Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum Indonesia memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Persaingan merupakan
hal mutlak terjadi di lapangan. Berbagai cara dan usaha dilakukan oleh para pelaku usaha demi
meningkatkan daya saing untuk mendapatkan keuntungan lebih telah menjadi sesuatu yang
lumrah dipahami. Eratnya kegiatan ekonomi dan bisnis dengan persaingan terjadi disebabkan
kegiatan ini dilakukan oleh banyak pihak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hal ini membuat, hukum yang mengatur persaingan usaha dalam kegiatan ekonomi dan
bisnis menjadi sangat penting agar semua pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Hukum
persaingan usaha pada intinya menghendaki agar persaingan dilakukan secara sehat dan
menghindari praktik monopoli. Kehendak ini dimaksudkan untuk terwujudnya keadilan dan
kesejahteraan bagi semua para pelaku usaha dan masyarakat.
Sebelumnya perlu diketahui pengertian dari Hukum persaingan usaha, yaitu adalah hukum
yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku
perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi.1

Pengaturan mengenai

hukum persaingan usaha diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pengaturan ini bertujuan untuk
menciptakan persaingan usaha sehat dan menjamin kepastian serta kesempatan berusaha yang
sama bagi setiap masyarakat.2 Selanjutnya, penting untuk dimengerti bahwa maksud dari
persaingan usaha tidak sehat menurut Pasal 1 Angka (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
ialah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran
barang dan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
Berkaitan dalam rangka melakukan persaingan usaha. Perjanjian sebagai suatu perbuatan satu
atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan
1 Andi Fahmi Lubis, et.al., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, Jakarta: Creative
Media, 2009, hlm. 21
2 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 9193
1

nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis (Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999). Perjanjian merupakan sesuatu yang penting dan sering dilakukan dalam berbagai
aktivitas usaha ekonomi dan bisnis. Agar suatu persaingan tetap berada dalam lajur yang sehat,
khususnya dalam melakukan perjanjian antar pelaku usaha. Perlu memperhatikan seperangkat
aturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat

supaya tidak mengarah kepada pelanggaran hukum demi

tercapainya keuntungan yang maksimum. Dan dapat dipastikan bahwa bila terjadi persaingan
usaha yang tidak sehat ini akan merugikan kepentingan umum.
Poin penting dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yakni yang berkaitan mengenai
perjanjian dalam persaingan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya kegiatan-kegiatan yang
dilarang dan diatur dalam Pasal 4, Pasal 7 sampai dengan Pasal 14, Pasal 22 sampai dengan Pasal
23. Ketika melakukan perjanjian khsusnya dalam persaingan usaha, juga diperlukan mengamati
perihal hal-hal yang dilarang seperti membuat perjanjian oligopoli, penetapan harga, pembagian
wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup dan
perjanjian dengan pihak luar negeri berkenaan dengan praktek monopoli ataupun persaingan
usaha tidak sehat.
Sejumlah aturan hukum persaingan usaha berikut larangan dalam melakukan/membuat
perjanjian yang berhubungan dengan persaingan tidak sehat diatur dalam Undang-Undang,
dengan harapan dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama
kepada setiap pelaku usaha berusaha. Bila itu terwujud maka penguasaan pasar dapat terjadi
secara kompetitif tanpa merugikan pihak-pihak lain. Kemudian harapan yang baik tersebut yang
merupakan cita-cita dari pengimplementasian hukum persaingan usaha khususnya berhubungan
dengan perjanjian persaingan usaha telah menginspirasi kelompok kami untuk menelaah lebih
lanjut yang selengkapnya dijelaskan dalam makalah ini.
B. Identifikasi Masalah
1. Berdasarkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor:
02/KPPU-1/2004, pelanggaran apa saja yang dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia,
Tbk menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat?
2. Mengapa praktek perjanjian yang dilarang masih banyak terjadi di Indonesia?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Persaingan Usaha


Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau
pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas
motif-motif ekonomi. Pengertian persaingan usaha secara yuridis selalu dikaitkan dengan
persaingan dalam ekonomi yang berbasis pada pasar, dimana pelaku usaha baik perusahaan
maupun penjual secara bebas berupaya untuk mendapatkan konsumen guna mencapai tujuan
usaha atau perusahaan tertentu yang didirikannya.3
Dalam konsepsi persaingan usaha, dengan asumsi bahwa faktor yang mempengaruhi harga
adalah permintaan dan penawaran,persaingan usaha akan dengan sendirinya menghasilkan
barang atau jasa yang memiliki daya saing yang baik, melalui mekanisme produksi yang efesien
dan efektif, dengan mempergunakan seminimum mungkin faktor-faktor produksi yang ada.
Dalam sistem ekonomi pasar yang demikian, persaingan memiliki beberapa pengertian :4
1. Persaingan menunjukkan banyaknya pelaku usaha yang menawarkan atau memasok
barang atau jasa tertentu ke pasar yang bersangkutan. Banyak sedikitnya pelaku usaha
yang menawarkan barang atau jasa ini menunjukkan struktur pasar (market structure)
dari barang atau jasa tersebut.
2. Persaingan merupakan suatu proses dimana masing-masing perusahaan berupaya
memperoleh pembeli atau pelanggan bagi produk yang dijualnya, antara lain dapat
dilakukan dengan :
a. Menekan harga (price competition);
b. Persaingan bukan harga (non-price competition), misalnya yang dilakukan melalui
diferensiasi produk, pengembangan hak atas kekayaan intelektual, promosi,
pelayanan purna jual, dan lain-lain;
c. Berusaha secara lebih efisien atau tepat guna dan waktu (low cost-production)

3 Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Sidoarjo : Laras, 2010, hlm. 57
4 Gunawan Widjaja, Merger dalam Persfektif Monopoli, 1999, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, hlm.
10
3

B. Pengertian Persaingan Usaha Tidak Sehat, Posisi Dominan dan Penerapan Sanksi dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
a. Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 1 Huruf (f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian
Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak
jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Menurut Shidart, aspek
hukum persaingan usaha yang dimaksud didalam undang-undang tersebut terkait dengan
aspek hukum material dan formal. Kedua pasangan dimensi hukum ini tidak dapat dipisahkan
mengingat keduanya sangat penting untuk dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh. 5 Oleh
karena demikian luasnya aspek hukum persaingan usaha itu (dengan segala kompleksitas
teoretis dan praktisnya). Hukum persaingan usaha mulai banyak dibicarakan seiring dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini disahkan tanggal 5 Maret 1999, tetapi
baru efektif berlaku satu tahun kemudian.
b. Posisi Dominan
Bab V Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang Posisi Dominan. Undangundang ini mengartikan posisi dominan sebagai keadaan di mana pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar
yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan
atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau
jasa tertentu.
Rumusan tersebut menggunakan dua pendekat.6 Pertama, posisi dominan dilihat dari
pangsa pasar yang dimiliki satu pelaku usaha/satu kelompok pelaku usaha terhadap pelaku
usaha saingannya (kriteria struktur pasar). Kedua, adalah dengan melihat kemampuannya
untuk memimpin penentuan harga barang/jasa sehingga apa yang dilakukannya menjadi
acuan bagi pelaku-pelaku usaha pesaingnya (kriteria perilaku). Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 mengkombinasikan penggunaan dua pendekatan ini bersama-sama.

