perbedaan statistik signifikan diantara usia lebih atau kurang dari 50 tahun dengan stadium
3 (p = 0,001) tanpa perbedaan dengan usia lebih atau kurang dari 50 tahun dengan
mikroalbuminuria/24 jam (p = 0,55) atau mikroalbuminuria mg/hari (p = 0,32). Risiko
komorbiditas yang berhubungan (Diabetes Mellitus dan hipertensi arterial sistemik) dengan
penyakit ginjal, ditemukan pada 55,5% pasien stadium 3 atau lebih dengan komorbiditas
dibandingkan dengan 15% dengan komorbiditas pada stadium yang lebih rendah (p = 0,005).
Namun, komorbiditas yang ada tidak berhubungan dengan mikroalbuminuria (p = 0,08).
Kesimpulan: Penyakit ginjal adalah risiko nyata untuk pasien HIV dan stadium 3 harus
dideteksi dini. Kadar mikroalbuminuria tidak tidak menunjukkan sensibilitas yang lebih besar
daripada proteinuria untuk diagnosis dini, walaupun berkaitan dengan obat antiretroviral.
Faktor risiko mayor untuk kerusakan ginjal terbukti adalah usia lebih tua dari 50 tahun dan
tidak ada efek protektif dari CD4 atau viral load yang tidak terdeteksi.
Kata kunci: HIV, AIDS, Antiretroviral, Penyakit Ginjal, Mikroalbuminuria
1. Pendahuluan
Pandemik AIDS adalah salah satu dari penyebab paling penting dari mortalitas
manusia dan perawatan di rumah sakit, bahkan saat ini, setelah lebih dari 30 tahun
infeksi. Data epidemiologi terakhir membuktikan penyebaran infeksi yang lebih tinggi
pada tahun 1986, dengan 3,5 juta infeksi baru. Tetapi pada tahun 2008, total 2,7 juta
infeksi baru muncul dan jutaan orang meninggal dengan AIDS di seluruh dunia pada
tahun 2009. Selain itu, pada periode ini terbukti bertambah banyaknya jumlah orangorang yang menjalani terapi antiretroviral, yang memungkinkan pengendalian epidemik
dan mortalitas.
Terapi antiretroviral aktual dapat mengendalikan replikasi viral dan secara parsial
mengembalikan sistem imun, menghindari proses penyakit berkembang menjadi gejala
AIDS. Tetapi sembuh total belum bisa dicapai saat ini dengan obat-obat yang tersedia,
secara spesifik dikarenakan lokasi reservoir pada sel laten atau kemungkinan replikasi
virus yang rendah.
Selain perkembangan dalam hal morbiditas dan mortalitas pasien yang terinfeksi
HIV, peningkatan harapan hidup menjadi masalah lain seperti halnya toksisitas obat dini
dan lanjutan. Yang dimaksud dengan toksisitas lanjutan adalah sindrom metabolik,
lipodistrofi, bone mass loss dan penyakit ginjal.
Penyakit ginjal seringkali bermanisfestasi dalam bentuk keluarnya protein melalui
urin atau peningkatan kreatinin terkait dengan komplikasi infeksi HIV. Keluarnya protein
yang tinggi memberikan hasil yang sangat buruk, termasuk tingginya tingkat perawatan
di rumah sakit dan juga mortalitasnya. Tiga studi berbeda mmebuktikan prevalensi yang
tinggi dari mikroaluminuria pada pasien dengan infeksi HIV, jumlahnya sebesar 19%,
30%, dan 34%. Satu dari mereka menunjukkan bahwa individu dengan simtomatik
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjaid mikroalmuniuria. Sejak itu, terapi
antiretroviral telah berkembang tiap tahunnya dan obat-obat baru sering tersedia saat ini,
sehingga kerusakan ginjal harus diawasi lebih sering.
Metodologi
3.1.
Pengaturan dan Desain Penelitian
Populasi dalam analisis terdiri dari pasien dengan HIV/AIDS yang berobat di
Fortaleza General Hospital, Ceara, Brazil. Tempat ini adalah referensi untuk pasien
terinfeksi HIV di Ceara dan mewakili 10% dari semua orang yang terdiagnosis
HIV. Kami menganalisis 336 data, dan 149 pasien memenuhi spesifikasi data.
Sampel sebanyak 43 pasien dianalisis untuk kadar mikroalbuminuria, dalam
periode dari Januari hingga Desember 2013 secara random. Penelitian ini adalah
retrospektif, dengan tinjauan grafik, dan karena itu persetujuan tidak dibutuhkan.
