Anda di halaman 1dari 11

Latar Belakang

Belakangan ini topik perpajakan banyak disoroti oleh berbagai pihak dalam berbagai
perspektif. Direktorat Jendral Pajak sebagai sebuah organisasi yang dinamis, yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi mengamankan penerimaan negara dalam APBN telah
mendayagunakan sorotan tersebut sebagai sumber kekuatan dalam mengelola pajak.
Artinya, di tengah tuntutan perubahan, serta harmonisasi dengan berbagai kebijakan
di berbagai sektor dalam mendukung pembangunan nasional, walaupun tidak mudah, telah
dilakukan berbagai perubahan ke arah pembaharuan dan modernisasi. Ini sejalan dengan misi
kelembagaannya, yaitu senantiasa memperbaharui diri, selaras dengan aspirasi masyarakat
dan teknokrasi perpajakan serta administrasi perpajakan yang mutakhir.
Banyaknya tuntutan perubahan serta harmonisasi dengan berbagai kebijakan di
berbagai sektor dalam mendukung pembangunan nasional telah dilakukan berbagai
perubahan ke arah pembaharuan dan modernisasi.
Tanggal 27 Desember 2006 merupakan tonggak sejarah bagi perjalanan perpajakan
Indonesia. Saat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meresmikan modernisasi
administrasi perpajakan secara menyeluruh karena menyangkut subjek modernisasi.
Sebelumnya, yang dilakukan modernisasi adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor
Wilayah (Kanwil). Secara manajemen, ini untuk melihat apakah proses modernisasi bisa
berjalan atau tidak, karena dalam hal ini dibutuhkan sarana dan prasarana, teknologi, tenaga
dan biaya yang tidak sedikit, dengan dukungan sumber daya manusia yang handal.
Sejak 2002, dibentuk KPP Wajib Pajak Besar (Large Taxpayers Office, LTO) dan
kanwilnya. Ini sebagai pilot proyek implementasi modernisasi administrasi perpajakan.
Setelah berjalan baik, pada 2004 dibentuk KPP Madya (Medium Taxpayers Office, MTO) dan
kanwilnya, yang dilanjutkan dengan KPP Pratama (Small Taxpayers Office, STO) pada 2005.
Melihat kantor operasional (KPP dan Kanwil) yang modern telah memenuhi tuntutan
pelayanan yang baik dalam kerangka good governance dan pelayanan prima, maka kantor
pusat juga dimodernisasi. Paradigma organisasi seluruhnya diubah menjadi berdasarkan
fungsi yakni pelayanan, pemeriksaan, penagihan, penyidikan, dan lainnya. Sehingga tidak
ada lagi direktorat atau bidang atau seksi yang khusus menangani jenis pajak PPh, PPN,
maupun PBB.
Beberapa hal yang menyangkut permasalahan pajak tersebut juga sudah mulai
dikritisi oleh masyarakat. Saat ini, masyarakat mulai ikut serta dalam menentukan pengenaan
pajak yang berlaku terhadap semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Dalam arti, di
hadapan pajak sama dengan hukum semua masyarakat (termasuk penguasa dan pejabat)

