Anda di halaman 1dari 23

Aliran

BAB II
PEMBAHASAN
Mutazilah merupakan aliran

yang

membawa

persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat


filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum
Khawarij dan Murjiah, dalam pembahasan mereka banyak
memakai

akal

sehingga

mereka

mendapat julukan kaum

rasionalis Islam.1 Kaum Mutazilah sangat mementingkan akal


dan percaya bahwa akal manusia mampu mengetahui baik-buruk
walaupun syariat belum turun. Seiring dengan itu, dalam sejarah
teologi Islam, telah tampak bahwa kaum Mutazilah merupakan
orang-orang yang bertanggung jawab melalui diskusi-diskusi
agama dalam terminologi konsep filsafat yunani.2
1. Latar Belakang Lahirnya Aliran Mutazilah
Kelahiran aliran mutazilah tidak lepas dari perbedaanperbedaan pendapat yang timbul di antara aliran-aliran yang
ada. Misalnya, orang Islam yang melakukan dosa besar (almurtakib al-kabair), apakah mereka tetap muslim atau sudah
kafir? Khawarij berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa
besar

adalah

kafir,

sedangkan

Murjiah

berpandangan

sebaliknya, bahwa mereka masih tetap muslim. Meskipun


perdebatan mengenai pelaku dosa besar, telah muncul pada
zaman Ali Ibn Abi Thalib, kemudian berkembang terus dan
semakin

sangat

penyelesaiannya-pun

permasalahannya,3

kompleks
sulit

diwujudkan,

dalam

sehingga
arti

untuk

1Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran aliran Sejarah Analisis


Perbandingan (Cet. V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h.
40.
2Lihat, Montgomery Watt, Islamic Theology and Philosophy, terj. Umar
Basalin dengan judul pemikiran Teology dan Filsafat Islam (Jakarta: UIPress, 1979), h. 74.

memuaskan semua pihak. Seiring dengan itu, muncullah aliran


baru yang dipelopori oleh Washil bin Atha (w. 131 H) dan Amr
bin Ubaid yang dikenal dengan nama aliran Mutazilah. Menurut
Washil, orang yang berdosa besar tidak disebut mukmin dan
tidak pula kafir, tetapi ia berada pada posisih tengah (almanzilah bayn al-manzilatayn), yaitu sebagai orang fasik. Dia
bukan mukmin dan bukan pula kafir.4
2. Asal Usul Nama Mutazilah
a. Secara Etimologi
Al-Mutazilah berasal dari bahasa Arab
yang akar katanya terdiri dari huruf yang berarti
penyingkiran atau penjauhan dan kecondongan.5
b. Secara Terminologi
Namun secara termenologi, ada beberapa komentar atau
analisa seputar pemberian nama al-Mutazilah tersebut. Analisa
yang paling dominan adalah peristiwa yang terjadi antara Wasil
Ibn Atha dan sahabat Amr Ibn Ubaid dengan Hasan al-Basri di
Basrah.

Wasil

selalu

mengikuti

pelajaran-pelajaran

yang

diberikan Hasan al-Basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang


seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang
berdosa

besar.

Sebagaimana

diketahui

kaum

Khawarij

memandang mereka kafir serta kaum Murjiah memandang


mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri sementara berfikir, Wasil
mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan:
3Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi alSiyasah wa al-Aqaid, (Kairoh: Dar al-Fikr al-Arabi, 1956), h.113.
4Lihat, Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firak (Beirut: Dar alAfaq al-Jadidah, 1973), h. 93.
5Abu al-Hasan Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mujam Maqayis al-Lugah,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1423 H./2002 M.) Jilid 4 h. 251.

Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar


bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi
di antara keduanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir.6
Kemudian Wasil berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan alBasri pergi mecari tempat lain di mesjid dan di sana ia
mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan alBasri mengatakan: Wasil menjauhkan diri dari kita (itazala
anna).

Dari

peristiwa

itulah

muncul

sebagaimana pendapat al-Syahrastani.7


Versi lain yang diberikan oleh

nama
Tasy

al-Mutazilah

Kubra

Zadah,

menyebutkan bahwa Qatadah Ibn Daamah pada suatu hari


masuk ke mesjid Basrah dan menuju ke majelis Amr Ibn Ubaid
yang

disangkanya

adalah

majelis

Hasan

al-Basri.

Setelah

mengetahui bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan


meninggalkan tempat itu, sambil berkata: Ini kaum Mutazilah.
Semenjak itu, menurut Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum
Mutazilah.8
Di samping pendapat-pendapat klasik tersebut, Ahmad
Amin mengajukan teori baru dengan mengatakan bahwa nama
al-Mutazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil
dengan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang
6Alasan Washil adalah Iman itu ungkapan terhadap berbagai macam
kebaikan sehingga iman itu pada dasarnya adalah pujian, sementara
orang fasik (orang yang melakukan dosa besar) tidak bisa diberikan
pujian dan hak iman akan tetapi tidak bisa juga dikatakan kafir sebab
dia telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan masih banyak juga
kebaikan yang ada padanya, sehingga jika meninggal tanpa taubat dia
akan masuk neraka meskipun siksaannya tidak seberat orang kafir.
Lihat Muhammad Ibn Abd Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,
(Bairut: Dar al-Marifah, 1404 H.) Jilid 1 h. 45.
7Harun Nasution, op. cit., h. 40.
8Ahmad Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam, Kairo, 1969 h. 75.

