Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga untuk
memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah diperlukan
suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita tersebut.
Dalam dasar menimbang Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan
yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau
digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.
Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis
akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya
serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Artinya
keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk mempergunakan obat
tersebut secara terus menerus karena sebab-sebab emosional.
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat
memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena Indonesia
yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi
yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan dinamika sasaran
opini peredaran gelap. Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada
umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat
mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian secara illegal bermacam
macam jenis narkotika. Kekhawatiran ini semakin di pertajam akibat
maraknya peredaran gelap narkotika yang telah merebak di segala lapisan

masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat


berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara pada masa mendatang.
Bahaya penyalahgunaannya tidak hanya terbatas pada diri pecandu,
melainkan dapat membawa akibat lebih jauh lagi, yaitu gangguan terhadap
tata kehidupan masyarakat yang bisa berdampak pada malapetaka runtuhnya
suatu bangsa negara dan dunia. Negara yang tidak dapat menanggulangi
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika akan diklaim sebagai sarang
kejahatan ini. Hal tersebut tentu saja menimbulkan dampak negatif bagi citra
suatu negara. Untuk mengantisipasi masalah tersebut telah diadakan berbagai
kegiatan yang bersifat internasional, termasuk konferensi yang telah diadakan
baik dibawah naungan Liga Bangsa-Bangsa maupun di bawah naungan
Peserikatan Bangsa Bangsa.
Keberadaan Undang undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika
tersebut di dorong untuk lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan
serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran narkotika, di perlukan pengaturan dalam bentuk Undang undang
baru yang berazaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa,

manfaat,

keseimbangan,

keserasian,

dan

keselarasan

dalam

perikehidupan, hukum serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan


mengingat ketentuan baru dalam konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa
tentang pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika tahun
1988 yang telah diratifikasi dengan Undang -undang nomor 7 tahun 1997
tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa -Bangsa tentang
pemberantasan peredaran gelap narkotika.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari narkotika?
2. Bagaimana penyebaran narkotika di masyarakat?
3. Efek apa yang disebabkan oleh narkotika?

4. Apa saja jenis-jenis narkotika?


1.3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu narkotika.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyebaran narkotika di kalangan
masyarakat.
3. Untuk mengetahui efek dari narkotika.
4. Untuk mengetahui jenis-jenis narkotika.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. UU Narkotika No 35 tahun 2009
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA
BAB VI
PEREDARAN
A. Bagian Umum
Pasal 35
Peredaran Narkotika

meliputi setiap kegiatan atau serangkaian

kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka


perdagangan,

bukan

perdagangan

maupun pemindahtanganan,

untuk

kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi.
Pasal 36
1. Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah
mendapatkan izin edar dari Menteri.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran
Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
3. Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat
jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran Narkotika
dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 37
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku,
baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen
yang sah.
B. Bagian Kedua Penyaluran
Pasal 39
1

Narkotika hanya dapat disalurkan oleh :Industri Farmasi, pedagang besar


farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan

ketentuan dalam Undang-Undang ini.


Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.
Pasal 40

Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:


a. pedagang besar farmasi tertentu
b. apotek
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan
d. rumah sakit.
2 Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika
kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya
b. apotek
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
d. rumah sakit; dan
e. lembaga ilmu pengetahuan.
3

Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat


menyalurkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit pemerintah
b. pusat kesehatan masyarakat; dan
5

c. balai pengobatan pemerintah tertentu.


Pasal 41
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar
farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran
Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
C. Bagian Ketiga Penyerahan
Pasal 43
1

Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:


a. apotek;
b. rumah sakit
c. pusat kesehatan masyarakat
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
2 Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit
b. pusat kesehatan masyarakat
c. apotek lainnya
d. balai pengobatan
e. dokter; dan
f. pasien.
3 Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan
hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep
4

dokter.
Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan

Narkotika melalui suntikan; atau


c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
5 Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan
oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di
apotek.
Pasal 44

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan


Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pengertian Narkotika menurut undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dapat
dibedakan kedalam golongan I, II, III. Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009
narkotika dibagai 3 golongan yakni:
1. Narkotika golongan 1
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi
yang

sangat

tinggi

menimbulkan

ketergantungan.

Contoh:

ganja,

papaver somniverum, cocain (Erythroxylon coca), opium mentah, opium


masak, heroin, Etorfindan lain-lain.
2. Narkotika golongan II
Narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan digunakan dalam pilihan
terakhir dan akan digunakan dalam terapi atau buat pengembangan ilmu
pengetahuan serta memiliki potensi tinggi menimbulkan ketergantungan.
Contoh: fentanil, morfin, petidin, tebaina, ekgonina dan lain-lain.
3. Narkotika golongan III
Narkotika yang digunakan dalam terapi atau pengobatan dan
untukpengembangan pengetahuan serta menimbulkan potensi ringan serta
mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: etil morfin, codein, propiran, nikokodina, polkodina, norkodeina dan
lain-lain

BAB III
PEMBAHASAN
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, serta dapat menimbulkan ketergantungan. Kejahatan narkoba
(narkotika dan obat-obat terlarang) merupakan kejahatan yang bersifat
transinternasional dan kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Pusat Penelitian


Kesehatan (Puslitkes) UI menyatakan, setiap hari ada 50 orang yang meninggal
sia-sia karena narkoba (di antara 4 juta pengguna narkoba, Red)! Kejahatan
narkoba sudah darurat, tidak memandang profesi, umur, strata sosial, dan strata
golongan. Memberantasnya harus dengan cara luar biasa.
Kita mengenal, ada narkotika yang berasal dari alam (ganja, kokain) serta
narkotika

sintetis

(sabu

dan

ekstasi).