adalah sama dan tidak boleh ada diskriminasi, apalagi dibebaskan pajaknya. Jika ada objek
yang dikenakan pajak, haruslah membayar pajak, siapa pun dia. Masyarakat menganggap ada
haknya di sana.
Masyarakat sudah makin kritis terhadap permasalahan pajak. Masyarakat telah mau,
dan mulai ikut serta dalam menentukan pengenaan pajak yang berlaku terhadap semua
lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Dalam arti, di hadapan pajak sama dengan hukum
semua masyarakat (termasuk penguasa dan pejabat) adalah sama. Tidak boleh ada
diskriminasi, apalagi dibebaskan pajaknya. Jika ada objek yang dikenakan pajak, haruslah
membayar pajak, siapa pun dia. Masyarakat menganggap ada haknya di sana.
Keikutsertaan masyarakat secara langsung, sepanjang masih dalam jalur penegakan
prinsip perpajakan, memang sangat diperlukan. Ini sebagai dukungan yang konstruktif dalam
menunjang keberhasilan penarikan pajak karena mayoritas masyarakatlah yang dikenakan
pajak, dan sekaligus sebagai pembayar pajak. Sehingga wajar, bila ada subjek pajak yang
tidak membayar, masyarakat tidak bisa menerima.
Perpajakan di Indonesia
Di negara kita, keikutsertaan masyarakat dalam perpajakan sangat jelas, bahkan
secara yuridis telah diatur sejak awal berdirinya Republik Indonesia, yakni dalam konstitusi
negara. Saat itu, dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 telah dinyatakan dengan tegas oleh
founding father, segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Dari aspek
legislasi, berdasarkan undang-undang diartikan rakyat (melalui wakilnya di DPR) telah turut
serta menentukan pengenaan, pemungutan, dan penarikan pajak dari subjek pajak.
Namun banyaknya masalah korupsi, mafia peradilan dan pajak, konflik antar
golongan, keterlantaran rakyat, pertarungan politik antar partai membuat rakyat Indonesia
kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah yang berdampak langsung terhadap
pemerintahan dan masalah-masalah lainnya. Salah satunya penyebab ketidakpercayaan rakyat
dikarenakan kesejahteraan rakyat yang semakin jauh dari kata memuaskan. Bahkan seringkali
terjadi kebijakan yang tidak sesuai dengan harapan rakyat karena tidak jelas arahnya dan
berbanding terbalik antara peraturan tertulis dengan implementasinya. Kasus mark up
dibidang perpajakan, tender, dan desentralisasi anggaran semakin merajalela. Salah satu
kelakuan pemerintah atau oknum pemerintah yang disoroti adalah Dirjen Pajak. Setelah
terungkapnya kasus mafia pajak yang dilakukan Gayus Tambunan, semakin banyak terkuak
keburukan pegawai perpajakan dan juga sistem perpajakan di Indonesia.

Kepala Bagian Pemberhentian dan Pemensiunan Direktorat Jenderal Pajak Arif


Mahmudin mengungkapkan berdasarkan data per 29 Oktober 2010, bahwa total pegawai
pajak yang terkena hukuman berat adalah 32 orang, 19 di antaranya, diberhentikan tidak
dengan hormat dan 13 lainnya kena skorsing. Barbagai penyebab sanksi antara lain: tidak
menyelesaikan tugas, menerima uang dari WP untuk dibayarkan tapi terlambat disetorkan,
ada yang melakukan pemalsuan, mengubah data, merekayasa NJOP, rekayasa SSP (Surat
Setoran Pajak). Hal ini menunjukkan keburukan perpajakan Indonesia tidak hanya buruk di
regulasinya saja tetapi juga oknum perpajakannya sendiri. Hal inilah yang memicu perlu
adanya transformasi internal dan eksternal Pada Dirjen Pajak secara menyeluruh, mulai dari
pusat sampai daerah.
Tanggung Jawab Akuntan Pajak
Akuntan pajak mempunyai beberapa tanggung jawab kepada publik, melalui
pemerintah. Tanggung jawab akuntan pajak adalah bukan untuk suatu kepalsuan dalam suatu
kewajiban pajak. Suatu kewajiban pajak adalah suatu pernyataan atau deklarasi atas sanksi
dari kecurangan yang berkaitan dengan perpajakan, serta informasi dari hasil penyajian
laporan keuangan adalah benar, dan lengkap. Dalam Laporan keuangan AICPA itu dari
Responsibility Tax Preparers (SRTP) dalam kewajiban Pajak Memposisikan 5.05 dan 5.06:
5.05 Self assessment system perpajakan dapat berfungsi secara efektif jika wajib pajak
melaporkan hasil mereka pada suatu kewajiban pajak secara benar, mengoreksi, dan
melengkapi. Suatu kewajiban pajak adalah suatu laporan wajib pajak fakta-fakta, dan wajib
pajak mempunyai tanggung jawab akhir untuk posisi-posisi menerima imbal hasil.
5.06 CPAS menetapkan bentuk cukai atas sistem perpajakan seperti juga kepada klien-klien
mereka. Kedudukan kuat bahwa wajib pajak tidak memiliki kewajiban untuk membayar lebih
banyak pajak dibanding dengan menurut hukum berhutang, dan CPA mempunyai suatu cukai
kepada klien itu untuk membantu dalam mencapai target.
IRS mengemukakan bahwa tanggung jawab utama praktisi pajak adalah sistem pajak.
Komisi IRS, Roscoe Egger dalam Armstrong (1993 : 85) menyatakan bahwa:
suatu sistem pajak yang baik dan kuat tidak hanya terdiri dari entitas administrasi pajak
saja, dalam kasus ini IRS. Hal tersebut juga harus terdiri dari Konggres, Administrasi dan
komunitas praktisi. Bukan sebagai bagian yang terpisah pada masyarakat yang luas, tetapi
lebih bekerja sama ke arah tujuan umum.
Direktur praktik IRS, Leslie Shapiro dalam Armstrong (1993:85) lebih menegaskan
bahwa:
Ketika secara umum menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai kewajiban atas
kemampuan, loyalitas dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga tanggung jawab praktisi
atas sistem pajak yang baik. Tanggung jawab terakhir adalah pentingnya pervasive