5 Shidarta. 2013. Catatan Seputar Hukum Persaingan Usaha. Diakses pada 7 November 2016 :
http://business-law.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukum-persaingan-usaha.htm
6 Idem
4

Pasal 25 Ayat (2) menyatakan, satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu. Jika ada dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha, posisi
dominannya ditentukan dari penguasaan pangsa pasar sebesar 75% atau lebih. Posisi
demikian berpotensi mengakibatkan si pelaku usaha tidak lagi mempunyai pesaing yang
berarti dalam pasar yang bersangkutan.
Namun, posisi dominan tidak serta merta merupakan pelanggaran. Yang penting, posisi
dominan ini tidak disalahgunakan. Perilaku penyalahgunaan posisi dominan dinyatakan
dalam Pasal 25 Ayat (1) yaitu jika pelaku usaha secara langsung atau tidak langsung:
1) Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau
menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari
segi harga maupun kualitas;
2) Membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
3) Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki
pasar yang bersangkutan.
Untuk mencegah penyalahgunaan posisi dominan, undang undang melarang perbuatan
rangkap jabatan sebagai direksi atau komisaris, pemilikan saham pada beberapa perusahaan
barang/jasa sejenis. Juga penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, ikut menjadi
perhatian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini. Semua perbuatan yang menuju ke posisi
dominan tersebut wajib memperhatikan akibat-akibatnya terhadap persaingan usaha.
Terlepas dari itu semua, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 membuat pengecualianpengecualian. Hal ini diatur dalam BAB IX tentang Ketentuan Umum. Ada sembilan bentuk
pengecualian yang disebutkan dalam Pasal 50, seperti perjanjian di bidang hak kekayaan
intelektual, perjanjian keagenan, perjanjian untuk tujuan ekspor, kegiatan usaha kecil dan
koperasi. Badan-badan usaha milik negara dan atau badan usaha/lembaga yang ditunjuk oleh
Pemerintah, tetap dimungkinkan untuk memonopoli barang/jasa yang menguasai hajat hidup
orang banyak dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, sepanjang hal itu diatur
dengan undang-undang.
c. Sanksi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga mengatur tentang sanksi. Ada tiga jenis
sanksi yang diintroduksi dalam undang-undang ini, yaitu tindakan administratif, pidana
pokok, dan pidana tambahan. Komisi Pengawas Persiangan Usaha (KPPU) adalah lembaga
yang berwenang memberikan sanksi tindakan administratif. Sementara pidana pokok dan
pidana tambahan dijatuhkan oleh lembaga lain, dalam hal ini peradilan. Yang dimaksud
dengan tindakan administratif adalah:
1. Penetapan pembatalan perjanjian;
2. Perintah untuk menghentikan integrasi vertikal;
5

3. Perintah untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menyebabkan praktek monopoli


dan anti-persaingan dan/atau merugikan masyarakat;
4. Perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
5. Penetapan pembatalan penggabungan/peleburan badan usaha/pengambilalihan saham;
6. Penetapan pembayaran ganti rugi;
7. Pengenaan denda dari 1 milyar s.d. 25 milyar rupiah.
Sekalipun hanya berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif, kewenangan
KPPU itu bersinggungan dengan semua pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Artinya, semua pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat
dijatuhkan sanksi tindakan administratif.
C. Kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Adapun kegiatan yang dilarang dalam undang-undang ini yaitu terdiri dari :
1. Monopoli
Pengertian Praktek monopoli disebutkan dalam Pasal 1 Huruf (b) bahwa Praktek
monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.
Secara bahasa, Monopoli berasal dari bahasa yunani, yaitu Monos dan Polein. Monos
berarti sendiri, sedangkan Polien berarti penjual. Jika kedua kata tersebut digabung, maka
akan dimaknai secara garis besar bahwa monopoli adalah menjual sendiri yang berarti
bahwa seseorang atau suatu badan/lembaga menjadi penjual tunggal (penguasaan pasar
atas penjualan atau penawaran barang ataupun jasa).7
Monopoli adalah suatu penguasaan pasar yang dilakukan oleh seseorang atau
perusahaan atau badan untuk menguasai penawaran pasar (penjualan produk barang dan
atau jasa di pasaran) yang ditujukan kepada para pelanggannya.
Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau
mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi;
semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut, begitu
pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam
penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan menunda

7 Tri Kunawangsih Pracoyo dan Anto Pracoyo, Aspek Dasar Ekonomi Mikro, Jakarta : PT.
Gramedia, 2006, hlm. 217
6

pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti) produk
tersebut atau lebih buruk lagi mencarinya di pasar gelap (black market).8
Ciri-Ciri Monopoli9 :
1) Tidak mempunyai barang pengganti
Barang yang dihasilkan perusahaan monopoli tidak dapat digantikan oleh barang
lain yang ada di pasar. Atau dengan kata lain tidak terdapat barang mirip (close
substitute), contohnya adalah aliran listrik yang berasal dari PLN tidak dapat
digantikan dengan lampu minyak, karena listrik bukan hanya digunakan untuk
menghidupkan lampu saja tetapi juga untuk menghidupkan televisi, setrika, radio
dan lain-lain.
2) Tidak dapat kemungkinan untuk masuk ke dalam industry
Maksudnya karena sifatnya monopoli maka pesaing tidak dapat masuk ke dalam
pasar tersebut karena barang yang dihasilkan hanya dimiliki oleh perusahaan
tersebut saja dan selain itu biasanya dibatasi dengan undang undang dan bersifat
legal.
3) Dapat mempengaruhi harga
Karena perusahaan monopoli merupakan satu satunya penjual di pasar maka
penentuan harga dapat dikuasai sepenuhnya, dengan mengendalikan ke atas
produksi dan jumlah barang yang ditawarkan perusahaan monopoli dapat
menentukan harga pada tingkat yang dikehendaki.
4) Promosi iklan kurang diperlukan
Biasanya perusahaan monopoli tidak perlu mempromosikan barangnya dengan
iklan karena pembeli akan membeli barang kepada perusahaan tersebut karena
tidak ada pilihan.
2. Monopsoni.
Monopsoni adalah keadaan dimana pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Kondisi Monopsoni sering terjadi didaerah-daerah Perkebunan dan industri hewan potong
(ayam), sehingga posisi tawar menawar dalam harga bagi petani adalah nonsen. Perlu diteliti
lebih jauh dampak fenomena ini, apakah ada faktor-faktor lain yang menyebabkan
Monopsoni sehingga tingkat kesejahteraan petani berpengaruh. Pasar monopsoni adalah
kegiatan jual beli di mana satu pelaku usaha/ pembeli menguasai penerimaan pasokan atau
8 Ibid, hlm. 219
9 Rinaldhie Purba Siboro. 2013. Pengertian Monopoli dan Monopsoni. Diakses pada 7 November
2016 : http://www.akuntt.com/2013/10/pengertian-monopoli-dan-monopsoni.html
7

menjadi pembeli tunggal atas barang dan jasa dalam suatu pasar komoditas. Pasar monopsoni
timbul karena pengkhususan sumber untuk digunakan oleh pemakai tertentu dann imobilitas
sumber yang digunakan dalam suatu daerah tertentu oleh perusahaan tertentu.10
Ciri-ciri pasar monopsoni:11
1) Hanya ada satu pembeli.
2) Pembeli bukan konsumen, tetapi pedagang/ produsen.
3) Barang yang dijual berupa bahan mentah.
4) Harga sangat ditentukan oleh pembeli.
5) Kelemahan pasar monopsoni adalah pembeli bisa seenaknya menekan penjual.
Produk yang tidak sesuai dengan keinginan pembeli tidak akan dibeli dan bisa
terbuang.
3. Penguasaan Pasar.
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat berupa: (Pasal 19 Undang-Undang Nomor 50 Tahun
1999)
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. Atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiatan penguasaan
pasar oleh pelaku usaha, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain. Pasal 1 Angka
(19) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 rnerumuskan pengertian pasar adalah
lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa.
Dari bunyi ketentuan Pasal 19 tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang
dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar
yang merupakan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yaitu :
1) Menolak, menghalangi, atau menolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu
untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
2) Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungaa usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
3) Membatasi peredaran, penjualan, atau peredaran dan penjualan barang, jasa, atau
barang dan jasa pada pasar bersangkutan;
4) Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
10 Idem
11 Idem
8

