Anda di halaman 1dari 10

RISIKO MIKROALBUMINURIA DAN PENYAKIT GINJAL PADA PASIEN HIV

DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL KOMBINASI


Abstrak
Tujuan: Penelitian ini mengevaluasi faktor risiko penyakit ginjal pada pasien HIV yang sudah
lama diobati dan dikorelasikan pengukuran mikroalbuminuria.
Metode: Tinjauan dari grafik dan analisis mikroalbuminuria pada subgrup pasien HIV yang
diobati di Ceara/Brazil.
Hasil: 149 pasien, 69,1% laki-laki, rata-rata usia 38,5 tahun, rata-rata infeksi 86,8 bulan.
Rata-rata Klirens Kreatinin 110,2%, Kreatinin 0,97, Urea 22,76 mg/dl, CD4+ 600,37 sel/mm 3
dan viral load yang terdeteksi 530,59 salinan dengan 61,7% tidak terdeteksi. Rata-rata kadar
mikroalbuminuria/24 jam adalah 147, 46 820, 45 (N = 48) dan mikroalbuminuria (mg/dl)
32.05 85.25 (N = 43). Analisis dengan Klasifikasi Penyakit Ginjal menunjukkan 6,4%
pasien pada stadium 3 dan 6,2% pasien mengalami perubahan mikroalbuminuria/24 jam.
Pasien yang menggunakan Tenofovir (TDF) 27,27% berada dalam stadium 2 dan yang
menggunakan protease inhibitor (PI) sebanyak 4,1% berada dalam stadium 3. Proteinuria
ditemukan pada 5% pasien pada stadium 3. Asosiasi PI/TDF terdapat dalam 4,1% pasien
stadium 3. Tidak ada perbedaan statistik diantara CD4 > atau < 350 sel/mm 3 dan
mikroalbuminuria/24 jam > 300 mg (p = 0.69); viral load yang terdeteksi/tidak terdeteksi dan
mikroalbuminuria/24 jam (p = 0.63) atau stadium 3 (p = 0.17); hubungan dengan diabetes
atau hipertensi arterial dan mikroalbuminuria 24 jam (p = 0,5 dan p = 0,21); hubungan
stadium 3 dan mikroalbuminuria/24 jam (p = 0,33); hubungan diagnosis HIV < / > 60 bulan
dan stadium 3 (p = 0,51); atau mikroalbuminuria/24 jam dan TDF (p = 0.4), PI (p = 1),
TDF/PI (p

= 0.69), regimen Atazanavir (p = 0.4) atau Lopinavir/r (p = 1). Terdapat

perbedaan statistik signifikan diantara usia lebih atau kurang dari 50 tahun dengan stadium
3 (p = 0,001) tanpa perbedaan dengan usia lebih atau kurang dari 50 tahun dengan
mikroalbuminuria/24 jam (p = 0,55) atau mikroalbuminuria mg/hari (p = 0,32). Risiko
komorbiditas yang berhubungan (Diabetes Mellitus dan hipertensi arterial sistemik) dengan
penyakit ginjal, ditemukan pada 55,5% pasien stadium 3 atau lebih dengan komorbiditas
dibandingkan dengan 15% dengan komorbiditas pada stadium yang lebih rendah (p = 0,005).
Namun, komorbiditas yang ada tidak berhubungan dengan mikroalbuminuria (p = 0,08).