(peresapan)Dalam hubungan antara praktisi dan klien yang normal, kedua tanggung
jawab dikenali dan dilaksanakan. Namun, situasi ini adalah sulit. Dalam beberapa situasi
praktisi diperlukan untuk memutuskan kewajiban yang berlaku dan dalam pelaksanaannya
dapat disimpulkan bahwa kewajiban atas sistem pajak yang tertinggiIRS bersandar pada
praktisi pajak untuk membantu dalam mengatur hukum pajak dengan jujur dan adil dalam
pelayanan dan pengembangan kepercayaan klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap
sistem pajak.
Menurut William L. Raby dalam Armstrong (1993 : 85) system pajak yang
mendukung IRS akan menimbulkan perdebatan pajak. Oleh karena itu,praktisi lebih baik
melayani publik dengan mengadopsi suatu sikap. Argumennya adalah:
Aturan etika yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah
praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat keputusan final. Praktisi tidak berhak
mengganti skala nilai kliennya.
Disamping itu praktisi herus bertanggung jawab tidak menyediakan informasi yang
salah untuk pemerintah.
Etika Standar Pelayanan Pajak
Statements on Standards for Tax Services merupakan pertimbangan etika umum yang
mendasari standar yang dibuat oleh Tax Executive Committee of the AICPA yang
interpretasinya menggantikan SRTP dan interpretasinya sejak 1 Oktober 2000. Yang menarik
adalah pada kalimat pembukaannya: Standar praktek adalah lingkup dari penyebutan diri
sebagai seorang profesional. Anggota harus memenuhi tanggungjawabnya sebagai
profesional dengan mendukung dan mempertahankan standar yang dengan itu kinerja
profesionalnya bisa diukur. Dalam kasus tersebut, indikasi terbaik dari standar etika yang
bisa dipenuhi oleh akuntan pajak bisa ditemukan dalam standar tersebut. Ada 6 (enam)
standar yang ditunjukkan dalam SSTS, yaitu:
1. Seorang akuntan pajak tidak boleh menyarankan sebuah posisi kecuali ada
kemungkinan realistik untuk kebaikan yang berkelanjutan.
2. Seorang akuntan pajak tidak boleh membuat atau menandatangani return jika ini
berada dalam posisi yang tidak boleh disarankan menurut poin 1.
3. Seorang akuntan pajak dapat menyarankan sebuah posisi yang menurutnya tidak
ceroboh selama ini bisa diungkapkan.
4. Seorang akuntan pajak berkewajiban untuk menasehati klien tentang potensi hukuman
di beberapa posisi, dan menyarankan disklosur.
5. Seorang

akuntan

pajak

tidak

boleh

menyarankan

mengeksploitasi proses seleksi audit IRS atau;

