Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal. Jumlah ibu
hamil dengan diabetes yang sudah ada semakin meningkat, terutama dari peningkatan
diabetes tipe 2, begitupun juga peningkatan diabetes tipe 1. Secara keseluruhan, diabetes
tipe 1 menyumbang sekitar 5% sampai 10% dari semua diabetes di luar kehamilan, dan
pada kehamilan disatukan dengan diabetes tipe 2 sebesar 10% dari kehamilan diabetes
(Mahon and Chaoohan, 2012).
Diabetes Mellitus pada kehamilan

adalah komplikasi metabolik yang paling

umum dari kehamilan, dan penyebab kematian janin dan morbiditas. Oleh karena itu,
diagnosis awal diperlukan untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin dan untuk
membantu, mencegah atau menunda timbulnya diabetes mellitus tipe 2 (Shoheylikhah et
al, 2010).

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan etiologi dari kehamilan pada diabetes mellitus?
2. Bagaimana patofisiologi terjadinya kehamilan pada diabetes mellitus ?
3. Bagaimana gambaran klinis pada kehamilan pada diabetes mellitus?
4. Bagaimana penegakan diagnosis pada kehamilan pada diabetes mellitus ?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada kehamilan pada diabetes
mellitus?
6. Apa saja diagnosis banding untuk penyakit kehamilan pada diabetes mellitus ?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus kehamilan pada diabetes mellitus?
8. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus kehamilan pada diabetes mellitus?
9. Bagaimana prognosis pasien penderita kehamilan pada diabetes mellitus?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dan etiologi dari kehamilan pada diabetes mellitus
2. Mengetahui patofisiologi terjadinya kehamilan pada diabetes mellitus
3. Mengetahui gambaran klinis pada kehamilan pada diabetes mellitus
4. Mengetahui cara penegakan diagnosis pada kehamilan pada diabetes mellitus
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada kehamilan pada
diabetes mellitus
6. Mengetahui diagnosis banding pada kehamilan pada diabetes mellitus
7. Mengetahui penatalaksanaan pada kasus kehamilan pada diabetes mellitus

8. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada kasus kehamilan pada diabetes
mellitus
9. Mengetahui prognosis pasien penderita kehamilan pada diabetes mellitus
D. Manfaat
1. Menambah pengetahuan tentang definisi dan etiologi dari kehamilan pada diabetes
mellitus
2. Menambah pengetahuan tentang patofisiologi terjadinya kehamilan pada diabetes
mellitus
3. Mampu melakukan langkah diagnostik pasien dengan kehamilan pada diabetes
mellitus
4. Mampu memberikan terapi pada pasien dengan kehamilan pada diabetes mellitus
5. Menambah pengetahuan tentang komplikasi yang dapat terjadi pada kasus kehamilan
pada diabetes mellitus
6. Menambah pengetahuan tentang prognosis pasien penderita kehamilan pada diabetes
mellitus

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Perdarahan Uterus Disfungsional adalah perdarahan pervaginam abnormal (lama,
frekuensi dan jumlahnya) dari uterus, di dalam maupun di luar siklus haid tanpa disertai
kelainan organik dan hematologik, sehingga merupakan kelainan pada poros hipotalamo-

hipofisi-ovarium-organ sasaran/uterus (hypothalamo-hypophyseo-ovarian-uterine axis)


(Achadiat, 2004)
Perdarahan uterus disfungsional yaitu perdarahan dari uterus yang tidak ada
hubungannya dengan sebab organik (Wiknjosastro, 2009).
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah perdarahan uterus abnormal yang
didalam maupun diluar siklus haid, yang semata-mata disebabkan gangguan fungsional
mekanisme kerja hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium tanpa kelainan organik
alat reproduksi. PUD paling banyak dijumpai pada usia perimenars dan perimenopause
(Mansjoer dkk, 2000)
B. Etiologi
Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche
dan menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai pada masa permulaan dan pada
masa akhir fungsi ovarium. Pada usia perimenars, penyebab paling mungkin adalah
faktor pembekuan darah dan gangguan psikis (Mansjoer dkk, 2000)
Pada masa pubertas sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh
gangguan atau terlambat proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa
pembuatan releasing factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada wanita
dalam masa premenopasuse proses terhentinya proses ovarium tidak selalu berjalan
lancar (Wiknjosastro, 2009).
C. Patofisiologi
Schroder pada tahun 1915, setelah penelitian histopatologik pada uterus dan
ovarium pada waktu yang sama, menarik kesimpulan bahwa gangguan perdarahan yang
dinamakan metropati hemoragika terjadi karena persistensi folikel yang tidak pecah
sehingga tidak terjadi ovulasi dan pemebntukan korpus luteum. Akibatnya terjadilah
hyperplasia endometrium karena stimulasi estrogen yang berlebihan dan terus menerus.
Penjelasan ini masih diterima untuk sebagian besar kasus-kasus perdarahan disfungsional
(Wiknjosastro, 2009).
Akan tetapi, penelitian menunjukkan pula bahwa perdarahan disfungsional dapat
ditemukan bersamaan dengan berbagai jenis endometrium yakni endometrium atropik,
hiperplastik, proliferatik, sekretorik dan endometrium jenis nonsekresi merupakan jenis
terbesar. Pembagian endometrium menjadi jenis nonsekresi dan sekresi ini penting
artinya, karena dengan demikian dapat dibedakan perdarahan yang anovulatoar dengan
perdarahan yang ovulatoar. Klasifikasi ini memiliki nilai klinik karena kedua jenis
perdarahan disfungsional ini mempunyai dasar etiologi yang berlainan dan penanganan
3

