Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi
patogen dan kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang
bermanifestasi sebagai lesi kulit seperti kupu-kupu di wajah, perikarditis,
kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala susunan saraf pusat1.
Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang lalu dengan berbagai nama yang
merupakan sinonim dari lupus, seperti yang dikemukakan oleh Hippocrates (460370 SM) sebagai herpes esthiomenos dan herpes ulcerosus dari Amatus Lusitanus
(1510-1568). Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu seborhea
kongestif yang diyakini adalah suatu lupus eritematosus dengan gambaran seperti
kupu-kupu (butterfly rash) pada daerah pipi dan hidung. Adanya manifestasi
sistemik dan komplikasi serebral yang serius diperkenalkan oleh William Osler
(1895-1903).

Keterlibatan

kardiovaskuler

seperti

adanya

vaskulitis

dan

endokarditis mural dilaporkan oleh Libman dan Sacks (1923), sedangkan


gambaran patologi glomelurus ginjal diperkenalkan oleh Baehr, Klemperer dan
Schifrin serta Gross, Keith dan Rowntree2.
Insiden tahunan LES di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat
data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus
LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien LES atau 10.5%
dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama 2010.
Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat,
dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan
klinis yang kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode
aktif, terkendali ataupun remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul,
LES dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat4.
1

Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, berdasarkan


data yang diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian
pasien dengan LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada
tahun-tahun pertama mortalitas LES berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis5.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTIFIKASI
Nama
Tanggal Lahir
Usia
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Kewarganegaraan
Agama
Alamat
Tanggal MRS
Nomor MR

: Haryani binti Rohmatillah


: 15 Agustus 1996
: 19 tahun
: Perempuan
: Belum bekerja
: Indonesia
: Islam
: Griya Pasir Putih Permai Blok A No. 2 Banyuasin
: 3 Juni 2016
: 955324

2.2 ANAMNESIS
(Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 10 Juni 2016, pukul 15:00 WIB)
a. Keluhan Utama:
Lemas sejak 1 minggu SMRS
b. Keluhan Tambahan:
Nyeri pada sendi kaki bertambah berat sejak 2 minggu SMRS
c. Riwayat Perjalanan Penyakit:
1 tahun SMRS, os mengeluh nyeri sendi di kedua kaki, nyeri tidak
menjalar, nyeri dirasakan sepanjang hari, terutama saat berjalan, nyeri
mengganggu aktivitas, sendi kemerahan (-), sendi terasa panas (-). Os juga
mengeluh badan terasa lemas, demam (-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah
(-), berat badan menurun (-), nafsu makan menurun (-), BAK dan BAB tidak
ada keluhan. Os berobat ke dokter dan dikatakan sakit asam urat, keluhan
belum hilang.
2 bulan SMRS, os mengeluh timbul bercak kemerahan pada wajah dan
telinga, bercak bertambah merah bila terkena paparan matahari, tidak gatal,
dan tidak nyeri, rambut rontok (+), nyeri sendi di kedua kaki (+), nyeri tidak
menjalar, hilang timbul, sendi kemerahan (-), sendi terasa panas (-), demam
(-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-), berat badan menurun (-), nafsu
makan menurun (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan. Os tidak berobat.
1 bulan SMRS, os mengeluh timbul bercak kemerahan pada wajah dan
telinga bertambah banyak, tidak gatal, dan tidak nyeri, bercak bertambah
merah bila terkena paparan matahari, sebagian bercak menjadi berwarna
kehitaman, rambut rontok (+), nyeri sendi di kedua kaki (+), nyeri tidak
3

