Anda di halaman 1dari 25

REFERAT DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

PRURITUS PADA PASIEN GERIATRI

Oleh :
Ardiansyah

H1A012007

Sani Solihatul Fitri

H1A012053

Pembimbing:
dr. I. G. A. A. Ratna Medikawati, M.Biomed, Sp.KK
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI MATARAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya.
Referat yang berjudul Pruritus pada Pasien Geriatri ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSU Provinsi NTB.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
1
2

dr. I.G.A.A. Ratna Medikawati, M.Biomed, Sp.KK selaku pembimbing


dr. I Wayan Hendrawan, M. Biomed, Sp.KK, selaku Ketua SMF Ilmu Kesehatan

Kulit dan Kelamin RSUP NTB


dr. Yunita Hapsari, M.Sc, Sp.KK, selaku Koordinator Pendidikan Bagian Ilmu

4
5
6

Kesehatan Kulit dan Kelamin


dr. Dedianto Hidajat, Sp.KK, selaku supervisor
dr. Farida Hartati, M.Sc, Sp.KK, selaku supervisor
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan referat ini.
Semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari
sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, September 2016

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Pruritus adalah penyakit kulit terbanyak yang terjadi pada orang tua.
Pruritus didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman yang menimbulkan keinginan
untuk menggaruk.1 Pruritus bisa merupakan suatu proses fisiologis jika refleks
menggaruk diprovokasi untuk menghilangkan agen yang berpotensi berbahaya,
atau karena beberapa obat atau penyakit psikis.2
Intensitas pruritus bisa ringan, sedang dan berat dengan gangguan tidur,
tidak nyaman dan peningkatan iritabilitas gangguan aktivitas harian atau stress.
Prevalensi pruritus meningkat sesuai dengan usia dan dapat dikaitkan sebagai
suatu tanda penurunan fungsi fisiologis kulit.1
Penurunan fungsi fisiologis pada geriatri dapat berupa:1

Penggantian sel
Fungsi barrier
Kapasitas pembersihan bahan kimia
Persepsi sensoris
Mekanisme proteksi
Penyembuhan luka
Respon imun
Termoregulasi
Produksi keringat
Produksi vitamin D

Pruritus dapat terjadi akut maupun kronis, dan terlokalisir atau


generalisata.2 Pruritus akut yaitu yang berlangsung kurang dari 6 minggu dapat
menunjukkan suatu mekanisme proteksi, namun pruritus kronik yakni yang
berlangsung lebih dari 6 minggu dapat menunjukkan suatu gangguan. 1 Pruritus
kronis dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup, karena
terapi untuk pruritus akut sering tidak memperbaiki penyakit kronis.1,2
Pada banyak orang, rasa gatal bukan hanya masalah sesekali, namun dapat
memiliki efek melemahkan, seperti gangguan tidur, yang dapat mengakibatkan
depresi klinis. Faktanya, banyak orang dengan pruritus kronis dapat menjadi
begitu terganggu sehingga mereka lebih suka hidup lebih pendek tanpa gejala
daripada kehidupan yang lebih panjang dengan pruritus.1

BAB II
PEMBAHASAN

DEFINISI

Pruritus didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman pada kulit yang


menimbulkan rangsangan untuk menggaruk.3 Namun sensasi tidak nyaman ini
akan memiliki pengertian yang berbeda pada setiap orang. 2 Beberapa sumber lain
menyebutkan bahwa pruritus merupakan sensasi iritasi yang merangsang impuls
untuk menggaruk.4 Sensasi tidak enak dan mengganggu yang menimbulkan
rangsangan menggaruk membedakan pruritus dari sensasi kulit yang lain seperti
nyeri, sentuhan, dan suhu.4

EPIDEMIOLOGI
Pruritus paling sering terjadi pada populasi geriatri. Pruritus kronik
merupakan salah satu keluhan kulit yang paling sering dikeluhkan terutama oleh
pasien geriatri.1 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi
pruritus pada orang tua mencapai 30-60%. Prevalensi ini meningkat sesuai dengan
usia.5 Penelitian yang dilakukan oleh Beauregard dan Gilchrest juga menunjukkan
bahwa dua dari tiga pasien geriatri dilaporkan mengeluhkan pruritus sebagai
keluhan utama.1
Studi lain yang melibatkan 1.556 pasien dari pusat keperawatan terampil
melaporkan bahwa dua kondisi dermatologi yang paling umum adalah xerosis dan
pruritus, dengan hampir dua-pertiga dari pasien melaporkan pruritus sebagai
keluhan utama.6 Berdasarkan penelitian pruritus pada geriatri yang dilakukan di
Turki, didapatkan data bahwa prevalensi pruritus kronik mencapai 12% dari 4099
pasien berumur >65 tahun, dan mencapai 20% pada pasien bermur >85 tahun. 1,7
Menurut laporan di salah satu rumah sakit di Amerika, keluhan pruritus pada
pasien berusia >65 tahun mencapai 25% per tahun.7