posisi di antara dua posisi. 9 Namun penamaan al-Mutazilah itu


dipakai terhadap golongan orang-orang yang tidak mau turut
campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi pada
zaman Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib. Mereka
menjauhkan diri dari golongan-golongan yang saling bertikai. 10
Dengan demikian, kata Itazala dan Mutazilah telah dipakai kirakira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan alBasri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut
dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.
Mencermati pendapat ulama seputar al-Mutazilah, maka
dikatakan bahwa secara teknis, istilah al-Mutazilah terbagi
dalam dua kategori yaitu: Pertama: Golongan yang muncul murni
sebagai respon politik. Golongan ini tumbuh sebagai kaum yang
menjunjung politik netral, khususnya dalam arti bersikap lunak
dalam menangani pertentangan antara Ali Ibn Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin
Zubair. Menurut Nurcholis Madjid, golongan inilah yang mulamula disebut kaum Mutazilah karena mereka menjauhkan diri
dari pertikaian masalah Khilafah. Kelompok ini bersifat netral
politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum
Mutazilah yang tumbuh di kemudian hari.11 Kedua: Golongan
9Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Cet. XI; Cairo: Maktabah al-Nahdhiyyah
al-Mishriyyah, 1975), h. 290.
10Golongan yang menjauhkan diri dalam peristiwa tersebut memang dijumpai
dalam buku-buku sejarah. Al-Thabari misalnya menyebutkan bahwa sewaktu
Qais Ibn Saad sampai di Mesir sebagai Gubernur dari Ali Ibn Abi Thalib, ia
menjumpai pertikaian di sana, satu golongan ikut padanya dan satu golongan
lagi menjauhkan diri ke Kharbita (itazalat ila Kharbita). Harun Nasution, op.
cit., h. 41.

11Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban (cet. II; Jakarta: Yayasan
Waqaf Paramadina, 1995), h. 17.

yang muncul sebagai respon terhadap persoalan teologis yang


berkembang di kalangan Khawarij dan Murjiah akibat adanya
peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan Khawarij dan Murjiah tentang
pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
C.A. Nallino seorang orientalis Italia mengemukakan
pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin, bahwa nama
Mutazilah sebenarnya bukan berarti memisahkan diri dari umat
Islam

lainnya

sebagaimana

pendapat

as-Syahrastani,

al-

Baghdadi, dan Tasy Qubra Zadah. Nama Mutazilah diberikan


kepada mereka karena mereka berdiri netral di antara Khawarij
dan Murjiah.12 Oleh karena itu, golongan kedua Mutazilah
mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mutazilah
pertama.13
3. Washil bin Atha dan Pokok-pokok Pemikirannya
a. Riwayat Hidup Washil bin Atha
Ia bernama Abu Huzayfah Washil bin Atha al-Ghazali, lahir
pada tahun 81 H di Madinah dan wafat tahun 131 H. 14 ia
termasuk keluarga Bani Makhzum dan istrinya adalah saudara
dari Amar Ibn Ubaid Abu Utsman. Washil hidup pada masa
Dinasti Umayyah, Khalifah Abd al-Malik bin Marwan, Khalifah alWalid bin Abd al-Malik bin Marwan dan Khalifah Hisyam. Pada
mulanya Washil belajar Ulum al-Quran dan Hadis pada Abu
Hasyim Abdullah bin Muhammad al-Hanafiah di Kota Mekah.

12Lihat, Abd al-Rahman Badawi, al-Turas al-Yunani fi al-Hadarah alIslamiah (Kairo: 1965), h. 185
13Ibid., h. 191
14 Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1983), h. 43

Kemudian setelah pindah ke Kota Bashrah, ia belajar pada Hasan


al-Bashri.15
b. Pokok-pokok Pemikiran Washil bin Atha
Adapun pokok-pokok pikiran Washil bin Atha dalam
Teologi Islam:16
1.
Pelaku dosa besar (murtakib al-kabair)
2.
Peniadaan sifat-sifat allah (nafy al- shifat)
3.
Kebebasan manusia
4.
Penilainya terhadap persoalan politik.
4. Al-ushul al-khamsah
Setiap sekte mempunyai pemikiran, pendapat, ajaran dan
keyakinan yang berbeda satu sama lain. al-Mutazilah juga
memiliki doktrin yang dikenal dalam bentuk lima ajaran dasar
yang populer dengan istilah al-Ushul al-Khamsah. Istilah al-Ushul
al-Khamsah belum tampak pada masa Washil Ibn Atha dan baru
sempurna ketika masa Abu al-Huzail al-Allaf. 17 Kelima dasar itu
akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Al-Tauhid
Ajaran pertama al-Mutazilah adalah al-Tauhid yang berarti
meyakini sepenuhnya bahwa Allah swt. adalah zat yang unik dan
tidak ada yang serupa dengan-Nya. Al-Tauhid berarti tidak ada
sifat yang berdiri di luar zat Allah swt. yang dikenal dengan nafy
al-sifat (penafiyan sifat-sifat Allah swt.). konsekwensinya Allah
tidak boleh sama dengan makhluknya seperti memiliki tangan,
15M. Arief Halim, Aliran-aliran Ilmu Kalam dan Kontemporer; Sejarah
Pemikiran dan Perkembangan (Cet. I; Makassar: Universitas Muslim
Indonesia, 2008), h. 59-60.
16Lihat, ibid., h. 60-63.
17Ali Muhammad al-Shallaby, al-Daulah al-Umawiyah Awamil alIzdihar wa Tadaiyat al-Inhiyar, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah,
Jilid 3 h. 385.

