Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah syok pertama kali diperkenalkan pada tahun 1737 oleh seorang ahli bedah
dari Perancis bernama Le Dran untuk menggambarkan kejutan yang dirasakan
seseorang ketika mengalami luka tembak1. Dalam hubungannya dengan fisiologi,
George Guthrie, seorang ahli bedah asal Inggris, mendefinisikan syok sebagai
suatu respon fisiologis terhadap terjadinya perlukaan pada tubuh1. Seiring
berjalannya waktu, syok secara medis terus mengalami pergeseran definisi.
Kedokteran modern mendefinisikan syok sebagai sindrom klinis yang diakibatkan
oleh menurunnya perfusi ke jaringan2. Kondisi ini menyebabkan munculnya
gangguan metabolisme akibat ketidakseimbangan antara ketersediaan dan
kebutuhan oksigen.
Terdapat beberapa etiologi yang mendasari terjadinya syok. Beberapa diantaranya
adalah kehilangan cairan masif, kerusakan miokardium, obstruksi pada pembuluh
darah sentral, dan vasodilatasi. Selanjutnya untuk mempermudah maka syok
diklasifikasikan menjadi 4 tipe yaitu syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok
obstruktif, dan syok distributif. Meskipun memiliki kesamaan karakteristik, yaitu
kegagalan perfusi pada jaringan, namun patofisiologi terjadinya syok untuk
masing- masing tipe memiliki perbedaan.
Manajemen dari setiap tipe syok akan menuju pada satu tujuan yaitu
mengembalikan perfusi yang adekuat untuk jaringan. Namun karena terdapat
perbedaan patofisiologi dan etiologi maka penanganan satu tipe syok dengan yang
lainnya memiliki perbedaan. Syok hipovolemik akan lebih memfokuskan
penanganan pada pengembalian cairan yang hilang, penghentian perdarahan, dan
perbaikan oxygen delivery. Pasien dengan syok kardiogenik lebih mengarahkan
perbaikan oxygen delivery dengan memperbaiki vaskularisasi koroner agar
jantung dapat kembali melakukan fungsinya dengan adekuat. Pada syok distributif
maka penanganan pasien akan dibagi kembali menjadi 3 sesuai dengan jenis
syoknya, yaitu anafilaktik, neurogenik, dan sepsis sebagai yang paling sering

terjadi diantara ketiganya. Paper tinjauan pustaka ini nantinya akan membahas
lebih lanjut mengenai bagaimana patofisiologi dan manajemen syok berdasarkan
masing- masing tipenya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Patofisiologi Syok

Pada prinsipnya syok merupakan kondisi penurunan perfusi ke jaringan. Namun


setiap tipe syok memiliki perbedaan patofisiologi yang mendasari terjadinya
penurunan perfusi tersebut.

Tabel 1. Klasifikasi Syok


2.1.1

Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan cairan tubuh
dalam jumlah banyak. Sebagian besar kasus syok hipovolemik disebabkan karena
perdarahan akut. Saat terjadi perdarahan maka akan terjadi kehilangan cairan baik
whole blood atau plasma loss. Hal ini akan berdampak pada menurunnya venous
return sehingga oxygen delivery terganggu akibat stroke volume dan cardiac
output menurun.

Terdapat 2 respon tubuh terhadap kondisi kehilangan cairan intravaskular. Yang


pertama adalah respon neural. Respon neural merupakan respon segera yang
terjadi dalam hitungan menit setelah kehilangan darah3. Dengan menurunnya
cardiac output maka tekanan darah akan ikut menurun. Baroreseptor yang berada
di aortic arch dan sinus karotid akan mendeteksi penurunan ini kemudian akan
memberikan sinyal ke pusat vasomotor yang berada di pons dan medula 3. Pusat
vasomotor akan bereaksi dengan mengaktifkan impuls simpatetik untuk
meningkatkan denyut jantung, kekuatan kontraksi jantung, serta vasokonstriksi
pada pembuluh darah perifer3 untuk mempertahankan perfusi ke organ vital.
Selanjutnya akan terjadi respon humoral berupa pengaktifan sistem reninangiotensin- aldosteron. Makula densa akan mendeteksi menurunnya kadar
natrium kemudian akan mengirimkan sinyal ke sel juxtaglomerular yang akan
melepaskan

renin.