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko utama terjadinya pruritus dan kelainan kulit lain pada orang
tua adalah proses penuaan.1,3 Penuaan kulit dapat diklasifikasikan menjadi dua
kategori besar, yaitu penuaan ekstrinsik (extrinsic aging) dan penuaan intrinsik
(intrinsic aging). Penuaan intrinsik mengacu pada perubahan kulit sebagai

konsekuensi dari proses penuaan normal dan terjadi pada seluruh individu.
Penuaan ekstrinsik terjadi sebagai efek dari akumulasi berbagai faktor ekstrinsik
yang berdampak pada kulit.3
Perubahan kulit secara struktural dan fisiologis pada penuaan intrinsik
dikombinasikan dengan efek kumulatif berbagai penyakit dan pengobatan yang
dialami sepanjang hidup dapat menimbulkan kemungkinan yang besar untuk
terkena pruritus pada usia tua.3,4
Faktor intrinsik dan ekstrinsik yang berhubungan dengan penuaan pada
kulit antara lain:3
Faktor intrinsik
Berkurangnya turn over sel kulit
Fungsi barrier kulit terganggu
Respon imun terganggu
Gangguan termoregulasi
Menurunnya vaskularisasi
Menurunnya aktivitas kelenjar sebasea dan

Faktor ekstrinsik
Paparan sinar uv
Polusi lingkungan
Merokok
Gaya hidup (tidur, diet, stress)

keringat
Menurunnya persepsi sensoris

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi pruritus masih belum diketahui secara pasti. Sensasi gatal
(pruritus) sangat erat kaitannya dengan sensasi raba dan nyeri. 1,5 Pada orang tua,
akibat proses pernuaan yang terjadi secara alami, terdapat penurunan aktivitas
kelenjar keringat dan kelenjar sebasea, selain itu komposisi sebum juga
mengalami perubahan. Hasil dari proses penuaan ini dapat menyebabkan
kekeringan pada kulit yang biasa dikenal sebagai "xerosis". Kulit kering (Xerosis)
merupakan salah satu penyebab paling umum dari pruritus.5
Pruritus dapat disebabkan oleh interaksi kompleks antara mediator kimia
yang berasal dari kulit dan darah dengan mekanisme saraf perifer dan sentral.
Namun, ini saja tidak cukup untuk menjadi faktor utama kekeringan pada kulit
yang dapat bermanifestasi sebagai pruritus.1,5
Kombinasi dari tiga proses biologi yang berkaitan dengan usia juga dapat
menyebabkan pruritus, yakni 1) hilangnya fungsi barrier, 2) penuaan sistem imun,
dan 3) neuropati. Pemahaman tentang fisiologi kulit berkaitan dengan penuaan ini
dapat membantu dokter efektif mengobati banyak kasus pruritus.7
5

1. Kehilangan Fungsi Barrier (Xerosis)


Xerosis merupakan penyebab paling umum penyebab pruritus pada
pasien geriatri dengan prevalensi sekitar 38-85%, perubahan-perubahan
kondisi kulit pada geriatri yang berhubungan dengan xerosis antra lain (1)
perubahan fungsi barier dari stratum korneum meliputi prubahan matriks intra
dan ekstraselular; (2) variasi pH; (3) perubahan protease stratum korneum; (4)
menurunnya fungsi kelenjar sebasea dan kelenjar keringat; (5) menurunnya
level estrogen; seluruh faktor tersebut berkontribusi dalam menginduksi
pruritus.8
Salah satu fungsi yang paling penting dari kulit adalah untuk menahan
air. Sebuah lapisan superfisial lipid kompleks pada kulit membantu
mempertahankan air. Lapisan ini sangat tipis. Barier air pada lapisan
epidermal ini dapat memperbaiki dirinya sendiri, tetapi dengan pertambahan
usia, baik tingkat perbaikan maupun fungsi penghalang epidermis berkurang,
hal ini menyebabkan xerosis (kulit kering) yang merupakan kasus kulit yang
sering diperhatikan pada geriatri, yang mengenai lebih dari 50% populasi
berusia 65 tahun ke atas.5,7
Perubahan pH kulit dapat mempengaruhi aktivitas enzim pada stratum
korneum. Sebagai hasil perubahan aktivitas enzim ini, kulit menjadi lebih
kering karena penurunan produksi faktor pelembab alami dari kulit,
menurunnya aktivitas enzim ceramide-forming dan penurunan sekresi badan
lammelar. pH kulit pada pasien geriatri menjadi lebih alkalis. pH alkalis dapat
meningkatkan aktivitas serine protease pada kulit yang mengakibatkan
aktivasi protease-activated receptor 2 (PAR2) yang menginduksi pruritus.8
2. Immunosenescence (Penuaan sistem imun)
Immunosenescence adalah transformasi sistem imun selama proses
penuaan.8 Immunosenescence dapat menimbulkan proinflamasi kulit yang
dapat berkontribusi terhadap tingginya kejadian eksema dan reaksi inflamasi
lainnya pada pasien yang berusia tua.7 Immunosenescence mempengaruhi
innate imunity dan adaptive immunity dan berhubungan dengan peningkatan
level autoreaktivitas.8
3. Neuropati

