Anda di halaman 1dari 17

2.1.

Konsep Teori Lansia


2.1.1. Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:
a.
Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
b.
Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c.
Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d.
Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.
2.1.2. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga
tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahapan
ini berbeda baik secara biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami
kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor,
rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan menurun, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi
organ vital, sensitivitas emosional meningkat.
2.2. Teori Kejiwaan Lansia
2.2.1. Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini
menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan
sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan
hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
2.2.2. Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan
gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang
lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personaliti yang dimiliki.
2.2.3 Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur mulai
melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss),
yakni:

Kehilangan Peran

Hambatan Kontak Sosial

Berkurangnya Kontak Komitmen


2.3. Teori Psikologi
Spikology adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai
individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku
yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak disadari.( Muhibbin
Syah (2001)

2.3.1. Teori Tugas Perkembangan


Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa tua antara lain adalah:

a.
Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
b.
Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
c.
Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
d.
Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya
e.
Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
f.
Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula tugas perkembangan yang spesifik yang dapat muncul
sebagai akibat tuntutan:
a.
Kematangan fisik
b.
Harapan dan kebudayaan masyarakat
c.
Nilai-nilai pribadi individu dan aspirasi
Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri, kebutuhan yang memotivasi seluruh
perilaku manusia (Maslow 1954).
2.3.2. Teori Individual Jung
Carl Jung (1960) menyusun sebuah teori perkembangan kepribadian dari seluruh fase kehidupan
yaitu mulai dari masa kanak-kanak, masa muda dan masa dewasa muda, usia pertengahan sampai lansia.
Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidaksadaran seorang dan ketidaksadaran bersama. Menurut teori
ini kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau kearah subyektif. Pengalaman-pengalaman dari
dalam diri (introvert). Keseimbangan antara kekuatan ini dapat dilihat pada setiap individu dan
merupakan hal yang paling penting bagi kesehatan mental.
2.3.3. Teori Delapan Tingkat Kehidupan
Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat adanya kondisi dimana kondisi
psikologis mencapai pada tahap-tahap kehidupan tertentu. Ericson (1950) yang telah mengidentifikasi
tahap perubahan psikologis (delapan tingkat kehidupan) menyatakan bahwa pada usia tua, tugas
perkembangan yang harus dijalani adalah untuk mencapai keeseimbangan hidup atau timbulnya perasaan
putus asa. Peck (1968) menguraikan lebih lanjut tentang teori perkembangan Erikson dengan
mengidentifikasi tugas penyelarasan integritas diri dapat dipilih dalam tiga tingkat yaitu : pada perbedaan
ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, perubahan tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego
terhadap ego preokupasi.
Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, tugas perkembangan yang harus
dijalani oleh lansia adalah menerima identitas diri sebagai orang tua dan mendapatkan dukungan yang
adekuat dari lingkungan untuk menghadapi adanya peran baru sebagai orang tua (preokupasi). Adanya
pensiun dan atau pelepasan pekerjaan merupakan hal yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang
menyakitkan dan dapat menyebabkan perasaan penurunan harga diri dari orang tua tersebut.
2.4 Faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia. Faktor-faktor tersebut
hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia.
Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka
adalah sebagai berikut:

1. Penurunan Kondisi Fisik


Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang
bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah
memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan
gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan
suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu
menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak
mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya.
Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur,
istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai
gangguan fisik seperti : Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis, baru
selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu
makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :


Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya.
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
Pasangan hidup telah meninggal.
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas,
depresi, pikun dsb.
3. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lainlain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi
psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan,
tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek
psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat
dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:

1. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami
gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post
power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan
otonomi pada dirinya.

3. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi
kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak,
tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi
jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa
tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara
seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
5. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara,
karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah
agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering
diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan,
jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih
tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya
sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada
menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga
yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya
dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan
diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih
berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatankegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan
memperoleh gaji penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing
orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap
memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki
masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing.
Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga
menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada
alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan
bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan
sebagainya.
5. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka
muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk,
pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan
keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama
yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan
terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul

perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna
serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga
bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak,
cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh
kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena
hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah
meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar.
2.5. Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi pada lansia
2.5.1. Depresi
2.5.1.1. Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan
yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu rnakan, psikomotor,
konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kap'an dan Sadock,
1998). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan.
Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam (Nugroho,
2000). Menurut Hudak & Gallo (1996), gangguan depresi merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan
merupakan penyebab tindakan bunuh diri.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah, rasa
bersalah, putus asa, perasaan kosong (Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii (1996;, depresi adalah
bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan,
ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus asa. Depresi adalah suatu kesedihan atau
perasaan duka yang berkepanjangan (Stuart dan Sundeen, 1998).
2.5.1.2. Tanda Dan Gejala Depresi
Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) meliputi beberapa aspek seperti:
1.
Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah,
ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
2.
Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan pencernaan,
insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
3.
Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi,
menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis,
ketidakpastian.
4.
Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah
tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah
menangis, dan menarik diri.
Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan depresi ada 3 berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:
1.
Depresi Ringan
Gejala :

a)
b)
c)
d)

Kehilangan minat dan kegembiraan


Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas.
Kosentrasi dan perhatian yang kurang
Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang

2.
Depresi Sedang
Gejala :
a)
Kehilangan minat dan kegembiraan
b)
Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas.
c)
Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e)
Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
3.
Depresi Berat
Gejala :
a)
Mood depresif
b)
Kehilangan minat dan kegembiraan
c)
Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata
sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e)
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f)
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g)
Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h)
Tidur terganggu
i)
Disertai waham, halusinasi
j)
Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu
2.5.1.3. Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia
Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering di diagnosis salah atau
diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi praktik dokter umum adalah mereka dengan
depresi, tetapi ; acapkali tidak terdeteksi karena lansia lebih banyak memfokuskan pada keluhan badaniah
yang sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi (Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan ini, mencakup
fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamrkan atau tersamarkan oleh gangguan fisik lainnya (masked
depression). Selain itu isolasi sosial, sikap orang tua, penyangkalan pengabaian terhadap proses penuaan
normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak tertanganinya gangguan ini. Depresi pada orang lanjut
usia dimanifestasikan dengan adanya keluhan tidak merasa berharga, sedih yang berlebihan, murung,
tidak bersemangat, merasa kosong, tidak ada harapan, menuduh diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan
pemilihan diri yang kurang bahkan penelantaran diri (Wash, 1997).
Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi pada lansia :
1.
Kognitif

Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang menunjukkan gejala depresi. Pertama,
individu yang mengalami depresi memiliki self-esteem yang sangat rendah. Mereka berpikir tidak
adekuat, tidak mampu, merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan merasa bersalah terhadap
kegagalan yang dialami. Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi masalah dan segala sesuatu
yang dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan terhadap dirinya (self-confident) yang tidak adekuat.
Ketiga, memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani hidupnya, selalu meminta bantuan dan melihat
semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak ada gunanya berusaha. Keempat, membesar-besarkan
masalah dan selalu pesimistik menghadapi masalah. Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat,
performance intelektualnya berkurang. Keenam, generalisasi dari gejala depresi, harga diri rendah,
pesimisme dan kurangnya motivasi.
2.
Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa, kehilangan semangat
dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Lansia yang mengalami depresi
menggambarkan dirinya berada dalam lubang gelap yang tidak dapat terjangkau dan tidak dapat keluar
dari sana.
3.
Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti pola tidur yang
terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan dorongan seksual yang berkurang. Lansia lebih rentan
terhadap penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya melemah, selain karena aging proces juga karena
orang yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih yang kurang (Schleifer et all, 1984 ; Samiun,
2006).
4.

Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor. Sering duduk
dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar dan sering
menghentikan pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup untuk menyelesaikan
kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut Sadavoy et all (2004) gejala-gejala depresi
dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur (sleep) pada lansia yang dapat berupa keluhan
susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan tidak bisa tidur lagi, penurunan minat dan aktifitas
(interest), rasa bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga
(energy), penurunan konsentrasi dan proses pikir (concentration), nafsu makan menurun (appetite),
gerakan lamban dan sering duduk terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri
(suicidaly)
2.5.1.4. Penyebab Depresi
Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :
A. Faktor Predisposisi
1.
Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui riwayat keluarga dan
keturunan.
2.
Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan marah yang
ditunjukkan kepada diri sendiri.
3.
Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu dengan benda atau yang
sangat berarti.