Renin

akan

masuk

ke

sirkulasi

dan

memecahkan

angiotensinogen yang dihasilkan oleh liver menjadi angiotensin I yang


selanjutnya akan dipecahkan oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) di paruparu menjadi angiotensin II. Angiotensin II akan menyebabkan terjadinya
konstriksi pembuluh darah dan juga merangsang sekresi aldosteron sehingga
terjadi retensi natrium dan air.
Di sisi lain penurunan cardiac output akan menyebabkan menurunnya oxygen
delivery yang menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan. Keberadaan oksigen
sangat diperlukan oleh sel supaya ATP dapat tetap dihasilkan. Ketika terjadi
hipoksia maka sel tidak dapat lagi menjalankan metabolisme aerob dan beralih
menjadi metabolisme anaerob. Jumlah ATP yang dihasilkan pada metabolisme
anaerob jauh di bawah yang dibutuhkan sel. Selain itu terdapat produk hasil sisa
metabolisme berupa laktat yang apabila jumlahnya terlalu berlebihan dapat
menyebabkan asidosis metabolik.
Keseimbangan hemostatik antara lingkungan intraselular dan ekstraselular dijaga
dengan keberadaan pompa ATP dependen Na+/K+. Na+ dibiarkan masuk pada
suatu saat namun pada saat yang lain harus dikeluarkan. Kegiatan ini akan
mengonsumsi ATP yang dihasilkan oleh sel. Ketika ATP yang dihasilkan tidak
cukup maka akan mulai terjadi influks dari ion yang dominan berada di

ekstraseluler seperti Na+ diikuti dengan masuknya Cl- ke intraseluler yang


mengakibatkan meningkatnya osmolaritas di dalam sel 3. Kondisi ini akan menarik
air yang berada di ekstraseluler untuk masuk ke intraseluler sehingga terjadilah
edema sel. Apabila kondisi hipoksia terus berlanjut maka pompa ATP dependen
Na+/K+ akan gagal mengontrol osmolaritas sel sehingga terjadilah kematian sel
melalui mekanisme onkosis3.
2.1.2

Syok Kardiogenik dan Syok Obstruktif

Syok kardiogenik dan syok obstruktif memiliki kemiripan antara satu dengan
yang lainnya. Pada syok obstruktif terjadi penurunan perfusi ke jaringan yang
disebabkan karena adanya obstruksi aliran darah yang melewati pembuluh darah
besar yang menyebabkan darah tidak dapat terpompa ke seluruh tubuh. Penyebab
terbanyak dari terjadinya syok obstruktif adalah karena emboli paru 4. Syok
kardiogenik merupakan kondisi tidak adekuatnya perfusi ke jaringan yang
disebabkan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke sirkulasi sistemik,
utamanya karena infark miokardium5. Ketika terjadi disfungsi miokardium
ventrikel kiri maka stroke volume dan cardiac output menurun. Akibatnya terjadi
hipotensi dan munculnya kompensasi berupa aktivasi stimulasi simpatetik yang
menyebabkan takikardia5. Karena jantung berdenyut lebih cepat maka waktu
diastolik menjadi lebih sedikit sehingga aliran darah ke sirkulasi koroner juga
berkurang. Di sisi lain pompa jantung juga tidak berfungsi maksimal karena
disfunsi miokardium sehingga terjadi penumpukan cairan yang akan menambah
stres pada dinding ventrikel yang justru semakin meningkatkan kebutuhan
oksigen5. Kondisi ini justru akan memperburuk iskemia pada miokardium.
Pada tingkat sel, penurunan stroke volume dan cardiac output menyebabkan
hipoksia jaringan sehingga apabila kondisi pasien tidak segera diperbaiki maka
dapat terjadi asidosis metabolik akibat produksi laktat pada metabolisme anaerob
serta proses onkosis (kematian sel akibat pembengkakan)5.
2.1.3

Syok Distributif

Pada prinsipnya, kegagalan perfusi yang terjadi pada syok distributif disebabkan
karena hilangnya respon normal dari otot polos pada pembuluh darah terhadap

agen vasokonstriksi. Akibatnya kapasitas sistem sirkulasi mengalami peningkatan.