Gangguan neurologis yang berkaitan dengan usia berkontribusi


terhadap pruritus melalui 2 cara, yaitu: (1) Neuropati sensorik (sering
disebabkan penyakit DM) yang dapat menyebabkan gatal menyeluruh dan (2)
Kerusakan saraf yang dapat menyebabkan pruritus lokal yang biasanya terjadi
pada daerah kemaluan.5 Jika kondisi pruritus berkembang beriringan dengan
kerusakan dari fungsi neuron, pruritus dapat diperparah dan sering kurang
responsif terhadap pengobatan anti-inflamasi.7
Kompresi saraf adalah penyebab lain terjadinya pruritus pada geriatri.
Dua bentuk radikulopati yang berhubungan dengan pruritus antara lain
brachioradial pruritus (BRP) dan notalgia paraesthetica (NP). BRP secara
klinis bermanifestasi sebagai pruritus yang berlokasi pada ekstensor lengan
termasuk lengan proksimal, bahu, leher, punggung dan dada. Bentuk pruritus
ini sering bilateral dan dapat generalisata ataupun universal, atau dapat
berlokasi pada ekstremitas bawah. Pada pasien geriatri, BRP dapat sekunder
akibat kompresi saraf oleh tumor.8
Pasien dengan NP sering bermanifestasi sebagai pruritus unilateral
terutama pada regio interscapular. Area tersebut biasanya berlokasi di antara
T2-T6. Pasien juga dapat mengeluh nyeri, rasa geli, kebas, dan rasa seperti
tertusuk. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan kulit yang normal atau patch
hiperpigmentasi akibat sekunder dari penggarukan yang kronis. Pada kasus
yang jarang, NP juga berlokasi pada area tubuh yang lain.8

Gambar 2. Perubahan struktur kulit pada geriatri8


Transmisi Sinyal Gatal (Pruritus)
Sudah lama diyakini bahwa gatal dan nyeri ditransmisikan oleh jalur saraf
yang sama. Rangsangan dengan intensitas rendah dari serabut saraf C akan
menimbulkan

sensasi

pruritus

sedangkan

rangsangan

intensitas

tinggi

menyebabkan rasa sakit. Namun, sekarang dua jenis serabut saraf spesifik telah
teridentifikasi, yaitu sebagian besar serabut saraf ini menghasilkan nyeri,
sedangkan sejumlah kecil dari mereka menghasilkan sensasi gatal.2
Sensasi gatal awalnya diinduksi oleh beberapa senyawa kimia berupa
histamin, prostaglandin, protease, sitokin, neuropeptida, termasuk substansi P dan
garam empedu. Beberapa senyawa tersebut dapat memberikan rangsangan secara
langsung serabut saraf bebas, dan sebagian dapat secara tidak langsung melalui
mastosit dan beberapa sel lain.2,9
Impuls yang berasal dari kulit akibat induksi dari senyawa kimia tersebut
ditransmisikan oleh serabut saraf tipe A-delta dan C spesifik, melalui kornu
dorsalis medula spinalis kemudian membentuk sinaps dengan neuron sekunder
melewati komisura anterior ke traktus spinotalamikus kontralateral dan
diproyeksikan di berbagai pusat otak, termasuk korteks somatosensorik dan
thalamus. 1,3,10
8

Gambar 1. Transmisi sinyal gatal dari kulit menuju otak.10


Rasa gatal (pruritus) berasal dari epidermis khususnya dermal-epidermal
junction dan ditransmisikan melalui serabut saraf C selektif-gatal. Beberapa
serabut saraf sensitif terhadap histamin, namun sebagian besar tidak. Interaksi
yang kompleks antara sel T, sel mast, neutrofil, eosinofil, keratinosit dan sel
neuron

(bersamaan

dengan

peningkatan

pelepasan

sitokin

protease,

neuropeptidase) menyebabkan eksaserbasi rasa gatal.3,9


Serabut C membentuk sinaps dengan proyeksi kedua pada kornu dorsalis
medula spinalis, sinyal tersebut kemudian naik melalui spinotalamikus
kontralateral menuju talamus untuk kemudian diproyeksikan ke daerah otak yang
terlibat dalam sensasi, proses evaluatif, emosi, reward, dan memori. Daerahdaerah tersebut tumpang tindih dengan yang diaktifkan oleh rasa sakit.10
Neurostimulator
Pruritus distimulasi oleh pelepasan neurostimulator, seperti histamin dari
sel mast serta peptida lainnya.1 Histamin adalah mediator yang paling terkenal
dari pruritus, tetapi masih banyak mediator lain yang berperan.5 Beberapa
9

