Anda di halaman 1dari 3

Rindra Yudha D'sastra

Kasus pidana yang melibatkan Ketua KPK non aktif Antasari Azhar (AA) terus menjadi topik pembicaraan
paling hangat di media massa. Tidak tanggung-tanggung, walaupun diliputi perasaan setengah percaya tidak
percaya, kali ini aparat kepolisian membidiknya sebagai dalang atau aktor intelektual pembunuhan
berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen.
Untuk sementara, motif persitiwa pembunuhan itu diduga terkait dengan kisah asmara terlarang AA dengan
kekasih korban. Rekaman berisi adegan cinta terlarang ini kabarnya dijadikan sebagai kartu as oleh korban
untuk memeras, memperalat, maupun mengancam AA apabila tidak menuruti kemauannya. AA yang
geram, mengirimkan sms berisi ancaman pembunuhan. Untuk merealisasikan ancaman itu, dibujuklah Sigid
Haryo Wibisono (SHW) dan Kombes Wiliardi Wizar (WW). Sebagai eksekutor di lapangan, Edo menunjuk Heri
dan Danial. Kini, tindak pidana itu masih terus disidik kepolisian.
KUHP memberikan setidak-tidaknya ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana mati bagi pelaku
delik pembunuhan berencana. Sangat wajar apabila AA kemudian menunjuk beberapa penasehat hukum
(populer), karena memang hukum acara pidana, secara jelas mengatur bahwa seorang tersangka berhak
mendapat bantuan hukum dengan memilih sendiri penasihat hukumnya (pasal 54 jo 55 KUHAP). Bahkan
untuk delik yang diancam dengan pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih sebagaimana yang
dituduhkan kepada AA, apabila dirinya merasa tidak mampu, untuknya negara wajib memberikan penasehat
hukum (pasal 56 KUHAP).
Adanya kekhawatiran teman-teman penggiat antikorupsi atas adanya konflik kepentingan dari penasehat
hukum yang mendampingi AA memang tidak bisa dinafikan begitu saja. Walaupun para penasehat hukum
tersebut berlindung di balik kewajiban advokat memberikan bantuan hukum kepada mereka yang
membutuhkannya, pertanyaan yang patut dilemparkan adalah mengapa terhadap AA mereka begitu proaktif
melakukan pembelaan secara probono? Kemana mereka pada saat begitu banyak kasus-kasus yang
menimpa rakyat jelata? Apalagi para penasehat hukum tersebut setidak-tidaknya memiliki klien dalam delik
korupsi yang sedang dalam pemeriksaan KPK. Politik balas budi yang masih berurat berakar dalam
penegakan hukum, memang harus diberikan perhatian, namun di sisi lain juga agar jangan sampai
mengkebiri hak-hak hukum tersangka.
Dari seliweran berita yang beredar, pengkonstruksian AA sebagai aktor intelektual kasus pembunuhan
berencana, masih terlalu sumir untuk didengung-dengungkan oleh kepolisian. Penyampaian sedemikian rupa
ditambah pemberitaaan massif media sangat berpotensi membentuk opini masyarakat dan mempengaruhi
psikologis aparat penegak hukum dalam memeriksa kasus ini. Tentu saja hal ini sangat berpotensi
mengangkangi asas praduga tidak bersalah. Memang benar, bagi pihak kepolisian dan kejaksaan dalam
menjalankan tugasnya sebagai penyidik dan penuntut, sikap batin mereka adalah praduga bersalah.
Namun perlu dicermati, dalam perlakuannya terhadap tersangka, khususnya dalam penyampaian
keterangan (konferensi pers) kepada publik sebagai kewajiban akuntabilitas, seharusnya tetap berhati-hati.
Kita menghormati hasil penyidikan sebagai fakta hukum, namun patut dicatat hasil penyidikan bukanlah
putusan hakim yang final.
Dengan menggunakan optik teori hukum dalam mencermati kasus ini, apabila kepolisian hanya bermodalkan
sms bernada ancaman dan katakanlah adanya video mesum AA, foto-foto pertemuan, video pertemuan,
maka gembar-gembor AA sebagai aktor intelektual, terlepas dari apa motif untuk melakukan perbuatan
tersebut sebenarnya masih terlalu dini untuk disampaikan. Lagipula yang paling berhak menentukan status
seseorang sebagai aktor intelektual dalam suatu delik adalah hakim.
Aktor Intelektual dalam Hukum Pidana
Bagi seluruh aparat penegak hukum: pihak Kepolisian, Kejaksaan, Penasehat Hukum, hingga Hakim pemutus
perkara nantinya, benar atau tidaknya seorang sebagai aktor intelektual, maka hal yang paling signifikan
untuk dibuktikan nantinya, yakni pemenuhan atas syarat-syarat yang dipergunakan untuk menentukan
seseorang sebagai seorang aktor intelektual. Dalam hukum pidana, khususnya teori penyertaan, seorang
aktor intelektual biasanya disebut sebagai pembuat penganjur (uitlokker). Sangat tidak mudah membuktikan
bahwa seseorang adalah aktor intelektual dalam delik pidana, setidaknya ada empat syarat kumulatif dalam