Sabu

merupakan

nama

jalanan methamphetamine dan ekstasi dari 3,4-methylenedioxymethamphetamine.


Keduanya termasuk golongan obat stimulansia, yakni golongan psikotropika yang
bersifat psikoaktif, merangsang kegiatan saraf dan fungsi tubuh sehingga
mengurangi rasa ngantuk dan lapar serta menimbulkan rasa gembira dan semangat
yang berlebihan. Semula sabu dan ekstasi masuk psikotropika. Akibat adanya
penyalahgunaannya yang kian parah, UU No 35/2009 tentang Narkotika
memasukkan keduanya ke narkotika golongan 1.
UU itu juga mengatur tentang pengawasan yang ketat terhadap prekursor
narkotika, yakni zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan
dalam pembuatan narkotika (sintetis). Prekursor dibedakan menjadi dua tabel.
Untuk prekursor yang digunakan dalam kegiatan industri farmasi, pengawasannya
ada pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sedangkan pengawasan
prekursor yang digunakan untuk kebutuhan nonfarmasi ada pada BNN dan
Bareskrim Polri.
Sekarang terjadi pergeseran konsumsi dari narkotika alami (ganja, kokain)
ke narkotika jenis sintetis (sabu dan ekstasi). Untuk membuat narkotika sintetis
jenis sabu dan ekstasi, dibutuhkan prekursor yang bisa didapatkan dari obatobatan (sediaan farmasi). Selama ini, sering ditemukan di clandestine
laboratory (lab gelap) berbagai macam sediaan farmasi yang mungkin digunakan
secara ilegal sebagai zat aktif ataupun zat tambahan untuk pembuatan narkotika
sintetis. Untuk itulah, diperlukan fungsi apoteker dalam melakukan kontrol
(pengawasan) terhadap komoditas farmasi.

Pengungkapan kasus clandestine laboratory oleh Polri di Kemayoran,


Jakarta, dan Sidoarjo, Jatim, bisa menjadi contoh. Seperti diberitakan, di sana
ditemukan beberapa sediaan farmasi, baik yang sudah termasuk prekursor farmasi
maupun yang belum, dalam volume yang relatif besar. Gawatnya, menurut
pengakuan tersangka, semua itu didapatkan dari sarana pelayanan kefarmasian,
dalam hal ini apotek. Sebenarnya hal itu merupakan fenomena yang beberapa
tahun terakhir ini saya amati dari berbagai kasus pengungkapan clandestine
laboratory di Indonesia.
Kasus itu seharusnya membuka mata kita semua bahwa penjahat narkoba
telah menempuh berbagai macam cara untuk pembuatan narkotika sintetis.
Penting untuk melibatkan para ahli farmasi dan apoteker dalam melakukan
pengawasan prekursor narkotika dan back trace (penelusuran kembali) asal
muasal prekursor yang digunakan dalam pembuatan narkotika sintetis. Dengan
begitu, bisa kita ketahui sebenarnya di mana letak kebocoran untuk menangkal
terulangnya peristiwa serupa.
Sebenarnya memang harus ada langkah-langkah preventif (pencegahan)
dalam rangka mencegah agar tidak terjadi diversi (penyimpangan) prekursor.
Pertama, perlu adanya kerja sama para stakeholder yang berkaitan dengan
prekursor narkotika dan narkotika dengan para ahli farmasi serta apoteker,
khususnya dalam pengawasan produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi.
Kedua, diperlukan komunikasi antara para stakeholderyang berkaitan
dengan prekursor narkotika dan narkotika dengan organisasi profesi yang
menaungi para ahli farmasi dan apoteker dalam rangka pembinaan mengenai
bahaya narkotika sintetis yang bahan utamanya berasal dari prekursor.
Ketiga, perlu melakukan seminar serta focuss group discussion (FGD)
yang melibatkan para stakeholder, ahli farmasi, dan apoteker yang membahas
narkotika sintetis dan prekursor yang digunakan dalam produksinya.

10

Keempat, para apoteker dan ahli farmasi perlu kembali ke kode etik
kefarmasian yang menekankan paradigma pharmaceutical care yang bertumpu
pada pelayanan patient oriented.
Kelima, para apoteker dan ahli farmasi perlu dilibatkan sebagai tenaga
sumber daya manusia pada badan dan lembaga pengawasan narkotika dan
prekursor narkotika serta penegakan hukum. Sebab, pada hakikatnya, narkotika
merupakan sediaan farmasi yang bersifat khusus sehingga penanganan dan
pengawasannya juga bersifat khusus.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran dan hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, serta dapat menimbulkan ketergantungan.

11

narkotika yang berasal dari alam (ganja, kokain) serta narkotika sintetis (sabu
dan ekstasi)
adapun perundang-undangan yang mengatur narkotika yaitu UU No 35/2009
tentang Narkotika
B. Saran
Diharapkan setelah penulis menyusun makalah ini masyarakat sadar akan
bahayanya mengkonsumsi narkotika dan menyalah gunakan narkotika.
Karena jika salah seorang sudah menggunakan narkotika dan kecanduan, orang
tersebut akan mengalami jantung yang berdebar-debar, mering menguap,
mengeluarkan air mata berlebihan, mengeluarkan keringat berlebihan,
mengalami nyeri kepala, mengalami nyeri/nilu sendi-sendi.

12

Anda mungkin juga menyukai