Dengan jumlah darah yang tetap namun kapasitas sirkulasi meningkat maka akan
terjadi kondisi hipotensi relatif yang akan menyebabkan perfusi jaringan tidak
adekuat.
2.2

Diagnosis Syok

Dalam kondisi syok yang terpenting adalah pemberian terapi segera untuk
membantu respirasi dan sirkulasi. Setelah kondisi pasien stabil maka langkah
selanjutnya adalah menentukan etiologi dan menanganinya.
2.2.1

Syok Hipovolemik

Diagnosis syok hipovolemik lebih banyak mengacu pada tanda klinis. Meski
begitu, anamnesis pasien sangat berperan dalam menentukan diagnosis. Pasien
dengan syok hipovolemik cenderung memiliki riwayat trauma, dehidrasi, diare,
dan penggunaan diuretik6. Tanda klinis pasien muncul sebagai respon fisiologis
terhadap menurunnya perfusi ke jaringan. Ketika terjadi penurunan preload maka
tubuh akan merespon dengan meningkatkan denyut nadi untuk tetap
mempertahankan cardiac output sehingga takikardia merupakan salah satu tanda
klinis pada syok hipovolemik dengan kehilangan cairan > 15% volume
intravaskular6.
Selanjutnya pada pasien dengan syok hipovolemik yang mengalami penurunan
cardiac output, tubuh akan berusaha mempertahankan tekanan darah sistemik
dengan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Akibatnya, perfusi darah ke
perifer makin berkurang untuk memenuhi kebutuhan organ vital sehingga muncul
tanda lain pada syok hipovolemik yaitu ekstremitas dingin dan basah 6 serta
penurunan capilary refill time.
Pada syok hipovolemik tipe hemoragik, setiap gejala yang muncul akan sesuai
dengan derajat perdarahannya. Takikardia, takipnea, perubahan status mental, dan
penurunan tekanan darah sistolik mulai terlihat jelas pada pasien dengan
perdarahan >30%.

Tabel 2 Klasifikasi Syok Hemoragik


2.2.2

Syok Kardiogenik

Diagnosis syok kardiogenik dapat ditegakkan dengan melihat parameter


hemodinamik, tanda klinis, dan pemeriksaan tambahan lain berupa kateter arteri
pulmonal atau ekokardiografi Doppler. Parameter hemodinamik menunjukkan
adanya hipotensi yang persisten (tekanan darah sistolik <80-90 mmHg atau MAP
lebih rendah 30 mmHg dari baseline) dengan penurunan yang cukup besar dari
cardiac index (<1,8 L/menit/m2 dengan support atau <2-2,2 L/menit/m2 tanpa
support) dan filling pressure yang normal atau meningkat (end-diastolic pressure
ventrikel kiri >18 mmHg atau end-diastolic pressure ventrikel kanan >10-15
mmHg)7. Tanda klinis seperti ektremitas dingin, penurunan produksi urin, dan
atau gangguan status mental akibat hipoperfusi menjadi salah satu alat diagnostik
pasien dengan syok kardiogenik. Pemeriksaan tambahan berupa kateterisasi arteri
pulmonal sebenarnya membantu untuk diagnosis, namun karena waktu
pengerjaannya yang lama maka ekokardiografi Doppler dapat dipergunakan
sebagai alternatif untuk mendiagnosis syok kardiogenik.
2.2.3

Syok Obstruktif

Seperti pada kondisi syok yang lain, syok obstruktif dinilai dari munculnya tandatanda penurunan perfusi organ. Pada perifer, ditemukan kulit yang pucat dan
dingin. Pada ginjal ditemukan produksi urin yang menurun hingga hilang. Terjadi
7

penurunan kesadaran hingga koma yang menandakan buruknya perfusi ke otak.