4. Persekongkolan
Kegiatan (konspirasi) dalam rangka memenangkan suatu persaingan usaha secara
tidak sehat, dalam bentuk: (Menyesuaikan isi dalam Pasal 22 Pasal 24 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999)
1) persekongkolan untuk memenangkan tender;
2) persekongkolan mencuri rahasia perusahaan saingan;
3) persekongkolan merusak kualitas/citra produk saingan.
Contoh: pelaku usaha bersekongkol dengan pimpinan proyek agar dimenangkan
dalam tender. Atau, pelaku usaha yang satu dibayar oleh pelaku usaha yang lain untuk
sengaja mengalah dalam tender.
D. Perjanjian yang Dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji
kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Bentukbentuk perjanjian secara umum dibagi menjadi :
a. Secara Horizontal yaitu yang dilakukan diantara pelaku usaha yang saling bersaing,
contohnya : kartel, penetapan harga, persengkokolan tender dan lain-lain.
b. Secara Vertikal yaitu yang dilakukan diantara pelaku usaha yang saling memiliki
keterkaitan usaha contohnya : Resale Price Maintenance (RPM), exclusive distribution,
exclusive dealing, tie-in sale dan lain-lain.
Perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan dalam Pasal 1 Huruf
(g) bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis.
Perjanjian-perjanjian yang dilarang dianggap sebagai praktik monopoli dan atau persaingan
usaha yang tidak sehat. Apabila perjanjian-perjanjian yang dilarang ini ternyata tetap dibuat oleh
pelaku usaha maka perjanjian yang demikian diancam batal demi hukum atau dianggap tidak
pernah ada karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian hal-hal yang tidak halal, yang
dilarang oleh Undang-Undang. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Pasal 1320 dan Pasal 1337
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur tentang syarat sahnya perjanjian
yang salah satunya adalah adanya suatu sebab yang halal, yaitu apabila tidak dilarang oleh
Undang-Undang atau tidak berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya,
Pasal 1135 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menentukan bahwa suatu
perjanjian yang dibuat tetapi terlarang tidak mempunyai kekuatan atau dianggap tidak pernah
ada.
9

Adapun perjanjian yang dilarang yaitu terdiri dari : 12


1. Oligopoli
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
(Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud Ayat (1) apabila
2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar
satu jenis tertentu (Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) diartikan bahwa oligopoli itu sendiri merupakan suatu
keadaan dimana pelaku usaha (2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha) secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa lebih
dari 75% pangsa pasar satu jenis 9 barang atau jasa tertentu. Kemudian yang dilarang oleh
Undang-Undang Persaingan Usaha adalah adanya perjanjian (kolusi) diantara mereka
untuk melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa.
Tiga Model Oligopoli:
a. Non Kolusi (Kinked Demand Model) Diantara oligopolis tidak mau
melakukan kerja sama.
b. Kolusi Dalam Penetapan Harga (Collusive pricing) Kerja yang dilakukan
misalnya secara resmi dengan membentuk 10 kartel, tetapi jika secara resmi
dilarang, dapat dilakukan secara informal atau implisit
c. Kepemimpinan Harga (Price Leadership) Perusahaan-perusahaan yang
dominan, memegang kendali dalam penetapan harga, sehingga mendapat laba
yang lebih besar.
Oligopoli adalah salah satu bentuk struktur pasar dimana hanya terdapat sedikit pelaku
usaha (baik produsen ataupun konsumen) yang menawarkan produk yang seragam/identik
kepada pelaku usaha lain. Diantara pelaku usaha memiliki keterkaitan satu sama lain
(Cournot (output) and Bertrand (harga) model) dan mereka berusaha untuk saling
berkerjasama untuk mendapatkan keuntungan yang besar dengan cara mengurangi
produksi dan mengenakan harga di atas marginal cost.
2. Penetapan harga (Predatory Pricing)
1) Pelaku usaha dilarang membuat peranjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen
12 Ditha Wiradiputra. 2008. Perjanjian yang Dilarang : Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum
Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Diakses pada 7 November 2016 :
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/perjanjianyangdilarang.pdf
10

atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999).
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku (Pasal 5 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999).
4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku (Pasal 5 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Diskriminasi harga/price discrimination memiliki tujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih tinggi dan keuntungan yang lebih tinggi tersebut diperoleh dengan
cara merebut surplus konsumen. Surplus konsumen adalah selisih harga tertinggi yang
bersedia dibayar konsumen dengan harga yang benar-benar dibayar oleh konsumen.
Diskriminasi harga didasari dengan adanya kenyataan bahwa konsumen sebenarnya
bersedia untuk membayar lebih tinggi, maka perusahaan akan berusaha merebut surplus
konsumen tersebut dengan cara melakukan diskriminasi harga.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga dibawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Pelaku usaha yang menjual dengan harga lebih rendah untuk mendepak pesaingnya
keluar dari industri dan mendorong pelaku usaha baru untuk tidak masuk ke industri,
kemudian dalam jangka panjang ia akan meningkatkan labanya. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi persaingan dengan membangkrutkan pesaing dan menciptakan penghalang
masuk (barrier to entry) bagi pelaku usaha potensial yang ingin masuk ke industry.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok
kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Tujuan utamanya untuk menghindari terjadinya persaingan ditingkat pengecer dimana
kurangnya persaingan di tingkat eceran dapat melindungi laba supranormal untuk
pengecer. Resale Price Maintenance (RPM) juga dapat membatasi pelanggan terhadap
pilihan rangkaian kualitas harga yang diinginkan, termasuk pilihan untuk membali produk
pada tingkat harga yang lebih rendah melalui jasa atau iklan sebelumnya.
3. Pembagian Wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
11

jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Tujuan utamanya adalah untuk menghindari terjadinya persaingan diantara pelaku
usaha yang saling bersaing. Dengan hilangnya persaingan mengakibatkan pelaku usaha
dapat mengenakan harga yang lebih tinggi sehingga mereka dapat menikmati laba yang
lebih besar. Akhirnya masing-masing pelaku usaha dapat menentukan sendiri jumlah
produk, kualitas dan harga yang harus dibayar oleh konsumen.
Pelaku usaha tidak berupaya lagi melakukan efisiensi, dan tidak mengupayakan
peningkatkan kualitas produk dan pelayanan yang baik bagi konsumen. Pembagian
wilayah ini telah mengakibatkan hilangnya pilihan bagi konsumen dan juga harus
membayar dengan harga yang lebih tinggi.
Pembagian wilayah ini membuat pelaku usaha yang terlibat di dalam praktek ini akan
mengalami kesulitan dalam mengembangkan aktifitas usahanya, tetapi hal ini
dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap
konsumen. Namun pembagian wilayah tidak dapat berjalan secara efektif bila konsumen
mempunyai kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang
lain untuk membeli kebutuhannya.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri (Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999).
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk
menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan
tersebut: a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau b.
Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa
dari pasar bersangkutan (Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Salah satu bentuk strategi yang dilakukan di antara pelaku usaha untuk mengusir
pelaku usaha lain dari pasar yang sama, atau juga untuk mencegah pelaku usaha yang
berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, yang kemudian pasar
tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan pelaku usaha yang terlibat dalam
perjanjian pemboikotan tersebut. Dengan terusirnya pelaku usaha pesaing dan tidak bisa
masuknya pelaku usaha yang berpotensial menjadi pesaing ke dalam pasar yang sama,
berakibat terhadap semakin menurunnya tingkat persaingan.
Agar praktek pemboikotan yang dilakukan para pelaku usaha yang berada di pasar
dapat berjalan sukses, diperlukan partisipasi yang seluas mungkin dari pelaku usaha yang
12