sebuah

posisi

yang

6. Dilarang bertindak sekadar dalam posisi membantah.


Menurut standar ini, dikatakan tidak etis bila mengkapitulasi permintaan klien untuk
mengurangi liabilitas pajak klien sebenarnya, karena ketika menandatangani return, anda
berarti menyatakan bahwa return adalah benar, tepat, dan lengkap. Bila menandatanganinya
berarti anda terlibat kebohongan.
Pajak ditentukan oleh self-assessment dan pelaporan. Dalam konteks tersebut, sikap
adil yang bisa dilakukan setiap orang adalah dengan mengawasi diri sendiri. Masyarakat kita
sering menggunakan sistem kehormatan yang besar dan ini bisa dijalankan ketika sebagian
besar orang diatur oleh sistem kehormatan tersebut. Ada sesuatu yang berlawanan dengan
kejujuran dan kesejahteraan publik saat ada upaya untuk mengelak dari tujuan hukum
spesifik yang memberikan batasan pada klien yang ingin menghindari pembayaran segmen
pajak yang adil. Sistem pajak dapat diselewengkan oleh akuntan dan perusahaan akuntansi
yang menggunakan skema penghindaran-pajak. Bagian implisit dari semua ini adalah sebuah
rekognisi tanggungjawab akuntan dan perusahaannya untuk mempertahankan kejelasan
sistem pajakuntuk menghasilkan keseimbangan antara keuntungan pajak yang diinginkan
dan loophole yang bisa melemahkan sistem.
[Ada yang terbaru lagi, per 1 Januari 2010. Jadi mengacu ke yang terbaru aja].
Kompleksitas Aturan Perpajakan VS Tuntutan Klien
Akuntan dan perusahaan akuntansi perlu mengetahui tanggung jawabnya pada
masyarakat besar. Akuntan dan perusahaannya perlu tegas, karena profesionalismenya, untuk
mengikuti jalur etika. Bantuan yang sering digunakan adalah nilai moral personal dan standar
plus sebuah kultur dalam perusahaan yang melarang pelanggaran nilai etika dalam mencapai
tujuan organisasi. Sebuah filosofi manajemen kuat yang mempertegas tindakan etika dan
komunikasi jelas dari perilaku etika. Dalam situasi ini, bahkan ketika menyebabkan kerugian
klien, akuntan tetap akan melakukan apa yang benar. Ancaman kehilangan lisensi akibat
tindakan tidak beretika adalah sebuah faktor, tapi ini bukanlah faktor primer. Berbagai
tantangan etika yang sering terjadi antara lain: kompleksitas dan perubahan sifat dari hukum
pajak, keterbatasan waktu untuk praktek, pengetahuan tentang hukum pajak yang kompleks,
tekanan dari klien untuk mengurangi liabilitas pajak, dan kurangnya pemahaman klien terkait
tanggungjawab profesional dan potensi hukuman dari akuntan baik bagi praktisi pajak dan
pembayar pajak.
Pajak secara klasik memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi budgeter. Kedua, fungsi
reguleren. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2, disebutkan bahwa

segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Dari hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain sebagai sumber pendapatan
negara yang utama, pengatur kegiatan ekonomi,pemerataan pendapatan masyarakat, dan
sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Kalau kita lihat APBN, pajak selalu dituntut untuk
bertambah dan bertambah. Pemerintah harus memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas
negara.
Dalam struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75%
diperoleh dari pajak. Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan
perpajakan. Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas bagi
pemerintah supaya tidak terjadi tax evasion/tax avoidance.
Berikut ini disajikan kasus yang mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan
dengan tuntutan klien.
1. Jeratan Pajak Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesia menganut sistem klasik. Artinya, ada pembedaan subyek pajak.
Yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan. Yang bermasalah dalam pajak
deviden adalah terjadi economic double taxation. Pengertiannya, sebelum dividen dibagi
kepada pengusaha, dia merupakan laba perusahaan yang dikenakan pajak, atau disebut pajak
korporat. Namun, ketika dibagi lagi kepada pemegang saham di korporat, pemegang saham
itu harus dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak ganda
2. Sengketa Pajak
Kalau terjadi sengketa, yaitu hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak
berbeda, maka apapun yang akan dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu
harus dibayar lebih dahulu oleh WP sebesar 50% dari hitungan petugas pajak sebelum bisa
dibawa kepada pengadilan pajak. Apabila hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar
maka WP berhak menerima restitusi. Malangnya, uang restitusi itu kenyataannya tidak segera
dibayarkan oleh Fiscus. Jika uang restitusi jumlahnya milyaran jelas saja mengganggu arus
kas para pengusaha. Inilah persoalan yang menjadi momok dalam dispute antara WP dengan
aparat pajak. Untungnya, dalam UU KUP 28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara
bersama-sama. Jika ada perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai adalah
klaim WP. Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar sebesar 50
persen dari klaim hitungan WP sendiri.
3. Tarif Pajak yang tinggi

