PENDAHULUAN
Istilah syok pertama kali diperkenalkan pada tahun 1737 oleh seorang ahli bedah
dari Perancis bernama Le Dran untuk menggambarkan kejutan yang dirasakan
seseorang ketika mengalami luka tembak1. Dalam hubungannya dengan fisiologi,
George Guthrie, seorang ahli bedah asal Inggris, mendefinisikan syok sebagai
suatu respon fisiologis terhadap terjadinya perlukaan pada tubuh1. Seiring
berjalannya waktu, syok secara medis terus mengalami pergeseran definisi.
Kedokteran modern mendefinisikan syok sebagai sindrom klinis yang diakibatkan
oleh menurunnya perfusi ke jaringan2. Kondisi ini menyebabkan munculnya
gangguan metabolisme akibat ketidakseimbangan antara ketersediaan dan
kebutuhan oksigen.
Terdapat beberapa etiologi yang mendasari terjadinya syok. Beberapa diantaranya
adalah kehilangan cairan masif, kerusakan miokardium, obstruksi pada pembuluh
darah sentral, dan vasodilatasi. Selanjutnya untuk mempermudah maka syok
diklasifikasikan menjadi 4 tipe yaitu syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok
obstruktif, dan syok distributif. Meskipun memiliki kesamaan karakteristik, yaitu
kegagalan perfusi pada jaringan, namun patofisiologi terjadinya syok untuk
masing- masing tipe memiliki perbedaan.
Manajemen dari setiap tipe syok akan menuju pada satu tujuan yaitu
mengembalikan perfusi yang adekuat untuk jaringan. Namun karena terdapat
perbedaan patofisiologi dan etiologi maka penanganan satu tipe syok dengan yang
lainnya memiliki perbedaan. Syok hipovolemik akan lebih memfokuskan
penanganan pada pengembalian cairan yang hilang, penghentian perdarahan, dan
perbaikan oxygen delivery. Pasien dengan syok kardiogenik lebih mengarahkan
perbaikan oxygen delivery dengan memperbaiki vaskularisasi koroner agar
jantung dapat kembali melakukan fungsinya dengan adekuat. Pada syok distributif
maka penanganan pasien akan dibagi kembali menjadi 3 sesuai dengan jenis
syoknya, yaitu anafilaktik, neurogenik, dan sepsis sebagai yang paling sering
terjadi diantara ketiganya. Paper tinjauan pustaka ini nantinya akan membahas
lebih lanjut mengenai bagaimana patofisiologi dan manajemen syok berdasarkan
masing- masing tipenya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Patofisiologi Syok
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan cairan tubuh
dalam jumlah banyak. Sebagian besar kasus syok hipovolemik disebabkan karena
perdarahan akut. Saat terjadi perdarahan maka akan terjadi kehilangan cairan baik
whole blood atau plasma loss. Hal ini akan berdampak pada menurunnya venous
return sehingga oxygen delivery terganggu akibat stroke volume dan cardiac
output menurun.
renin.
Renin
akan
masuk
ke
sirkulasi
dan
memecahkan
Syok kardiogenik dan syok obstruktif memiliki kemiripan antara satu dengan
yang lainnya. Pada syok obstruktif terjadi penurunan perfusi ke jaringan yang
disebabkan karena adanya obstruksi aliran darah yang melewati pembuluh darah
besar yang menyebabkan darah tidak dapat terpompa ke seluruh tubuh. Penyebab
terbanyak dari terjadinya syok obstruktif adalah karena emboli paru 4. Syok
kardiogenik merupakan kondisi tidak adekuatnya perfusi ke jaringan yang
disebabkan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke sirkulasi sistemik,
utamanya karena infark miokardium5. Ketika terjadi disfungsi miokardium
ventrikel kiri maka stroke volume dan cardiac output menurun. Akibatnya terjadi
hipotensi dan munculnya kompensasi berupa aktivasi stimulasi simpatetik yang
menyebabkan takikardia5. Karena jantung berdenyut lebih cepat maka waktu
diastolik menjadi lebih sedikit sehingga aliran darah ke sirkulasi koroner juga
berkurang. Di sisi lain pompa jantung juga tidak berfungsi maksimal karena
disfunsi miokardium sehingga terjadi penumpukan cairan yang akan menambah
stres pada dinding ventrikel yang justru semakin meningkatkan kebutuhan
oksigen5. Kondisi ini justru akan memperburuk iskemia pada miokardium.