teori hukum pidana yang harus dipenuhi untuk mendudukkan seseorang sebagai seorang aktor intelektual.
Pertama, adanya kesengajaan dari si aktor intelektual yang ditujukan pada digunakannya upaya-upaya
penganjuran terhadap orang lain untuk mewujudkan perbuatan yang dianjurkan. Pihak kepolisan dan
penuntut umum harus bisa membuktikan bahwa AA memang benar-benar menghendaki/bermaksud
membunuh korban. Untuk mewujudkan maksudnya tersebut, pelaku menggerakkan orang lain untuk
melakukan pembunuhan. Membuktikan ini terntu bukan perkara mudah, sangat terbuka berbagai
kemungkinan, katakanlah dalam kasus ini, maksud AA sebenarnya hanya untuk melakukan suatu tindakan
penganiayaan ringan sebagai bentuk keseriusan ancaman. Namun secara operasional maksud itu kemudian
diterjemahkan berbeda oleh SHW, WW dan para eksekutor secara berbeda, yakni melakukan pembunuhan.
Apalagi kalau sebaliknya, ternyata AA tidak pernah bermaksud membunuh. Kalau demikian ceritanya, tentu
sangkaan aktor intelektual pembunuhan berencana terancam gugur
Kedua, dalam melakukan perbuatan pembujukan, harus menggunakan cara-cara menganjurkan
sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP. Pihak kepolisian dan penuntut umum
harus bisa membuktikan bahwa AA menganjurkan/memerintahkan SHW, WW, dan eksekutor untuk
melakukan pembunuhan setelah sebelumnya terlebih dahulu memberikan sesuatu, menjanjikan sesuatu
kepada orang-orang tersebut. Atau bisa juga AA memaksa SHW, WW dan eksekutor dengan cara
menyalahgunakan kekuasaannya, dengan menggunakan kekerasan, dengan menggunakan ancaman,
dengan menggunakan penyesatan, kesempatan, sarana ataupun keterangan. Membuktikan seseorang
berjanji kepada pihak lain tanpa ada catatan tertulis; mengancam lisan SHW, WW, eksekutor tentulah tentu
tugas yang maha berat bagi kepolisian.
Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (eksekutor) untuk melakukan tindak pidana sesuai
dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh
si aktor intelektual. Syarat ini membutuhkan pembuktian berupa fakta bahwa inisiatif pembunuhan selalu
dan pasti berasal dari si aktor intelektual, dan si eksekutor melakukan pembunuhan hanya karena misalnya
dijanjikan sesuatu. Di sini harus ada hubungan sebab akibat (kausalitas) yang jelas antara aktor intelektual
dengan eksekutor. Pihak kepolisian harus bisa membuktikan bahwa SHW, WW dan eksekutor melakukan
tindakan pembunuhan karena perintah AA yang disertai dengan pemberian janji (atau cara-cara lainnya).
Keterangan kuasa hukum eksekutor menyebutkan bahwa para eksekutor melakukan tugas pembunuhan
karena menganggap bahwa itu adalah tugas negara. Anggapan para eksekutor tersebut karena yang
memerintahkan adalah seorang polisi. Ditambah yang memberikan biaya operasinal kepada mereka adalah
seseorang yang berpakaian dinas mirip polisi dan menggunakan mobil patroli. Bagaimana membuktikan
kausalitas antara kehendak yang terbentuk dalam pikiran para eksekutor dengan anjuran AA? Tentu bukan
perkara mudah.
Keempat, orang yang dianjurkan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dari keempat syarat ini, inilah
yang cukup mudah dipenuhi. Selama jiwa para eksekutor sehat dan waras, tentulah para eksekutor dapat
dibuktikan kesalahannya dan kemudian dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan penembakan
yang mengakibatkan kematian terhadap Nasrudin.
Inti dari persyaratan-persyaratan untuk menjerat AA sebagai aktor intelektual, harus benar-benar bisa
dibuktikan melalui alat bukti yang kuat bahwa ada kausalitas antara perintah/bujukan/permintaan
pembunuhan AA dengan kehendak para pelaku pembunuhan, bahwa mereka benar-benar membunuh karena
bujukan AA, disertai dengan adanya iming-iming tertentu. Dalam perkara pidana, saksi merupakan kunci
pembuka kotak pandora, untuk kasus ini saksi kunci adalah SHW, WW termasuk juga eksekutor.
Persoalannya adalah orang-orang tersebut juga berkedudukan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan
yang sama. Jika mereka memberikan keterangan sebagai saksi atas AA mereka dikategorikan sebagai saksi
mahkota (tidak dikenal dalam hukum acara pidana Indonesia), walaupun memang kedudukan mereka
sebagai tersangka bukanlah dalam satu berkas pemeriksaan/penuntutan yang sama (dipecah-pecah/split).
Namun mengingat yurisprudensi MA dalam perkara kematian buruh marsinah, yang menyebutkan bahwa
Saksi Mahkota adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak
Asasi Manusia, dan oleh karenanya kesaksiannya patut ditolak, Belum lagi kalau diantara para terdakwa (AA,
SHW, WW) sudah merancang skenario bahwa mereka tidak pernah berencana membunuh Nasrudin, maka
tugas kepolisan dan kejaksaan akan semakin berat.