Ketua Tax Centre UI, Tafsir Nurchamid dan pengusaha Anton J Supit mengatakan
bahwa tarif yang tinggi kalau diturunkan punya dampak pada seretnya penerimaan negara.
Padahal disaat yang sama pendapatan negara itu sebagian besar ditujukan untuk membayar
hutang dan obligasi rekap. Meskipun semestinya menurut Anton J Supit penerimaan dari
pajak itu digunakan untuk membangun infrastruktur. Banyak kalangan perpajakan seperti
Permana Agung, Gunadi, dan Haula Rusdiana mengatakan sebaiknya ada kebijakan untuk
membuat tarif menjadi lebih rendah. Selain lebih kompetitif bagi dunia usaha, pajak yang
rendah dianggap justru akan meningkatkan penerimaan negara karena semakin banyaknya
potensi pajak yang terjaring. Tarif yang tinggi membuat yang bayar menjadi sedikit. Sehingga
membuat banyak orang yang lain lebih sering menghindar dari petugas pajak.
Good Governance mewujudkan kepatuhan sukarela
Dalam mengatasi permasalahan perpajakan di Indonesia, Dirjen Pajak haruslah segera
melakukan reformasi birokrasi di kementrian Keuangan khususnya Dirjen Pajak secara serius
dan transparan untuk memperbaiki standar pelayanan umum yang diberikan kepada publik.
Gagasan utama bahwa pelayananan publik dapat ditingkatkan efektivitas dan efisiensinya jika
administrasi publik mau dan mampu mengadopsi pendekatan yang sering digunakan di sektor
bisnis, di mana manajer diberi kebebasan untuk mengelola dan tidak dibatasi oleh struktur
yang tertutup dan kaku seperti yang diajarkan oleh perspektif administrasi publik klasik. Oleh
karena itu dalam birokrasi pemerintah harus ada perlu adanya reformasi birokrasi dengan
mewujudkan good governance. Perwujudan good governance dapat dilakukan melalui
strategi new public management.
Strategi ini berorientasi sistem privatisasi kedalam sektor publik yang mengadopsi
mekanisme pasar dalam pelayanan publik. Sehingga dapat diartikan hubungan pemerintah
dengan rakyat, hubungan keduanya dapat dianalogikan hubungan penjual dengan pelanggan
dalam jual beli. Sehingga dalam perwujudannya pemerintah haruslah melayani rakyat(hidup
untuk rakyat), bukan menjadikan rakyat sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Sedangkan
di dalam Dirjen Pajak harus bisa diwujudkan good corporate governace / GCG (perusahaan
atau instansi). Menurut Syakhroza (2003) mendefinisikan GCG sebagai suatu mekanisme tata
kelola organisasi secara baik dalam melakukan pengelolaan sumber daya organisasi secara
efisien, efektif, ekonomis ataupun produktif dengan prinsip-prinsip terbuka, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, independen, dan adil dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dirjen
Pajak harus mewujudkan lima prinsip GCG, yaitu: Transparansi, Akuntabilitas,
Responsibilitas, Independensi, dan Kesetaraan.