mediator lain yang berperan dalam munculnya sensasi gatal antara lain: serotonin,
bradikinin, protease, endotelin, neurokinin, neuropeptida (substansi P), gastrin
releasing peptide, sitokin seperti IL31, autotaxin, reseptor histamin H4.11
Histamin. Pada suatu percobaan injeksi histamin secara intradermal akan
menimbulkan pruritus dan respon vaskular seperti eritema, wheal, dan flare.
Histamin juga dapat dilepaskan via reseptor immunoglobulin E, C5a, dan
takikinins termasuk substansi neuropeptida P.4 Reseptor histamin tipe 4 (H4)
secara khusus dapat memediasi sensasi gatal (pruritus) tanpa melalui perantara sel
mast atau sel hematopoietik lain, melainkan langsung mempengaruhi serabut saraf
perifer.9
Serotonin. Serotonin adalah suatu amin yang tersimpan pada platelet
manusia. Serotonin dilepaskan ketika terjadi agregasi platelet. Substansi ini dapat
meregulasi pruritus dengan aksi dari reseptor 5HT3, hal ini dibuktikan dengan
pemberian ondansetron akan mengurangi pruritus dalam 30-60 menit setelah obat
di konsumsi dan berlangsung sekitar 6 jam.4
Asetilkolin. Neurotransmiter asetilkolin

menstimulasi

serabut

C-

histaminergik sensitif dan nonsensitif. Respon flare oleh injeksi asetilkolin lebih
kecil bila dibandingkan oleh respon terhadap injeksi histamin.4
Prostaglandin. Prostaglandin, metabolit asam arakidonat bukanlah
neurokimia yang bersifat pruritogenik, namun mereka dapat menginduksi pruritus
yang disebabkan oleh histamin dan mediator lain. Studi melaporkan bahwa kulit
yang terabrasi yang dipenetrasikan prostaglandin E akan menunjukkan treshold
pruritus yang menurun.4

KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI


Secara umum, pruritus dapat disebabkan oleh faktor primer, yaitu kelainan
yang disebabkan oleh gangguan pada kulit itu sendiri, maupun faktor sekunder,
yaitu kelainan kulit akibat adanya penyakit sistemik yang mendasari, faktor
psikogenik, maupun akibat penggunaan obat.3

10

1. Dermatologis
Xerosis

Penyebab paling umum pruritus, ditandai oleh


kekeringan pada kulit, kulit bersisik, umumnya
pada ekstremitas bawah.3 Xerosis pada orang tua
muncul sebagian karena perubahan fisiologis usia
tergantung

Dermatitis kontak

pada

kemampuan

kulit

untuk

memproduksi dan mempertahankan kelembaban.6


Secara umum, Dermatitis kontak dibagi menjadi
dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak
alergi (DKA). DKA merupakan reaksi kulit yang
dimediasi oleh sistem imun adaptif (adaptive immune
system), sementara DKI dimediasi oleh sistem imun
alamiah

(innate

immune

system).

Faktor

risiko

perkembangan dermatitis kontak pada geriatri adalah


defek barier kulit dan imunosenescene.8 Dermatitis
kontak muncul sebagai reaksi oleh kontak langsung
Dermatitis numularis

kulit dengan suatu zat atau senyawa tertentu.3,8


Kondisi kulit yang gatal dengan ciri kahs plak
berbentuk koin. Penyakit ini merupakan salah satu
kelainan inflamasi kulit pada orang tua. Hal ini
biasanya disebabkan adanya penurunan serabut saraf
epidermis. Diduga bahwa kepadatan serabut saraf
perifer pada epidermis (epidermal nerve fibers)

Dermatitis atopi

menurun seiring dengan pertambahan usia.8


Ditandai oleh pruritus dan inflamasi kronis yang
berhubungan dengan asma dan rinitis alergi. Dermatitis
atopi yang terjadi pada orang tua, pruritus dapat
disebabkan adanya gangguan sistem imun adaptif,
berkaitan dengan gangguan imunoglobulin pada selama

Liken
Kronis

proses immunosenescence.8
Simpleks Liken simpleks kronis / neurodermatitis merupakan
suatu kelainan kulit yang ditandai dengan lesi kulit
plakat kemerahan. Kelainan ini biasa terjadi pada orang

11

Psoriasis

tua.4
Pruritus dapat hadir dalam sejumlah besar pasien
dengan
psorias. Ini mungkin umum dalam konteks ini dan tidak
tentu terbatas pada daerah plak psoriasis.3 Namun pada
beberapa penelitian pada orang tua, psoriasis biasa

Skabies

terjadi pada kasus sindrom metabolik dan CVA.8


Hal ini disebabkan oleh deposisi telur kutu dalam
lapisan

Urtikaria

epidermis

kulit.