3.2.
Pengumpulan dan Analisis Data
Data sosiodemografik dikumpulan melalui kuesioner tertutup terdiri dari usia,
jenis kelamin, penggunaan obat antiretroviral, adanya infeksi opportunistik,
komorbiditas, hitung sel T CD4+ dan viral load. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan adalah serum kreatinin, serum urea, analisis urin dan mikroalbuminuria
dalam 24 jam. Autoanalisis dan laboratorium klinis digunakan untuk memproses
sampel dengan kalibrasi reguler. Volume urin dikumpulkan dalam 24 jam sebelum
proses pemeriksaan.
Kerusakan ginjal diklasifikasikan melalui pengukuran Creatinine Clearance
(ClCr) menggunakan kalkulasi Crockoft-Gault (Tabel 1).
Penghitungan data statistik dilalukan dengan Social Sciences (SPSS, versi 16)
untuk analisis frekuensi, dilanjutkan dengan uji chi-square dan fisher, dengan nilai
p <0,05 untuk signifikansi.
3. Hasil
3.1.
Fungsi ginjal
Kerusakan ginjal (mikroalbuminuria, proteinuria),
Clcr (ml/menitn/1.73m2)
>90
2
3
4
5
60 89
30 - 59
15 - 29
<15
atau dialisis
Tabel 2. Karakteristik demografik dan immunovirulogik (n = 149)
Mean
Karakteristik
Usia (tahun)
Lama menderita
Laki-laki
(n = 103)
Wanita
(n = 46)
Total
Nilai
40.1 (10.4)
61.15 (63.35)
Mean
38.5
65.77
P
0.24
0.73
37.8 (11.6)
65.16 (37.04)
572.72 (260.03)
597.84 (300)
600.37
0.62
HIV (dalam
bulan)
Sel T CD4+
(sel/mm3)
Viral load
324.35 (15307.5)
627.24 (28913.4)
(salinan/ml)
dibawah 40 salinan51
Dibawah 40 salinan20
(71.8%)
(28.2%)
530.59
0.05
Total
Nilai
P
0.19
Laki-laki
(n = 103)
Wanita
(n = 46)
0.76 (0.2)
1.07 (1.6)
Mean
0.97
104.66 (43.88)
(1.3)
110.2
0.30
25.27 (13.92)
(44.6)
27.76
0.05
1.07 (1.6)
(10.3)
0.97
0.19
112.79 (44.92)
28.86 (8.05)
0.76 (0.2)
(1.3)
3.2.
Selain
itu,
adanya
penyakit
komorbid
tidak
berhubungan
dengan
mikroalbuminuria (p=0,08).
Bila dibandingkan dengan waktu hidup penderita HIV, diagnosis sebelum dan
sesudah 5 tahun tidak signifikan berisiko pada mikroalbuminuria (p=0,51). Ketika
obat-obatan evaluator digunakan pada terapi antiretroviral, Tenofovir (TDF)
berhubungan dengan Derajat 1 (84,3%) dan Derajat 2 (27,2%), (p=0,4), inhibitor
protease
Hubungan PI/TDF ditunjukkan pada 58.3% pasien Derajat 1 dan 37.5% pasien
derajat 2 (p = 0.79). tidak ada hubungannya antara mikroalbuminuria per 24 jam
dengan penggunaan TDF (p = 0.4), PI (p = 1), PI/TDF (p = 0.69), Atazanavir (p =
0.4) atauLopinavir/r (p = 1). Karena itu, obat-obatan baru sepertinya tidak
mengubah penemuan laboratoris ini (Tabel 7).
Grafik 1. Hitung sel CD4 berhubungan dengan derajat klasifikasi gagal ginjal
Tabel 5. Klasifikasi penyakit ginjal pada sampel pasien HIV dan penyakit komorbid
Tabel 6. Analisa mikroalbuminuria yang berhubungan dengan faktor risiko pada pasien
HIV/AIDS
4. Diskusi
Pada populasi umum, sindroma metabolik dikaitkan dengan tinggiya kehilangan
albumin urin, dan sindroma ini akhir-akhir ini ditemukan meningkat pada pasien
terinfeksi HIV. HADIGA et al. (2013) menemukan adanya mikroalbuminuria pada
26,9% pasien dengan sindroma metabolik, yang selanjutnya dapat menyebabkan
kerusakan ginjal pada pasien HIV. Dan hanya satu sampel negatif untuk
mikroalbuminuria yang mempunyai nilai prediksi negatif 98% sedangkan sampel positif
memiliki nilai prediksi positif 74%.