4.
Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan harga diri
rendah mempe ngaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor.
5.
Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang di dominasi oleh
evaluasi negatif seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan masa depan seseorang.
6.
Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ), menunjukkkan bukan semata-mata
trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil
yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon yang tidak adaptif.
7.
Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab depresi terletak
pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
8.
Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi, termasuk
definisi katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik dalam irama biologis.
B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi ) menurut Stuart
dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1.
Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang, fungsi
fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep kehilangan, maka
persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
2.
Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode depresi dan
mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan menyelesaikan
masalah.
3.
Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi, terutama pada
wanita.
4.
Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti infeski,
neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan alam perasaan.
Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat yang menyebabkan
kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang melemahkan tubuh juga sering disertai depresi.
Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi (teori
biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri dari psikoanalisis,
kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).
2.5.1.5. Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental health) yang serius dan
kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process tetapi juga faktor lain yang saling terkait. Sehingga
dalam mencari penyebab depresi pada lansia harus dengan multiple approach. Menurut Samiun (2006)
ada 5 pendekatan yang dapat menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu :
1.
Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman dan terlindung,
keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut Hawari (1996), seseorang yang kehilangan
akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of love object) dapat jatuh dari kesedihan yang dalam. Sebagai
contoh seorang kehilangan orang yang dicintai (terhadap suami atau istri yang meninggal), kehilangan
pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan orang itu mengalami kesedihan yang mendalam,

kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal, bersalah dan seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh
dalam depresi.
Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap kehilangan. Perasaan sedih dan duka
cita sesudah kehilangan objek yang dicintai (loss of love object), tetapi seringkali mengalami perasaan
ambivalensi terhadap objek tersebut (mencintai tetapi marah dan benci karena telah meninggalkan).
Orang yang mengalami depresi percaya bahwa intropeksi merupakan satu-satunya cara ego untuk
melepaskan suatu objek, sehingga sering mengritik, marah dan menyalahkan diri karena kehilangan objek
tadi (Kaplan et all, 1997). Depresi yang terjadi pada lanjut usia adalah dampak negatif kejadian
penurunan fungsi tubuh dan perubahan yang terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahanperubahan tersebut diatas seringkali menjadi stresor bagi lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis
dan biologis. Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya
kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya.
Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stres lingkungan sering menyebabkan
depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi adalah strategi pasif (defence
mcanism) seperti menghindar, menolak, impian, displacement dan lain-lain (Coyne ett all, 1981 ;
Samiun, 2006). Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan sosial (social
support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stresor. Ada bukti bahwa individu yang
memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan
dengan stres (Billings, et all, 1983 ; Samiun , 2006).
2.

Pendekatan Perilaku Belajar


Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu yang kurang
menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan hukuman (punishment) yang lebih banyak dibandingkan
individu yang idak depresi (Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ; Samiun, 2006). Dampak dari
kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang
kurang menyenangkan, kecenderungan memiliki self-esteem yang kurang dan mengembangkan selfconcept yang rendah. Hadiah dan hukuman bersumber dari lingkungan (orang-orang dan peristiwa
sekitar) dan dari diri sendiri. Situasi akan bertambah buruk jika seseorang menilai hadiah yang diterima
terlalu rendah dan hukuman yang diterima terlalu tinggi terutama untuk tingkah laku mereka sendiri,
sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara nilai reward dan punishment itu. Peran hadiah dan
hukuman terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan depresi (Rehm, 1997 ; Wicoxon, et
all, 1997 ; Samiun 2006).
Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman adalah seseorang jika pindah ke
tempat lain yang dapat mengakibatkan kehilangan sumber-sumber hadiah dan perubahan dari tingkah
laku yang mendapat hadiah sehingga aktifitas yang sebelumnya dihadiahi menjadi tidak berguna. Standar
untuk hadiah dan hukuman yang meningkat menyebabkan performansi yang diperlukan untuk mendapat
hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah yang sebelumnya diterima dapat menyebabkan depresi apabila
sumber alternatif untuk mendapat hadiah tidak ditemukan.