Kesimpulan: Penyakit ginjal adalah risiko nyata untuk pasien HIV dan stadium 3 harus
dideteksi dini. Kadar mikroalbuminuria tidak tidak menunjukkan sensibilitas yang lebih besar
daripada proteinuria untuk diagnosis dini, walaupun berkaitan dengan obat antiretroviral.
Faktor risiko mayor untuk kerusakan ginjal terbukti adalah usia lebih tua dari 50 tahun dan
tidak ada efek protektif dari CD4 atau viral load yang tidak terdeteksi.
Kata kunci: HIV, AIDS, Antiretroviral, Penyakit Ginjal, Mikroalbuminuria
1. Pendahuluan
Pandemik AIDS adalah salah satu dari penyebab paling penting dari mortalitas
manusia dan perawatan di rumah sakit, bahkan saat ini, setelah lebih dari 30 tahun
infeksi. Data epidemiologi terakhir membuktikan penyebaran infeksi yang lebih tinggi
pada tahun 1986, dengan 3,5 juta infeksi baru. Tetapi pada tahun 2008, total 2,7 juta
infeksi baru muncul dan jutaan orang meninggal dengan AIDS di seluruh dunia pada
tahun 2009. Selain itu, pada periode ini terbukti bertambah banyaknya jumlah orangorang yang menjalani terapi antiretroviral, yang memungkinkan pengendalian epidemik
dan mortalitas.
Terapi antiretroviral aktual dapat mengendalikan replikasi viral dan secara parsial
mengembalikan sistem imun, menghindari proses penyakit berkembang menjadi gejala
AIDS. Tetapi sembuh total belum bisa dicapai saat ini dengan obat-obat yang tersedia,
secara spesifik dikarenakan lokasi reservoir pada sel laten atau kemungkinan replikasi
virus yang rendah.
Selain perkembangan dalam hal morbiditas dan mortalitas pasien yang terinfeksi
HIV, peningkatan harapan hidup menjadi masalah lain seperti halnya toksisitas obat dini
dan lanjutan. Yang dimaksud dengan toksisitas lanjutan adalah sindrom metabolik,
lipodistrofi, bone mass loss dan penyakit ginjal.
Penyakit ginjal seringkali bermanisfestasi dalam bentuk keluarnya protein melalui
urin atau peningkatan kreatinin terkait dengan komplikasi infeksi HIV. Keluarnya protein
yang tinggi memberikan hasil yang sangat buruk, termasuk tingginya tingkat perawatan
di rumah sakit dan juga mortalitasnya. Tiga studi berbeda mmebuktikan prevalensi yang
tinggi dari mikroaluminuria pada pasien dengan infeksi HIV, jumlahnya sebesar 19%,
30%, dan 34%. Satu dari mereka menunjukkan bahwa individu dengan simtomatik
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjaid mikroalmuniuria. Sejak itu, terapi
antiretroviral telah berkembang tiap tahunnya dan obat-obat baru sering tersedia saat ini,
sehingga kerusakan ginjal harus diawasi lebih sering.

Peningkatan ekskresi albumin pada urine, meski pada level mikroalbuminuria,


adalah risiko independen untuk penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal kronik, dengan
mortalitas lebih tinggi pada populasi umun dan individu dengan HIV. Munculnya
penyakit ginjal pada orang-orang dengan HIV dapat juga sebagai konsekuensi dari
toksisitas obat, infeksi opportunistik, dan komorbiditas seperti hipertensi arterial
sistemik, diabetes mellitus dan Hepatitis C. Tenofovir sebagai terapi antiretroviral lini
pertama baru-baru ini direkomendasikan oleh WHO, sehingga risiko untuk penyakit
ginjal dapat meningkat beberapa tahun kedepan. Terdaapt bukti bahwa mikroalbuminuria
dapat mewakili marker dini dari risiko penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal kronik
pada infeksi HIV. Penelitian dalam era pasca HAART membuktikan prevalensi antara
8,7% sampai 11% pada pasien yang terinfeksi HIV. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi kerusakan ginjal dan gagal ginjal pada pasien HIV kronis yang
diobati dan korelasi dengan mikroalbuminuria sebagai marker, dengan menganggap
faktor risiko adalah obat antiretroviral dan komorbiditas.
2.

Metodologi
3.1.
Pengaturan dan Desain Penelitian
Populasi dalam analisis terdiri dari pasien dengan HIV/AIDS yang berobat di
Fortaleza General Hospital, Ceara, Brazil. Tempat ini adalah referensi untuk pasien
terinfeksi HIV di Ceara dan mewakili 10% dari semua orang yang terdiagnosis
HIV. Kami menganalisis 336 data, dan 149 pasien memenuhi spesifikasi data.
Sampel sebanyak 43 pasien dianalisis untuk kadar mikroalbuminuria, dalam
periode dari Januari hingga Desember 2013 secara random. Penelitian ini adalah
retrospektif, dengan tinjauan grafik, dan karena itu persetujuan tidak dibutuhkan.
3.2.
Pengumpulan dan Analisis Data
Data sosiodemografik dikumpulan melalui kuesioner tertutup terdiri dari usia,
jenis kelamin, penggunaan obat antiretroviral, adanya infeksi opportunistik,
komorbiditas, hitung sel T CD4+ dan viral load. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan adalah serum kreatinin, serum urea, analisis urin dan mikroalbuminuria
dalam 24 jam. Autoanalisis dan laboratorium klinis digunakan untuk memproses
sampel dengan kalibrasi reguler. Volume urin dikumpulkan dalam 24 jam sebelum
proses pemeriksaan.
Kerusakan ginjal diklasifikasikan melalui pengukuran Creatinine Clearance
(ClCr) menggunakan kalkulasi Crockoft-Gault (Tabel 1).