Pihak Kepolisian harus bekerja keras untuk ini. Keterangan-keterangan yang disampaikan dalam jumpa pers
masih sebatas cerita tanpa (alat) bukti yang kuat. Itu artinya cerita tersebut tidak bernilai dimuka proses
pencarian kebenaran materiil. Tanpa alat bukti yang kuat, tentu saja peran AA sebagai aktor intelektual tidak
dapat dibuktikan. Lebih jauh lagi, AA bisa saja dinyatakan tidak bersalah secara meyakinkan atau tidak
terlibat atas kasus pembunuhan Nasrudin.
Pemberantasan Korupsi
Terlepas dari bersalah dan tidak bersalahnya AA dalam kasus ini, tentu agenda pemberantasan korupsi
jangan sampai terganggu. Tindakan SBY yang telah menandatangani surat penghentian sementara AA
sebagai pimpinan KPK sudah tepat sebagaimana yang diatur dalam UU KPK. Kesepakatan empat komisioner
yang untuk sementara secara bersama-sama menggantikan tugas AA sebagai pimpinan KPK juga harus
diapresiasi sebagai langkah maju yang menegaskan bahwa AA bukanlah personifikasi dari KPK. KPK harus
tetap konsisten membongkar kasus mafia korupsi di negeri ini. Jangan sampai KPK kemudian ada anggapan,
karena AA terlibat kasus ini, KPK kemudian dianggap sama bermasalahnya seperti lembaga penegak hukum
lainnya di mata publik.
Sementara kasus ini terus menggelinding, ada dua catatan penting yang seharusnya mendapat fokus lebih
daripada sekedar mengikuti detail pemeriksaan AA. Pertama. semua pihak, khususnya DPR sebaiknya segera
merampungkan pembentukan Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang sudah hampir mencapai tenggat
waktu. Jangan hanya sibuk mempersoalkan hal-hal yang tidak penting, yakni soal kesepakatan keempat
pimpinan KPK menggantikan posisi AA. Kegagalan pembentukan UU Pengadilan Tipikor oleh DPR, yang
secara otomoatis mengakibatkan rentannya keberadaan KPK, merupakan alarm bencana bagi agenda
pemberantasan Korupsi. Kegagalan ini juga menjelaskan kepada publik, bahwa DPR masih merupakan
sarang korupsi
Catatan penting kedua adalah adanya urgensi untuk segera memperbaiki proses rekrutmen pejabat publik.
Apabila AA nantinya terbukti bersalah, tentu perlu dilakukan seleksi untuk mengisi kekosongan bangku yang
ditinggalkannya. Namun untuk mengisinya, sangat perlu difikirkan agar tidak melibatkan DPR. Melihat
keberadaan DPR yang masih berperan sebagai sarang korupsi, tentulah kualitas seleksi di DPR sangat
mengkhawatirkan.
Bagaimana DPR bisa diharapkan bisa memilih orang yang tepat untuk memberantas korupsi apabila DPR
masih berfungsi sebagai sarang korupsi. Sebagai indikasi kegagalan DPR, ada banyak pejabat publik yang
terlibat kasus pidana seperti Mulyana W. Kusumah, Nazarudin Sjamsudin, Rusadi Kantaprawira, Irawady
Joenoes, Mohammad Iqbal, dan juga tidak menutup kemungkinan Antasari Azhar yang memang pada saat
proses perekrutan yang memakan biaya besar sudah mendapat penolakan keras dari publik, namun
diabaikan begitu saja oleh DPR.

Anda mungkin juga menyukai