Pada tingkat sel, penurunan stroke volume dan cardiac output menyebabkan
hipoksia jaringan sehingga apabila kondisi pasien tidak segera diperbaiki maka
dapat terjadi asidosis metabolik akibat produksi laktat pada metabolisme anaerob
serta proses onkosis (kematian sel akibat pembengkakan)5.
2.1.3
Syok Distributif
Pada prinsipnya, kegagalan perfusi yang terjadi pada syok distributif disebabkan
karena hilangnya respon normal dari otot polos pada pembuluh darah terhadap
Diagnosis Syok
Dalam kondisi syok yang terpenting adalah pemberian terapi segera untuk
membantu respirasi dan sirkulasi. Setelah kondisi pasien stabil maka langkah
selanjutnya adalah menentukan etiologi dan menanganinya.
2.2.1
Syok Hipovolemik
Diagnosis syok hipovolemik lebih banyak mengacu pada tanda klinis. Meski
begitu, anamnesis pasien sangat berperan dalam menentukan diagnosis. Pasien
dengan syok hipovolemik cenderung memiliki riwayat trauma, dehidrasi, diare,
dan penggunaan diuretik6. Tanda klinis pasien muncul sebagai respon fisiologis
terhadap menurunnya perfusi ke jaringan. Ketika terjadi penurunan preload maka
tubuh akan merespon dengan meningkatkan denyut nadi untuk tetap
mempertahankan cardiac output sehingga takikardia merupakan salah satu tanda
klinis pada syok hipovolemik dengan kehilangan cairan > 15% volume
intravaskular6.
Selanjutnya pada pasien dengan syok hipovolemik yang mengalami penurunan
cardiac output, tubuh akan berusaha mempertahankan tekanan darah sistemik
dengan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Akibatnya, perfusi darah ke
perifer makin berkurang untuk memenuhi kebutuhan organ vital sehingga muncul
tanda lain pada syok hipovolemik yaitu ekstremitas dingin dan basah 6 serta
penurunan capilary refill time.
Pada syok hipovolemik tipe hemoragik, setiap gejala yang muncul akan sesuai
dengan derajat perdarahannya. Takikardia, takipnea, perubahan status mental, dan
penurunan tekanan darah sistolik mulai terlihat jelas pada pasien dengan
perdarahan >30%.
Syok Kardiogenik
Syok Obstruktif
Seperti pada kondisi syok yang lain, syok obstruktif dinilai dari munculnya tandatanda penurunan perfusi organ. Pada perifer, ditemukan kulit yang pucat dan
dingin. Pada ginjal ditemukan produksi urin yang menurun hingga hilang. Terjadi
7
Syok Distributif
Pada prinsipnya pasien syok selalu memiliki kesamaan tanda dan gejala berupa
takikardia, takipnea, hipotensi, perubahan status mental, dan oligouria. Syok
distributif dapat didiagnosis dengan anamnesis yang lengkap. Pasien syok septik
biasanya memiliki riwayat infeksi atau inflamasi pada saluran respiratorik,
urogenital, dan rongga abdominal8. Pasien dengan anafilaksis biasanya memiliki
riwayat penggunaan obat tertentu atau riwayat terekspos dengan alergen yang
disertai dengan gejala respiratorik seperti wheezing, sesak nafas, serta gejala
seperti pruritus dan urtikaria.
2.3
Manajemen Syok
2.3.1
Syok Hipovolemik
Pada dasarnya terdapat 2 target yang harus dicapai pada penanganan syok
hipovolemik yaitu menghentikan perdarahan segera dan memaksimalkan oxygen
delivery yang dapat dilakukan dengan resusitasi cairan, administrasi vasopresor,
dan transfusi darah.
Penanganan Post Arrival
Saat pasien datang ke IGD dengan ciri syok hipovolemik maka penilaian jalan
nafas, pernafasan, dan sirkulasi harus segera dikerjakan 9. Jalan nafas harus
dipastikan lapang serta ventilasi dan oksigenasi cukup. Apabila pernafasan tidak
adekuat maka dapat dilakukan bagging. Dalam penilaian pernafasan maka harus
dilihat juga respiratory rate, kedalaman nafas, dan suara nafas. Apabila ditemukan
suatu keadaan patologis maka harus segera dilakukan tindakan. Keadaan patologis
Syok Kardiogenik
Syok Obstruktif
10
thoracostomy11.