menjalar, hilang timbul, sendi kemerahan (-), sendi terasa panas (-), demam
(-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-), berat badan menurun (-), nafsu
makan menurun (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan. Os tidak berobat.
2 minggu SMRS, os mengeluh nyeri sendi di kedua kaki bertambah
berat, nyeri tidak menjalar, nyeri dirasakan sepanjang hari, terutama saat
berjalan, nyeri mengganggu aktivitas, sendi kemerahan (-), sendi terasa panas
(-). Os juga mengeluh badan terasa lemas, demam (-), batuk (-), pilek (-), mual
(-), muntah (-), berat badan menurun (-), nafsu makan menurun (-), BAK dan
BAB tidak ada keluhan, bercak kemerahan pada wajah (+), timbul bercak
kemerahan di tangan (+), sensitif terhadap cahaya matahari (+), rambut rontok
(+). Os belum berobat.
1 minggu SMRS, os mengeluh badan terasa lemas, pandangan gelap
dan berkunang-kunang (+), badan bewarna kuning (-), demam (+), naik turun
dan tidak terlalu tinggi, menggigil (-), batuk (-), pilek (-), mual (+), muntah
(-), nyeri ulu hati (-), nyeri pada kedua sendi kaki (+) memberat, hilang
timbul, nyeri tidak menjalar, dirasakan sepanjang hari, nyeri menganggu
aktivitas (+), bercak kemerahan pada wajah, terutama kedua pipi, timbul
bercak kemerahan di tangan (+), sensitif terhadap cahaya matahari (+), rambut
rontok (+). BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien kemudian berobat ke
dokter dan dirujuk ke IGD RSMH.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat nyeri sendi hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu, os berobat ke

dokter dan dikatakan sakit asam urat, keluhan tidak berkurang.


Kebiasaan minum teh 1-2 kali tiap minggu
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat sakit kuning disangkal
Riwayat minum alkohol disangkal
Riwayat merokok disangkal
Riwayat trauma disangkal
Riwayat pemakaian alat kontrasepsi disangkal
Riwayat tinggal dekat pabrik minuman

e. Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal


Riwayat darah tinggi dalam keluarga disangkal
4

Riwayat kencing manis disangkal

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


(Dilakukan pada tanggal 10 Juni 2016, jam 16:00 WIB)
a. Keadaan Umum
Keadaan sakit
: Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi
: 92 kali/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup
Pernafasan
: 20 kali/menit, reguler
Suhu
: 36,6 oC
Tinggi Badan
: 160 cm
Berat Badan
: 48 kg
IMT
: 18,75 kg/m2 (normoweight)
b. Keadaan Spesifik
Kepala : Normosefali, ekspresi wajar, rambut mudah rontok (+), alopesia
Mata

(-), deformitas (-), sembab wajah (-), butterfly rash (+)


: Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), pupil bulat, isokor, refleks cahaya (+/+), diameter

Hidung
Telinga

3mm/3mm.
: Deviasi septum nasal (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
: MAE lapang, selaput pendengaran tidak ada

Mulut

pendengaran baik
: Bibir kering (-), bibir pucat (+), sianosis (-), atrofi papil lidah (-),

Leher

lidah tremor (-), faring hiperemis (-), tonsil T1-T1,


: JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB aurikula (-), submandibular

kelainan,

(-), supraklavikula (-), aksila (-), struma (-)


Thoraks : Bentuk dada barrel chest (-), retraksi dinding dada (-)
Paru-paru
Inspeksi:
Statis dinamis simetris, pergerakan dinding dada tidak ada yang
tertinggal, retraksi (-)
Palpasi :
Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi:
Sonor pada kedua lapang paru, batas paru hepar ICS VI, batas
paru lambung ICS VII
Auskultasi:
suara napas pokok vesikuler (+)
Jantung

normal,

ronkhi (-/-),

wheezing (-/-)
Inspeksi:
Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi:
5

Iktus kordis tidak teraba


Perkusi:
Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan ICS V linea
sternalis kanan, batas jantng kiri ICS V linea midclavikularis
kiri
Auskultasi:
HR : 92 kali/menit, BJ I-II (+) normal, regular, murmur (-),
Abdomen

gallop (-)
Inspeksi:
Datar, striae (-), skar (-)
Palpasi :
Lemas, nyeri tekan (-)
Hepar teraba 2 jari bawah arcus costae, permukaan rata, kenyal,

sudut tumpul
Lien teraba schuffner I
Perkusi:
Timfani, shifting dullness (-)
Auskultasi:
Bising usus (+) normal, 3 kali/menit
Kulit
: Discoid rash
Genitalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat (+) Palmar pucat (+/+), discoid lession (+) kedua
tangan, edema pretibial (-/-)
2.4