10

mempunyai bentuk fisik, dapat dilihat di akhirat. Singkatnya


mereka menolak paham Anthropomorpfisme yang disebut dalam
istilah arab al-Tajassum atau al-Tasybih, berupa paham yang
menggambarkan Allah dekat atau menyerupai makhluk-Nya. Dan
satu-satunya sifat Allah yang betul-betul tidak mungkin ada pada
makhluk-Nya ialah sifat qadim, dalam arti tidak mempunyai
permulaan. Dengan begitu, maka tidak ada yang lain selain dari
Allah yang bisah bersifat qadim dan hanya Allah saja yang boleh
bersifat qadim.18
Sehubungan dengan hal tersebut, maka kaum Mutazilah
membagi sifat-sifat Allah ke dalam dua bagian:
I.

Sifat Zatiyah yaitu sifat-sifat yg merupakan esensi


Allah, seperti: al-Wujud, al-Qadim, al-Hayah dan al-

II.

Qudrah.
Sifat Filiyah

yaitu

sifat-sifat

yang

merupakan

perbuatan-perbuatan Allah. Sifat Filiyah ini terdiri


dari sifat-sifat yang mengngandung arti hubungan
dengan makhluk-Nya, seperti: al-Iradah, al-Kalam,
al-Adl dan sebagainya.19
2. Al-Adl
Dengan memperhatikan pembagian sifat-sifat Allah di atas,
tampak bahwa ajaran al-Adl ini ada hubungannya dengan yang
pertama, al-Tauhid. Kalau dengan al-Tauhid kaum Mutazilah ingin
mensucikan Allah dari adanya persamaan-Nya dengan makhluk,
maka dengan al-Adl ini mereka ingin pula mensucikan perbuatan
Allah dari adanya persamaan-Nya dengan perbuatan makhluk.20

18M. Arief Halim, op. cit,. h. 73


19Ibid, h. 74
20Lihat, Harun Nasution, op. cit,. h. 53

11

Dalam

Syarah

al-Ushul

al-

Khamsah,

Abd

al-Jabar

menjelaskan, bahwa paham keadilan dalam pandangan alMutazilah membawa pada pengertian bahwa Tuhan wajib
berlaku adil dan mustahil berbuat zalim. Ajaran ini menimbulkan
paham al-Salah wa al-Aslah yang berarti Allah wajib berbuat baik
bahkan

yang

terbaik

bagi

manusia

seperti

Allah

wajib

mengirimkan Nabi dan Rasul, memberikan daya dan keinginan


sendiri kepada manusia, memberikan taklif yang sesuai dengan
kemampuan mereka, dan lain sebagainya.21
3. Al-Wad wa al-Waid
Al-Wad wa al-Waid (janji dan ancaman) merupakan
kelanjutan dari ajaran al-Adl. Menurut Mutazilah, Allah tidak
dapat dikatakan adil apa bila ia tidak memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik dan sebaliknya ia tidak menghukum
orang yang berbuat jahat. Dengan demikian, konsep keadilan
menghendaki supaya Allah memberi pahala bagi yang berbuat
baik dan memberi siksaan bagi orang yang berbuat jahat,
sebagai mana yang dijanjikan-Nya.22
Menurut al-Mutazilah, Allah

wajib

menepati

janji-Nya

memasukkan orang mukmin ke dalam surga dan mencampakkan


orang

kafir

dan

orang

berdosa

besar

ke

dalam

neraka.

Konsekwensinya pelaku dosa besar tidak mendapatkan syafaat,


tidak mengeluarkan penghuninya dari neraka.23

Oleh karena itu,

manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Jika


manusia memilih untuk beriman dan berbuat baik maka dia
21Lihat, Abd al-Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushul al-Khamsah (Kairo:
Maktabah al-Wahbah, 1965), h. 132.
22M. Arief Halim, op. cit,. h. 77
23Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam (Bairut: Dar al-Jail, 1416
H./1996 M), Jilid 1 h. 342

12

dijanjikan pahala masuk surga dan jika ingkar dan berbuat dosa
maka dimasukkan ke dalam neraka.
4. Al-Manzilah bayn al-Manzilatayn
Ajaran ini bermaksud menengah-nengahi antara sekte
Khawarij yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar termasuk
kafir, sedangkan sekte Murjiah berpendapat bahwa pelakunya
tetap

dikategorikan

orang

mukmin.

Dalam

pandangan

al-

Mutazilah, pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak mukmin, akan
tetapi dia berada dalam posisi tengah-tengah, sehingga jika tidak
taubat maka dia kekal dalam neraka.24
5. al-Amr bi al-Maruf wa al-Nahy an al-Munkar
Dalam

prinsip

al-Mutazilah,

setiap

muslim

wajib

menegakkan amr maruf nahy munkar. Menyebarkan dakwah


Islam, memberi petunjuk kepada orang yang sesat. amr maruf
nahy munkar dilaksanakan dengan hati jika cukup, dengan
seruan jika hati tidak cukup, dengan tangan (kekuasaan) jika
belum cukup bahkan dengan pedang (paksaan) atau kekerasan
jika memang diperlukan.25 Dengan sikap demikian itulah yang
atara

lain

tantangan

menyebabkan
besar

dan

aliran

kebencian

Mutazilah
umat

Islam,

mendapatkan
yang

pada

perkembangan selanjutnya aliran ini mengalami kemunduran.