Gejala

pruritus

sering

memburuk di malam hari.3,4


Kondisi ini dimediasi oleh histamin dan mempengaruhi
hingga seperempat dari populasi. Lesi berbatas tegas,
eritematosa dengan elevated wheal3

2. Penyakit Sistemik
Neoplasma

Limfoma,

leukimia,

mieloma multiple.3

Pada

penyakit CTCL (Cutaneous T-Cell Lymphoma)


menyebabkan peningkatan sitokin IL-3 yang dapat
merangsang munculnya pruritus. Selain itu pada
penelitian mengenai BCC (Basal cell carcinoma)
didapatkan bahwa 52% pasien mengeluhkan
sensasi gatal, semakin tinggi derajat kerusakan sel
akan meningkat pula keluhan gatal (pruritus) yang
Gagal Ginjal Kronik

dialami pasien.8
>50% pasien dengan

GGK

dan

80%

pasien

hemodialisis memiliki pruritus.3 Pada GGK terjadi


sindroma uremik akibat gangguan biokimia yang
bersifat sistemik.12 Munculnya gejala pruritus pada
sindroma uremik disebabkan adanya kekeringan kulit
akibat perubahan pada maturasi korneosit,12 selain itu
pada GGK terjadi peningkatan histamin paratiroidisme
dan peningkatan neuropati perifer, sehingga terjadi
Penyakit hepar

pruritus.4,12
Pada penyakit hepar seperti cholestasis

12

terjadi

penumpukan garam empedu pada kulit, selanjutnya


senyawa ini akan merangsang cutaneous nerve fiber
sehingga menyebabkan degranulasi sel mast. Sel mast
kemudian akan melepaskan histamin dan protease. 4
Degradasi dari protein yang dimediasi protease dapat
mengganggu

barier

homeostasis

dan

integritas

epidermal sehingga berkontribusi atau memperburuk


gatal pada orang tua.6 Selain itu, pada gangguan hepar
terjadi peningkatan Autotaxin (ATX) serta derivat
fosfolipid

Lysophosphatidic

acid

(LPA)

yang

Penyakit

merupakan mediator potensial untuk pruritus.8,9


Polisitemia
vera,
anemia
defisiensi

besi,

hematopoietik

makroglubulinemia.3 Anemia defisiensi besi dapat


menyebabkan pruritus keras dengan mempromosikan

Penyakit endokrin

disfungsi baik epitel maupun disfungsi neurologis.6


Hipotiroid, Hipertiroid, Hiperparatiroid
Abnormalitas tiroid secara umum dapat menyebabkan
pruritus terutama melalui mekanisme gangguan hidrasi

Gangguan psikiatri

kulit.3,4,6
Stress, ansietas, depresi, gangguan fobia,
gangguan obsesif kompulsif, hipokondriasis dan

Infeksi

somatisasi.3
HIV

3. Obat-obatan
Pruritus dapat diinduksi oleh penggunaan obat-obatan. Efek obat terhadap
munculnya pruritus dapat secara langsung pada kulit maupun secara tidak
langsung.2 Pruritus yang diinduksi obat secara langsung biasanya hasil dari reaksi
alergi terhadap obat atau bahan tambahan atau pengawet yang digunakan dalam
pembuatan obat. Obat juga dapat menyebabkan pruritus secara tidak langsung
dengan mempengaruhi hati atau ginjal, yang menyebabkan gatal karena gagal hati
dan penyakit kuning atau gagal ginjal dengan uremia.1

13

Beberapa obat memiliki efek terhadap munculnya pruritus dengan berbagai


mekanismenya sendiri. Obat-obatan yang memiliki efek pruritus antara lain ACE
Inhibitor, Opioid, HMG-Koa Reduktase dan CCB.3 ACEI dapat menginduksi
pruritus melalui penghambatan pemecahan braikinin dan substansi P oleh
angiotensin-converting enzyme.1,6 Opioid pada geriatri dapat mempresipitasi
pruritus melalui stimulasi sel mast pada kulit juga neuron spesifik untuk sensasi
gatal pada sistem saraf sentral dan perifer. Inhibitor HMG-Koa Reduktase
dilaporkan dapat menginduksi xerosis kutis yang mirip dengan dermatitis iritan.
Sementara mekanisme dan efek penggunaan CCB terhadap pruritus masih belum
diketahui dengan jelas.6

4. Psikogenik
Bukti mengenai efek psikogenik terhadap pruritus sudah dilaporkan oleh
beberapa studi.13 Pada manusia, status psikosomatik dan faktor psikososial diduga
menjadi faktor potensial untuk terjadinya puritus. Selain itu, stress emosional,
trauma psikologis, anxietas, depresi dan psikosis dapat memperparah semua
bentuk pruritus. Neurosis juga menjadi salah satu penyebab munculnya pruritus.
Pada orang tua, 10 % pruritus generalisata dipicu oleh faktor psikologis.2,13
Mekanisme yang menjelaskan tentang stress meningkatkan sensai gatal masih
belum jelas. HPA-axis berespon terhadap stress psikologis melalui regulasi
hormon stress (CRH, ACTH, kortisol, dan prolaktin). 14 Selain karena supresi dari
HPA-axis, pelepasan mediator gatal, seperti opioid endogen, dalam sistem saraf
pusat mungkin memiliki peran. Mekanisme lain yang mungkin dapat dimediasi
oleh sistem saraf otonom dan neurotransmitternya, asetilkolin. 13 Sel mast
merupakan target penting hormon stess dan mediatornya, karena dapat mengarah
ke disregulasi sistem imun dan beberapa gangguan kulit.14