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (tanggal 1 Juni 2016)
Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
RBC
WBC
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
LED
Hitung jenis leukosit
Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Retikulosit
Coombs test
Kimia Klinik

Hasil

Rujukan

3,1
0,98
12,1
9
365
91,8
31,6
34,4
2

11,4 15,0
4,0 5,7
4,73 10,89
35 45
189 436
85 95
28 32
33 35
< 20

0
1
51
37
11
3,8
Positif

01
16
50 70
20 40
28
0,5 1,5
Negatif

Hati
Bilirubin total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek
AST/SGOT
ALT/SGPT
Metabolisme karbohidr
Gula sewaktu
Imunoserologi
C3
C4
Ginjal
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Kalsium
Natrium
Kalium
Urinalisis
Protein
Bilirubin
Urobilinogen
Sedimen urine
Epitel

0,1 1,0
0 0,2
< 0,8
0 32
0 31

95

<200

44,0
3,00

90 180
10 40

22
0,58

16,6 48,5
0,5 0,9

8,1
135
4,2

9,2 11,0
135 155
2,5 5,5

Negatif
Negatif
8

Negatif
Negatif
0,1 1,8

Positif +

Negatif

Laboratorium (tanggal 9 Juni 2016)


Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
RBC
WBC
Hematokrit
Trombosit
LED
Hitung jenis leukosit
Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit

3,64
0,64
3,00
45
18

Hasil

Rujukan

5,5
1,64
8,4
15
343
2

11,4 15,0
4,0 5,7
4,73 10,89
35 45
189 436
< 20

0
0
45
44
11

01
16
50 70
20 40
2-8

Foto toraks (3 Juni 2016)


CTR < 50%
Trakea di tengah. Mediastinum superior tidak membesar
Kedua hilus tidak menebal dan melebar
Corakan bronkovaskuler tidak meningkat
Diafragma licin, sudut costrophrenicus lancip
7

Tulang tulang dan jaringan lunak baik.


Kesan: Tidak tampak kelainan radiologis pada foto thoraks
2.5

DIAGNOSIS KERJA
SLE dengan manifestasi Anemia hemolitik autoimun

2.6 DIAGNOSIS BANDING


SLE dengan manifestasi Anemia penyakit kronis

2.7 PENATALAKSANAAN
Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet tinggi karbohidrat tinggi protein
Edukasi
Farmakologi:

Metilprednisolon 3 x 16mg
Mikofenolat mofetil 2 x 50 mg
Metotreksat 7,5 mg/minggu
Asam folat 3 x 1 tab
CaCO3 2 x 1 mg
R/ Transfusi PRC 600cc

RENCANA PEMERIKSAAN
ANA test
Antids-DNA
Apusan darah tepi
Profil besi

2.8

2.9

PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam

2.10 FOLLOW UP
Tanggal

11 Juni 2016 (06.30 WIB)


8

S
O
Sensorium
Tekanan

Badan lemas (+)


Compos mentis
120/80 mmHg

darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Kepala

80 kali/menit
18 kali/menit
36,5oC
Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-) malar

Leher
Thoraks

rash
JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
HR 80 kali/menit, regular, murmur (-), gallop (-), napas

Abdomen

vesikuler (+) normal, rhonki (-), wheezing (-)


Datar, lemas, hepar teraba 2 jbac, lien teraba Schuffner I,

Ekstremitas
A
P

BU (+) normal
Akral hangat (+), Pucat (+), Edema pretibial (-)
SLE dengan manifestasi AIHA
Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet nasi biasa
Edukasi
Farmakologi:
Metilprednisolon 3 x 16mg
Mikofenolat mofetil 2 x 50 mg
Metotreksat 7,5 mg/minggu
Asam folat 3 x 1 tab
CaCO3 2 x 1 mg
R/ transfusi PRC 600 cc

Tanggal
S
O
Sensorium

12 Juni 2016 (06.30 WIB)


Badan lemas (+)

Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu

120/70 mmHg
88 kali/menit
20 kali/menit
36,9oC

Kepala

Konjungtiva palpebral pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), malar

Compos mentis

rash
9

Leher
Thoraks

JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)


HR 88 kali/menit, regular, murmur (-), gallop (-), napas

Abdomen

vesikuler (+) normal, rhonki (-), wheezing (-)