3.

Pendekatan Kognitif

Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresikarena memiliki
kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan diri sendiri, dunia
dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan pekerjaan akan mengabaikan
keberhasilan tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu yang kebetulan dan tetap memikirkan
kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan memiliki self-concept sebagai seorang
yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam
pada lansia yang depresi adalah kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri yang
negatif (Townsend, 1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya distorsi
pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga menyebabkan tingkat aktifitas
berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat mengontrol aspek-aspek
negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya (helplessness). Perasaan ketidakberdayaan ini yang
menyebabkan depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984; Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering adalah
melibatkan distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis dan
keputusasaan. Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) tersebut
selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman awal memberikan dasar pemikiran diri yang
negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik yang terus menerus tanpa
diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang sering dialami individu (Beck, et al., 1979;
Samiun, 2006).
4.

Pendekatan Humanistik Eksitensial


Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi karena adanya
ketidakcocokan antara reality self dan ideal self. Individu yang menyadari jurang yang dalam antara
reality self dan ideal self dan tidak dapat dijangkau, sehingga menyerah dalam kesedihan dan tidak
berusaha mencapai aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi. Individu merasa tidak ada lagi pilihan dan
berhenti hidup sebagai seeorang yang real. Pada lansia yang gagal untuk bereksistensi diri menyadari
bahwa mereka tidak mau berada pada kondisinya sekarang yang mengalami perubahan dan kurang
mampu menyesuaikan diri, sehingga kehidupan fisik mereka segera berakhir. Kegagalan bereksistensi ini
merupakan suatu kematian simbolis sebagai seseorang yang real.
5.

Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas neurologis yang rendah
(neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi mengatur
kesenangan. Neurotransmitter ini memainkan peranan penting dalam fungsi hypothalamus, seperti
mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku motor (Sachar, 1982; Samiun, 2006), sehingga
seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan keluhan-keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara kembar. Monozogotik Twins
(MZ) berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar bersaudara (Dizigotik
Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun, 2006). Secara keseluruhan dapat dikatakan
bahwa secara genetic depresi itu diturunkan.

Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang unik dari
berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri karena penurunan
kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta kesedihan ditinggal orang yang
dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di
otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya depresi pada lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan
yang terjadi pada lansia, sehingga depresi pada lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.
Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:
1. Distorsi dalam perilaku makan
2. Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)
3. Merasa putus asa dan tidak berarti.
4. Berat badan berubah drastis
5. Gangguan tidur.
6. Sulit berkonsentrasi
7. Keluarnya keringat yang berlebihan
8. Sesak napas
9. Kejang usus atau kolik
10. Muntah
11. Diare
12. Berdebar-debar
13. Gangguan dalam aktivitas normal seseorang
14. Kurang energi
2.5.1.6. Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)
Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang dialami seseorang setelah
mengalami pension. Salah satu factor penyebab depresi pada pasca kuasa adalah karena adanya
perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau kekuasaan ketika pension. Meskipun tujuan ideal
pension adalah agar para lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2001). Menurut Kuntioro
(2002), reaksi setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung dari model kepribadiannya. Untuk
mensiasati agar masa pension tidak merupakan beban mental lansia, jawabannya adalah sangat tergantung
pada sikap dan mental individu dalam masa pensiun, dalam kenyataannya ada yang menerima ada yang
takut kehilangan ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua da nada juga yang seolah-olah acuh
terhadap pension (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing
individu baik positif maupun negative. Dampak positif lebih menentramkan driri lansia dan dampak
negative akan mengganggu kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan interpersonal, peristiwa
social yang tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan yang besar. Kejadian yang tidak diinginkan
juga sering menjadi factor presipitasi depresi. Kejadian di masa lampau (perpisahan dan segala macam
kehilangan) lebih sering memperburuk gejal kejiwaan, perubahan kesehatan fisik, gangguan penampilan
peran social dan depresi (Stuart dan Larairam, 1998).

Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai kekuasaan,
wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang kehilangan
kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of
love object). Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya keseimbangan mental/emosional
dengan manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan
tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut
sindroma pasca kuasa (post power syndrome). Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak
atau keluhan psikososial dari orang yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat kini merasa lemah.
Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam perasaan pada diri yang
bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan kejiwaan (kekecewaan atau
depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka keluhan psikososial inilah yang sering
menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang mengakibatkan perubahan
persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di luar dirinya. Guna menghindari rasa
kecewa dan tidak senang itu, orang menggunakan mekanisme defensive antara lain berupa makanisme
proyeksi dan rasionalisasi itulah maka terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap kondisi psikososial
sekelilingnya. Menurut Maramis (1995), bahwa stress psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan,
kekecewaan dan rasa bersalah yang menimbulkan mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin pada
sewaktu-waktu, hanya gejala badaniah atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita harus
mengingat bahwa manusia itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh manusia itu terlibat
dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen psikologik dan komponen
somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja
dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas lupa timbul pikiran bunuh diri. Sedangkan
gejala badaniah ialah penderita kelihatan tidak senang, lelah tak bersemangat atau apatis, bicara dan
gerak-geriknya pelan dan kurang hidup, terdapat anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai
pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan konstipasi.

2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda (Endah
dkk, 2003) :
a.
Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup dan apa yang
ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru, orang0orang yang belum
dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan merupakan stressor bagi lansia yang
membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan
membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah kekurangan kemampuan
dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan
kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan sering menyebabkan depresi.
Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan social (social support) yang

tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman
akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stress
(Billings, et all, 1983; Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah gagal karena
harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan lansia memandang
masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi kemampuan lansia dalam
beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.
b.
Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social mengakibatkan
penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan keakraban dengan keluarga
dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat menimbulkan perasaan tidak berguana,
merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya depresi.
Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan
karena kehilangan dukungan social yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan
mempertahankan kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia
(Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi. Sulit bagi lansia
meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan rumah tempat tinggal
lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi merupakan pengalaman yang
traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian persahabatan yang telah memberikan
perasaan aman dan stabilitas sehingga sering mengakibatkan lansia merasa kesepian dan kesendirian
bahkan kemeorosotan kesehatan dan depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya yang hilang setelah
memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan
penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran penting dalam pekerjaannya
kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri dengan peran barunya sehingga seringkali
menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini, 2001).
c.
Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan lansia tersisihkan
dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk menaruhnya di panti
lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga (family system) dari extendend family ke
nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya
industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis menggangap lansia sebagai trouble maker dan
menjadi beban sehingga langkah penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia
memperburuk psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia, karena tinggal dalam
keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan keluarga yang memiliki
lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan mempertahankan ikatan keluarga
antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh Friedman, 1998).
2.5.1.8. Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia

Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap lingkungannya. Gejala
depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang termanifestasi. Jika dicurigai
terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian dengan alat pengkajian yang terstandarisasi dan dapat
dipercayai serta valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling mudah
digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh peneliti maupun praktisi klinis adalah
Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi
utama pada lanjut usia, dan memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan keterampilan
khusus dari pengguna. Instrument GDS ini memiliki sensitivitas 84 % dan specificity 95 %. Tes
reliabilitas alat ini correlates significantly of 0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan
dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana yang diisi
sendiri dengan menjawab ya atau tidak setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu sekitar 5-10 menit
untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak mencakup hal-hal somatic yang
tidak berhubungan dengan pengukuran mood lainnya. Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai 1120 menunjukkan depresi ringan dan skor 21-30 termasuk depresi sedang/berat yang membutuhkan
rujukan guna mendapatkan evaluasi psikiatrik terhadap depresi secara lebih rinci, karena GDS hanya
merupakan alat penapisan.
Pernyataan Unfavorable, jawaban tidak diberi nilai 1 dan jawaban ya diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia sebagai berikut:
No.
Pernyataan
Ya
Tidak
1.
Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan kehidupannya?
2.
Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau kesenangan akhir-akhir ini?
3.
Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup ini?
4.
Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?
5.
Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di masa depan?
6.
Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang menganggu terus menerus?
7.
Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?
8.
Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda?
9.
Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?
10
Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-apa?
11.
Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?
12.
Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada keluar dan mengerjakan
sesuatu?
13.
Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?
14.
Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?
15.
Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini menyenangkan?
16.
Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?
17.
Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?
18.
Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu?
19.
Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?
20
Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang baru?
21.
Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?
22.
Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada harapan?
23.
Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya daripada bapak/ibu?