Szczech et al. (2007) menemukan infeksi HIV sebagai faktor risiko independen
untuk terjadinya mikroalbuminuria, dan ini dapat menjadi tanda adanya disfungasi
endotel dan penyakit mikrovaskular dan bukan sebuah perkembangan infeksi HIV, yang
dapat memprediksi risiko penyakit vaskular di masa yang akan datang. Beberapa faktor
dapat menyebabkan penyakit ginjal akut yakni nefropati karena HIV, Diabetes Mellitus,
Hipertensi Arteri Sistemik dan disfungsi endotel. Penelitian ini juga menghubungkan
antara obat-obatan NNRTI dan mikroalbuminuria namun tidak sekuat parameter HOMA
(resistensi insulin, Diabetes Mellitus) dan hitung sel CD4. Pada penelitian terkini kami
juga menemukan hubungan antara kerusakan ginjal dengan adanya penyakit komorbid
(Diabetes Mellitus da Hipertensi Arteri Sitemik), namun tidak berhubungan dengan
mikroalbuminuria yang berubah.
Penelitian terkini tidak menemukan adanya hubungan antara mikroalbuminuria dan
keterlibatan obat, bahkan obat nefrotoksik seperti tenofovir. BAEKKEN et al. (2008)
menemukan hasil yang sama, namun menunjukkan prevalensi mikroalbuminuria yang
lebih tinggi pada pasien terinfeksi HIV(8,7%, tiga sampai lima kali lipat dibanding
populasi umum). Waktu hidup dengan infeksi HIV, serum beta 2 mikroglobulin dan
tekanan darah sistolik merupakan faktor risiko independen untuk mikroalbuminuria,
yang dapat menunjukkan bahwa kerusakan ginjal kemungkinan dapat ditemukan pada
komponen infeksi HIV dan disfungsi endotel.
WYATT et al. (2010) menghubungkan antara mikroalbuminuria dan risiko
mortalitas pada pasien HIV, juga pada perkembangan penyakit HIV yang lebih lanjut.
Hal ini dapat menunjukkan bahwa mungkin adanya mikroalbuminuria dapat menjadi tes
yang non invasif untuk mengetahui risiko mortalitas.
Penelitian
lain
menemukan
kemungkinan
progresi
yang
cepat
dari
mikroalbuminuria ke hilangnya protein urin pada pasien terinfeksi HIB, dan terapi
antriretroviral merupakan faktor remisi terhadap hilangnya protein. Fakta ini lebih
berdampak pada wanita yang mengkonsumsi antiretroviral. Hal ini sangat diperhatikan
pada penelitian kami, karena tingginya angka populasi wanita tidak sepenuhnya ditekan
dengan obat-obatan antiretroviral, namun kami tidak dapat menemukan hubungan
dengan tingginya risiko mikroalbuminuria ataupun kerusakan ginjal.
5. Kesimpulan
Penelitian terkini tidak menemukan adanya derajat penyakit ginjal yang lebih
tinggi pada populasi pengobatan HIV kronis. Disamping mikroalbuminuria yang
ditemukan berhubungan dengan artikel yang ditelaah, tidak ditemukan hubungan antara
mikroalbuminuria dengan kerusakan ginjal. Kami menemukan hubungan kuat antara
adanya penyakit komorbid dan usia di atas 50 tahun dengan kerusakan fungsi ginjal yang
signifikan. Penting untuk tetap mengevaluasi hubungan ini dengan mikroalbuminuria
dari lebih banyak hasil laboratorium pasien dan membandingkankannya dengan penanda
inflamasi yang lebih spesifik untuk kerusakan endotel.
Penyakit ginjal adalah masalah yang benar-benar serius pada pasien HIV dan
deteksi kerusakan awal serta teknik monitoring pencegahan dibutuhkan untuk
menghindari komplikasi ini. Hal yang juga penting adalah dengan tingginya penggunaan
obat-obatan nefrotoksik. Kami menyarankan dosis reguler dari penanda serum dan
penghitungan creatinine clearance pada follow-up klinis, selain penggunaan analisa urin.
Pada individu dengan risiko yang lebih tinggi, kadar mikroalbuminuria dapat menjadi
alat yang berguna untuk mendeteksi adanya kehilangan protein sebelum terjadinya tandatanda kerusakan ginjal.