ada di dalam pasar yang bersangkutan, karena apabila tidak adanya dukungan atau
keterlibatan secara luas para pelaku usaha yang ada di dalam pasar biasanya pemboikotan
akan sulit untuk berhasil.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa yang dapat 46 mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha yang berasumsi jika
produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka
di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada terkereknya harga ke tingkat yang lebih
tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka melimpah, sudah barang tentu
akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di pasar. Tujuannya adalah
untuk mengeruk keuntungan yang sebesarbesarnya dengan mengurangi produk mereka
secara signifikan di pasar, sehingga menyebabkan di dalam pasar mengalami kelangkaan,
yang mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat
membeli produk pelaku usaha tersebut di pasar.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,
dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing 50
perusahaan atau perseoran anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999).
Trust merupakan wadah antar perusahaan yang didisain untuk membatasi persaingan
dalam bidang usaha atau industri tertentu. Gabungan antara beberapa perusahaan dalam
bentuk trust dimaksudkan untuk secara kolektif mengendalikan pasokan, dengan
melibatkan trustee sebagai koordinator penentu harga.
7. Oligopsoni
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat
mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal
13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian
atau penerimaan pasokan sebagaimana 52 dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3
13

(tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh
lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu (Pasal 13 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999).
Oligopsoni adalah struktur pasar yang di dominasi oleh sejumlah konsumen yang
memiliki kontrol atas pembelian. Struktur pasar ini memiliki kesamaan dengan struktur
pasar oligopoli hanya saja struktur pasar ini terpusat di pasar input.
Dengan adanya praktek oligopsoni produsen atau penjual tidak memiliki alternatif
lain untuk menjual produk mereka selain kepada pihak pelaku usaha yang telah
melakukan perjanjian oligopsoni dimana dapat mengakibatkan produsen atau penjual
hanya dapat menerima saja harga yang sudah ditentukan oleh pelaku usaha yang
melakukan praktek oligopsoni tersebut.
8. Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak
langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau
merugikan masyarakat.
Ketika suatu pelaku usaha ingin agar pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih
besar, pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat
efesiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidak pastian akan pasokan
bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi, biasanya
perusahaan akan menempuh jalan untuk melakukan penggabungan dengan pelaku-pelaku
usaha lain yang mempunyai kelanjutan proses produksi (integrasi vertikal). Integrasi antar
pelaku usaha juga dengan sendirinya dapat juga dikaitkan dengan pengurangan resiko
dalam bisnis.
Mengakibatkan meningkatnya hambatan masuk (entry barriers) bagi pelaku usaha
lain yang ingin masuk ke dalam pasar. Integrasi vertikal ke arah hulu (downstream
integration) dapat memfasilitasi diskriminasi harga, dimana integrasi sampai di tingkat
ritailer dapat memungkinkan perusahaan manufaktur mempraktekan diskriminasi harga.
9. Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau
tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada
tempat tertentu. (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia
14

membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. (Pasal 15 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999).
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang
menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok : a. harus bersedia membeli
barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang
dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari
pelaku usaha pemasok. (Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
a. Exclusive Distribution Agreement
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak
memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu
saja. Hal tersebut dilakukan oleh pelaku usaha manufaktur yang memiliki
beberapa perusahaan yang mendistribusikan hasil produksinya, yang tidak
menghendaki terjadinya persaingan di tingkat distributor.
Dengan berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan pada tingkat
distributor membawa implikasi kepada harga produk yang didistribusikan menjadi
lebih mahal. Dibatasinya distribusi hanya untuk pihak dan tempat tertentu saja
dapat juga mengakibatkan pihak distributor menyalahgunakan kedudukan
eksklusive yang dimilikinya untuk mungkin mengenakan harga yang tinggi
terhadap produk yang didistribusikannya kepada konsumen pihak dan wilayah
tertentu.
b. Tying agreement
Defenisi tying agreement adalah perjanjian yang dibuat di antara pelaku usaha
yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu
harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Dengan
praktek tying agreement, pelaku usaha dapat melakukan perluasan kekuatan
monopoli yang dimiliki pada tying product (barang atau jasa yang pertama kali
dijual) ke tyied product (barang atau jasa yang dipaksa harus dibeli juga oleh
konsumen).
Dengan memiliki kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus (tying
product dan tyied product) oleh pelaku usaha, dapat menciptakan hambatan bagi
calon pelaku usaha pesaing untuk masuk ke dalam pasar. Hal ini akan membuat
konsumen harus membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Ada dua
alasan yang menyebabkan praktek tying agreement tersebut dilarang, yaitu:

15

1. Pelaku usaha yang melakukan praktek tying agreement tidak menghendaki


pelaku usaha lain memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing secara
adil dengan dia terutama pada tied product; dan
2. Pelaku usaha yang melakukan praktek tying agreement juga telah
menghilangkan hak konsumen untuk memilih secara merdeka barang yang
ingin mereka beli.
c. Vertical agreement on discount
Suatu perjanjian yang mengisyaratkan jika pelaku usaha ingin mendapatkan
harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku
usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak
akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi
pesaing. Perjanjian ini memiliki akibat yang sama dengan akibat yang ditimbulkan
oleh tying agreement, yaitu menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas
memilih produk yang ingin mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus
membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut.
10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang
memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
(Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).

BAB III
OBJEK KAJIAN

16

PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Melawan PT. Indonesian Satellite Corporation, Tbk
PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk., selanjutnya disebut PT Telkom, Merupakan perusahaan
telekomunikasi yang melakukan kegiatan usaha sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi di
Indonesia, yang mencakup jaringan tetap lokal dan jaringan tetap Sambungan Langsung Jarak Jauh
(SLJJ). Selain sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi, PT. Telkom juga menyelenggarakan
jasa telekomunikasi yang meliputi jasa teleponi dasar, jasa nilai tambah teleponi, jasa multimedia,
dan jasa lainnya yang terkait dengan jaringan telekomunikasi.
Pada tahun 2001, PT. Telkom memiliki ijin untuk menyelenggarakan Internet Teleponi untuk
Keperluan Publik (ITKP) atau yang lebih dikenal dengan istilah Voice over Internet Protocol (VoIP),
berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Nomor 159 Tahun 2001
tentang Penyelenggaraan Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan Publik. Selanjutnya, PT. Telkom
menyelenggarakan layanan telepon internasional dengan menggunakan kode akses 017 yang berbasis
teknologi ITKP.
Sebelum PT. Telkom, layanan telepon Sambungan Langsung Internasional (SLI) telah disediakan
oleh PT. Indonesian Satellite Corporation, Tbk (PT. Indosat) dengan menggunakan kode akses 001
dan kode akses 008 yang diakuisisi oleh PT. Indosat dari pemilik sebelumnya yaitu PT. Satelit Palapa
Indonesia (PT. Satelindo). Nanum pada perjalanannya, di duga terjadi tindakan pemblokiran terhadap
SLI kode akses 001 dan 008 milik PT. Indosat yang dilakukan oleh PT. Telkom dengan cara-cara
sebagai berikut :
a. Menutup layanan SLI kode akses 001 dan 008 di beberapa warung telekomunikasi (wartel),
dan menyediakan layanan internasional dengan kode akses 017
b. Mengubah perjanjian kerjasama dengan pemilik wartel, bahwa wartel hanya diperbolehkan
menjual produk PT. Telkom dan PT. Telkom berhak melakukan blocking/menutup akses
layanan milik operator lain dari wartel
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Tim Monitoring menyimpulkan bahwa PT. Telkom diduga
melanggar Pasal 15, Pasal 19, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek

Monopoli

dan

Persaingan

Usaha

Tidak

Sehat.