24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.

Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?


Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?
Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?
Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi hari?
Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan social?
Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?
Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam memikirkan sesuatu seperti dulu?

2.5.1.9. Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia


Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu ditekannkan
pendekatan yang mencakup fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut karena pendekatan daru
satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu
pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental health)
disebut pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu pendekatan yang tidak tertuju pada kondisi fisik saja,
akan tetapi juga mencakup aspek psychological, psikososial, spiritual dan lingkungan yang menyertainya.
Pendekatan Holistik adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatan derajat
kesehatan lanjut usia, secara utuh dan menyeluruh (Hawari, 1996).
Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic holistic approach, diantaranya:
1)
Pendekatan Psikodinamik
Focus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap konflik-konflik yang berhubungan
dengan kehilangan dan stress. Upaya penanganan depresi dengan mengidentifikasi kehilangan dan stress
yang menyebabkan depresi, mengatasi, dan mengembangkan cara-cara menghadapi kehilangan dan
stressor dengan psikoterapi yang bertujuan untuk memulihkan kepercayaan diri (self confidence) dan
memperkuat ego. Menurut Kaplan et all (1887), pendekatan ini tidak hanya untuk menghilangkan gejala,
tetapi juga untuk mendapatkan perubahan struktur dan karakter kepribadian yang bertujuan untuk
perbaikan kepercayaan pribadi, keintiman, mekanisme mengatasi stressor, dan kemampuan untuk
mengalami berbagai macam emosi.
Pendekatan keagaman (spiritual) dan budaya sangat dianjurkan pada lansia. Pemikiran-pemikiran dari
ajaran agama apapun mengandung tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia ini manusia tidak
terbebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat ditemukan dalam doa-doa
yang paada intinya memohon kepada Tuhan agar dalam kehidupan ini manusia diberi ketenangan,
kesejahteraan dan keselamatan baik di dunia dan di akhirat (Hawari, 1996).
2)
Pendekatan Perilaku Belajar
Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah dan berlebihannya hukuman atas diri
dapat di atasi dengan pendekatan perilaku belajar. Caranya dengan identifikasi aspek-aspek leingkungan
yang merupakan sumber hadiah dan hukuman. Kemudian diajarkan keterampilan dan strategi baru untuk
mengatasi, menghindari, atau mengurangi pengalaman yang menghukum, seperti assertive training,
latihan keterampilan social, latihan relaksasi, dan latihan manajemen waktu. Usaha berkutnya adalah
peningkatan hadiah dalam hidup dengan self-reinforcement, yang diberikan segera setelah tugas dapat
diselesaikan.
Menurut Samiun (2006), ada tiga hal yang p[erlu diperhatikan dalam pemberian hadiah dan hukuman,
yaitu tugas dan teknik yang diberikan terperinci dan spesifik untuk aspek hadiah dan hukuman dari
kehidupan tertentu dari individu. Teknik ini dapat untuk mengubah tingkah laku supaya meningkatkan