Dalam prinsip pertama yaitu Transparansi adalah kewajiban bagi para pengelola untuk
menjalankan prinsip keterbukaan dan penyampaian informasi (Tjager dkk,2 003). Birokrasi
perpajakan harus trasparan tentang aliran penerimaan, pengeluaran dan arah pajak kemana
haruslah jelas.
Prinsip yang kedua Akuntabilitas adalah prinsip di mana para pengelola berkewajiban
untuk membina sistem akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan yang
dapat dipercaya (Tjager dkk, 2003). Di sini diperlukan kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban setiap organ sehingga pengelolaan berjalan efektif. Sehingga tidak
terjadi penyalahgunaan wewenang maupun munculnya mafia pajak. Ketika prinsip ini
diterapkan maka setiap stakeholder Dirjen Pajak harus memahami wewenang dan berjalan
sesuai tugas dan wewenang. Seringkali di berbagai instansi sering terjadi ketidakjelasan
pekerja,

sehingga

apa

yang

harus

dikerjakan

saat

ini

belum

jelas.

Berikutnya, prinsip ketiga yaitu Independensi atau kemandirian adalah suatu keadaan
di mana para pengelola dalam mengambil keputusan bersifat profesional, mandiri, bebas dari
konflik kepentingan dan bebas dari tekanan atau pengaruh dari berbagai pihak (Tjager
dkk,2003). Dengan prinsip ini para stakeholder tidak terpengaruh intervensi dari berbagai
pihak, mereka memiliki rasa loyalitas terhadap perusahaan. Secara otomatis kepatuhan
sukarela pegawai pajak akan muncul.
Prinsip yang terakhir yaitu Kesetaran (Fairness) adalah kesetaraan perlakuan terhadap
pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan kriteria dan proporsi yang seharusnya
(Tjager dkk,2003). Pegawai pajak wajib menyadari bahwa dalam menerima dan menetapkan
pajak harus adil dan setara. Harus sesuai dengan peraturan, sehingga yang berhak
mendapatkan beban pajak banyak, harus membayar banyak pula. Tidak ada keringanan
pembayaran kecuali diatur dalam undang undang. Sebaliknya jika menurut undang-undang
seseorang dibebani pembayaran pajak ringan. Haruslah membayar pajak sesuai dengan
peraturan, tidak bisa ditambah-tambah jika tidak diatur dalam undang-undang.
Selain perbaikan segara internal juga harus ada perbaikan secara eksternal. Salah
satunya harus adanya laporan khusus untuk rakyat. Laporan pajak bukan hanya dilaporkan
dalam bentuk akuntansi yang hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu saja, tetapi laporan
keuangan juga harus dipublikasikan beserta bukti-buktinya. publikasi bisa melalui media
televisi, media masa, maupun poster atau baliho.
Selain masalah laporan pajak, harus ada perbaikan persepsi pajak. Salah satu salah
satu adalah persepsi sifat dari pajak yaitu bersifat memaksa. Dengan kata ini secara tidak
langsung, membayar pajak bukan suatu sikap kesadaran sukarela. Tetapi dengan ungkapan ini

