Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karangsambung terletak 19 km di utara kota Kebumen, Jawa Tengah. Di
daerah Karangsambung inilah terhimpun beraneka jenis batuan, berukuran kerikil
hingga sebesar bukit, yang berasal dari sejarah dan umur yang berbeda-beda. Batuan
yang terhimpun ini bercampur aduk sedemikian rupa oleh proses geologi selama
kurun waktu dalam skala jutaan tahun. Karangsambung ditinjau dari sejarah geologi
memperlihatkan adanya bukti-bukti batuan berumur tua yang berasal dari dua
lempeng yaitu lempeng samudra dan lempeng benua. Batu-batuan tersebut
merupakan hasil tumbukan Lempeng Hindia-Australia dengan Lempeng Benua Asia
Tenggara sejak Kapur Akhir atau Tersier Awal. Selain batuan yang tua, pada daerah
ini juga terdapat struktur geologi berupa sesar, lipatan, dan kekar. Struktur ini sangat
intensif dan berkembang sangat luas di daerah ini. Bukti-bukti struktur ini terekam
dalam hampir semua batuan yang ada di Karangsambung. Batu-batuan tersebut
menampakkan suatu tubuh batuan yang sudah terkena deformasi yang sangat kuat
dan berulang karena posisinya yang berada di dalam zona subduksi (Raharjo dkk,
2011).
Keanekaragaman morfologi dapat diamati pada perbukitan Gunung
Wagirsentul, Gunung Bako dan Gunung Sipako. Daerah bentanglahan kompleks
merupakan daerah yang dapat mempunyai tatanan geologi yang rumit, dengan
urutan-urutan statigrafi yang sulit untuk ditata karena tidak mengikuti hukum-hukum
superposisi, kesinambungan lapisan dan faunal assemblage yang berlaku.
Bentuklahan yang kompleks tersebut merupakan ciri daerah produk deformasi
tektonik dan gejala sedimen biasa dengan jalan pelengseran-pelengseran. Satuan
batuan dengan ciri yang khas ini dalam istilah tektonik untuk proses deformasi
dikenal sebagai tektonik melange.
Mengingat pentingnya Kawasan Karangsambung bagi ilmu kebumian
terutama geologi karena tempatnya yang langka dan istimewa maka Kawasan
Karangsambung ditetapkan sebagai Cagar Alam Geologi Karangsambung dengan
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI nomor 2817K/
40/MEM/2006 tanggal 10 November 2006. Oleh karena struktur geologi dan batuan
1

yang ada dikarangsambung sangat kompleks dan unik serta cocok menjadi media
pembelajaran maka tempat yang dituju untuk melakukan ekskursi pada Kuliah
Lapangan II kali ini adalah Kecamatan Karangsambung, Kebumen.
1.2 Maksud dan Tujuan
Ekskursi lapangan dilakukan pada Kamis, 8 September 2016 merupakan
salah satu dari rangkaian kegiatan dalam mengikuti mata kuliah Kuliah Lapangan II
yang mempelajari mengenai Pemetaan Lingkungan Geofisik, Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN Veteran Yogyakarta. Tujuan
diadakannya ekskursi ini adalah sebagai berikut :
1. Mengenal dan mempelajari Bentang Alam di Karangsambung.
2. Mengenal dan memahami sebaran batuan dan struktur batuan yang ada di
Karangsambung.
3. Mengetahui proses-proses Geomorfologi yang terjadi di Karangsambung.
4. Mempelajari potensi bencana yang ada di Karangsambung dan penyebab
terjadinya.
1.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah:
1. Metode Survey, yaitu melihat secara langsung data yang akan diambil
dilapangan
2. Metode deskripsi, mendeskripsikan data yang telah diamati
dilapangan
3. Penyusunan laporan
1.4 Lokasi Daerah Penelitian
Ekskursi Kuliah Lapangan II dilakukan pada tujuh lokasi pengamatan yang
berada pada daerah Kali Muncar hingga Desa Banioro, Kecamatan Karangsambung,
Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah.

Gambar 1.1 Peta Lokasi Ekskursi

BAB II
ISI
2.1 Lokasi Pengamatan 1
Lokasi : Kali Muncar, Desa Sebara, Kecamatan Sadang, Karangsambung
Waktu : 10.41 WIB
Cuaca : Cerah
Stopsite 1 berada pada pinggir Kali Muncar, pada stopsite ini terdapat
singkapan selang-seling dua batuan sedimen yang berbeda yaitu rijang dan
batulempung merah gampingan dan diatasnya terdapat batuan beku yaitu basalt
dengan struktur lava bantal (pillow lava).