Hal ini dapat lihat dengan timbulnya peristiwa al-mihnah atau
inquisisi.
5. Tokoh-tokoh penting al-Mutazilah
Aliran al-Mutazilah melahirkan banyak pemuka dan tokoh
penting. Karena pusat pengembangan al-Mutazilah berada di
Bashrah dan di Bagdad, maka para pemukanya pun terbagi
24Ahmad Ibn Abd Halim Ibn Taimiyah al-Harani, Majmu al-Fatawa, dikutip dari
al-Maktabah al-Syamilah, Jilid 13 h. 386.

25Lihat, Harun Nasution, op. cit,. h. 56

13

dalam dua kelompok berdasarkan dua madrasah besar yang


menjadi pusat pengkaderan dan penyebaran ide-ide mereka.
Bashrah dengan pimpinannya Washil dan Baghdad dengan
pimpinannya Bisyr bin Mutamar.26
Namun dengan keterbatasan dan berbagai alasan, tokohtokoh tersebut diatas tidak dapat dicantumkan seluruhnya dalam
makalah ini,27 penulis hanya menjelaskan biografi tokoh-tokoh alMutazilah yang berjasa besar mengembangkan dan membidani
kelahiran serta kelangsungan hidup sekte ini, antara lain yang
.

terkenal adalah:
1. Al-Allaf (135 235 H./753-850 M.)
Al-Allaf bernama lengkap Abu al-Huzail Muhammad Ibn
Huzail al-Allaf. Dia termasuk tokoh al-Mutazilah yang paling
berpengaruh pada Madrasah al-Bashrah. Lahir pada tahun 135
H.,

tepatnya

tiga

tahun

pascaterbentuknya

pemerintahan

Abbasiyah dan wafat pada tahun 235 H., ia belajar pada Utsman
bin Khalid al-Thawil, yaitu salah seorang murid Washil. 28 ia
seorang

pemikir

dan

ahli

kalam

Mutazilah

serta

banyak

mengetahui filsafat Yunani sehingga memudahkannya menyusun


ajaran al-Mutazilah yang bercorak filsafat. Lahir dan belajar di
Bashrah

kemudian

pindah

ke

Baghdad.

Di

antara

pemikirannya29 :
a) Allah itu Alim (Maha Mengetahui) dengan zat-Nya, Allah
itu Qadir (Maha Berkuasa) dan Qudrah Allah adalah zat26Ahmad Amin, op. cit., Jilid 3 h.100-197.
27Untuk mengetahui biografi tokoh-tokoh tersebut dan ajaran-ajarannya,
lihat: Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 90-170.

28Lihat, Ali Mushthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah (al-Azhar:


Maktabah wa Mathbaah Muhammad Ali Shabih), h.148.
29Lihat, M. Arief Halim, op. cit,. h. 64-66.

14

Nya, demikian seterusnya. Singkatnya dia meniadakan


seluruh sifat selain zat Allah sebagaimana yang dilakukan
oleh Wasil akan tetapi dia lebih mendalam. Atau dengan
istilah (nafy al-shifat).
b) Manusia terbebani taklif

(kewajiban)

yang

mampu

dibedakan oleh akal antara yang baik dan yang buruk


meskipun tanpa syariat atau wahyu. (wajib mengetahui
Allah).
c) Ajaran al-salah wa al-ashlah (Allah wajib berbuat baik dan
terbaik).
d) Allah wajib mengutus Rasul untuk member petunjuk dan
pengetahuan kepada manusia agar manusia berbuat
kebaikan.
2. Al-Nazzam (185-231 H./801-846 M.)
Al-Nazzam nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar Ibn
Hani al-Nazzam al-Bashry. Dia murid Abu Huzail al-Allaf.
Keahliannya yang paling dominan adalah sastra dan teologi.
Lahir di Bashrah tahun 185 H pada masa khalifah Harun al-Rasyid
dan dia tumbuh di Bashrah dan pernah tinggal di Baghdad
sampai meninggal pada tahun 221 H. dalam usia yang sangat
mudah yaitu 36 tahun30. Di antara pendapatnya adalah31:
a) Allah

tidak

mempunyai

sifat

qudrah

(mampu)

atas

perbuatan jahat dan maksiat. Artinya seluruh perbuatan


jahat itu berasal dari manusia semata, manusialah yang
menciptakannya. Itu semua merupakan keadilan Allah.
b) Kemukjizatan Al-Quran terletak pada informasi tentang
alam

gaib,

sedangkan

susunan,

aturan

dan

gaya

bahasanya mampu ditiru oleh manusia andaikan Allah


berkenan.
30Ibid., h. 66..
31Ibid., h. 66-68.

15

c) Al-Quran itu makhluk yang berarti berupa ciptaan dan


bukan bersifat qadim dan kekal
d) Kejadian makhluk. yang berupa,

Allah

menciptakan

makhluk itu sekaligus dalam waktu bersamaan.