mempertebal persepsi bahwa adalah suatu pemaksaan pajak. walaupun begitu tetap harus ada
peraturan yang jelas baik regulasi maupun sanksi dan dilakukan sesuai dengan apa yang
diatur dalam undang-undang. Parameter keberhasilan perpajakan dapat dilihat dari hubungan
antara pembayaran oleh rakyat dengan yang diperoleh rakyat sebanding, mereka merasa puas
dan sejahtera. seharusnya pajak bisa menjadi sarana meningkatkan kesejahteraan, khususnya
membuka lapangan kerja.
Ketika semakin terbukanya lapangan pekerjaan dan pengangguran berkurang
pendapatan pajak akan naik pula. Seharusnya bukan pembayaran pajak dinaikkan tetapi
seharusnya tingkat pendapatan naik dan pengangguran berkurang, secara otomatis tingkat
kesejahteraannya akan naik. Jika hasil pungutan pajak tidak dikolusi dan alokasi penciptaan
lapangan kerja ditingkatkan pendapatan pajak akan berkurang. Dan juga alokasi APBN tidak
mengandalkan pajak secara sepenuhnya. Ketika rakyat sejahtera terpenuhi, maka rakyat akan
memiliki rasa bangga dengan apa yang telah diberikan pemerintah, sehingga kepatuhan
sukarela akan terwujud.
Contoh Kasus
PT. Tiara Dewata Group melanggar etika dalam perpajakan. Modus yang dilakukan
perusahaan ini adalah menyiutkan nilai omzet perusahaan, dan pembukuan ganda alias
double accounting. PT. TDG selama kurun waktu 2005-2006 hanya menyetorkan 30% hingga
35% dari omzet sebenarnya. Sehingga pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan
nilai (PPN) menjadi kecil. Tiara Dewata mempunyai dua sistem pelaporan keuangan, yaitu
Tipe A dan B. Bila PT. TDG menggunakan konsultan pajak, prinsip-prinsip etika yang
dilanggar adalah:
1) Prinsip Integritas / Kejujuran
Prinsip kejujuran dapat ditunjukkan dengan cara membayar pajak sesuai ketentuan
yangberlaku dan melaporkan pajak dengan benar tanpa adanya manipulasi. PT. TDG
tidakmelaporkan pajaknya sesuai dengan yang sebenarnya, perusahaan tersebut hanya
menyetorkan 30% hingga 35% dari omzet yang sebenarnya. Hal ini mengakibatkan PPh
maupun PPN yang harus dibayarkan menjadi lebih kecil.
2) Prinsip Keadilan
Pada kasus PT. Tiara Dewata Grup sudah sangat jelas melanggar prinsip keadilan, ini
dapat kita lihat dari adanya double accounting yang dilakukan oleh perusahaan. Dimana
penjualan sesi kedua (sore-malam) tidak dilaporkan kedalam SPT padahal penjualan pada

sesi kedua inilah yang paling banyak mendapatkan keuantungan yang lebih dari sesi pertama
(pagi- sore)
3) Prinsip Independensi
Prinsip independensi berarti, seorang praktisi tidak mudah dipengaruhi dalam
menjalankan tugasnya dan tidak memihak kepentingan siapapun, yang bertentangan dengan
prinsip integritas. Apabila PT. Tiara Dewata ini menggunakan Konsultan Pajak dalam
menjalankan prakteknya,maka sudah dipastikan bahwa PT. TDG ini akan melakukan
kerjasama untuk menggelapkan pajaknya sehingga Konsultan Pajak tersebut sudah dapat
dipastikan tidak independen.
4) Prinsip Perilaku / Tanggungjawab Profesional
Setiap praktisi pajak, harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang
baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan citra profesinya. Dari sisi tanggung
jawab profesional sudah jelas Konsultan Pajak tersebut melanggar hukum yang sudah
ditetapkan, sehingga akan mengurangi kepercayaan masyarakat atas kinerja yang telah
dilakukan oleh Konsultan Pajak tersebut.
Kesimpulan
........................................................................................................
Referensi
Ardana, Sukrisno Agoes dan I Cenik. 2009. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
Armstrong, Marry Beth. 1993. Ethics and professionalism for CPAs. South-Western
Publishing Co.
Duska, Ronald F. dan Brenda S. Duska. 2005. Foundation of Business Ethics, Accounting
Ethics. Blackwell Publishing.
Liberti Pandiangan. 2007. Perpajakan menapak 2007 (artikel). Dalam www.klikpajak.com
[Online]. Diunduh pada 08 November 2016.
_______________. 2006. Pajak sebagai hak rakyat. Dalam www.klikpajak.com [Online].
Diunduh pada 08 November 2016.
pajak.go.id/ [Online]. Diunduh pada 08 November 2016.
Rahmawati. 2008. Handout Etika Bisnis dan Profesi untuk Akuntan. FE: UNS.
SSTS,

Effective.

January,

2010.

Dalam

www.aicpa.org

[Online].

Tersedia

http://www.aicpa.org/InterestAreas/Tax/Resources/StandardsEthics/StatementsonSt

andardsforTaxServices/DownloadableDocuments/SSTS,%20Effective%20January
%201,%202010.pdf [08 November 2016].

Anda mungkin juga menyukai