Gambar 2.1 Singkapan Batulempung Merah Gampingan, Rijang dan Basalt


(Foto Penulis, 2016, LP 1)

Batulempung merah gampingan yang berselang-seling dengan rijang


memiliki perlapisan yang tegak, dan memiliki kekar-kekar yang terisi oleh mineral
sekunder yaitu kalsit. Terbentuknya batuan ini adalah unsur-unsur yang membentuk
batuan mengendap pada dasar laut dengan kedalaman lebih kurang 5000 meter.
Rijang memiliki warna merah karena berasal dari fosil radiolaria dan mengandung
unsur besi. Batulempung merah gampingan berbuih bila ditetesi HCl. Terbentuknya
batulempung merah gampingan adalah hasil dari rombakan batuan yang telah ada
dan mengalami litifikasi kembali membentuk batuan baru. Rijang dapat terbentuk
4

dari proses kimia, biokimia, ataupun buogenil (kumpulan organisme silika) maupun
produk vulkanik bawah laut.
Basalt dengan struktur pillow lava dapat terbentuk saat magma yang berada
pada bawah permukaan bumi kemudian bergerak keluar menuju dasar laut melalui
rekahan-rekahan yang ada. Saat perbedaan suhu antara badan air dengan lava tinggi,
maka bagian luar lava yang berentuhan langsung dengan air akan mengeras terlebih
dahulu hingga kedalam yang mengakibatkan terjadinya retakan-retakan pada
permukaan batuan. Basalt terbentuk dari magma basa yaitu memiliki kadar silika
yang rendah.
2.2 Lokasi Pengamatan 2
Lokasi : Desa Puncangan, Kecamatan Karangsambung
Waktu : 11.46 WIB
Cuaca : Cerah

Gambar 2.2 Singkapan Serpentinit


(Foto Penulis, 2016, LP 2)

Stopsite 2 terletak pada pinggir jalan raya yang ada di Desa Puncangan. Pada
stopsite ini terdapat singkapan batuan metamorf yaitu serpentinit. Serpentinit pada
lokasi ini memiliki warna hijau gelap dan kehitaman dan mengkilap, dengan adanya
gores garis. Mineral pembentuk serpentinit adalah serpentin. Batuan ini terbentuk
dari hasil metamorfosa dengan suhu yang rendah dan tekanan yang tinggi, dan
meghasilkan batuan yang tidak menampakkan kesejajaran mineral pembentuknya.
Batuan ini terbentuk pada lingkungan air laut yaitu batuan beku ultramafik yang

merupakan batuan asalnya mengalami hidrasi atau penambahan air yang disebut
serpentinisasi. Serpentin mengandung serat-serat asbes yang tipis dan panjang dan
jika terhirup dapat mengakibatkan asbestosis dan merusak organ pernapasan lainnya.
2.3 Lokasi Pengamatan 3
Lokasi : Desa Puncangan, Kecamatan Karangsambung
Waktu : 12.01 WIB
Cuaca : Cerah
Lokasi pengamatan ketiga berada pada sekitar persawahan, dimana pada
lokasi ini mengamati morfologi lahan atau bentanglahan yang terbentuk dari formasi
Melange. Tempat mengamati morfologi lahan yaitu daerah sawah terdiri dari satuan
batulempung gersik atau scally clay dan banyak tersebar bongkahan-bongkahan
breksi.

Gambar 2.3 Bentanglahan Formasi Melange


(Foto Penulis, 2016, LP 3)

Terlihat pada foto disebelah kiri (timur) terdapat perbukitan dengan


bentuklahan punggungan Gunung Paras. Terdapat beberapa bukit dengan bentuk
kerucut, lancip dan konkoidal. Bukit pada sebelah kiri merupakan bukit yang
terbentuk dari batuan berumur pra tersier yang memiliki batuan yang beraneka
ragam. Pada bagian tengah terdapat blok sesar (block folding) yang ditandai dengan
adanya tebing berbentuk segitiga yang disebut triangular facet, yaitu tebing yang
terbentuk karena adanya sesar turun, dimana bukit atau tebing tersebut merupakan
komplek batuan yang turun. Bagian kanan merupakan perbukitan yang terbentuk dari
breksi yang memiliki morfologi sangat menonjol. Faktor pengontrol dari bentuklahan