3. Al-Jubbai (w. 303 H./916 M.)
Al-Jubbai bernama lengkap Muhammad Ibn Abd Wahhab Ibn
Salam Abu Ali al-Jubbai. Dia salah seorang tokoh al-Mutazilah
yang terkenal dalam bidang ilmu filsafat dan teologi. Lahir di
Jubbai sebuah desa di propinsi Khazaztan Iran pada tahun 235 H
dan wafat tahun 303 H. Dia merupakan guru Abu Hasan alAsyary, pendiri aliran Asyariah. Pendapatnya yang paling
mashur antara lain:
a) Kalam Allah sebagaimana pendapat an-Nazam
b) Allah tidak mempunya sifat akan tetapi

esensi

sebagaimana pendapat al-Allaf.


c) Kewajiban manusia terbagi dua, yaitu: wajibah al-Aqliyah
(kewajiban manusia yang diketahui melalui akal) dan
wajibah syariyah (kewajiban manusia yang dibawa oleh
Rasul atau Nabi).
d) Daya akal manusia yang sangat besar karena dapat
mengetahui

Tuhan

dan

bersyukur

kepada-Nya

dan

Pertumbuhan

dan

mengetahui baik dan buruk.32

6. Al-Mihnah:

Tonggak

Sejarah

Perkembangan Mutazilah
Rasionalitas Mutazilah tidak

terbatas

dalam

bidang

muamalah, kemasyarakatan, bahkan telah menembus jauh


memasuki

bidang

akidah.

Salah

satu

bentungnya

adalah

pandangannya tentang Al-Qurn itu makhluk, bukan bersifat


32Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam (Jakarta: ichtiar baru van hoeve, 2005),
Jilid 5 h. 97

16

qadim tetapi baru dan diciptakan oleh Allah. Pendapat ini


membawa permasalahan tersendiri di kalangan umat Islam.
Terjadi tarik menarik penganut paham Al-Qurn itu qadim.
Dalam kondisi itu, kaum Mutazilah berada di atas angin, karena
faham tentang Al-Qurn itu makhluk sejalan dengan faham yang
dianut

oleh

khalifah

al-Mamun,

seorang

khalifah

dimasa

Abbasiah dan lebih-lebih lagi karenan aliran Mutazilah telah


dijadikan sebagai mazhab resmi negara.33
Al-Mihnah yang mirip dengan inquisition berarti severe
trial, ordinal tribulation, yaitu pemeriksaan keras, cobaan berat
dan kesengsaraan. Dalam konteks Mutazilah, al-Mihnah adalah
suatu pemeriksaan, penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan
oleh kaum Mutazilah terhadap para qadhi dan para pejabat
pemerintah serta tokoh masyarakat untuk mengakui paham
kemakhlukan

Al-Qurn

sebagaimana

dianut

oleh

kaum

Mutazilah. Bagi qadhi dan pejabat yang menerima paham ini


maka putusannya dianggap sah, demikian halnya dengan
kesaksian seorang saksi. Bagi mereka yang tidak menerima
paham ini siksaanlah yang mereka terima.
Gerakan al-Mihnah ini merupakan

implikasi

doktrin

ketauhidan Mutazilah di samping doktrin yang lain yaitu amar


maruf nahi munkar. Logika yang mereka pakai adalah dengan
meyakini keqadiman Al-Qurn berarti telah berbuat syirik, syirik
adalah dosa besar, dan dosa besar harus diberantas sampai
keakar-akarnya meski dengan kekerasan.
Mereka berkeyakinan bahwa satu-satunya sifat Tuhan yang
betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah qadim,34
dengan keyakinan semacam ini tauhid akan murni dari syirik.
33Lihat, M. Arief Halim, op. ci., h. 66-68.
34Harun Nasution, op. cit., h. 52.

17

Secara historis, paham kemakhlukan al-Qurn ini sudah


ada sejak masa Marwan bin Muhammad (Khalifah terakhir dinasti
Umayah). Paham ini dimunculkan buat pertama kali oleh al-Jad
bin Dirham, dari dialah Jaham bin Shafwan mengambil paham
ini.35 Dalam perkembangan selanjutnya ketika Mutazilah telah
menjadi paham resmi negara/pemerintah, doktrin kemakhlukan
Al-Qurn ini menjadi issu yang sangat dominan. Mutazilah
mencapai masa kejayaannya pada masa tiga khalifah Abbasiyah
al-Makmun, Al-Mutashim dan al-Watsiq sejak tahun 813 s/d 847
M, pada masa inilah gencar-gencarnya gerakan al-Mihnah.
Gerakan al-Mihnah ini diawali dengan instruksi al-Makmun
kepada gubernur Baghdad Emier Ishaq bin Ibrahim tahun
218/833.