Selanjutnya

Tim

Monitoring

merekomendasikan kepada Komisi untuk melakukan Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran


Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT. Telkom.
Atas laporan tersebut, pada hari Jumat tanggal 13 Agustus 2004 Komisi Pengawas Persaingan
Usaha Republik Indonesia mengeluarkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik
Indonesia Nomor: 02/KPPU-1/2004 yang memutuskan :

17

1. Menyatakan bahwa PT. Telkom terbukti melakukan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat berdasarkan Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999.
2. Menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15
ayat (1), (2), dan (3) huruf a, Pasal 19 huruf c dan d dan Pasal 25 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999.
3. Menetapkan pembatalan klausula yang menyatakan bahwa pihak penyelenggara atau
pengelola warung Telkom hanya boleh menjual jasa dan atau produk PT. Telkom dalam
perjanjian kerja sama antara PT. Telkom dengan penyelenggara atau pengelola warung
Telkom.
4. Memerintahkan Terlapor untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek
monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dengan cara :
(a) meniadakan persyaratan PKS atas pembukaan akses SLI dan atau jasa telepon
internasional lain selain produk Terlapor di wartel
(b) membuka akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk Terlapor di
warung Telkom.

BAB IV

18

PEMBAHASAN

A. Pelanggaran Yang Terjadi Pada Kasus PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk Melawan PT.
Indonesian Satellite Corporation, Tbk
Berdasarkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor:
02/KPPU-1/2004, penulis berpendapat bahwa PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. telah
melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam bentuk perjanjian yang dilarang
berupa perjanjian tertutup dan pengusaaan pasar yang berdampat menghambat dan/atau
menghalangi pesaing usaha lain, yang dalam perkara ini adalah PT. Indonesian Satellite
Corporation, Tbk (PT. Indosat). Perjanjian Tertutup yang dilakukan oleh PT. Telekomunikasi
Indonesia adalah perjanjian antara PT. Telekomunikasi Indonesia dengan Warung Telkom untuk
melakukan kesepakatan secara eksklusif yang dapat berakibat menghalangi atau menghambat
pelaku usaha lain yaitu PT. Indosat untuk melakukan kesepakatan yang sama.
Perjanjian yang dilakukan antara PT. Telekomunikasi Indonesia dengan warung Telkom
merupakan bentuk perjanjian yang dilarang dianggap sebagai praktik monopoli dan atau
persaingan usaha yang tidak sehat. Perjanjian yang demikian diancam batal demi hukum atau
dianggap tidak pernah ada karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian hal-hal yang tidak
halal, yang dilarang oleh Undang-Undang. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pasal 1320 dan
pasal 1337 KUH Perdata diatur tentang syarat sahnya perjanjian yang salah satunya adalah
adanya suatu sebab yang halal, yaitu apabila tidak dilarang oleh Undang-Undang atau tidak
berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya, pasal 1135 KUH Perdata
menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tetapi terlarang tidak mempunyai kekuatan atau
dianggap tidak pernah ada.
Mengenai penjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang
mengatur mengenai larangan melakukan, beberapa tindakan yang dilarang meliputi:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau
tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada
tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang
dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

19

(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu
atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima
barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha
lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Dari ketiga ayat yang terdapat dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, PT.
Telekomunikasi Indonesia memenuhi sebagaimana yang diatur pada Pasal 15 ayat (3) huruf b
tentang Perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang
memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha
pemasok tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
I.
Unsur Perjanjian dengan pelaku usaha lain
Bahwa menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud
perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis.
Dalam unsur ini, PT. Telkom mengatur ketentuan intern mengenai penyelenggaraan
telekomunikasi dalam dua bentuk yaitu Wartel dan Warung Telkom. Wartel diatur
berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan Kemitraan Warung Telekomunikasi (Wartel) yang
selanjutnya akan disebut KD wartel, sedangkan Warung Telkom diatur berdasarkan
Pedoman Pengelolaan Outlet Telkom melalui Warung Telkom yang selanjutnya akan
disebut KD warung Telkom.
Bahwa dari perjanjian kerja sama standar wartel bahwa para pihak dalam perjanjian
adalah PT. Telkom dengan para penyelenggara Wartel, dan PT. Telkom dengan Pengelola
warung Telkom. Para penyelenggara Wartel berdasarkan Pasal 2 KD Wartel dan Pasal 1
angka (6) perjanjian kerja sama standar wartel adalah badan usaha (PT, CV, Firma, PD,
dan UD), yayasan, organisasi sosial kemasyarakatan, dan atau koperasi, sementara para
pengelola Warung Telkom berdasarkan Pasal 2 KD warung Telkom dan Pasal 1 angka (2)
perjanjian kerja sama Standar warung Telkom adalah Badan hukum, Badan Usaha dan
Koperasi.
Berdasarkan pemaparan di atas, unsur perjanjian dengan pelaku usaha lain dalam
II.

Pasal 15 ayat (3) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 telah terpenuhi.
Unsur Perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu
Dalam penyelenggaraan Wartel yang diatur berdasarkan KD wartel, PT. Telkom
mengadakan perjanjian kerjasama (PKS Kemitraan) dengan Penyelenggara Wartel,
sementara untuk pengelolaan Warung Telkom yang diatur berdasarkan KD warung
20

Telkom, PT. Telkom mengadakan perjanjian kerjasama (PKS Pengelolaan) dengan


Pengelola Warung Telkom.
Status sambungan layanan Penyelenggara Wartel diatur dalam Pasal 8 KD wartel yang
menyatakan sebagai berikut:
Status sambungan layanan telekomunikasi untuk Wartel adalah sambungan
telekomunikasi pelanggan biasa dan dikenakan biaya pasang baru serta abonemen
bulanan dengan klasifikasi pelanggan bisnis
sementara Pasal 9 KD Warung Telkom mengatur bahwa:
status sambungan layanan telekomunikasi untuk WarungTelkom adalah Dinas
Berbayar sehingga tidak dikenakan biaya pasang baru dan abonemen bulanan
Dua

pasal

ini

menunjukkan

bahwa

perbedaan

status

sambungan

layanan

telekomunikasi menyebabkan perbedaan besarnya beban biaya pemasangan dan beban


abonemen sebagai harga yang harus dibayar oleh pihak pelaku usaha yang akan
melakukan perjanjian kerjasama (PKS) dengan PT Telkom. Jika pada PKS Wartel, pelaku
usaha harus membayar biaya pasang baru dan abonemen bulanan dengan klasifikasi
pelanggan bisnis maka pada PKS standar Warung Telkom, pelaku usaha tidak perlu
membayar biaya pasang baru dan abonemen bulanan.
Perbedaan beban pembayaran ini menunjukkan adanya klausula mengenai harga
tertentu yang dikeluarkan PT. Telkom guna mengkategorisasi status pelaku usaha penerima
jasa sebagai pihak lain dalam PKS yang juga menentukan jenis jasa yang boleh dan tidak
boleh dijual atau dikelola oleh penerima jasa. Jika dalam Wartel Mitra penyelenggara
Wartel dapat menjual produk penyelenggara jasa telekomunikasi lain sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 KD Wartel), maka pada Warung Telkom, pengelola Wartel tidak dapat
menjual atau mengelola produk jasa operator lain selain jasa atau produk Terlapor sebagai
kompensasi dari tiadanya beban membayar biaya pasang baru dan abonemen bulanan yang
notabene lebih ringan daripada beban yang harus dibayar oleh Mitra Penyelenggara
Wartel.
Berdasarkan pemaparan di atas, unsur perjanjian harga atau potongan harga tertentu
dalam perjanjian Warung Telkom sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 telah terpenuhi.
III. Unsur Pelaku usaha pemasok dan pelaku usaha penerima jasa
Bahwa yang termasuk dalam pengertian memasok adalah menyediakan pasokan, baik
barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa guna
usaha (leasing).
Dalam pasal 7 ayat (1) KD wartel diatur bahwa jenis jasa telekomunikasi produk
Terlapor yang dijual kembali oleh Mitra Penyelenggara Wartel adalah jasa teleponi dasar
21

