atau diet lainnya serta berbagai macam
obat. Pengunaan diet rendah kalori dan lemak dapat menghambat tumbuh
kembang anak terutama di masa emas pertumbuhan otak, sedangkan diet
golongan darah ataupun diet lainnya tidak terbukti bermanfaat untuk
digunakan dalam tatalaksana obesitas pada anak dan remaja. Penggunaan
obat dipertimbangkan pada anak dan remaja obesitas dengan penyakit
penyerta yang tidak memberikan respon pada terapi konvensional.4

2.9.

Komplikasi

Obesitas pada anak dan remaja dapat mengakibatkan gangguan


pernapasan, sleep apnea, masalah sistem reproduksi, masalah psikososial,
gangguan metabolism, diabetes mellitus tipe 2, gangguan kardiovaskular,
masalah postur dan perkembangan tulang ekstremitas, serta peningkatan
risiko obesitas saat usia dewasa.12,19
2.9.1. Gangguan pernapasan
Asma saling berhubungan dengan obesitas pada anak. Anak
dengan asma seringkali memiliki aktivitas fisik yang rendah,
pengobatan asma dapat menyebabkan peningkatan berat badan
sehingga meningkatkan risiko obesitas. Sedangkan suatu penelitian
menyebutkan bahwa penurunan berat badan pada obesitas dapat
memperbaiki fungsi paru sehingga mengurangi gejala asma.20
2.9.2. Sleep apnea
Suatu penelitian menyebutkan bahwa anak dengan obesitas
memiliki pola tidur yang abnormal dengan saturan oksigen dibawah
90% pada setengah dari periode tidurnya. Selain itu, obesitas berat
pada anak juga menunjukkan adanya hipoventilasi sentral. 3 Gejala
yang muncul dapat berupa mengorok atau ada henti napas saat tidur,
sering terbangun saat tidur, atau mengantuk di siang hari.21
2.9.3. Gangguan pada sistem reproduksi
Sering terjadi obesitas pada anak perempuan memiliki
manifestasi berupa gangguan menstruasi. Hal ini terjadi akibat
respon endokrin terhadap berat badan yang berlebih. Gangguan
menstruasi dapat berupa oligomenorrhoea atau amenorrhoea yang
berhubungan dengan obesitas, resistensi insulin, hirsutism, akne,
PCOS. Anak dengan IMT tinggi dapat menyebabkan gangguan pada
siklus menstruasi dan gangguan ovulasi yang dapat berdampak pada
infertilitas.22
Hubungan obesitas pada menstruasi dini dinilai dari penelitan
yang menunjukkan semakin tinggi angka berat badan didapatkan
bahwa usia menarche akan semakin awal. Menstruasi dini ini dapat
meningkatkan risiko kanker payudara atau kanker lain pada sistem
reproduksi wanita saat anak menginjak usia dewasa. Selain itu
menstruasi dini juga meningkatkan risiko abortus spontan serta

berpengaruh pada psikologis anak dengan manifestasi depresi,


gangguan pada pola makan atau ketergantungan pada obat-obatan.
Gangguan sistem reproduksi pada anak laki-laki dengan
obesitas berupa keterlambatan maturitas reproduksi. Manifestasi
pada anak laki-laki berupa keterlambatan usia pubertas yang ditandai
dengan

keterlambatan

perubahan

komposisi

tubuh

berupa

peningkatan massa otot.23


2.9.4. Gangguan psikososial
Anak dengan obesitas cenderung mengalami penurunan
kepercayaan diri dari berbagai aspek kehidupan seperti penampilan,
kemampuan akademis serta kemampuan bersosialisasi. Semakin tua
usia anak dengan obesitas sering disertai dengan semakin
menurunnya kepercayaan diri. Anak yang seringkali dihina dalam
lingkup pergaulannya akibat berat badannya yang berlebih menjadi
tidak percaya diri terhadap bentuk tubuhnnya dan dapat berkembang
menjadi suatu eating disorders. Akibat dari kepercayaan diri yang
rendah, anak menjadi lebih tertutup dalam pergaulan sehingga anak
lebih sering tampak menyendiri.
Gejala depresi juga sering muncul pada anak dengan obesitas
yang ditandai dengan perilaku yang agresif, sering tampak murung
dan marah. Selain itu dapat muncul gejala ansietas seperti cek berat
badan berulang kali dalam satu hari, cemas ketika makan lebih
banyak dari porsi sehari-hari.24
2.9.5. Gangguan metabolisme
Metabolic syndrome yang berhubungan dengan obesitas pada
anak dapat berupa resistensi insulin dan hipertensi. Tekanan darah
yang berada diatas angka normal dapat menunjukkan kecenderungan
terhadap peningkatan level insulin dalam plasma.23
2.9.6. Diabetes tipe 2
Penderita obesitas dapat mengalami keadaan hiperinsulinemia
dan resistensi insulin yang menyebabkan terjadinya diabetes melitus
tipe 2. Gejala yang dirasakan dapat berupa poliuria, polidipsia,
polifagi, dan akantosis nigricans. 24