Penghitungan data statistik dilalukan dengan Social Sciences (SPSS, versi 16)
untuk analisis frekuensi, dilanjutkan dengan uji chi-square dan fisher, dengan nilai
p <0,05 untuk signifikansi.
3. Hasil
3.1.

Karakteristik Demografik dari Populasi


Sebanyak 149 pasien dievaluasi. Distribusi jenis kelamin adalah 109 (69,1%)
laki-laki dan 46 (39,9%) wanita. Rata-rata usia adalah 38,5 tahun, pada laki-laki
37,8 (11.6) tahun dan wanita 40.1 (10.4) tahun. Rata-rata waktu infeksi adalah
65,77 bulan, laki-laki 65.16 (37.04) bulan dan wanita 61.15 (63.35) bulan. Ratarata sel T CD4+ adalah 600,37 sel/mm 3 dan viral load 530,59 salinan/ml, dengan
61,7% viral load dalam 40 salinan. Tidak ada perbedaan statistik diantara
kelompok-kelompok tersebut (Tabel 2).
Evaluasi fungsi ginjal menunjukkan rata-rata kreatinin adalah 0.97 1.34
dengan klirens kreatinin sebesar 110.2 44.6 dan urea 27.76 10.3, tanpa
perbedaan statistik diantara kelompok (Tabel 3).

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal


Stadium
1

Fungsi ginjal
Kerusakan ginjal (mikroalbuminuria, proteinuria),

Clcr (ml/menitn/1.73m2)
>90

2
3
4
5

fungsi dipertahankan, dengan faktor risiko


Kerusakan ginjal dengan insufisiensi renal rendah
Kerusakan ginjal dengan insufisiensi renal moderat
Kerusakan ginjal dengan insufisiensi renal berat
Kerusakan ginjal dengan insufisiensi renal terminal

60 89
30 - 59
15 - 29
<15

atau dialisis
Tabel 2. Karakteristik demografik dan immunovirulogik (n = 149)
Mean
Karakteristik
Usia (tahun)
Lama menderita

Laki-laki
(n = 103)

Wanita
(n = 46)

Total

Nilai

40.1 (10.4)
61.15 (63.35)

Mean
38.5
65.77

P
0.24
0.73

37.8 (11.6)
65.16 (37.04)

572.72 (260.03)

597.84 (300)

600.37

0.62

HIV (dalam
bulan)
Sel T CD4+
(sel/mm3)

Viral load

324.35 (15307.5)

627.24 (28913.4)

(salinan/ml)

dibawah 40 salinan51

Dibawah 40 salinan20

(71.8%)

(28.2%)

530.59

0.05

Total

Nilai
P
0.19

Tabel 3. Analisis laboratoru serum dari pasien HIV/AIDS (n = 149)


Mean Karakteristik
Serum Creatinine mg/dL
Creatinine Clearence
ml/menit/1,73m2
Serum Urea
Serum Creatinine mg/dL

Laki-laki
(n = 103)

Wanita
(n = 46)

0.76 (0.2)

1.07 (1.6)

Mean
0.97

104.66 (43.88)

(1.3)
110.2

0.30

25.27 (13.92)

(44.6)
27.76

0.05

1.07 (1.6)

(10.3)
0.97

0.19

112.79 (44.92)
28.86 (8.05)
0.76 (0.2)

(1.3)

3.2.