Pasien
dengan
cardiac
tamponade
ditangani
dengan
Syok Distributif
11
face
mask
atau
oropharyngeal
airway. Akses
intravena
menggunakan jarum besar (14-16G). Apabila pasien tetap tidak membaik maka
diberikan 1-2 L 0,9% salin isotonik tetes cepat (5-10 ml/kg dalam 5-10 menit
pertama). Apabila diperlukan maka dapat dilakukan resusitasi jantung paru pada
pasien. Sementara itu, penggunaan antihistamin dan kortikosteroid masih belum
terbukti memiliki keuntungan dalam manajemen syok anafilaktik.
2.4.4.3 Syok Septik
Penanganan syok septik sebagai telah diatur dalam guideline internasional yang
disusun berdasarkan evidence based medicine.
Resusitasi Awal
Dilakukan pada pasien dengan septic induced tissue hypoperfusion (hipotensi
menetap walaupun telah dilakukan pemberian cairan awal atau jumlah laktat
darah 4 mmol/L)
Goal untuk 6 jam pertama:
a.
b.
c.
d.
12
13
kuman penyebab telah ditemukan. Rata- rata durasi terapi adalah 7-10 hari, dapat
lebih panjang apabila respon klini pasien lambat, pusat infeksi tidak dapat
didrainasi, dan bakteremia dengan kuma S. aureus. Terapi antiviral segera
diinisiasi pada pasien syok septik dengan penyebab virus.
Kontrol Sumber Infeksi
Sumber infeksi harus segera dicari, ditemukan, dan dikontrol dalam waktu 12 jam
setelah diagnosis syok septik ditegakkan. Sebagai contoh apabila sumber infeksi
ditengarai dari akses intravena maka akses tersebut harus segera ditutup dan
digantikan setelah akses intravena lain dibuat.
Terapi Cairan
Kristaloid merupakan pilihan cairan lini pertama dalam resusitasi syok septik.
Tidak disarankan untuk menggunakan hydroxyethyl starch untuk cairan resusitasi.
Apabila pasien membutuhkan kristaloid dalam jumlah besar maka dapat
digantikan dengan albumin. Pemberian cairan awal pada kasus syok septik yang
dicurigai mengalami hipovolemia adalah 30 cc/kgBB kristaloid.
Vasopresor
Diberikan untuk mempertahankan MAP 65 mmHg. Obat pilihan utama adalah
norepinefrin karena lebih selektif dan tidak banyak berpengaruh pada jantung. NE
dapat dikombinasi atau digantikan dengan epinefrin untuk menjaga tekanan darah.
Vasopresin 0,03 unit/ menit dapat dikombinasikan dengan NE untuk
meningkatkan MAP atau untuk mengurangi dosis NE. Vasopresin dosis kecil tidak
disarankan untuk digunakan sebagai vasopresor lini pertama dari sepsis induced
hypotension dan vasopresin dengan dosis > 0,03-0,04 unit/menit hanya digunakan
apabila terdapat kegagalan oleh agen vasopresor lain untuk meningkatkan MAP.
Terapi Inotropik
Infus dobutamin hingga 20 mcg/kg/menit dapat diberikan atau dikombinasikan
dengan vasopresor apabila terdapat tanda disfungsi miokardial (meningkatnya
14
tekanan cardiac filling dan cardiac output yang rendah) serta terdapat tanda- tanda
hipoperfusi walaupun jumlah cairan intravaskular dan MAP cukup.
Kortikosteroid
IV hidrokortison tidak diberikan apabila dengan resusitasi cairan dan vasopresor
kondisi pasien sudah kembali pada kondisi hemodinamik. Apabila tidak maka
diadministrasikan hidrokortison dengan dosis 200 mg/hari.
BAB III
SIMPULAN
Syok merupakan suatu kondisi dimana terjadi perfusi yang tidak adekuat yang
pada akhirnya menyebabkan hipoksia dan kerusakan sel. Syok dikelompokkan
menjadi 4 kelompok berdasarkan etiologinya. Yang pertama adalah syok
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Jean-Louis V, Can I, Jan B. Clinical review: Circulatory shock - an update: a
tribute to Professor Max Harry Weil. Critical Care. 2012;16(6):239.
2. Porrett P. The surgical review. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams & Wilkins; 2010.
16
17
18