14

Gambar 3. Mekanisme gangguan dermatologis pada stress psikologis14


Pada sebuah studi menunjukkan bahwa area otak yang berperan penting dalam
memodulasi rasa gatal (pruritus) adalah korteks cingulatum, yang merupakan area
penting untuk modulasi aktivitas emosi dan kognitif, sehingga ini menjadi dasar
fisiologis penting tentang hubungan antara emosi, motivasi dan faktor psikologis
lain yang mempengaruhi persepsi dan modulasi sensasi pruritus pada sistem saraf
pusat (otak).13

DIAGNOSIS
Ketika seorang pasien datang dengan keluhan pruritus, maka anamnesis
dari riwayat keluhan tersebut merupakan hal paling penting untuk mendapatkan
diagnosis yang akurat. Pertama, tentukan apakah pasien mengalami pruritus akut

15

atau kronik. Pruritus kronik didefinisikan sebagai pruritus yang berlangsung lebih
dari atau sama dengan 6 minggu. Selain itu tentukan lokasi, karakteristik pruritus,
progress. Karakteristik pruritus yang di alami harus di gali termasuk intensitas
pruritus, faktor yang memperingan ataupun faktor yang memperberat. Sebagai
tambahan, penting juga mereview gejala sistemik ataupun gejala konstitusional
yang terjadi.3,8
Selain melakukan anamnesis terkait keluhan utama, dapat juga ditanyakan
mengenai riwayat perjalanan penyakit, beberapa hal yang dapat ditanyakan antara
lain:8,15
1. Gejala inisial
Onset terjadinya pruritus dan penting untuk mengidentifikasi hubungannya
dengan faktor lingkungan, detergen, sabun, atau makanan. Penting untuk
mengidentifikasi apakah pruritus terjadi generalisata atau hanya terlokalisasi,
informasi ini dapat menjadi petunjuk penyebab primer terjadinya pruritus.
Contohnya untuk pruritus yang terjadi di selangkangan atau area anal dapat
disebabkan oleh jamur, parasit atau dapat merupakan akibat sekunder dari
penyakit lain seperti hemoroid.
2. Ada atau tidaknya lesi
Ada atau tidaknya lesi dapat membantu menunjukkan penyebab pruritus.
3. Kapan gejala terasa paling berat
Dengan mengetahui kapan pruritus terasa paling berat dapat menjadi petunjuk
diagnosis penyebab primer pruritus, sebagai contoh infeksi tungau atau parasit
yang lain lebih aktif ketika malam hari.
4. Faktor yang memperingan gejala
Beberapa keadaan dapat memperbaiki

kondisi

seperti

menghindari

menggunakan pakaian atau sabun tertentu.


5. Riwayat pengobatan
Penggunan obat yang baru maupun lama harus di catat untuk mengevaluasi
efek obat terhadap keluhan pruritus.
6. Riwayat alergi
Riwayat alergi harus ditanyakan untuk mengevaluasi kemungkinan pruritus
yang disebabkan reaksi alergi.
7. Riwayat sosial
Penggunaan alkohol ataupun obat harus dicatat karena dapat berhubungan
dengan pruritus yang disebabkan oleh penyakit sistemik seperti insufisiensi
hepar.

16

8. Riwayat keluarga
Riwayat pruritus pada keluarga juga harus digali, pada pasien yang tinggal
berkelompok dapat mengarahkan pada skabies atau underlying cause.
9. Review sistem
Penggalian penyakit sistemik harus dilakukan terutama pada pasien lansia,
untuk mengetahui adanya hubungan antara pruritus dengan penyakit yang
sedang diederita.
Pemeriksaan fisik menyeluruh harus dilakukan untuk menentukan pruritus
yang dialami oleh pasien berhubungan dengan kondisi dermatologis. Ketika kulit
pasien menunjukkan adanya rash yang nonspesifik maka biopsi kulit harus
dilakukan. Pemeriksaan darah lengkap dapat membantu dalam mengevaluasi
penyakit hematologik seperti leukimia, anemia, dan polisitemia. Fungsi hepar dan
fungsi ginjal dapat mengevaluasi adanya penyakit hepar ataupun renal.
Abnormalitas fungsi hepar dapat berhubungan dengan infeksi, alkohol, ataupun
inflamasi pada hepar. 3,8
Jika diagnosis tidak jelas setelah sejarah dan pemeriksaan fisik atau jika
pengobatan empiris awal tidak efektif, evaluasi laboratorium yang terbatas harus
dilakukan, termasuk hitung darah lengkap dan pengukuran thyroid-stimulating
hormone, glukosa puasa, alkali fosfatase, bilirubin, kreatinin, dan nitrogen urea
darah.8,15 Jika penekanan sistem imun atau limfoma mungkin, tes antibodi virus
human imunodefisiensi dan radiografi thoraks juga harus dilakukan. Tes
diagnostik lebih lanjut mungkin termasuk biopsi, menggores, atau kultur kulit atau
lesi.15