Serta tanda kegagalan sirkulasi lain seperti takikardia, denyut lemah, dan takipnea.
Tanda khas pada syok obstruktif sangat bergantung dengan etiologinya. Pada
kondisi cardiac tamponade muncul trias Beck yang meliputi hipotensi,
peningkatan JVP, dan suara jantung yang menjauh. Pada kondisi tension
pneumothorax ditemukan nyeri dada, short of breath, dan penurunan suara nafas.
2.2.4

Syok Distributif

Pada prinsipnya pasien syok selalu memiliki kesamaan tanda dan gejala berupa
takikardia, takipnea, hipotensi, perubahan status mental, dan oligouria. Syok
distributif dapat didiagnosis dengan anamnesis yang lengkap. Pasien syok septik
biasanya memiliki riwayat infeksi atau inflamasi pada saluran respiratorik,
urogenital, dan rongga abdominal8. Pasien dengan anafilaksis biasanya memiliki
riwayat penggunaan obat tertentu atau riwayat terekspos dengan alergen yang
disertai dengan gejala respiratorik seperti wheezing, sesak nafas, serta gejala
seperti pruritus dan urtikaria.
2.3

Manajemen Syok

2.3.1

Syok Hipovolemik

Pada dasarnya terdapat 2 target yang harus dicapai pada penanganan syok
hipovolemik yaitu menghentikan perdarahan segera dan memaksimalkan oxygen
delivery yang dapat dilakukan dengan resusitasi cairan, administrasi vasopresor,
dan transfusi darah.
Penanganan Post Arrival
Saat pasien datang ke IGD dengan ciri syok hipovolemik maka penilaian jalan
nafas, pernafasan, dan sirkulasi harus segera dikerjakan 9. Jalan nafas harus
dipastikan lapang serta ventilasi dan oksigenasi cukup. Apabila pernafasan tidak
adekuat maka dapat dilakukan bagging. Dalam penilaian pernafasan maka harus
dilihat juga respiratory rate, kedalaman nafas, dan suara nafas. Apabila ditemukan
suatu keadaan patologis maka harus segera dilakukan tindakan. Keadaan patologis

dapat berupa gejala pneumotoraks, hemotoraks, dll. Selanjutnya dipasangkan 2


jalur akses vena perifer dengan kanul besar (ukuran 14-16) serta dilakukan
pegawasan terhadap nadi, tekanan darah, warna kulit, produksi urin, dan CVP.
Nadi yang meningkat menunjukkan bahwa pasien masih mengalami hipovolemia
sedangkan tekanan darah <90 mmHg pada pasien normotensi atau penurunan >40
mmHg pada pasien hipertensi menunjukkan bahwa transfusi cairan masih
diperlukan. Produksi urin minimal 0,5 cc/kgBB/jam.
Kontrol Perdarahan
Penghentian perdarahan dilakukan dengan beberapa cara tergantung dari sumber
perdarahannya. Direct pressure tetap menjadi pilihan utama pada kasus
perdarahan eksternal9. Direct pressure dikerjakan dengan menenkankan kasa steril
ke area perdarahan. Apabila perdarahan tidak berhenti atau ada kondisi lain yang
tidak memungkinkan dilakukan direct pressure maka tourniquets dapat dikerjakan
(guideline aus). Pada kasus perdarahan internal maka tindakan operasi harus
segera dikerjakan.
Resusitasi Cairan dan Transfusi Darah
Tujuan dilakukannya resusitasi cairan adalah untuk mengembalikan tekanan arteri
rata- rata. Pemberian koloid dan kristaloid masing- masing memiliki keuntungan
dan kekurangan. Kristaloid lebih menyerupai komponen cairan tubuh serta lebih
mudah masuk ke interstitial dan lebih sebentar berada di intravaskular. Meski
begitu, kristaloid lebih banyak tersedia dan harganya lebih murah jika
dibandingkan dengan koloid. Di sisi lain koloid memiliki keuntungan lebih lama
bertahan di intravaskular, sehingga baik untuk menggantikan kehilangan cairan
intravaskular dalam jumlah yang besar. Namun harga koloid lebih mahal
dibandingkan dengan kristaloid. Selain itu pemberian koloid juga menyebabkan
defisit volume cairan interstitial. Hingga saat ini, manakah cairan yang terbaik
untuk resusitasi masih terus diperdebatkan. Meski begitu, keduanya masih terus
digunakan sebagai cairan resusitasi baik sendiri maupun dikombinasikan.
Untuk resusitasi awal dapat diberikan 2 L kristaloid baik NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat. Apabila setelah diberikan 2 L kristaloid pasien tidak membaik maka