Gambar 2.6. Akantosis nigricans25


2.9.7. Gangguan kardiovaskular
Suatu penelitian menyebutkan bahwa berat badan berlebih
pada remaja memiliki risiko 8,5 kali lebih tinggi untuk mengalami
hipertensi, peningkatan total kolesterol sebanyak 2,4 serta peningkatan
risiko 3 kali lebih tinggi untuk kadar LDL. Kadar HDL pada usia 27
31 tahun mengalami penurunan 8 kali lebih rendah pada anak
obesitas. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa obesitas pada
usia remaja dapat berdampak terhadap peningkatan risiko hipertensi,
peningkatan kolesterol, LDL dan penurunan HDL pada usia dewasa.
Gejala pada anak dengan kadar kolesterol dan LDL tinggi sering tidak
muncul, hal ini dapat diketahui dengan pemeriksaan darah.26
2.9.8. Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD)
NAFLD pada anak obesitas umumnya tidak menimbulkan
gejala dan dapat dideteksi dengan peningkatan SGPT dan SGOT.
Beberapa anak dapat menimbulkan gejala seperti malaise, fatigue,
rasa tidak nyaman di regio kanan atas abdomen.27
2.9.9. Postur dan perkembangan tulang ekstremitas
Gejala muskuloskeletal pada anak obesitas dapat berupa nyeri
pinggul atau lutut, range of motion terbatas, penurunan sudut rotasi
internal pada sendi panggul, perubahan pada cara berjalan, atau
bengkok pada tungkai yang membentuk huruf X.24

Gambar 2.7. Bentuk tungkai X pada obesitas28.


2.9.10. Obesitas pada usia dewasa
Banyak penelitian menunjukkan bahwa obesitas pada masa
anak berkaitan dengan kejadian obesitas pada masa dewasa, dengan
semakin dini seorang anak mengalami obesitas maka semakin
rendah usia harapan hidupnya akibat menderita penyakit kronis
degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung, stroke
dan kanker.19

BAB III
KESIMPULAN

Obesitas merupakan suatu masalah kesehatan dunia yang tidak dapat


dipandang sebelah mata. Obesitas tidak hanya terjadi pada dewasa, tetapi dapat
terjadi juga pada anak. Hal ini membutuhkan perhatian khusus karena obesitas pada
anak memiliki angka prevalensi yang terus meningkat setiap tahunnya sehingga
menimbulkan masalah kesehatan yang semakin besar. Obesitas sendiri menyebabkan
berbagai komplikasi yang dapat terjadi sehingga mengurangi angka harapan hidup
dan kualitas hidup manusia, terutama bila dari usia muda telah mengalami obesitas.
Terdapat beberapa faktor yang dapat berperan dalam terjadinya obesitas, yaitu
genetik, gaya hidup, dan pola makan. Ketidakseimbangan kalori yang masuk dan
keluar dapat terjadi karena pembatasan aktivitas fisik yang terjadi pada anak
sehingga menyebabkan tubuh mereka banyak menyimpan kalori yang akhirnya akan
diubah menjadi lemak. Sedangkan pola makan yang semakin tidak teratur, konsumsi
makanan berkalori tinggi dengan karbohidrat simpleks menyebabkan peningkatan
asupan kalori tubuh.
Dalam melakukan diagnosis obesitas pada anak, diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan antropometris dan deteksi dini komorbiditas dengan
melakukan beberapa pemeriksaan khusus guna untuk menanggulangi terjadinya
komplikasi daripada obesitas. Pada pemeriksaan antroprometris digunakan grafik
IMT berdasarkan usia dan jenis kelamin. Pada anak usia kurang dari 2 tahun
digunakan IMT WHO 2006, pada anak usia 2-18 tahun digunakan grafik IMT CDC
2000.
Penatalaksanaan terhadap obesitas anak merupakan suatu hal yang tidak
mudah untuk dilakukan. Penatalaksanaan obesitas pada anak harus dilakukan secara
multimodal untuk mencapai perubahan gaya hidup dan dilakukan sedini mungkin.
Kombinasi terapi yang dilakukan berupa anjuran nutrisi, olahraga dan pendekatan
perilaku kognitif. Kombinasi dari ketiga ini biasanya bekerja dengan baik.
Pencegahannya dapat dilakukan dengan berbagai tingkat pencegahan, yaitu secara
primer, sekunder dan tersier. Seluruh rangkaian pencegahan dan penatalaksanaan ini
membutuhkan peran penting dari orang tua.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Karnik S, Kanekar A. Childhood obesity: a global public health crisis. Int J Prev

2.

Med. 2012;3(1):1-7.
Gahagan S. Overweight and obesity. In: Kleigman RM, Behrman RE, St.Geme
JW, Schor NF, Stanton FB. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia:

3.