17

Penyebab Dermatolog

Recognizable (penyebabNo reco


diketahui)
(tidak d
-Xerosis
-Dermatitis seboroik
-DKA
Biops
-Liken simplex
(Bullo
kronis
pemp
-Psoriasis
-Dermatitis Numularis
-Skabies

Gambar 4. Algoritma diagnostik pasien pruritus15

18

TATALAKSANA
Step 1

Terapi Pruritus pada Pasien Geriatri16


Diagnosis penyebab pruritus

terapi

berdasarkan etiologis
Terapi general (contoh: mencegah kulit kering)
Terapi simptomatik inisial: antihistamin oral non
sedatif

Step 2

dan

(dapat

dikombinasikan

dengan

glukokortikosteroid)
Terapi spesifik untuk beberapa bentuk pruritus kronik
(contoh: antagonis reseptor opioid pada pruritus

Step 3

cholestatic)
Terapi topikal simptomatik dan atau terapi sistemik,

Accompanying

contoh: capsaicin, inhibitor calcineurin, gabapentin


Pada kasus gangguan tidur: antihistamin sedasi,

therapy during

tranquilizer, antidepresan trisiklik, atau neuroleptik

Terapi psikosomatik, terapi perilaku


each step
Pada kasus lesi erosif: glukokortikosteroid lokal
Pada orang tua, manajemen pruritus menimbulkan tantangan yang
unik. Manajemen pruritus dalam kelompok usia tua ini membutuhkan
pendekatan spesifik. Perawatan disesuaikan dengan cacat mental dan fisik
pasien, tingkat keparahan gejala pruritus, dan potensi efek samping dari
perawatan yang tersedia.1

Kondisi kulit (dermatosis dan / atau lesi awal diinduksi), terutama


pada pasien geriatri perlu diawasi secara ketat. Pasien usia lanjut sering
mengeluhkan berbagai penyakit penyerta yang menyulitkan upaya terapi.
Karena banyak asal sistemik dari pruritus, kesuksesan pemberian regimen
terapi harus melalui skrining menyeluruh untuk setiap penyakit yang
mendasari.16 Pendekatan spesifik (individual) diberikan tergantung pada
penyebab yang mendasarinya, terapi kausal meliputi pengobatan khusus dari
gangguan dermatologis primer, menghindari alergen kontak, penghentian
obat, terapi internal, neurologis dan psikiatris khusus sampai terapi bedah
neoplasma.9,16

19

Beberapa modalitas terapi yang dapat digunakan dalam penanganan


pruritus pada orang lanjut usia antara lain:

Emmolients. Jika penyebab pruritus tidak dapat diidentifikasi, maka


tujuan utama terapi adalah mengurangi gejala yang dirasakan. Terapi
topikal emolient dapat mengurangi gejala walaupun tidak ada bukti
kekeringan kulit. Emmolient bekerja dengan mempertahankan barrier
lipid pada kulit, dengan demikian dapat membantu mencegah hilangnya
air dari kulit dan mencegah terjadinya iritasi. Pada pasien geriatri,
terdapat beberapa cara yang sederhana dan efektif dalam meningkatkan
integritas kulit serta barrier epidermis; (1) pasien harus mengeliminasi
penggunaan sabun yang kasar ataupun detergen dan lebih baik
menggunakan sabun low atau tanpa cleansers kecuali pada area groin
dan aksila; (2) pasien juga harus membatasi shower hanya sampai 10
menit dan hanya menggunakan air hangat; (3) pasien harus
mengaplikasikan pelembab setelah mandi dan dapat sampai 3 kali per

hari untuk hidrasi yang adekuat dan kornifikasi kulit.4,5


Antipruritus dan terapi lain. Jika emmolient tidak cukup mengurangi
gejala pruritus yang dirasakan oleh pasien, maka dapat diberikan
tambahan

terapi antipruritus. Antihistamin dapat diberikan karena

histamin merupakan mediator utama terjadinya pruritus. Ada dua kelas


utama antihistamin yaitu H1 dan H2. H1 antihistamin dapat dibagi
menjadi dua generasi yaitu generasi pertama dengan efek sedatif yang
signifikan dan efek antikolinergik; generasi ke dua dengan efek sedatif

lemah. H2 antihistamin tidak efektif untuk mengatasi pruritus.4,5


Menthol dan phenol. Menthol dan phenol adalah agen yang dapat
ditambahkan pada krim yang akan mengaktivasi serabut saraf untuk
mentransmisikan sensasi dingin. Sensasi dingin ini akan mengurangi

persepsi gatal.4,5
Kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal dapat mengurangi
pruritus yang merupakan akibat sekunder dari penyakit inflamasi.
Namun penggunaannya harus dibatasi karena efek samping yang