disarankan untuk melakukan transfusi dengan PRBC (medscape). Setiap 1 L darah


yang hilang maka dapat digantikan dengan 3 L kristaloid atau 1 L koloid. Terapi
cairan diberikan sampai hemodinamik pasien membaik.
2.3.2

Syok Kardiogenik

Prinsip penanganan pasien syok kardiogenik adalah revaskularisasi secepat


mungkin.
Step 1 : Langkah resusitasi segera
Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya end organ injury hingga pasien
mendapatkan terapi definitif10 serta untuk mempertahankan tekanan arteri ratarata. Administrasi dopamin dan norepinefrin diberikan di awal untuk
meningkatkan tekanan arteri rata- rata.

Dosis yang digunakan adalah 2-15

mcg/kgBB/menit. Selanjutnya dilakukan monitoring analisa gas darah, saturasi


oksigen, dan EKG10.Ventilasi diambil alih oleh ventilasi mekanik atau CPAP.
Step 2 : Penentuan awal anatomi koroner
Langkah ini adalah langkah utama untuk menangani syok kardiogenik yang
disebabkan karena kegagalan pompa akibat iskemia. Angiografi koroner
dikerjakan untuk mengetahui lokasi arteri yang bermasalah untuk nantinya dapat
dilakukan revaskularisasi.
Step 3 : Revaskularisasi dini
Pemilihan teknik revaskularisasi sangat bergantung dengan posisi anatomis dari
arteri koroner. Teknik yang sering digunakan adalah Percutaneous Coronary
Intervention (PCI)10.
2.3.3

Syok Obstruktif

Prinsip manajemen syok obstruktif adalah dengan menghilangkan penyebab


obstruksi. Pada kasus tension pneumotorax maka dapat dilakukan needle
thoracocentesis untuk dekompresi dengan menusukkan jarum 14-16 G pada ICS 2
midclavicula line. Selanjutnya untuk terapi definitif maka dipasang tube

10

thoracostomy11.

Pasien

dengan

cardiac

tamponade

ditangani

dengan

pericardiocentesis. Jarum berukuran 16-18G ditusukkan dengan sudut 30-45o


dekat xiphocostal angle ke arah bahu kiri.
Pada kasus emboli paru pemberian cairan berlebih cenderung tidak disarankan
karena justru akna menambah beban jantung. Namun untuk meningkatkan
cardiac index dapat diberikan 500 ml fluid challenge12. Yang lebih penting dari
semuanya itu adalah pemberian heparin parenteral baik unfractionated heparin
(UFH) dan low molecular weight heparin (LMWH) sebagai antikoagulan.
Heparin diberikan selama 5-10 hari pertama12.
2.3.4