yang berbeda. Pada perdarahan disfungsionalyang ovulatoar gangguan dianggap berasal


dari faktor-faktor neuromuscular, vasomotorik, atau hemopatologik, yang mekanismenya
belum seberapa dimengerti, sedang perdarahan anovulatoar biasanya dianggap bersumber
pada gangguan endokrin (Wiknjosastro, 2009).
Pada siklus ovulasi terjadi perdarahan uterus disfungsi yang disebabkan oleh
terganggunya kontrol lokal hemostasis dan vasokonstriksi yang berguna untuk
mekanisme membatasi jumlah darah saat pelepasan jaringan endometrium haid. Saat ini
telah diketahui molekul yang berguna untuk mekanisme kontrol tersebut, antara lain yaitu
endotelin, prostaglandin, VEGF, MMPs, enzim lisosom dan fungsi platelet. Beberapa
keadaan lain yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan uterus disfungsi pada siklus
ovulasi adalah korpus luteum persisten dan insufisiensi korpus luteum (Prawiroharjo,
2011).
Pada siklus anovulasi terjadi stimulasi estrogen berlebihan (unopposed estrogen)
pada endometrium. Endometrium mengalami proliferasi berlebih tetapi tidak diikuti
dengan pemebntukan jaringan penyangga yang baik karena kadar progesterone rendah.
Endometrium menjadi tebal tapi rapuh, jaringan endometrium lepas tidak bersamaan dan
tidak ada kolaps jaringan sehingga terjadi perdarahan yang tidak teratur. Penyebab
anovulasi bermacam-macam mulai dari belum matangnya aksis hipotalamus-hipofisisovariun sampai suatu keadaan yang menggangggu aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium
sehingga terjadi perdarahan uterus disfungsi anovulasi. (Prawiroharjo, 2011)
D. Gambaran Klinik
1. Perdarahan ovulatoar
Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional
dengan siklus

pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk

menegakkan diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada masa


mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur siklus haid tidak
dikenali lagi, maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat menolong.
Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa
adanya sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologinya :
a. Korpus luteum persistens; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang
bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari
kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan panggul sering
4

menunjukkan banyak persamaan antara keduanya. Korpus luteum persisten dapat


pula menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur (irregular shedding).
Diagnosa irregular shedding dibuat dengan kerokan yang tepat pada waktunya,
yakni menurut Mc Lennon pada hari ke-4 mulainya perdarahan. Pada waktu ini
dijumpai endometrium dalam tipe sekresi disamping tipe nonsekresi.
b. Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia
atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron disebabkan
oleh gangguan LH releasing factor. Diagnosis dibuat, apabila hasil biopsi
endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang
seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan.
c. Apopleksia uteri; pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh
darah dalam uterus.
d. Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam
mekanisme pembekuan darah.
(Wiknjosastro, 2009)
2. Perdarahan anovulatoar
Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan
menurunnya kadar estrogen dibawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang
kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali(Wiknjosastro,
H., 1999).
Fluktuasi kadar estrogen ada sangkut-pautnya dengan jumlah folikel yang pada
suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan estrogen sebelum
mengalami atresia, dan kemudian diganti oleh folikel-folikel baru. Endometrium
dibawah pengaruh estrogen tumbuh terus, dan dari endometrium yang mula-mula
proliferatif dapat terjadi endometrium bersifat hiperplasia kistik. Jika gambaran itu
dijumpai pada sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat diambil kesimpulan
bahwa perdarahan bersifat anovulatoar (Wiknjosastro,2009).
Walaupun perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu dalam
kehidupan menstrual seorang wanita, tapi paling sering pada masa pubertas dan masa
premenopause. Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada
harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi
ovulatoar, pada seorang wanita dewasa terutama dalam masa premenopasue dengan
perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya
tumor ganas (Wiknjosastro,2009).
5

Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita dengan


penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang
menahun, tumor-tumor ovarium dan sebagainya. Disamping itu stress dan pemberian
obat penenang juga dapat menyebabkan perdarahan anovulatoar yang biasanya
bersifat sementara (Wiknjosastro, 2009).
E. Diagnosis
Pembuatan anamnesis yang cermat penting untuk diagnosis. Perlu ditanyakan
bagaimana mulainya perdarahan, apakah didahului oleh siklus yang pendek atau oleh
oligomenorea/amenorea, sifat perdarahan (banyak atau sedikit-sedikit, sakit atau tidak),
lama perdarahan, dan sebagainya. Pada pemeriksaan umum perlu diperhatikan tandatanda yang menunjuk kearah penyakit metabolik, endokrin, penyakit menahun, dan lailain. Kecurigaan terhadap salah satu penyakit tersebut hendaknya menjadi dorongan
untuk melakukan pemeriksaan ginekologik perlu dilihat apakah tidak ada kelainankelainan organik, yang menyebabkan perdarahan abnormal (polip, ulkus, tumor,
kehamilan terganggu) (Wiknjosastro, 2009).
Pada wanita dalam masa pubertas tidak perlu dilakukan kuretase untuk
penegakkan diagnosis. Pada wanita usia antara 20 dan 40 tahun kemungkinan besar
adalah kehamilan terganggu, polip, mikoma submukosum, dan sebagainya. Kerokan
dilakukan setelah dapat diketahui benar bahwa tindakan tersebut tidak mengganggu
kehamilan yan masih memeberi harapan untuk diselamatkan. Pada wanita dalam masa
premenopause, kerokan perlu dilakukan untuk menastikan ada tidaknya tumor ganas
(Wiknjosastro, 2009).
Menurut Achadiat (2004), criteria diagnosis PUD meliputi :
1. Terjadinya perdarahan pervaginam tidak normal (lama, frekuensi maupun
jumlahnya), yang terjadi di dalam maupun siklus haid.
2. Tidak ditemukan adanya kelainan pada organ-organ genitalia (eksterna maupun
interna) dan juga tidak ada kelainan hematologic (khususnya faktor-faktor pembekuan
darah)
3. Umumnya terjadi pada usia perimenars (8-16 tahun), masa reproduksi (16-35 tahun)
dan perimenopause (45-65 tahun)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi endometrium (dilatasi dan kuretase diagnostic), bila tidak ada kontraindikasi.
2. Pemeriksaan ultrasonografi
3. Pemeriksaan hematologi lengkap

4. Pemeriksaan hormone reproduksi (bila dimungkinkan dari segi biaya oleh pasien) :
estrogen, progesterone, FSH, LH, prolakstin, prostalglandin F2.
(Achadiat, 2004)
G. Diagnosis Banding
1. Kelainan organic genitalia seperti mioma uteri, polypus servisis uteri dan sebagainya.
2. Kelainan hematologic, khususnya dalam hal faktor faktor pembekuan darah.
(Achadiat, 2004)
H. Tata Laksana
Penanganan PUD dilakukan untuk mencapai dua tujuan yang saling berkaitan, yaitu
yang pertama mengembalikan pertumbuhan dan perkembangan endometrium abnormal
yang menghasilkan keadaan anovulasi dan kedua membuat haid yang teratur, siklik
dengan volume dan jumlah yang normal. Kedua tujuan tersebut dapat dicapai dengan
cara menghentikan perdarahan dan mengatur haid supaya normal kembali (Prawiroharjo,
2011).
Seperti pada perdarahan uterus abnormal penanganan pertama ditentukan
berdasarkan kondisi hemodinamik. Bila hemodinamik tidak kembali stabil segera masuk
rumah sakit untuk perawatan perbaikan keadaan umum. Bila hemodinamik stabil
penanganan untuk menghentikan perdarahan dilakukan seperti cara penanganan
perdarahan uterus abnormal dengan bentuk perdarahan akut dan banyak. Medikamentosa
yang dipakai adalah kombinasi estrogen dan progesterone atau progestin dan estrogen
(Prawiroharjo, 2011).
Untuk mengatur haid setelah penghentian perdarahan tergantung pada dua hal, yaitu
usia dan paritas. Untuk usia remaja dapat diberikan obat kombinasi estrogen progesterone
(pil kontrasepsi kombinasi), progestin siklik, misalnya MPA dosis 10 mg per hari selama
14 hari, 14 hari berikutnya tanpa diberikan obat. Kedua pengobatan di atas diulang
selama 3 bulan. Untuk usia reproduksi, bila paritas multipara berikan kontrasepsi
hormone seperti di atas. Bila infertilitas dan ingin hamil, berikan obat induksi ovulasi.
Pada usia perimenopause berikan pil kontrasepsi kombinasi dosis rendah atau injeksi
DMPA (Prawiroharjo, 2011).
Menurut Achadiat (2004), jenis penatalaksanaan pada PUD ada dua macam, yaitu:
1. Terapi operatif : yakni dilatasi dan kuretase, dilakukan pada yang sudah menikah atau
live saving untuk yang belum menikah
2. Terapi hormonal : dibagai menjadi dua bagian, yaitu PUD dengan siklus ovulasi dan
PUD dengan siklus anovulasi
a. PUD Ovulasi
7