Dalam

suratnya

ia

menjalskan

hal-hal

yang

mendorongnya mengeluarkan instruksi itu. Ahmad Amin dalam


bukunya Dluha Al-Islam halaman 168-169 menyimpulkan isi
instruksi itu menjadi lima point, yang hakekatnya berpangkal
pada keinginan Makmun menjaga kemurnian aqidah umat secara
keseluruhan, baik ia sebagai pejabat pemerintah, ulama atau
rakyat biasa. Surat yang sama juga beliau kirimkan kepada
Gubernur Mesir Kaidar, sehingga beliau menguji/menyelidiki
Abdullah al-Zuhri qodhi Mesir kala itu.
Sasaran al-Mihnah dalam instruksi pertama ini adalah para
qadhi, para pejabat peradilan juga para saksi dalam perkara
yang dimajukan dalam pengadilan, karena ini merupakan syarat
sahnya putusan pengadilan.
Instruksi kedua dikirim lagi kepada Ishaq bin Ibrahim untuk
menguji tujuh ulama ahli Hadis, yaitu Muhammad bin Saad, Abu
Muslim, Yahya bin Main, Zuhair bin Harb, Ismail bin Dawud,
Ismail bin Abi Masud dan Ahmad bin al-Dauraqi. Dalam

35Ahmad Amin, op.cit., h. 162.

18

pengujian itu mereka semua menerima paham kemakhlukan alQuran.


Instruksi ketiga dikirim kepada Ishaq untuk menguji para
pejabat pemerintah, fuqaha dan muhadditsin. Dari pengujian
tersebut kebanyakan mereka memberikan jawaban yang tidak
tegas menerima atau menolak, mungkin ini dilakukan untuk
menghindari siksaan. Diantara yang berbuat demikian adalah
Basyar bin al-Walid, Ali bin Abi Muqatal, Ahmad bin Hambal dan
Ibnu al-Baka.36
Khalifah Makmun tidak puas dengan jawaban mereka yang
tidak tegas itu, sehingga Ishaq mengumpulkan lagi 30 orang
terdiri dari qodhi, muhadditsin dan fuqaha. Kebanyakan mereka
mengakui kemakhlukan Al-Qurn kecuali empat orang saja;
Ahmad bin Hambal, Sajadah, Qawadiri dan Muhammad bin Nuh.
Mereka dibelenggu dan disiksa, akhirnya tingal dua orang saja
yang bertahan Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh
(Ahmad Amin, 1936: 177).37
Pengganti al-Makmun adalah al-Mutashim (833-842 M) ia
tetap menjalankan al-Mihnah ini, Ahmad bin Hambal tetap pada
pendiriannya maka ia dijebloskan ke penjara. Khalifah berikutnya
al-Watsiq

(842-847

M).

Di

awal

pemerintahannya

ia

menampakkan kekerasannya seperti al-Makmun, namun pada


akhir

pemerintahannya

tindakannya,

bahkan

ia

ia

berbalik

berusaha

dan

menyesali

menghapuskan

al-Mihnah dan paham kemakhlukan Al-Qurn ini.


7. Perkembangan
Pemikiran
Teologis

semua
gerakan

Mutazilah

Sebagai Aliran Kalam


Gerakan al-Mihnah ini ternyata membawa dampak yang
kurang menguntungkan bagi Mutazilah sebagai aliran. Mereka
36Ibid., h. 172
37Ibid., h. 177

19

mendapat tantangan keras dari umat Islam lain setelah mereka


berusaha

di

abad

kesembilan

untuk

melaksanakan

paham-paham mereka dengan memakai kekerasan pada umat


Islam yang ada pada waktu itu.38
Pemikiran rasional dan sikap kekerasan Mutazilah ini
memicu lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam Islam karena
Mutazilah semakin kehilangan simpati umat disatu pihak,
dipihak

lain

keadaan

semacam

ini

justru

mendongkrak

kedudukan muhadditsin ke tingkat yang lebih tinggi di mata


umat. Keadaan semakin parah ketika al-Mutawakkil, pengganti
wal-Watsiq, membatalkan Mutazilah sebagai paham negara
tahun 848 M. Sehingga keadaannya menjadi berbalik, Ibnu
Hambal serta ulama muhadditsin lebih dekat dengan penguasa,
sedang Mutazilah jauh dari penguasa. Terlebih lagi Mutazilah
mengalami konflik intern dengan banyaknya pemikir-pemikir
Mutazilah yang meninggalkannya, seperti: Abu Isa al-Warraq,
Abu Husain Ahmad Ibnu Rawandi juga Abu Hasan al-Asyary.39 Di
saat seperti ini aliran Asyariyah cepat diterima rakyat banyak.
Pada masa dinasti Buwaihi (945-1055), Mutazilah
mendapat angin segar kembali, karena Ahmad Ibnu Buwaihi
kepala dinasti yang menyerang Baghdad tahun 945 M. beraliran
Syiah yang cenderung rasionalis. Kalau dahulu Mutazilah
ditopang oleh al-Makmun, maka sekarang Sahib Ibnu Abdadlah
(977-995 M) Perdana Menteri dari Sultan Fakhr al-Dawlah yang
menopang kekuatan Mutazilah. Filosof-filosof besar banyak yang
muncul

pada

masa

ini,

seperti

al-Farabi,

al-Ghazali, al-Biruni dan Ibnu Haitami.

38Harun Nasution, op. cit., h. 40.