Syok Distributif

2.4.4.1 Syok Neurogenik


Tujuan manajemen syok neurogenik adalah untuk mencegah perburukan dari
cedera awal. Karena syok neurogenik terjadi akibat adanya trauma, maka langkah
pertama yang perlu dilakukan adalah menilai kondisi awal pasien, termasuk di
dalamnya adalah pengamanan jalan nafas, menjamin oksigenasi dan ventilasi,
serta pemasangan IV line. Selama melakukan penilaian dan intervensi ABC, pada
daerah servikal pasien tetap dilakukan imobilisasi untuk mencegah cedera lanjutan
ada korda spinalis13. Imobilisasi dapat dilakukan dengan C-collar atau dengan
manual in-line stabilization. Pengamanan jalan nafas dapat dilakukan dengan
intubasi, dimana pilihan intubasi terbaik adalah dengan rapid sequence
intubation.
Selanjutnya pasien diberikan cairan kristaloid bolus untuk mempertahankan
tekanan arteri rata- rata diatas 70 mmHg. Apabila dengan terapi cairan tidak ada
perbaikan maka dapat dikombinasikan dengan vasopresor baik dopamin 2,5-20
mcg/kg/menit maupun dobutamin dosis 2-20 mcg/kg/menit. Dosis dapat dititrasi
sesuai dengan respon klinis pasien. Pada pasien dengan bradikardia maka
disarankan untuk menggunakan atropin 0,5-1 mg IV setiap 5 menit dengan dosis
maksimal 3 mg. Apabila terdapat defisit neurologis, maka metilprednisolon highdose harus diberikan dalam waktu 8 jam setelah terjadinya cedera. Terapi
dilanjutkan dengan infus kontinyu 5,4 mg/kg/jam hingga 23 jam ke depan.

11

2.4.4.2 Syok Anafilaktik


Anafilaksis merupakan reaksi alergi akut sehingga penanganan pertama adalah
menyingkirkan semua pemicu yang menyebabkan munculnya reaksi alergi.
Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap jalan nafas, status oksigenasi, ventilasi,
dan sirkulasi. Kemudian diberikan injeksi epinefrin 1:1000 (1 mg/mL) IM di area
midanterolateral paha, dengan dosis 0,01 mg/kg dengan dosis maksimal 0,5 mg.
Pemberian epinefrin dapat diulang setiap 5-15 menit sesuai dengan kondisi klinis
pasien14. Suplementasi oksigen dapat diberikan dengan kecepatan 6-8 L/ menit
menggunakan

face

mask

atau

oropharyngeal

airway. Akses

intravena

menggunakan jarum besar (14-16G). Apabila pasien tetap tidak membaik maka
diberikan 1-2 L 0,9% salin isotonik tetes cepat (5-10 ml/kg dalam 5-10 menit
pertama). Apabila diperlukan maka dapat dilakukan resusitasi jantung paru pada
pasien. Sementara itu, penggunaan antihistamin dan kortikosteroid masih belum
terbukti memiliki keuntungan dalam manajemen syok anafilaktik.
2.4.4.3 Syok Septik
Penanganan syok septik sebagai telah diatur dalam guideline internasional yang
disusun berdasarkan evidence based medicine.
Resusitasi Awal
Dilakukan pada pasien dengan septic induced tissue hypoperfusion (hipotensi
menetap walaupun telah dilakukan pemberian cairan awal atau jumlah laktat
darah 4 mmol/L)
Goal untuk 6 jam pertama:
a.
b.
c.
d.

Tekanan vena sentral 8-12 mmHg


Tekanan arteri rata- rata 65 mmHg
Produksi urin 0,5 cc/kgBB/jam
Saturasi vena sentral atau saturasi oksigen vena campuran berturut- turut
70% atau 65%