Pertengahan siklus : estrogen 0,624 mg 1,25 gr pada hari ke-10-15

siklus
Bercak pra haid : progesterone 5-10 mg pada hari ke- 17-26 siklus
Pascahaid : estrogen 0,625 mg 1,25 gr pada hari ke 2-7 siklus
Polimenorea : progesteron10 mg pada hari ke 15-25 siklus
b. PUD Anovulasi
Menghentikan perdarahan segera dengan dilatasi dan kuretase (jika perdarahan
banyak). Bisa juga estrogen selama 20 hari dan diikuti progesterone selama 5 hari
atau pil KB kombinasi 2x1 tablet selama 3 hari dan diikuti dengan 1x1 tablet
selama 21 hari. Pilihan lainnya adalah progesterone 10-20 mg/hari selama 7-10
hari.
Setelah darah berhenti, siklus diatur dengan estrogen dan progesterone tiga siklus
berturut-turut, kemudian terapi disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan.

Siklus anovulasi berikan pemicu ovuasi (klomifen sitrat)


Hiperprolaktinemia : berikan bromokriptin
Ovarium polikistik : berikan kortikosteroid dan dilanjutkan klomifen sitrat.

Perdarahan banyak yang disertai dengan anemia gravis dapat diberikan estrogen
konjugasi 25 mg intravena diulang tiap 3-4 jam, atau DMPA (Progesteron) 100-150
mg intramuscular. Setelah darah berhenti atur siklus dengan kombinasi estrogen 20
hari diikuti progesterone 5 hari. Setelah tiga siklus, terapi disesuaikan dengan
kelainan hormonal yang ditemukan.
(Achadiat, 2004)
I. Komplikasi
1. Perforasi (ketika dilakukan dilatasi dan kuretase
2. Anemia berat sampai dengan syok
3. Infertilitas sebagai akibat dari tidak terjadinya ovulasi
4. Lamanya terbentuknya lapisan uterus mungkin sebagai faktor berkembangnya kanker
endometrium
(Achadiat, 2004)
J. Prognosis
Regulasi hormonal biasanya berhasil menurunkan symptom. Induksi ovulasi pada
wanita yang menginginkan kehamilan mempunyai kesuksesan pada 80% kasus.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perdarahan Uterus Disfungsional adalah perdarahan pervaginam abnormal
(lama, frekuensi dan jumlahnya) dari uterus, di dalam maupun di luar siklus
haid tanpa disertai kelainan organik dan hematologik, sehingga merupakan
kelainan

pada

poros

hipotalamo-hipofisi-ovarium-organ

sasaran/uterus

(hypothalamo-hypophyseo-ovarian-uterine axis)
2. Bisa merupakan PUD ovulatoar maupun anovulatoar
3. Penanganan PUD dilakukan untuk mencapai dua tujuan yang saling berkaitan,
yaitu yang pertama mengembalikan pertumbuhan dan perkembangan
endometrium abnormal yang menghasilkan keadaan anovulasi dan kedua
membuat haid yang teratur, siklik dengan volume dan jumlah yang normal
B. Saran
1. Setiap wanita pada usia perimenarche dan perimenopause agar waspada
terhadap perdarahan uterus abnormal yang terjadi.
2. Anamnesis mendalam dan pemeriksaan yang terarah dapat menyingkirkan
semua kelainan organic penyebab perdarahan untuk menegakkan diagnosis
pada PUD

DAFTAR PUSTAKA
9

Achadiat, Chrisdiono (2004). Prosedur Tetap Obstetri & Ginekologi. Jakarta :EGC
Kadarusman (2005). Perdarahan Uterus Disfungsional. Dari http://digilib.unsri.ac.id
Mansjoer, dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius
Prawirohardjo, 2011. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : PT Bina Pustaka
Suseno,
Sigid
(2007).
Perdarahan
Uterus
Disfungsional
(PUD).
http://scribd.com/doc/82270530/70/Perdarahan-Uterus-Disfungsional-PUD

Dari

Wiknjosastro, H., 2009. Ilmu Kandungan, Edisi 2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

10

Anda mungkin juga menyukai