hadiah dan mengurangi hukuman, serta individu harus diajarkan keterampilan yang diperlukan untuk
meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman.
3)
Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikit tentang keberhasilan masa lalu dan
sekarang dengan cara mengidentifikasi pemikiran negative yang mempengaruhi suasana hati dan tingkah
laku, menguji individu untuk menentukan apakah pemikirannya benar dan menggantikan pikiran yang
tidak tepat dengan yang lebih baik (Beck, et al, 1979; Samiun, 2006). Dasar dari pendekatan ini adalah
kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk dari rangkaian verbalisasi diri (self-talk) terhadap
peristiwa/pengalaman yang dialami yang menentukan emosi dan tingkah laku diri.
Menurut Kaplan et all (1997), upaya pendekatan ini adalah menghilangkan episode depresi dan mencegah
rekuren dengan membantu mengidentifikasi dan uji kognisi negative, mengembangkan cara berpikir
alternative, fleksibel dan positif, serta melatih respon kognitif dan perilaku yang baru dan penguatan
perilaku dan pemikiran yang positif.
4)
Pendekatan Humanistik Eksistensial
Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari kebaradaannya didunia ini dengan
memperluas kesadaran diri, menemukan dirinya kembali dan bertanggung jawab terhadap arah hidupnya.
Dalam pendekatan ini, individu yang harus berusaha membuka pintu menuju dirinya sendiri,
melonggarkan belengu deterministic yang menyebabkan terpenjara secara psikologis (Corey, 1993;
Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi alternative ini membuat pandangan menjadi real, individu
menjadi sadar siapa dia sebelumnya, sekarang dan lebih mempu menetapkan masa depan.

a.
b.
c.
d.
a.
b.
c.
1.

5)
Pendekatan Farmakologis
Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi psikofarmaka (farmakoterapi) dengan
obat anti depresan merupakan pilihan alternative. Hasil terapi dengan obat anti depresan adalah baik
dengan dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.
2.5.10 Penatalaksanaan Depresi pada Lansia:
A. Terapi Biologik
1.
Pemberian obat antidepresan
2.
Terapi kejang listrik (ECT), shock theraphy
3.
Terapi sulih hormon
4.
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)
B. Terapi Psikososial (Psikoterapi)
Bertujuan mengatasi masalah Psikoedukatif, yaitu:
Mengatasi kepribadian maladaptif,
Distorsi pola berpikir,
Mekanisme koping yang tidak efektif,
Hambatan relasi interpersonal.
Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi masalah Sosiokultural, seperti
Keterbatasan dukungan dari keluarga,
Kendala terkait faktor kultural,
Perubahan peran sosial.
C. Perubahan Gaya Hidup
Aktivitas fisik terutama olah-raga.

2. Pasien dibiasakan berjalan kaki setiap pagi/sore sehingga energi dapat di serta me(-) stress karena kadar
norepinefrin meningkat.
3. Selain itu, pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan meditasi serta yoga untuk menenangkan
pikirannya
D. Diet Sehat
Me(-) asupan gizi yg me(+) kadar stress jg perlu dilakukan.
Memperhatikan jenis makanan yg akan disajikan kpd lanjut usia yg mengalami depresi. Makanan berat scr
otomatis akan memicu tindakan bagian syaraf parasimpatik cabang dr sistem syaraf otonom yg
me kesadaran.
Depresi berhub. dg tingkat kesadaran yg rendah. Kesadaran mengacu pd proses psikologis yg meliputi halhal seperti kemampuan utk memusatkan perhatian seseorang & kemampuan utk bekerja scr efektif.
2.5.2. Berduka Cita
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Periode duka cita merupakan suatu
periode yang sangat rawan bagi seorang penderita lanjut usia. Meninggalnya pasangan hidup, seorang
teman dekat atau bahkan seekor hewan yang sangat disanyangi bias mendadak memutuskan ketahanan
kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya akan memicu terjadinya gangguan fisik
dn kesehatannya. Periode 2 tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup atau teman dekat
tersebut merupakan periode yang sangat rawan. Pada periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan
untuk dapat mengekspresikan dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian
diikuti dengan menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka-cita pada usia lanjut
biasanya tidak bersifat self limiting. Dokter atau petugas kesehatan harus memberi kesempatan pada
episode tersebut berlalu. Diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan keluhan,
memberikan hiburan dimana perlu dan tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan dan berjalan
terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi berat, konsultasi psikiatrik
mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan.

2.5.3. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat meninggalnya
pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami berbagai
penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau
gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran (Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup sendiri tidak
mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat lansia yang
walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh mengalami kesepian.

Anda mungkin juga menyukai