39Ibid., h. 68

Ibnu

Maskawih,

20

Dinasti Buwaihi akhirnya digulingkan oleh Tughril dinasti


Saljuq pada tahun 1055 M, namun belum bisa menggoyahkan
kedudukan

Mutazilah,

karena

Tughril

mempunyai

perdana

menteri yang beraliran Mutazilah yaitu Abu Nasr Muhammad


Ibnu Mansur al-Kunduri (416-456 H).40
Setelah meninggalnya Tughril Bek, Mutazilah menurun
kembali karena penggantinya Alp Arselan mengangkat Nizam
al-Muluk seorang Asyariyah menjadi perdana menteri. Mulai saat
inilah Mutazilah sebagai aliran berangsur-angsur menghilang
sampai tujuh (7) abad lamanya, dan baru pada awal abad
kesembilan belas muncul kembali namun bukan merupakan
aliran/kelompok,

tetapi

pandang/wawasan

dalam

cenderung
memahami

sebagai
agama.

cara

Tokoh-tokoh

kebangkitan kembali Mutazilah ini seperti Jamaluddin al-Afghani,


Mohammad Abduh, Ahmad Amin dan sebagainya.
8. Perkembangan Aliran al-Mutazilah dan
Pengaruhnya dalam Dunia Islam
Al-Mutazilah

tumbuh

sebagai

sebuah

sekte

dengan

keluarnya Washil bin Atha dari pengajian Imam Hasan al-Basri.


Ia hidup pada masa Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin
Abdul

Malik.

mendapat

Namun

simpati

diawal

umat

kemunculannya,

Islam,

khususnya

aliran
di

tidak

kalangan

masyarakat awam karena ajaran mereka yang bersifat rasional


dan filosofis.
Pada masa pemerintahan al-Makmun (198-218 H./813-833
M.) di masa khilafah Abbasiyah, al-Mutazilah menjadi sekte yang
memegang

peranan

penting

dalam

pemerintahan

dan

mendapatkan dukungan yang luas, karena khalifah menganut


sekte ini. Pada masa itu para pemimpin al-Mutazilah seperti
40Ibid., h. 74

21

Bisyr al-Muraisy, Tsumamah bin Asyras dan Ibnu Abi Duat


menjadi penasehat-penasehat al-Makmun karena ajaran alMutazilah menjadi madzhab yang resmi. Pada masa inilah timbul
fitnah yang terkenal dengan nama mihnah khalq Al-Qurn
(pengujian kemakhlukan Al-Qurn) di mana para ulama Ahlu alSunnah yang menolak mengakui Al-Qurn itu makhluk akan
dipenjarakan

dan

disiksa,

semisal

Imam

Ahmad.

Hal

ini

berlangsung sampai pada pemerintahan al-Mutashim dan alWatsiq.


Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil pada tahun 232 H,
keadaan kembali normal dengan sikap khalifah yang menganut
aqidah Ahlus Sunnah dan dibebaskannya para Ulama setelah
selama 14 tahun berjuang keras melawan al-Mutazilah yang
memaksakan aqidahnya melalui strukrur Negara.
Pada masa pemerintahan Bani Buwaih di Persia, tahun 334
H, terjalin hubungan yang erat antara al-Mutazilah dengan
pemerintah yang berkuasa yang menganut ideologi Rafidhah.
Pemimpin Mutazilah, Abdul Jabbar, diangkat menjadi qadhi di
daerah Rai sejak tahun 360 H, atas perintah Shahib bin Ibad
menteri Muayyid Daulah. Shahib ini menurut Imam adz-Dzahabi
adalah seorang Syii Mutazili Mubtadi. Menurut Imam al-Mutazi,
di bawah perlindungan Daulah Buwaihiyah inilah Mutazilah bisa
berkembang di Iraq, Khurasan dan negeri-negeri di belakang
sungai atau biladu ma wara-a nahr (Uzbekistan saat ini).41
Selama berabad-abad kemudian, al-Mutazilah tersisih dari
panggung sejarah, tergeser aliran ahlu al-sunnah wa al-jamaah.
Yang mempercepat hilangnya aliran atau sekte ini antara lain
adalah karya-karya mereka tidak dibaca lagi dan dipelajari di
perguruan Islam. Kaum al-Mutazilah telah tak berwujud kecuali
41Dirasatul Firaq; Kajian tentang Aliran-Aliran Sesat dalam Islam( Solo: Tin
Ulin Nuha Mahad Aly an Nur), h. 131.

22

dalam sejarah. Kemudian pada awal abad ke-20 berbagai karya


al-Mutazilah ditemukan kembali dan dipelajari di perguruanperguruan tinggi. Atas pengaruh pemikiran reformis Jamaluddin
al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1848-1905),
sebagai duet pemimpin modernisme yang utama dalam dunia
Islam.
Diakui atau tidak, kaum al-Mutazilah adalah peletak
pertama atau paling tidak mempunyai peran yang sangat besar
dalam meletakkan dasar-dasar ilmu kalam, ilmu balaghah, ilmu
debat

dan

diskusi.

Sekte

ini

pulalah

yang

pertama

kali

menghubungkan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani,


sebab tokoh-tokoh merekalah yang pertama kali menjadikan
filsafat Yunani dalam mengkaji dan mendalam berbagai aspek
dalam Islam.42 Al-Mutazilah telah memberikan pengabdiannya
yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Islam. Sekte ini
telah mempertahankan Islam dari berbagai rongrongan teologi
dan politik, bahkan kemunculan ilmu kalam yang dipelopori Abu
al-Hasan al-Asyari merupakan anak dari sekte ini.
Diantara metode peninggalan al-Mutazilah yang paling
berkesan adalah keraguan dan pengujian. Sehingga dapat
melahirkan

keyakinan

akan

kemampuan

akal,

kebebasan

bertindak tetapi bertanggung jawab, kebebasan penelitian,


perdebatan dan dll, bahkan Ahmad Amin berpendapat bahwa
musibah terbesar yang menimpa umat Islam adalah kematian alMutazilah.43

42Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 95.