Evaluasi Mikroalbuminuria dan Disfungsi Ginjal


Analisis mikroalbuminuria menunjukkan rata-rata mikroalbuminuria (mg/ml)
32,05 85,25 dan mikroalbuminuria per 24 jam 147,46 820,45.
Mikroalbuminuriayang berubah per 24 jam, yakni yang didefinisikan lebih dari
300, terdeteksi pada 8% (n=12) dari total pasien. Bila dibandingkan antara grup
yang normal dengan mikroalbuminuriaperubahan per 24 jam, tidak ada perbedaan
secara statistik untuk usia, jenis kelamin, faktor komorbid, Viral Load, dan jumlah
CD4+ sel T (Tabel 6), (Grafik 1 dan Grafik 2).
Sebanyak 6,4% (n=140) terdeteksi sama atau lebih besar dari Derajat 3 dan
6,2% pasien memiliki mikroalbuminuria yang berubah per 24 jam. Namun, tidak
ada hubungan yang signifikan secara statistik antara mikroalbuminuria per 24 jam
dan Derajat 3 atau di atasnya (p=0,33). Mikroalbuminuria evaluasi mg/dl terdeteksi
pada 11,6% namun tanpa adanya hubungan dengan derajat 3 atau di atasnya
(p=0,31). Analisa urin ditunjukkan pada Tabel 4.
Viral Load evaluasi berhubungan dengan Derajat 3 atau di atasnya, tidak ada
perbedaan antara viral load yang terdeteksi atau tidak (p=0,17), dan adanya
mikroalbuminuria per 24 jam (p=0,6), (Tabel 5).

Pada analisa mikroalbuminuria, rata-rata usia adalah 44,8 (12,13) tahun.


Secara statistik memiliki hubungan signifikan antara berusia di atas 50 tahun
dengan Derajat 3 (p=0,001), namun hanya 5,7% pasien di bawah 50 tahun dan 10%
pasien di atas 50 tahun yang memiliki mikroalbuminuria per 24 jam (p=0,55).
Risiko penyakit komorbid yang terkait (Diabetes Mellitus dan Hipertensi Arteri
Sistemik) kepada Penyakit Ginjal ditemukan pada 55,5% pasien pada Derajat 3
atau di atasnya dengan perbandingan kejadian penyakit komorbid dengan kejadian
penyakit komorbid pada derajat yang lebih rendah sebanyak 15% (p=0,005) (Tabel
6).

Selain

itu,

adanya

penyakit

komorbid

tidak

berhubungan

dengan

mikroalbuminuria (p=0,08).
Bila dibandingkan dengan waktu hidup penderita HIV, diagnosis sebelum dan
sesudah 5 tahun tidak signifikan berisiko pada mikroalbuminuria (p=0,51). Ketika
obat-obatan evaluator digunakan pada terapi antiretroviral, Tenofovir (TDF)
berhubungan dengan Derajat 1 (84,3%) dan Derajat 2 (27,2%), (p=0,4), inhibitor
protease

(PI) denan Derajat 1 (69.7%) dan Derajat 2 (23.2%), (p =0.45).

Hubungan PI/TDF ditunjukkan pada 58.3% pasien Derajat 1 dan 37.5% pasien
derajat 2 (p = 0.79). tidak ada hubungannya antara mikroalbuminuria per 24 jam
dengan penggunaan TDF (p = 0.4), PI (p = 1), PI/TDF (p = 0.69), Atazanavir (p =
0.4) atauLopinavir/r (p = 1). Karena itu, obat-obatan baru sepertinya tidak
mengubah penemuan laboratoris ini (Tabel 7).

Grafik 1. Hitung sel CD4 berhubungan dengan derajat klasifikasi gagal ginjal

Grafik 2. Hubungan viral load dengan derajat klasifikasi gagal ginjal


Tabel 4. Perubahan analisa urin pada pasien HIV dengan menggunakan microalbuminuria
assay

Tabel 5. Klasifikasi penyakit ginjal pada sampel pasien HIV dan penyakit komorbid

Tabel 6. Analisa mikroalbuminuria yang berhubungan dengan faktor risiko pada pasien
HIV/AIDS

Tabel 7. Perbandingan Obat-obatan antriretroviral dan klasifikasi derajat penyakit ginjal