Skrining Sepsis dan Perbaikan Hasil

12

Merupakan tanggung jawab setiap paramedis untuk meningkatkan usaha resusitasi


awal sehingga outcome pasien dapat lebih baik. Dikerjakan dengan menggunakan
target Surviving Sepsis Campaign Bundles15.
a. Yang harus dikerjakan dalam 3 jam pertama
1) Ukur level laktat
2) Ambil sampel darah sebelum dilakukan administrasi antibiotik
3) Administrasi antibiotik spektrum luas
4) Administrasi cairan kristaloid 30cc/kgBB untuk pasien dengan
hipotensi atau laktat 4 mmol/L
b. Yang harus dikerjakan dalam 6 jam pertama
5) Berikan vasopresor (untuk pasien dengan hipertensi yang tidak
membaik setelah dilakukan resusitasi awal) untuk menjaga agar MAP
tetap 65 mmHg
6) Pada pasien dengan syok septik dimana tekanan arterial tetap tidak
membaik setelah dilakukan resusitasi volume atau laktat awal 4
mmol/L maka dilakukan pengukuran tekanan dan saturasi oksigen
vena sentral.
7) Ukur kembali laktat apabila laktat di awal meningkat
Target resusitasi kuantitatif yang dianggap berhasil adalah tekanan venous sentral
8 mmHg, Scvo2 70%, dan laktat kembali normal.
Diagnosis
Pengambilan sampel untuk kultur darah dikerjakan sebelum administrasi
antimikrobial dengan mengambil 2 botol, masing- masing untuk aerobik dan
anaerobik.
Terapi Antimikrobial
Administrasi segera antimikrobial via intravena dalam 1 jam pertama setelah
pasien menunjukkan tanda- tanda syok septik. Kombinasi antibiotik untuk terapi
empiris pada pasien syok septik dengan bakteremia P. aeruginosa adalah betalaktam spektrum luas dengan aminoglikosida atau fluoroquinolone. Apabila yang
dicurigai adalah bakteri Streptococcus pneumoniae maka digunkanan kombinasi
beta-laktam dengan macrolide. Terapi empirik kombinasi hanya boleh diberikan
selama 3-5 hari dan harus segera diturunkan menjadi 1 antibiotik definitif apabila

13

kuman penyebab telah ditemukan. Rata- rata durasi terapi adalah 7-10 hari, dapat
lebih panjang apabila respon klini pasien lambat, pusat infeksi tidak dapat
didrainasi, dan bakteremia dengan kuma S. aureus. Terapi antiviral segera
diinisiasi pada pasien syok septik dengan penyebab virus.
Kontrol Sumber Infeksi
Sumber infeksi harus segera dicari, ditemukan, dan dikontrol dalam waktu 12 jam
setelah diagnosis syok septik ditegakkan. Sebagai contoh apabila sumber infeksi
ditengarai dari akses intravena maka akses tersebut harus segera ditutup dan
digantikan setelah akses intravena lain dibuat.
Terapi Cairan
Kristaloid merupakan pilihan cairan lini pertama dalam resusitasi syok septik.
Tidak disarankan untuk menggunakan hydroxyethyl starch untuk cairan resusitasi.
Apabila pasien membutuhkan kristaloid dalam jumlah besar maka dapat
digantikan dengan albumin. Pemberian cairan awal pada kasus syok septik yang
dicurigai mengalami hipovolemia adalah 30 cc/kgBB kristaloid.
Vasopresor
Diberikan untuk mempertahankan MAP 65 mmHg. Obat pilihan utama adalah
norepinefrin karena lebih selektif dan tidak banyak berpengaruh pada jantung. NE
dapat dikombinasi atau digantikan dengan epinefrin untuk menjaga tekanan darah.
Vasopresin 0,03 unit/ menit dapat dikombinasikan dengan NE untuk
meningkatkan MAP atau untuk mengurangi dosis NE. Vasopresin dosis kecil tidak
disarankan untuk digunakan sebagai vasopresor lini pertama dari sepsis induced
hypotension dan vasopresin dengan dosis > 0,03-0,04 unit/menit hanya digunakan
apabila terdapat kegagalan oleh agen vasopresor lain untuk meningkatkan MAP.
Terapi Inotropik
Infus dobutamin hingga 20 mcg/kg/menit dapat diberikan atau dikombinasikan
dengan vasopresor apabila terdapat tanda disfungsi miokardial (meningkatnya

14

tekanan cardiac filling dan cardiac output yang rendah) serta terdapat tanda- tanda
hipoperfusi walaupun jumlah cairan intravaskular dan MAP cukup.
Kortikosteroid
IV hidrokortison tidak diberikan apabila dengan resusitasi cairan dan vasopresor
kondisi pasien sudah kembali pada kondisi hemodinamik. Apabila tidak maka
diadministrasikan hidrokortison dengan dosis 200 mg/hari.