dan atau jasa multimedia termasuk didalamnya global-017, sedangkan dalam Pasal 3 ayat
(1) PKS standar Wartel diatur bahwa Terlapor menyerahkan pekerjaan penyelenggaraan
Wartel

kepada

Penyelenggara

sebagaimana

Penyelenggara

menerima

untuk

menyelenggarakan Wartel. Pada Pasal 3 ayat (2) PKS standar wartel ini diatur bahwa
lingkup kerja sama dalam penyelenggaraan Wartel meliputi: (a) pelayanan jasa
telekomunikasi wajib yaitu: Pelayanan Pesawat Telepon Umum Swalayan (PTUS) dengan
komputer untuk percakapan lokal dan interlokal, (b) Pelayanan jasa telekomunikasi
tambahan yaitu jasa telekomunikasi internasional termasuk didalamnya jasa telepon
global-017, telegram, telex dan jasa telekomunikasi lainnya.
Pada Pasal 1 angka 16 PKS standar warung Telkom, diatur bahwa pengeloaan outlet
Terlapor adalah pengelolaan tempat, untuk menjualkan serta memberikan pelayanan jasa
telekomunikasi produk Terlapor untuk umum yang ditunggu baik bersifat sementara
maupun tetap dimana pasal 3 ayat (4) jo Pasal 7 PKS standar warung Telkom menentukan
bahwa jasa dan produk yang dipasarkan di warung Telkom adalah jasa dan atau produk
Terlapor termasuk didalamnya TelkomGlobal-017.
Berdasarkan ketentuan di atas, baik pada PKS standar wartel maupun PKS standar
warung Telkom, Terlapor bertindak sebagai penyedia produk atau pemasok jasa
telekomunikasi termasuk didalamnya TelkomGlobal-017 dimana penyelenggara Wartel
atau pengelola Warung Telkom adalah pihak yang menerima jasa telekomunikasi untuk
dijual kembali sementara pengelola Warung Telkom bertindak sebagai penerima jasa dan
atau produk Terlapor untuk dikelola atau dipasarkan di Warung Telkom;
Bahwa dengan demikian, unsur pelaku usaha yang memasok dan pelaku usaha yang
menerima pasokan jasa dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun
IV.

1999 telah terpenuhi.


Unsur Jasa
Jasa menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
Dalam hal ini, jasa yang diproduksi oleh Terlapor yang berkaitan dengan perkara ini
adalah jasa layanan telepon internasional melalui jaringan tetap lokal nasionalnya dengan
nama produk TelkomGlobal-017 sebagai bagian dari jasa telekomunikasi pelayanan
tambahan disamping pelayanan jasa telekomunikasi wajib yaitu: Pelayanan Pesawat
Telepon Umum Swalayan (PTUS) dengan komputer untuk percakapan lokal dan
interlokal, dalam lingkup kerjasama sebagaimana dimaksud dalam KD wartel dan Pasal 3
PKS standar wartel dan sebagai bagian dari salah satu jasa Terlapor yang harus dipasarkan

22

dalam lingkup kerjasama sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 jo pasal 7 KD warung


Telkom maupun dalam Pasal 3 (4) jo Pasal 7 PKS standar Warung Telkom.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, unsur jasa dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b
V.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 telah terpenuhi.


Unsur persyaratan pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha
pemasok tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Untuk memenuhi unsur tersebut, penulis memandang perlunya dibuktikan adanya jasa
yang sama atau sejenis dari pelaku usaha pesaing dan tidak akan membeli jasa itu.
a. Unsur Jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha pesaing
Jasa yang terlapor hasilkan dan sediakan sebagai jasa layanan telepon internasional
melalui jaringan tetap lokal dalam hal ini di Wartel dan Warung Telkom adalah Jasa
TelkomGlobal-017 yang berbasis pada teknologi ITKP yang diproduksi sejak tanggal
25 Juli 2001 berdasarkan Keputusan Dirjen Postel No. 159 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan Publik.
Jasa telepon internasional lain yang ada di Wartel ketika jasa Terlapor ini
diluncurkan adalah jasa SLI-001 dan SLI-008 produk dari Indosat yang merupakan
pesaing dalam pasar jasa telepon internasional
Dengan demikian, oleh karena jasa SLI adalah jasa yang disubsitusi dan disaingi
oleh jasa Terlapor maka unsur jasa yang sama atau sejenis telah terpenuhI.
b. Unsur persyaratan untuk tidak akan membeli jasa itu
Berdasarkan perjanjian kerja sama standar warung Telkom mengatur dalam :
i.
Pasal 3 ayat (4) bahwa jasa dan atau produk yang dipasarkan di Warung Telkom
ii.

adalah jasa dan atau Produk Telkom.


Pasal 15 ayat (1) huruf h bahwa Perjanjian ini secara sah dapat diputuskan secara
sepihak oleh TELKOM tanpa adanya tuntutan dari Pengelola, apabila Pengelola:
(h) melakukan kerjasama dengan Operator lain, termasuk menggunakan produk
dan atau jasa operator lain dalam bentuk apapun di lokasi Outlet Warung Telkom
Sebagaimana dijelaskan diatas, jasa SLI yang merupakan jasa telepon internasional
yang ada di Wartel ketika KD warung Telkom diberlakukan adalah jasa SLI 001 dan
SLI 008 milik Indosat. Dalam hal ini berarti bahwa ketika ketentuan dan klausula
wajibnya pengelola Warung Telkom hanya menjual jasa Terlapor dengan sanksi
pemutusan secara sepihak oleh Terlapor jika menggunakan jasa operator lain
diberlakukan, maka pengelola Warung Telkom menjadi tidak boleh membeli atau
mengelola jasa telepon internasional operator lain yang sejenis yaitu SLI 001 dan atau
SLI 008 milik PT Indosat.