4. Diskusi
Pada populasi umum, sindroma metabolik dikaitkan dengan tinggiya kehilangan
albumin urin, dan sindroma ini akhir-akhir ini ditemukan meningkat pada pasien
terinfeksi HIV. HADIGA et al. (2013) menemukan adanya mikroalbuminuria pada
26,9% pasien dengan sindroma metabolik, yang selanjutnya dapat menyebabkan
kerusakan ginjal pada pasien HIV. Dan hanya satu sampel negatif untuk
mikroalbuminuria yang mempunyai nilai prediksi negatif 98% sedangkan sampel positif
memiliki nilai prediksi positif 74%.
Szczech et al. (2007) menemukan infeksi HIV sebagai faktor risiko independen
untuk terjadinya mikroalbuminuria, dan ini dapat menjadi tanda adanya disfungasi
endotel dan penyakit mikrovaskular dan bukan sebuah perkembangan infeksi HIV, yang
dapat memprediksi risiko penyakit vaskular di masa yang akan datang. Beberapa faktor
dapat menyebabkan penyakit ginjal akut yakni nefropati karena HIV, Diabetes Mellitus,
Hipertensi Arteri Sistemik dan disfungsi endotel. Penelitian ini juga menghubungkan
antara obat-obatan NNRTI dan mikroalbuminuria namun tidak sekuat parameter HOMA
(resistensi insulin, Diabetes Mellitus) dan hitung sel CD4. Pada penelitian terkini kami

juga menemukan hubungan antara kerusakan ginjal dengan adanya penyakit komorbid
(Diabetes Mellitus da Hipertensi Arteri Sitemik), namun tidak berhubungan dengan
mikroalbuminuria yang berubah.
Penelitian terkini tidak menemukan adanya hubungan antara mikroalbuminuria dan
keterlibatan obat, bahkan obat nefrotoksik seperti tenofovir. BAEKKEN et al. (2008)
menemukan hasil yang sama, namun menunjukkan prevalensi mikroalbuminuria yang
lebih tinggi pada pasien terinfeksi HIV(8,7%, tiga sampai lima kali lipat dibanding
populasi umum). Waktu hidup dengan infeksi HIV, serum beta 2 mikroglobulin dan
tekanan darah sistolik merupakan faktor risiko independen untuk mikroalbuminuria,
yang dapat menunjukkan bahwa kerusakan ginjal kemungkinan dapat ditemukan pada
komponen infeksi HIV dan disfungsi endotel.
WYATT et al. (2010) menghubungkan antara mikroalbuminuria dan risiko
mortalitas pada pasien HIV, juga pada perkembangan penyakit HIV yang lebih lanjut.
Hal ini dapat menunjukkan bahwa mungkin adanya mikroalbuminuria dapat menjadi tes
yang non invasif untuk mengetahui risiko mortalitas.
Penelitian

lain

menemukan

kemungkinan

progresi

yang

cepat

dari

mikroalbuminuria ke hilangnya protein urin pada pasien terinfeksi HIB, dan terapi
antriretroviral merupakan faktor remisi terhadap hilangnya protein. Fakta ini lebih
berdampak pada wanita yang mengkonsumsi antiretroviral. Hal ini sangat diperhatikan
pada penelitian kami, karena tingginya angka populasi wanita tidak sepenuhnya ditekan
dengan obat-obatan antiretroviral, namun kami tidak dapat menemukan hubungan
dengan tingginya risiko mikroalbuminuria ataupun kerusakan ginjal.
5. Kesimpulan
Penelitian terkini tidak menemukan adanya derajat penyakit ginjal yang lebih
tinggi pada populasi pengobatan HIV kronis. Disamping mikroalbuminuria yang
ditemukan berhubungan dengan artikel yang ditelaah, tidak ditemukan hubungan antara
mikroalbuminuria dengan kerusakan ginjal. Kami menemukan hubungan kuat antara
adanya penyakit komorbid dan usia di atas 50 tahun dengan kerusakan fungsi ginjal yang
signifikan. Penting untuk tetap mengevaluasi hubungan ini dengan mikroalbuminuria
dari lebih banyak hasil laboratorium pasien dan membandingkankannya dengan penanda
inflamasi yang lebih spesifik untuk kerusakan endotel.
Penyakit ginjal adalah masalah yang benar-benar serius pada pasien HIV dan
deteksi kerusakan awal serta teknik monitoring pencegahan dibutuhkan untuk

menghindari komplikasi ini. Hal yang juga penting adalah dengan tingginya penggunaan
obat-obatan nefrotoksik. Kami menyarankan dosis reguler dari penanda serum dan
penghitungan creatinine clearance pada follow-up klinis, selain penggunaan analisa urin.
Pada individu dengan risiko yang lebih tinggi, kadar mikroalbuminuria dapat menjadi
alat yang berguna untuk mendeteksi adanya kehilangan protein sebelum terjadinya tandatanda kerusakan ginjal.

Anda mungkin juga menyukai