adalah litologi penyusun dan proses geomorfologi yang terjadi, selain itu adanya
proses eksogen akan mempengaruhi bentuklahan yang sebelumnya telah terbentuk
dari tenaga endogen.
2.4 Lokasi Pengamatan 4
Lokasi : Ketapang, Desa Puncangan, Karangsambung
Waktu : 12.20 WIB
Cuaca : Cerah
Lokasi pengamatan keempat terdapat dua singkapan batuan metamorf yang
berbeda, dimana kedua singkapan tersebut berada sangat dekat. Terdapat singkapan
marmer dan sekis mika yang berjarak lebih kurang 10 meter. Kedua batuan ini
termasuk dalam formasi Melange.

Gambar 2.4 Singkapan Sekis Mika


(Foto Penulis, 2016, LP 4)

Sekis mika adalah batuan metamorf yang terbentuk pada tekanan dan suhu
yang tinggi (diatas 4000C) dan berumur lebih dari 120 juta tahun yang lalu. Semua
bentuk dari batuan asal seperti struktur dan kandungan fosil hilang akibar mengalami
proes migrasi dan rekristalisasi mineral. Sekis mika ini merupakan pondasi dari
pulau jawa, yang menandakan bahwa batuan ini merupakan batuan yang tua dan
pada daerah ini merupakan daerah subduksi atau tumbukan antara lempeng benua
dengan lempeng samudra.

Gambar 2.5 Singkapan Marmer


(Foto Penulis, 2016, LP 4)

Marmer merupakan batuan metamorf yang terbentuk pada suhu yang tinggi
dan tekanan yang rendah dan berasal dari batuan asal berupa batugamping. Umur
dari marmer yang ada pada lokasi ini kurang dari 120 juta tahun. Warna yang ada
pada marmer disini adalah putih. Warna pada marmer tergantung dari mineral dan
pengotor yang ada. Marmer disini digunakan sebagai bahan tambang, yang memiliki
kualitas cukup bagus. Marmer yang bagus merupakan marmer yang memiliki
kandungan kalsit sekitar 90 %.
Kedua batuan tersebut hanya berjarak sekitar 10 meter antara satu dengan
yang lain dan memiliki umur pembentukan yang cukup jauh sehingga menandakan
daerah ini merupakan daerah subduksi lempeng, yang memungkinkan bertemunya
kedua batuan ini yang memiliki umur yang berbeda.
2.5 Lokasi Pengamatan 5
Lokasi : Jalan Raya Desa Karangsambung, Karangsambung
Waktu : 12.49 WIB
Cuaca : Cerah
Terdapat gerakan massa tanah dan batuan yang terjadi tepat pada pinggir
jalan raya Desa Karangsambung. Tipe gerakan massa tanahnya adalah soil sliding.
Terdapat bagian gerakan massa tanah dan batuan yang bergerak dan ada yang masih
bertahan. Bagian yang masih dapat menahan erosi adalah bagian dimana akar
vegetasi berpenetrasi hingga regolit ( batuan dasar yang lapuk tetapi masih tampak).
Batuan dasar pada daerah longsoran ini adalah filit dan sekis, didominasi oleh sekis.

Mekanisme terjadinya gerakan massa pada daerah ini adalah saat hujan, air yang
terserap ketanah akan berkumpul di regolit dan tanah. Tanah yang telah digeruk
untuk dijadikan jalan kemudian menjadi tidak stabil karena menahan beban vegetasi
berupa pinus yang berlebihan, dank arena air hujan yang terkandung dalam tanah
akan mengakibatkan terjadinya gerakan massa tanah dan batuan. Faktor
pengontrolnya adalah bentuklahan dimana pada lokasi ini berupa punggungan dan
bukit, tebal tanah, batuan dasar, tata air dimana pada daerah ini terlihat banyak
rembesan air dan penggunaan lahan. Faktor pemicu terjadinya gerakan massa adalah
curah hujan yang tinggi, vegetasi dan aktivitas manusia. Untuk mengurangi potensi
terjadinya gerakan massa tanah dan batuan dapat dilakukan dengan jangan
menggeruk tanah, memilih tanaman vegetasi yang ringan dan berakar tunggang dan
menghitung kerapatan penanamannya.