43Ibid, h. 207.

23

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan penjelasan di atas, dapat
ditarik poin-poin penting sebagai kesimpulan makalah ini sebagai
berikut:
1. al-Mutazilah adalah golongan yang memposisikan diri
sebagai kaum yang netral dalam menyelesaikan masalah
teologis maupun politik dengan berlandaskan wahyu,
rasionalitas

dan

bersifat

filosofis.

Sedangkan

sejarah

kemunculan al-Mutazilah dapat dikalompokkan dalam dua


bagian yaitu al-Mutazilah beraliran politik muncul pada
masa pemerintahan Usman Ibn Affan pada tahun 23-35 H.
dan Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 36-40 H. sedangkan alMutazilah aliran teologis muncul pada abad ke2 Hijriyah,
antara tahun 105110 H di Bashrah (Iraq), yaitu pada masa
pemerintahan

khalifah

Abdul

Malik

Bin

Marwan

dan

khalifah Hisyam Ibn Abdul Malik dengan pelopornya Washil


bin Atha Al-Makhzumi Al-Ghazzal.
2. Ajaran-ajaran pokok al-Mutazilah yang dikenal dengan
istilah al-ushul al-khamsah adalah: al-tauhid (keesaan

24

Allah), al-adl (Keadilan Allah), al-wad wa al-waid (janji dan


acaman Allah), al-mazil bain al-manzilatain (Posisi di antara
dua posisi) dan al-amr bi al-maruf wa al-nahy an almunkar (Amar maruf nahi munkar). Kelima ajaran inilah
yang disepakati para tokoh al-Mutazilah dan menjadi
syarat keanggotaan.
3. Tokoh-tokoh al-Mutazilah terbagi dalam dua bagian, yaitu
tokoh al-Mutazilah Bashrah yang dipimpin oleh Washil Ibn
Atha dan Amr Ibn Ubaid, sedangkan di Bagdad dipimpin
oleh Bisyr Ibn al-Mutamir dan

Muammar Ibn Abbad.

Namun dari sekian banyak tokoh-tokoh al-Mutazilah, yang


paling berpengaruh dan memiliki peranan yang penting
dalam pendirian, perkembangan dan penguatan pilarpilarnya antara lain: Washil Ibn Atha, Abu al-Huzail
al-Allaf, An-Nazzam dan al-Jubbai.
4. Sekte Mutazilah lahir pada akhir masa pemerintahan
Umawiyah dan berkembang pada masa pemerintahan
Abbasiyah yaitu sekitar tahun 100-255 H., kejayaan alMutazilah dicapai pada masa khalifah al-Mamun karena
ajarannya menjadi dasar Negara. Namun pada masa
khalifah

al-Mutawakkil,

al-Mutazilah

berangsur-angsur

merosot dan bahkan tak berwujud setelah itu kecuali dalam


sejarah. Namun pada abad ke-20, sekte al-Mutazilah
mendapatkan perhatian dari para intelektual di perguruanperguruan tinggi dengan dimulainya mempelajari karyakarya dan ajaran-ajaran mereka. Pengaruh al-Mutazilah
dapat dilukiskan dengan ungkapan Ahmad Amin Musibah
terbesar yang menimpa umat Islam adalah kematian alMutazilah.

25

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi alSiyasah wa al-Aqaid, Kairoh: Dar al-Fikr al-Arabi, 1965.
Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Abu al-Hasan, Mujam Maqayis alLugah, Bairut: Dar al-Fikr, 1423 H./2002 M.
Ali, Atabik, A. Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998 M.
Amin, ahmad, Dhuha al-Islam, Cairo: Maktabah al-Nahdhah alMishriyah, Cet. VIII, 1973 M.
___________, Fajr al-Islam, Cet. XI, 1975 M.
Awaji, Ghalib bin Ali, Firaqun Muasiratun; Tantasibu Ila Islami wa
Bayanu Mauqiful Islami Minha, Cet. VIII, jilid. III, Riyad: alDar al-Misriyah, 2010.
Azra, Azyumardi, dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2005
al-Baghdadi, Abdul al-Qahir, al-Farq bayn al-Firak, Beirut: dar alAfaq al-Jadidah, 1973.
al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun,
Maktabah Musab Ibn Umar al-Islamiyah, 1424 H./2004 M.
Halim, M. Arief, Aliran-aliran Ilmu Kalam dan Kontemporer;
Sejarah Pemikiran dan Perkembangan, Cet I, Makassar:
Universitas Muslim Indonesia, 2008.
al-Harani, Ahmad Ibn Abd Halim Ibn Taimiyah, Majmu al-Fatawa,
dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah.
Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam, Bairut: Dar al-Jail, 1416
H./1996 M.
Majid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Waqaf
Paramadina, Jakarta, Cet. II, 1995.

26

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa


Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
al-Shallaby, Ali Muhammad, al-Daulah al-Umawiyah Awamil alIzdihar wa Tadaiyat al-Inhiyar, dikutip dari al-Maktabah alSyamilah.
Subhi, Ahmad Mahmud, Fi Ilm al-Kalam, Kairo, 1969. M.

Anda mungkin juga menyukai