Elsevier; 2016. pp. 307316.


WHO | Facts and figures on childhood obesity [Internet]. Who.int. 2016 [cited
27 November 2016]. Available from: http://www.who.int/end-childhood-

4.

obesity/facts/en/
Sjarif DR, Gultom LC, Hendarto A, Lestari ED, Sidiartha IG, Mexitalia M.
Rekomendasi ikatan dokter anak Indonesia: diagnosis, tata laksana dan
pencegahan obesitas pada anak dan remaja. UKK Nutrisi dan Penyakit

5.

Metabolik IDAI. 2014.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan

6.

Dasar Indonesia (Riskesdas). 2013.


Vos M, Welsh J. Childhood obesity : update on predisposing factors and

7.

prevention strategies. Curr Gastroenterol Rep. 2010 ; 12(4): 280-287.


Goldfine A, Kahn C. Adiponectin: linking the fat cell to insulin sensitivity. The

8.

Lancet. 2003;362(9394):1431-1432.
Nishida M, Funahashi T, Shimomura I. Pathophysiological significance of

9.

adiponectin. Medical Molecular Morphology. 2007;40(2):55-67.


Shibata R, Ouchi N, Walsh K, Murohara T. Potential of adiponectin as a

cardioprotective agent. Future Cardiology. 2007;3(6):647-656.


10. Kramer RE. Obesity. In: Bajaj L, Berman S, Berman S. Berman's pediatric
decision making. 1st ed. Philadelphia: Elsevier; 2011.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar Indonesia (Riskesdas). 2010.
12. Kipping R, Jago R, Lawlor D. Obesity in children. Part 1: Epidemiology,
measurement, risk factors, and screening. BMJ. 2008;337:a1824-a1824.
13. Kelly AS, Barlow SE, Rao GR, Inge TH, Hayman LL, Steinberger J, et al.
Severe Obesity in Children and Adolescents: Identification, Associated Health
Risks, and Treatment Approaches : AHA; 2013
14. Kang JG, Park CY. Anti-obesity drugs: a review about their effects and safety.
Diabetes & Metabolism Journal; 2012
15. Royal College of Physicians of London. Anti-obesity drugs: guidance on
appropriate prescribing and management. Royal College of Physicians of
London, 2003:1-28

16. Arisaka O, Ichikawa G, Koyama S, Shimura N, Imataka G, Kurosawa H, et al.


Early adiposity rebound and small dense low-density lipoprotein in childhood
obesity. J Obes Weight Loss Ther. Department of Pediatrics, Medical University
School of Medicine Japan. 2016;(6):1-3
17. Satomi K, Ichikawa G, Megumi K, Naoto S, Toshimi S, Arisaka. Adiposity
rebound and the development of metabolic syndrome. Departments of Pediatrics
and Public Health, Dokkyo Medical University Japan. 2014:114-119
18. Rolland CM, Deheeger M, Maillot M, Bellisle F. Early adiposity rebound:
causes and consequences for obesity in children and adults. International Journal
of Obesity. 2006;30:S11-S17.
19. Obesitas pada Anak [Internet]. IDAI. 2016 [cited 4 December 2016]. Available
from: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/obesitas-pada-anak
20. Lobstein T, Baur L, Uauy R. Obesity in children and young people: a crisis in
public health. Obesity Reviews. 2004;5(s1):4-85.
21. Daltro C, Gregorio P, Alves E, Abreu M, Bomfim D, Chicourel M et al.
Prevalence and severity of sleep apnea in a group of morbidly obese patients.
Obesity Surgery. 2007;17(6):809-814.
22. Diamanti KE. Role of obesity and adiposity in polycystic ovary syndrome.
International Journal of Obesity. 2007;31:S8-S13.
23. Koyuncuoglu GN. Overweight and obesity in children and adolescents. Journal
of Clinical Research in Pediatric Endocrinology. 2014;:129-143.
24. de Pablos VP, Martnez MF, Rodrguez PF. Prevalence of obesity in a Canarian
community. Association with type 2 diabetes mellitus: the Gua Study. European
Journal of Clinical Nutrition. 2002;56(6):557-560.
25. Phiske M. An approach to acanthosis nigricans. Indian Dermatology Online
Journal. 2014;5(3):239.
26. Ohashi K, Ouchi N, Matsuzawa Y. Adiponectin and hypertension. American
Journal of Hypertension. 2011;24(3):263-269.
27. Moore J. Non-alcoholic fatty liver disease: the hepatic consequence of obesity
and the metabolic syndrome. Proceedings of the Nutrition Society.
2010;69(02):211.
28. Knock Knees Boston Children's Hospital [Internet]. Childrenshospital.org. 2016
[cited

December

2016].

Available

from:

http://www.childrenshospital.org/conditions-and-treatments/conditions/knockknees/symptoms-and-causes

Anda mungkin juga menyukai