20

ditimbulkan seperti: telangiektasi, atrofi, dan striae dalam penggunaan

jangka panjang.4,5
Aspirin. Solusio aspirin 3% dapat mengurangi gejala pruritus secara

signifikan.4,5
Asam salisilat. Asam salisilat topikal yang dikombinasikan dengan
immunomudulator seperti tacrolimus dan pimecrolimus dapat efektif

dalam mengurangi pruritus. 4,5


Antagonis reseptor opioid. Penggunaan antagonis opioid digunakan
pada pruritus yang berhubungan dengan cholestasis, uremia, dan

beberapa penyakit dermatologis lainnya. 4,5


Cholestyramin. Kolestiramin efektif untuk mengurangi pruritus pada
gangguan bilier yang diduga dapat mengurangi pruritus karena

menghilangkan garam empedu.4,5


SSRI. Inhibitor reuptake serotonin digunakan pada pruritus akibat

cholestatic.4,5
Antidepressant. Antidepressant dapat menstimulasi norephineprin dan
secara simultan memblok reseptor serotonin digunakan untuk pruritus
nokturnal dan pruritus yang berhubungan dengn limfoma, cholestasis,

dan uremia. 4,5


Derivat asam glutamat. Derivat asam glutamat dapat menginhibisi
TNF alpha dan sebagai antagonis histamin, biasa digunakan untuk
pruritus yang berhubungan dengan ekzema, psoriasis, dan sirosis

bilier.4,5
GABA. GABA memblok jalur dari neuropati aferen yang efektif

digunakan dalam mengatasi pruritus akibat neuropati.4,5


Terapi UV. UVB efektif untuk mengatasi pruritus akibat uremia dan
cholestasis pruritus.4,5

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
21

Pruritus didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman pada kulit yang


menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. Pruritus paling sering terjadi
pada populasi geriatri. Pruritus kronik merupakan salah satu keluhan kulit
yang paling sering dikeluhkan oleh pasien terutama pasien geriatri. Faktor
risiko utama terjadinya pruritus dan kelainan kulit lain pada orang tua
adalah proses penuaan.
Pruritus dapat disebabkan oleh faktor primer, yaitu kelainan yang
disebabkan oleh gangguan pada kulit itu sendiri (dermatologis), maupun
faktor sekunder, yaitu kelainan kulit akibat kelainan non-dermatologis yang
mendasari, seperti penyakit sistemik, faktor psikogenik, maupun akibat
penggunaan obat.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh harus dilakukan untuk
menentukan pruritus yang dialami oleh pasien berhubungan dengan kondisi
dermatologis. Jika penyebab pruritus tidak dapat diidentifikasi, maka tujuan
utama terapi adalah mengurangi gejala yang dirasakan. Namun jika
penyebab diketahui, maka terapi yang diberikan harus sesuai dengan
penyebabnya.

DAFTAR PUSTAKA

22

1. Cohen KR, Frank J, Salbu RL, Israel I. Pruritus in the elderly:


clinical approaches to the improvement of quality of life. P T 2012;
37: 22739.
2. Yonova D. Pruritus in certain internal diseases. Hippokratia 2007;
11: 6771.
3. Chinniah N, Gupta M. Pruritus in the elderly a guide to assessment
and management. Aust Fam Physician 2014; 43: 710714.
4. Tivoli YA, Rubenstein RM. An Updated Look at an Old Problem. J
Clin Aesthet Dermatol 2009; 2.
5. Ayer J. Itching in old age. Dermatological Nurs 2009; 8.
6. Garibyan L, Chiou AS, Elmariah SaB. Advanced Aging Skin and
Itch: Addressing an Unmet Need. Dermatol Ther 2011; 4: 92103.
7. Berger T, Shive M, Harper G. Pruritus in the Older Patient. Jama
2013; 310: 24432450.
8. Valdes-Rodriguez R, Stull C, Yosipovitch G. Chronic Pruritus in the
Elderly: Pathophysiology, Diagnosis and Management. Drugs and
Aging 2015; 32: 201215.
9. Tey HL, Yosipovitch G. Targeted treatment of pruritus: A look into
the future. Br J Dermatol 2011; 165: 517.
10. Yosipovitch G, Bernhard JD. Chronic Pruritus. N Engl J Med 2013;
17368: 162534.
11. Taranu T, Toader S, Esanu I, Toader M. Pruritus in the elderly,
pathophysiological, clinical, laboratory and therapeutic approach.
2013; 118: 3338.
12. Harlim A, Yogyartono P. Uremic Pruritus in Chronic Kidney
Disease. Maj Kedokt FK UKI 2012; XXVIII: 100111.
13. Tey HL, Wallengren J, Yosipovitch G. Psychosomatic factors in
pruritus. Clin Dermatol 2013; 31: 3140.
14. Narang T, Kumaran Ms, Yadav S. Psychodermatology: A
23

comprehensive review. Indian J Dermatology, Venereol Leprol 2013;


79: 176.
15. Reamy B V., Bunt CW, Fletcher S. A diagnostic approach to pruritus.
Am Fam Physician 2011; 84: 195202.
16. Grundmann S, Stnder S. Chronic pruritus: Clinics and treatment.

Ann Dermatol 2011; 23: 111.

24

Anda mungkin juga menyukai