BAB III
SIMPULAN

Syok merupakan suatu kondisi dimana terjadi perfusi yang tidak adekuat yang
pada akhirnya menyebabkan hipoksia dan kerusakan sel. Syok dikelompokkan
menjadi 4 kelompok berdasarkan etiologinya. Yang pertama adalah syok

15

hipovolemik yang sering terjadi pada kasus perdarahan. Cairan intravaskular


keluar sehingga venous return menurun yang pada akhirnya menyebabkan stroke
volume dan cardiac output menurun. Delivery oxygen yang terganggu akan
menyebabkan sel tidak dapat melakukan metabolismenya dengan baik sehingga
terjadilah asidosis metabolik yang disebabkan karena penumpukan laktat. Selain
itu karena ATP tidak tersedia, sel tidak dapat mempertahankan fungsi pompa ion
Na+/K+ sehingga sel mengalami edema hingga kematian. Penanganan berfokus
pada pengembalian cairan yang hilang, penghentian perdarahan, dan perbaikan
oxygen delivery.
Syok kardiogenik dan syok obstruktif memiliki kemiripan antara satu dengan
yang lainnya. Pada syok obstruktif terjadi penurunan perfusi ke jaringan yang
disebabkan karena adanya obstruksi aliran darah yang melewati pembuluh darah
besar yang menyebabkan darah tidak dapat terpompa ke seluruh tubuh, sedangkan
pada syok kardiogenik jantung tidak mampu memompa darah ke sirkulasi
sistemik sehingga terjadi kegagalan perfusi. Penanganannya lebih berfokus pada
revaskularisasi pembuluh yang tersumbat sehingga darah dapat mengalir dan
perfusi kembali baik.
Syok distributif dibagi menjadi 3 yaitu neurogenik, anafilaktik dan sepsis.
Diantara ketiganya, syok sepsis merupakan yang paling banyak ditemui.
Manajemen syok septik dikerjakan dengan sepsis bundle dimana pasien diawasi
MAP, tekanan darah, produksi laktat serta diberikan resusitasi cairan, antibiotik
spektrum luas, dan vasopresor apabila diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Jean-Louis V, Can I, Jan B. Clinical review: Circulatory shock - an update: a
tribute to Professor Max Harry Weil. Critical Care. 2012;16(6):239.
2. Porrett P. The surgical review. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams & Wilkins; 2010.

16

3. Liang D, Bhatta S, Gerzanich V, Simard J. Cytotoxic edema: mechanisms of


pathological cell swelling. Neurosurgical FOCUS. 2007;22(5):1-9.
4. Kipp B, Porth C. Study guide for Porth's essentials of pathophysiology.
Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
5. Steven M. H, Clifford J. K, Joseph E. P. Cardiogenic Shock. Annals of Internal
Medicine. 1999;131(1):47-59.
6. Mulholland M, Doherty G. Complications in surgery.
Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins;
2011.
7. Reynolds H, Hochman J. Cardiogenic Shock: Current Concepts
and Improving Outcomes. Circulation. 2008;117(5):686-697.
8. Distributive Shock: Background, Pathophysiology, Etiology
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2016 [cited 26 March
2016].
9. Institute of Trauma and Injury Management. Management of
Hypovolaemic Shock in the Trauma Patient. 2007.
10.Menon V. Management of Cardiogenic Shock Complicating
Acute Miocardial Infarction. Heart. 2002;88(5):531-537.
11.Morgan C. Obstructive Shock. The Open Pediatric Medicine
Journal. 2013;7(1):35-37.
12.European Society of Cardiology. 2014 ESC Guidelines on the
diagnosis and management of acute pulmonary embolism.
2014.
13.Adam Fox, DPM, DO, FACS. Assessment and Treatment of
Spinal Cord Injuries and Neurogenic Shock. 2014.
14.The World Allergy Organization. 2012 Update: World Allergy
Organization Guidelines for the assessment and management
of anaphylaxis. 2012.

17

15.Surviving Sepsis Campaign | Bundles [Internet].


Survivingsepsis.org. 2016 [cited 26 March 2016]. Available
from:
http://www.survivingsepsis.org/bundles/Pages/default.aspx

18

Anda mungkin juga menyukai