23

Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka unsur persyaratan bahwa pihak yang menerima
jasa tertentu tidak akan membeli jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi
pesaing dari pelaku usaha pemasok terpenuhi.
Selain memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b UndangUndang No. 5 Tahun 1999 mengenai perjanjian tertutup, Penulis berpendapat bahwa PT.
Telekomunikasi Indonesia, Tbk. juga telah melakukan pengusaan pasar sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi :
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama
pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat berupa :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, PT. Telekomunikasi Indonesia
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur pelaku usaha melakukan satu atau beberapa kegiatan dalam rangka menolak dan atau
menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan yang sama pada pasar
bersangkutan.
b. Unsur pasar bersangkutan dan kegiatan usaha yang sama.
Pasar bersangkutan pada perkara ini adalah pasar jasa telepon internasional yang diakses
melalui jaringan tetap lokal nasional di Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan
kegiatan usaha yang sama adalah kegiatan Terlapor dan pelaku usaha lain dalam
menyediakan jasa layanan telepon internasional yang diakses melalui jaringan tetap lokal
nasional di Indonesia.
c. Unsur pelaku usaha melakukan satu atau beberapa kegiatan dalam rangka menghalangi
pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
Maksud dari unsur ini adalah terdapatnya satu atau beberapa kegiatan dalam bentuk
tindakan, atau persyaratan perjanjian oleh Terlapor dalam rangka membuat seorang atau suatu
pelaku usaha (tertentu) menjadi tidak dapat menjalankan usaha pelayanan jasa telepon
internasional (outgoing) melalui moda ITKP dan SLI yang diakses melalui jaringan tetap
lokal nasional di Indonesia. Bentuk tindakan dalam perkara ini adalah perbuatan atau
tindakan Terlapor sebagai pelaku usaha yang sejak 25 Juli 2001 menyediakan jasa
24

TelkomGlobal-017 dalam rangka membuat PT Indosat tidak dapat menyediakan jasa SLI 001
dan atau 008 di jaringan tetap yang sebagaimana dijelaskan pada angka 3.2.2.2 secara
dominan dimiliki Terlapor.
Perihal Penutupan Akses SLI-Indosat di Residensial,Bisnis dan Wartel
a. Terungkap bahwa pada akhir tahun 2001, muncul keluhan Indosat atas tertutupnya
akses 001 bagi konsumen atau pengguna telepon lokal Terlapor yang ingin
mengadakan komunikasi telepon internasional yang terjadi di sejumlah wilayah
nasional Indonesia yang meliputi konsumen atau pengguna telepon di jenis residensial,
bisnis serta Wartel.
b. Untuk regional Barat, terdapat keluhan tertulis di wilayah Batam, Riau kepulauan,
Medan dan Aceh dari :
a) pelanggan potensial indosat
b) para pengelola Wartel
c) APWI/BPW kabupaten Kerinci, Kodya Batam, Sumatera Utara
c. Keluhan dari pelanggan terjadi juga di regional tengah yaitu di wilayah Pontianak,
Balikpapan, Jakarta, dan Surabaya; serta di regional Timur yaitu di wilayah Bali dan
Makassar.
d. Pelanggan residensial dan pelanggan bisnis Terlapor yang mengirimkan keluhan
tertulis selalu menyebut tanggal awal mereka gagal dan tidak dapat menggunakan SLI
001. Hal ini menunjukkan bahwa sebelumnya mereka adalah pelanggan yang biasa
atau sudah pernah menggunakan SLI 001 dengan lancar.
Keluhan tertutupnya akses SLI-001 dari para pengelola Wartel, telah diadakan survey
lapangan pada tanggal 8 Agustus 2002 oleh Tim dari Ditjen Postel dan PT. Indosat di Batam
yang hasilnya adalah :
(1) temuan di Wartel Raudah, sambungan 001 yang dialihkan ke 017 (tidak ada record di
SGI) dan tarif dibebankan sesuai rate SLI-017
(2) temuan di Wartel Bakar-Mas, sambungan SLI 001 tidak berhasil dan muncul di layar
monitor nomor illegal
(3) Yantel Telkom: pelayanan SLI-001 telah ditutup sejak dioperasikan SLI-017, muncul
di layar monitor incorrect dialing
(4) semenjak bulan April 2002, pelanggan di kawasan Industri yaitu PT Citra Tubindo
tidak dapat mengakses SLI-001 lagi serta ditawarkan oleh Telkom agar menggunakan
SLI-107
Atas kondisi ini, penulis berpendapat tertutupnya akses untuk pelanggan residensial,
bisnis, dan wartel disebabkan oleh Terlapor dan hal tersebut menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
d. Unsur menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha
yang sama pada pasar bersangkutan.

25

Perihal Telkom hanya membolehkan pengelola Warung Telkom menjual TelkomGlobal017, penulis menemukan fakta bahwa Terlapor mengatur ketentuan intern soal
penyelenggaraan telekomunikasi yaitu Warung Telkom yang diatur berdasarkan KD Warung
Telkom memang ditujukan untuk menghadapi persaingan. KD Warung Telkom pada
pokoknya berisi :
a. Warung Telkom adalah outlet Telkom yang pengelolanya diserahkan ke badan usaha
lain
b. Outlet Telkom adalah saluran distribusi untuk menyalurkan produkproduk Telkom
kepada pengguna dan pelanggan berupa tempat yang disediakan untuk pelayanan jasa
telekomunikasi produk Telkom untuk umum yang ditunggu baik bersifat sementara
maupun tetap.
c. lingkup kerjasama warung Telkom berupa penjualan produk jasa dan pelayanan
Telkom, penggunaan dan pemanfaatan elemen-elemen Brand Warung Telkom dan
Pembinaan Manajemen Warung Telkom.
d. Status sambungan layanan telekomunuikasi untuk warung Telkom adalah Dinas
Berbayar sehingga tidak dikenakan biaya pasang baru dan abonemen bulanan.
e. bahwa di warung Telkom, sambungan telekomunikasi hanya menggunakan jaringan
akses Telkom sementara produk dan pelayanan yang dijual hanya produk dan
pelayanan Telkom
f. hanya menjual jasa dan atau produk Telkom termasuk didalamnya TelkomGlobal 017
Disamping itu, terungkap dalam penyelidikan bahwa setiap pengajuan Warung Telkom,
harus dipatuhi kewajiban untuk hanya menggunakan jasa TelkomGlobal-017. Hal tersebut
sebagaimana terdapat dalam Surat Kaditel Purwokerto, Nanan Wiryana, No. C.
Tel.213/YN000/RE4- D35/2003 tanggal 23 Oktober 2003 kepada pengelola Warung Telkom,
yang berisikan:
Merujuk pada SK GM KSO: IV nomor: 156/YN000/RE4-57/2003 tanggal 31 Juli 2003
tentang Petunjuk pelaksanaan Pengelolaan Outlet Telkom melalui Warung Telkom, dan
pasal 2 ayat 6, 7 dan 8 PKS Warung Telkom isi:
(1) memberitahukan kepada semua Pengelola Wartel terhitung sejak 23 Oktober 2003
semua Wartel hanya diperbolehkan menjual semua produk Telkom. Maka produk
di luar Telkom (SLI 001/008) tidak diperkenankan lagi dilayani di Warung Telkom
(2) menugaskan vendor yang membawa SPK dari Telkom untuk melakukan setting
perangkat dan penutupan layanan SLI 001 dan 008, bila telah dilakukan
penutupan di kemudian hari diketemukan layanan SLI 001 dan 008 kami akan
mengadakan teguran dan bahkan pemutusan PKS
Warung Telkom adalah salah satu tempat mengakses jaringan tetap nasional selain
pelanggan residensial dan bisnis dalam mengadakan hubungan telepon internasional sehingga
26

