1. Pengertian
Skoliosis adalah lengkungan atau kurvatura lateral pada tulang belakang akibat rotasi dan
deformitas vertebra. Tiga bentuk skoliosis struktural yaitu :
1. Skoliosis Idiopatik adalah bentuk yang paling umum terjadi dan diklasifikasikan menjadi 3
kelompok yaitu infantile, yang muncul sejak lahir sampai usia 3 tahun; anak-anak, yang muncul
dari usia 3 tahun sampai 10 tahun; dan remaja, yang muncul setelah usia 10 tahun (usia yang
paling umum).
2. Skoliosis Kongenital adalah skoliosis yang menyebabkan malformasi satu atau lebih badan
vertebra.
3. Skoliosis Neuromuskuler, anak yang menderita penyakit neuromuskuler (seperti paralisis otak,
spina bifida, atau distrofi muskuler) yang secara langsung menyebabkan deformitas.
(Nettina, Sandra M.)
2. 2. Etiologi
Penyebab terjadinya skoliosis diantaranya kondisi osteopatik, seperti fraktur, penyakit tulang,
penyakit arthritis, dan infeksi. Pada skoliosis berat, perubahan progresif pada rongga toraks dapat
menyebabkan perburukan pernapasan dan kardiovaskuler. (Nettina, Sandra M.)
Terdapat 3 penyebab umum dari skoliosis:
1. Kongenital (bawaan), biasanya berhubungan dengan suatu kelainan dalam pembentukan
tulang belakang atau tulang rusuk yang menyatu
2. Neuromuskuler, pengendalian otot yang buruk atau kelemahan otot atau kelumpuhan akibat
penyakit berikut:
- Cerebral palsy
- Distrofi otot
- Polio
- Osteoporosis juvenil
3. Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui.
4. Manifestasi Kinis
Gejalanya berupa:
- tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping
- bahu dan/atau pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya
- nyeri punggung
- kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama
- skoliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari 60%) bisa menyebabkan
gangguan pernafasan.
Kebanyakan pada punggung bagian atas, tulang belakang membengkok ke kanan dan pada
punggung bagian bawah, tulang belakang membengkok ke kiri; sehingga bahu kanan lebih tinggi
dari bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi dari pinggul kiri.
3. Patofisiologi
4. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan yang dilakukan tergantung kepada penyebab, derajat dan lokasi kelengkungan serta
stadium pertumbuhan tulang.
Jika kelengkungan kurang dari 20%, biasanya tidak perlu dilakukan pengobatan, tetapi penderita
harus menjalani pemeriksaan secara teratur setiap 6 bulan.
Pada anak-anak yang masih tumbuh, kelengkungan biasanya bertambah sampai 25-30%, karena
itu biasanya dianjurkan untuk menggunakan brace (alat penyangga) untuk membantu
memperlambat progresivitas kelengkungan tulang belakang. Brace dari Milwaukee & Boston
efektif dalam mengendalikan progresivitas skoliosis, tetapi harus dipasang selama 23 jam/hari
sampai masa pertumbuhan anak berhenti.
Brace tidak efektif digunakan pada skoliosis kongenital maupun neuromuskuler.
Jika kelengkungan mencapai 40% atau lebih, biasanya dilakukan pembedahan. Pada
pembedahan dilakukan perbaikan kelengkungan dan peleburan tulang-tulang. Tulang
dipertahankan pada tempatnya dengan bantuan 1-2 alat logam yang terpasang sampai tulang
pulih (kurang dari 20 tahun). Sesudah dilakukan pembedahan mungkin perlu dipasang brace
untuk menstabilkan tulang belakang.
Kadang diberikan perangsangan elektrospinal, dimana otot tulang belakang dirangsang dengan
arus listrik rendah untuk meluruskan tulang belakang.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan fisik penderita biasanya diminta untuk membungkuk ke depan sehingga
pemeriksa dapat menentukan kelengkungan yang terjadi. Pemeriksaan neurologis (saraf)
dilakukan untuk menilai kekuatan, sensasi atau refleks.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
# Rontgen tulang belakang.
X-Ray Proyeksi Foto polos : Harus diambil dengan posterior dan lateral penuh terhadap tulang
belakang dan krista iliaka dengan posisi tegak, untuk menilai derajat kurva dengan metode Cobb
dan menilai maturitas skeletal dengan metode Risser. Kurva structural akan memperlihatkan
rotasi vertebra ; pada proyeksi posterior-anterior, vertebra yang mengarah ke puncak prosessus
spinosus menyimpang kegaris tengah; ujung atas dan bawah kurva diidentifikasi sewaktu tingkat
simetri vertebra diperoleh kembali.
2) Bantu dan ajarkan pasien untuk melakukan napas dalam setiap 1 jam.
3) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi napas setiap 2 jam.
4) Pertahankan tirah baring dengan meninggikan kepala tempat tidur 30-450.
5) Pantau tanda-tanda vital tiap 2 jam untuk 8 jam pertama kemudian setiap 2 jam.
6) Beri spirometer intensif setiap 1 sampai 2 jam sekali.
7) Kolaborasi dalam pemberian analgesik untuk mempertahankan rasa nyaman, sehingga dapat
meningkatkan pernapasan.
b. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status puasa atau/dan kehilangan
cairan abnormal.
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan atau volume cairan seimbang.
Intervensi :
1) Pertahankan puasa.
2) Beri cairan parenteral dengan elektrolit sesuai program.
3) Sambungkan selang nasogastrik dan alat penghisap intermiten.
4) Jika terpasang nasogastrik, lakukan irigasi dengan cairan salin normal yang jumlahnya telah
diukur untuk mempertahankan kepatenan.
5) Sambungkan kateter uretral menetap dan sistem drainase gravitasi tertutup.
6) Pantau pengeluaran urine setiap jam. Jika kurang dari 20-30 ml/jam, lapor dokter.
7) Ukur masukkan dan keluaran cairan setiap 8 jam.
8) Observasi tanda dehidrasi : turgor kulit, mukosa mulut.
9) Pantau balutan untuk adanya drainase setiap jam untuk 24 jam pertama, kemudian tiap 4 jam.
10) Pantau Hb, Ht, dan elektrolit.
11) Lakukan hygiene naso-oral setiap jam ; pertahankan agar tetap lembab.
12) Pantau TTV setiap 4 jam.
13) Auskultasi bising usus tiap 8 jam, lapor dokter jika sudah terdengar.
14) Observasi terhadap kemungkinan distensi abdomen.
15) Beri diet sesuai toleransi jika bising usus telah terdengar atau nasogastrik
dikelem/dilepaskan.
16) Beri cairan peroral secara bertahap, tingkatkan dengan diet lunak kemudian dengan diet
biasa.
17) Lepaskan uretra menetap sesuai indikasi.
18) Beri pelunak feses sesuai program.
c. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif dan menurunnya pertahanan primer.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Intervensi :
1) Pantau TTV tiap 4 jam.
2) Pantau balutan setiap 2 jam selam 24 jam pertama, kemudian setiap 4 jam pertama.
3) Ganti balutan luka operasi secara aseptic teinik sesuai program.
4) Observasi tanda infeksi dari luka operasi.
5) Lapor dokter jika ada pengeluaran (darah, nanah) berlebihan dari luka.
6) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht, eritrosit, dan kultur cairan yang keluar
DAFTAR PUSTAKA
Alpers, Ann. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol. 3. Jakarta : EGC
Doengoes, Marylinn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Nettina, Sandra, M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta : EGC
Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang Lamumpatue