Gambar 2.6 Gerakan Massa Tanah dan Batuan


(Foto Penulis, 2016, LP 5)

2.6 Lokasi Pengamatan 6


Lokasi : Desa Karangsambung, Kebumen
Waktu : 13.02 WIB
Cuaca : Cerah
Lokasi pengamatan 6 berada pada timur jalan raya Desa Karangsambung.
Terdapat singkapan batuan beku yaitu diabas yang memiliki struktur columnar joint

atau struktur kolom. Diabas merupakan batuan beku ultrabasa yang banyak memiliki
unsur besi (Fe) dan magnesium (Mg) pada mineralnya yaitu piroksen dan plagioklas.
Pada singkapan ini terdapat banyak kekar, yang dapat terbentuk dari gaya eksogen
ataupun endogen. Terbentuknya struktur columnar joint adalah saat pendinginan lava
terjadi dimulai dari luar tubuh lava lalu merambat kedalam lava dan kemudian terjadi
pengkerutan karena mengeras. Columnar joint umumnya mendingin dengan
berbentuk heksagonal. Pada daerah ini merupakan daerah konservasi dan tidak boleh
ditambang.

Gambar 2.7 Singkapan Diabas dengan Stuktur Columnar Joint


(Foto Penulis, 2016, LP 6)

2.7 Lokasi Pengamatan 7


Lokasi : Desa Banioro, Kecamatan Karangsambung
Waktu : 14.45 WIB
Cuaca : Cerah
Lokasi pengamatan ketujuh berada pada pinggir jalan raya dan dekat dengan
persawahan yang bertujuan untuk mengamati bentuklahan pada daerah ini. Pada
lokasi ini diamati proses geomorfologi yang terjadi pada punggungan Gunung Paras
dan daerah sekitarnya dimana terjadi pembalikan topografi.
Pembalikan topografi punggungan pada Gunung Paras terjadi akibat adanya
proses geomorfologi. Daerah sinklin pada lokasi ini terletak pada Gunung Paras,
dimana saat dilapangan terlihat lipatan batuan pada daerah tersebut membentuk
cekungan. Daerah antiklin pada lokasi pengamatan ini merupakan daerah
persawahan. Pada awalnya daerah sinklin ini merupakan daerah yang lebih rendah

10

daripada daerah antiklin. Tetapi karena proses eksogen (denudasional) pada daerah
antiklin terjadi dengan lebih intensif maka terjadi pembalikan topografi, dimana
daerah antiklin menjadi lebih rendah dibandingkan daerah sinklin, dan kemudian
punggungan sinklin tersebut dinamakan Gunung Paras. Faktor pengontrol adalah
litologi dan proses geomorfologi. Dapat diketahui dari sini bahwa daerah Gunung
Paras (lipatan sinklin) memiliki litologi yang lebih resisten dibandingkan daerah
persawahan yang merupakan daerah antiklin.

Gambar 2.8 Gunung Paras


(Foto Penulis, 2016, LP 7)

11

BAB III
PENUTUP
3.1 Evaluasi
Berdasarkan hasil ekskursi didapat bahwa daerah Karangsambung memiliki
struktur geologi yang beraneka ragam yang menjadi pengontrol masalah lingkungan
yang dapat berpotensi taerjadi di daerah tersebut seperti gerakan masa tanah dan
batuan, ileh sebab itu harus dilakukan konservasi dan pemantauan secara berkala
terhadap kondisi geologi yang ada dan dikelola dengan semestinya, agar daerah
karang sambung dapat dijadikan daerah pemukiman sekaligus penelitian.
3.2 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan uraian laporan diatas dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Berkat adanya kuliah lapangan ini dapat mengetahui bentang alam yang
ada di Karangsambung yang merupakan batuan bentukan dasar samudera.
2. Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung terhimpun beranekaragam
batuan baik batuan beku, batuan sedimen, batuan metamorf yang sangat
kompleks dan unik serta jarang ditemukan didunia seperti rijang,
batulempung merah gampingan, serpentit, sekismika dan struktur lava
bantal yang terbentuknya dari mulai dasar samudera sampai tepian benua.
3. Terdapat proses geomorfologi yang unik pada daerah ini yaitu lembah
antiklin atau lebih dikenal dengan pembalikan topografi (amphitheatre).
Bentuk topografi yang semula antiklin berubah menjadi sinklin dan
sebaliknya sinklin berubah menjadi antiklin.

12

Anda mungkin juga menyukai