kontruksi perjanjian Warung Telkom yang berisi ketentuan dan klausula wajibnya pengelola
Warung Telkom hanya menjual jasa Terlapor yaitu ITKP TelkomGlobal-017 dengan sanksi
pemutusan secara sepihak oleh Telkom jika menggunakan jasa operator lain sehingga para
pengelola Wartel menjadi tidak boleh membeli atau mengelola jasa telepon internasional lain
yaitu SLI 001 dan atau SLI 008 milik PT Indosat merupakan bentuk hambatan bagi Indosat
untuk mengadakan kegiatan atau penyediaan jasa telepon di jaringan tetap.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, unsur menghalangi pelaku usaha tertentu
untuk melakukan kegiatan yang sama dalam Pasal 19 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 telah terpenuhi.
e. Unsur Pelaku Usaha melakukan satu atau beberapa kegiatan dalam rangka menghalangi
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya itu.
f. Unsur Konsumen
Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud
konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. Konsumen atau pemakai atau
pengguna jasa dalam perkara ini adalah pengguna jasa telekomunikasi yang menurut Pasal 1
angka 11 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 adalah pelanggan dan pemakai.
Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999, yang dimaksud
dengan pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang
menggunakan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak.
g. Unsur Hubungan Usaha konsumen dan Pelaku Usaha Pesaing
Unsur hubungan usaha konsumen dan pelaku usaha pesaing adalah terdapatnya
kesempatan konsumen atau pemakai atau pengguna untuk menggunakan jasa telekomunikasi
yang dihasilkan pelaku usaha pesaing. maksud unsur hubungan usaha konsumen dan pelaku
usaha pesaing dalam perkara ini adalah terdapatnya kesempatan konsumen atau pengguna
untuk menggunakan jasa SLI 001 dan atau 008 yang dihasilkan PT Indosat sebagai pesaing
Terlapor dalam pasar bersangkutan.
h. Unsur Menghalangi Konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.
Terdapatnya tindakan atau persyaratan perjanjian oleh Terlapor dalam rangka membuat
konsumen terhalang dan tidak dapat menggunakan jasa telepon internasional (outgoing)
melalui moda ITKP dan SLI yang diakses melalui jaringan tetap lokal nasional di Indonesia.
Bentuk dari unsur ini didasarkan ketentuan KD warung Telkom dan PKS standar warung
Telkom yang menyiratkan bahwa satu-satunya produk yang hanya diperkenankan dipakai
oleh pengelola Warung Telkom untuk melayani pelanggannya atau konsumennya adalah jasa
TelkomGlobal-017.
27

Disamping itu, terungkap dalam penyelidikan bahwa setiap pengajuan Warung Telkom,
harus dipatuhi kewajiban untuk hanya menggunakan jasa TelkomGlobal-017 sebagaimana
dalam Surat Kaditel Purwokerto, Nanan Wiryana, No. C. Tel.213/YN000/RE4-D35/2003
tanggal 23 Oktober 2003 kepada pengelola Warung Telkom, perihal :
Merujuk pada SK GM KSO: IV nomor: 156/YN000/RE4-57/2003 tanggal 31 Juli 2003
tentang Petunjuk pelaksanaan Pengelolaan Outlet Telkom melalui Warung Telkom, dan
pasal 2 ayat 6, 7 dan 8 PKS Warung Telkom isi :
memberitahukan kepada semua Pengelola Wartel terhitung sejak 23 Oktober 2003 semua
Wartel hanya diperbolehkan menjual semua produk Telkom. Maka produk di luar Telkom
(SLI 001/008) tidak diperkenankan lagi dilayani di Warung Telkom; menugaskan vendor
yang membawa SPK dari Telkom untuk melakukan setting perangkat dan penutupan
layanan SLI 001 dan 008, bila telah dilakukan penutupan di kemudian hari diketemukan
layanan SLI 001 dan 008 kami akan mengadakan teguran dan bahkan pemutusan PKS.
Bahwa hal ini berarti bahwa jasa SLI 001 dan 008 milik Indosat menjadi tidak tersedia dan
tidak boleh diperbolehkan untuk dikelola oleh pengelola Warung Telkom. bagi konsumen atau
pengguna atau pemakai jasa telekomunikasi persyaratan perjanjian Warung Telkom yang
dikeluarkan Telkom ini menyebabkan mereka tidak dapat menggunakan jasa SLI 001 dan SLI
008 yang dihasilkan oleh PT Indosat yang merupakan pesaing Telkom dalam pasar bersangkutan.
Dengan demikian, unsur menghalangi konsumen untuk tidak melakukan hubungan usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya sebagaimana diatur dalam pasal 19 huruf b Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 telah terpenuhi.
i. Unsur Praktek Monopoli dan atau Persaingan Usaha Tidak Sehat
Persaingan usaha tidak sehat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 1
angka 6 yaitu persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum
atau menghambat persaingan usaha.
Unsur menghambat persaingan adalah kondisi berkurangnya atau tiadanya persaingan di
pasar bersangkutan sebagai akibat dari tindakan atau kegiatan pelaku usaha. Tindakan dan
persyaratan perjanjian yang dilakukan Terlapor sebagaimana telah dibuktikan dan memenuhi
unsur pasal 19 huruf a dan huruf b terbukti menyebabkan Indosat tidak dapat bersaing dengan
Terlapor yang menyediakan jasa TelkomGlobal-017 di Wartel dan Warung Telkom, tidak
dapatnya PT. Indosat menyediakan jasa SLI di Wartel berarti menghambat atau mengurangi
persaingan pada pasar.
Di samping itu, tidak adanya persaingan jasa telepon internasional di Warung Telkom dan
Wartel dan terkuranginya persaingan di pasar bersangkutan menyebabkan konsumen atau
pemakai atau pengguna jasa telekomunikasi menjadi tidak memiliki pilihan jasa telepon
28

internasional yang berarti menghilangkan kesempatan untuk mengoptimalisasi kesejahteraan


konsumen (consumer surplus) yang dimilikinya.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, unsur persaingan usaha tidak sehat dalam Pasal 19
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah telah terpenuhi.

BAB V
KESIMPULAN
Pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk menurut Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
adalah sebagai berikut :
a) Melakukan penjanjian tertutup sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 antara PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk dengan Wartel dan Warung Telkom
sehingga menyebabkan menghambat dan/atau menghalangi pesaing usaha lain, yang dalam
perkara ini adalah PT. Indonesian Satellite Corporation, Tbk (PT. Indosat).
b) Melakukan pengusaan pasar sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 antara PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk dengan Wartel dan Warung Telkom
sehingga menyebabkan menghambat dan/atau menghalangi pesaing usaha lain, yang dalam
perkara ini adalah PT. Indonesian Satellite Corporation, Tbk (PT. Indosat).

29

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat
Buku
Kagramanto, Budi. Mengenal Hukum Persaingan Usaha. Sidoarjo : Laras, 2010
Lubis, Andi Fahmi, et.al.. Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. Jakarta: Creative
Media. 2009
Pracoyo, Tri Kunawangsih dan Anto Pracoyo. Aspek Dasar Ekonomi Mikro. Jakarta : PT. Gramedia.
2006.
Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.
Widjaja, Gunawan. Merger dalam Persfektif Monopoli. Jakarta : Raja Grafindo Perkasa. 1999.
Internet
Ditha Wiradiputra. 2008. Perjanjian yang Dilarang : Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum
Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Diakses pada 7 November 2016 :
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/perjanjianyangdilarang.pdf
Rinaldhie Purba Siboro. 2013. Pengertian Monopoli dan Monopsoni. Diakses pada 7 November
2016 : http://www.akuntt.com/2013/10/pengertian-monopoli-dan-monopsoni.html
Shidarta. 2013. Catatan Seputar Hukum Persaingan Usaha. Diakses pada 7 November 2016 :
http://business-law.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukum-persaingan-usaha.htm
Publikasi dan lain-lain
30

Keputusan Direksi Nomor: KD.39/HK220/Jas-51/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Pedoman


Pengelolaan Outlet Telkom melalui Warung Telkom
Keputusan Direksi Nomor: KD.40/HK220/JAS- 51/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kemitraan Warung Telekomunikasi (Wartel)
Keputusan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Nomor 159/Dirjen/2001
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor: 02/KPPU-1/2004

31

Anda mungkin juga menyukai