Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang.
Dispepsia merupakan masalah pencernaan yang paling umum ditemukan. Kondisi ini

dilaporkan dialami sekitar 25% (13% - 40%) populasi di dunia setiap tahun. (Bazaldua et al,
1999). Survei yang dilakukan pada beberapa populasi di Eropa dan Amerika Utara, lebih dari
50% penderita dispepsia yang sudah melakukan pengobatan, dan kira-kira 30% pasien dispepsia
yang dilaporkan, libur dari kerja atau sekolah dikarenakan gejala yang dialami. (Kumar et al,
2012).
Pada beberapa penelitian di Asia, dispepsia fungsional ditemukan pada kebanyakan
pasien UD (Uninvestigated dyspepsia) setelah dilakukan endoskopi pada saluran pencernaannya.
Sebanyak 782 pasien UD di china, terdapat 69% berubah menjadi dispepsia fungsional dan 31%
disebabkan kelainan organik. Pada penelitian yang lebih luas di Asia, sebanyak 1.115 pasien
dengan UD dari 9 negara (China, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapore, Taiwan,
Thailand dan Vietnam) 43% menjadi dispepsia fungsional. (Hiroto et al, 2012)
Sindroma dispepsia merupakan keluhan yang sering ditemukan pada populasi umum.
Prevalensi sindroma dispepsia di negara Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya didapatkan
sekitar 25%. Belum ditemukan data epidemiologi di Indonesia (Longstreth, 2004). Prevalensi
dispepsia pada pupolasi umum telah diperkirakan sekitar 20-40%, dan mayoritas pada pasien
dispepsia diyakini menderita 12-15%, sementara insiden dari dispepsia telah dihitung selama
lebih dari 3 tahun mencapai 2,8% per tahun (Rome, 2006).
Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab terjadinya masalah
pencernaan. Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling sering ditemukan.

Berdasarkan gambaran morbiditas 10 penyakit terbesar pada pasien rawat jalan di seluruh rumah
sakit di Indonesia tahun 2003, dispepsia menempati peringkat 10 dengan proporsi 1,5%. Tahun
2004, dispepsia menempati urutan ke 15 dari 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di
Indonesa dengan proporsi 1,3% (Wulandari dkk, 2012).
Sindroma dispepsia merupakan sekumpulan gejala berupa rasa tidak enak pada perut
bagian atas yang bersifat intermiten meliputi rasa penuh di ulu hati sesudah makan, kembung,
sering sendawa, cepat kenyang, anoreksia, nausea, vomitus, rasa terbakar di daerah ulu hati dan
regurgitas (Djojoningrat, 2009).
Dispepsia adalah suatu kondisi yang sangat umum dengan prevalensi tinggi di seluruh
dunia yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien (Brun & Kuo, 2010). Dispepsia
mempengaruhi sampai 40% orang dewasa setiap tahun dan sering didiagnosis dispepsia
nonulcer. Gejala berupa kepenuhan setelah makan, cepat kenyang, atau nyeri epigastrium atau
terbakar tanpa adanya penyebab struktural. Gejala-gejala ini dapat berdampingan dengan gejala
gangguan pencernaan, serta kecemasan dan depresi. (Lloyd & McClellan, 2011)
Penyakit tidak menular pada beberapa waktu terakhir menjadi penyebab morbiditas dan
mortalitas di beberapa negara termasuk Indonesia. WHO memprediksi pada tahun 2020, proporsi
angka kematian karena penyakit tidak menular akan meningkat menjadi 73% dan proporsi
kesakitan menjadi 60% di dunia, sedangkan untuk negara SEARO (South East Asian Regional
Office) pada tahun 2020 diprediksi angka kematian dan kesakitan karena penyakit tidak menular
akan meningkat menjadi 50% dan 42%. Dispepsia merupakan salah satu jenis penyakit tidak
menular yang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Kasus dispepsia di dunia
mencapai 13-40% dari total populasi setiap tahun. Hasil studi menunjukkan bahwa di Eropa,

Amerika Utara, dan Oseania prevalensi dispepsia bervariasi antara 3% hingga 40%. (Harahap,
2010)
Penderita dispepsia dapat terjadi pada berbagai rentang umur, jenis kelamin, kondisi
sosio-ekonomi. Hasil berbagai survei belum dapat menunjukkan prevalensi umur pasti untuk
dispepsia fungsional. Pada berbagai penelitian di Asia, dispepsia fungsional lebih sering
ditemukan pada umur yang lebih muda, di Jepang prevalensinya 13% dan 8% untuk kelompok
dibawah dan diatas 50 tahun, di Cina prevalensinya terbanyak pada kisaran umur 41-50 tahun,
dan di Mumbai, India terbanyak pada umur >40 tahun. (Kumar et al., 2012). Di Indonesia
prevalensi terbanyak pada umur 40 tahun yaitu 85% (Harahap, 2010), penelitian yang lain
mendapatkan prevalensi terbanyak pada kisaran umur 26-35 tahun sebanyak 50% (Tarigan,
2001).
Sindroma dispepsia memiliki keluhan yang tumpang tindih antara kasus dispepsia, kasus
refluks gastroesofageal (keduanya berasal dari saluran cerna bagian atas) dam kasus irritable
bowel syndrome. Ketiga penyakit ini mempunyai kecendrungan gejala yang tumpang tindih
sehingga perlu dicermati (terutama dalam anamnesis), karena akanberdampak pada pengobatan
yang berbeda. Sehingga hal ini menjadi penting dalam klinis (Djojoningrat, 2009).
Terdapat banyak etiologi dalam kasus dispepsia, yaitu terdapat gangguan atau penyakit
dalam lumen saluran cerna sepert tukak gaster, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori. Pada
penggunaan obat-obatan seperti OAINS, aspirin, digitalis bisa menyebabkan keluhan dispepsia.
Terdapat penyakit-penyakit lain yang juga menyebabkan keluhan dispepsia seperti penyakit pada
hati, pancreas, penyakit sistemik (diabetes mellitus, tiroid), dan fungsional (Djojoningrat, 2009).
Angka kejadian depresi dan ansietas pada pasien dispepsia fungsional tergolong cukup tinggi.
Berdasarkan penelitian oleh Harsal A pada tahun 1991 di RSCM didapatkan data : 80,7%

ansietas, 57,7% depresi, dan 51,9% ansietas-depresi pada 52 pasien dispepsia fungsional
( Mudjaddid, 2009).
Menurut Ariyanto (dikutip dari Rahmiwati, 2010), Penanggulangan dapat dilakukan
dengan memodifikasi gaya hidup yang sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia,
bahkan memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung, mengatur pola makan sebaik
mungkin, menghindari makanan berlemak tinggi, menghindari minuman yang mengandung
kafein dan alcohol, menghindari makanan yang menghasilkan gas di lambung, berhenti merokok,
mengelola stress psikologi secara efisien, melakukan olahraga teratur dan menyalurkan hobi.
Liza (2008) mengatakan bahwa motivasi beribadah dan kekebalan stress dapat mengurangi
gangguan psikosomatik.
Dengan tingginya prevalensi sindroma dispepsia secara global termasuk Indonesia, dan
masih sedikit data yang didapatkan tentang kejadian sindroma dispepsia di Sumatera Barat, maka
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kejadian sindroma dispepsia. Penelitian ini lebih
ditekankan pada profil penderita sindroma dispepsia (umur, jenis kelamin, etnis,tingkat
pendidikan, pekerjaan, keluhan utama, pengobatan dan prognosis). Penelitian ini dilaksanakan di
RSUP M. Djamil Padang dengan sampel penderita sindroma dispepsia yang berobat di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam pada tahun 2012, 2013, dan 2014.
1.2.

Rumusan Masalah
Bagaimana profil penderita sindroma dispepsia di RSUP DR M. Djamil Padang?

1.3.

Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui profil penderita sindroma dispepsia di RSUP M. Djamil Padang,
Sumatera Barat.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui distribusi umur, jenis kelamin, etnik, tingkat pendidikan, dan
pekerjaan penderita sindroma dispepsia di RSUP M. Djamil Padang, Sumatera
Barat.
2. Untuk mengetahui tipe dispepsia pada penderita sindroma dispepsia
1.4.

Manfaat Penelitian
1. Ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan pemikiran tentang
informasi-informasi yang berhubungan dengan sindroma dispepsia.
2. Praktisi kesehatan

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menyumbang pemikiran terhadap
pemecahan masalah yang berkaitan dengan sindroma dispepsia.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian
selanjutnya atau penelitian lain yang lebih luas.

3. Bagi peneliti
o Sebagai kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan
wawasan setelah masa perkuliahan selesai.

Anda mungkin juga menyukai