Datar, lemas, hepar teraba 2 jbac, lien teraba Schuffner I,

Ekstremitas
A
P

BU (+) normal
Akral hangat (+), pucat (+) Edema pretibial (-)
SLE dengan manifestasi AIHA
Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet nasi biasa
Edukasi
Farmakologi:
Metilprednisolon 3 x 16mg
Mikofenolat mofetil 2 x 50 mg
Metotreksat 7,5 mg/minggu
Asam folat 3 x 1 tab
CaCO3 2 x 1 mg
R/ transfusi PRC 600 cc

Tanggal
S
O
Sensorium

13 Juni 2016 (06.30 WIB)


Badan lemas (+)

Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu

120/80 mmHg
83 kali/menit
20 kali/menit
36,9oC

Kepala

Konjungtiva palpebral pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), malar

Leher
Thoraks

rash
JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
HR 83 kali/menit, regular, murmur (-), gallop (-), napas

Abdomen

vesikuler (+) normal, rhonki (-), wheezing (-)


Datar, lemas, hepar teraba 2 jbac, lien teraba Schuffner I,

Ekstremitas
A
P

Compos mentis

BU (+) normal
Akral hangat (+), pucat (+) Edema pretibial (-)
SLE dengan manifestasi AIHA
Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet nasi biasa
10

Edukasi

Farmakologi:
Metilprednisolon 3 x 16mg
Mikofenolat mofetil 2 x 50 mg
Metotreksat 7,5 mg/minggu
Asam folat 3 x 1 tab
CaCO3 2 x 1 mg
R/ transfusi PRC 450 cc
R/ cek darah rutin ulang

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
3.1.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan1.
Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang
ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada
beberapa organ tubuh4. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang
diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai
jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari
penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung
dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan
penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES
harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam
yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan
fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap
berperan dalam disregulasi sistem imun.

11

3.1.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan
pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).
Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 11.
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat
dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada
periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan,
sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan1.
3.1.3 Patogenesis
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,
faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik
memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat
pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur
sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada
kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat
komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang
mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan
sitokin6.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel
12

fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan


menimbulkan respon imun6.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi
terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu
amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi
pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan
apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius
terutama

virus dapat ditemukan

pada penderita

lupus. Virus

rubella,

sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis6.


Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon
estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES7,8. Autoantibodi
pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan antiDNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit,
trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks
imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi
pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal9.
3.1.4 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan
akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak
dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES
13

ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama
beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya
keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.
3.1.4.1 Manifestasi konstitusional1
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada
anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 oC tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil.
3.1.4.2 Manifestasi Muskuloskeletal1
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering
terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi berupa nyeri
otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana tampak
jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi
Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES
tidak ditemukan adanya deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit
dan sebagainya. Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas
penyakit dan terapi steroid.
3.1.4.3 Manifestasi Kulit9
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,
butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi
14

psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tandatanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari,
gangren.
3.1.4.4 Manifestasi Paru9
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa
radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal,
atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut
secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi
kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis
atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik terhadap pemberian
streroid.
3.1.4.5 Manifestasi Kardiologis1,9
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda
dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.
3.1.4.6 Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal
pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
3.1.4.7 Manifestasi Gastrointestinal1,9
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric
valkulitis, inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat
berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis

15

aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi
terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.
3.1.4.8 Manifestasi Hemopoetik9
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia
hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.
Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada
LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES
setelah ditemukan gambaran LES yang lain.
3.1.4.9 Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi

anti-fosfolipid

dapat

merupakan

penyebab

terbanyak

kelainan

serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan


pada 10% kasus. Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik
sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan
psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal
seringkali

tidak

memberikan

gambaran

yang

spesifik,

kecuali

untuk

menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak


memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan
untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
3.1.5 Penegakan Diagnosis
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan
berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
16

4. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa,


alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan
laboraturium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982,
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria,
maka diagnosis LES dapat ditegakan (lihat tabel 1).
Tabel 1. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik10
No. Kriteria
1
Ruam malar

Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.

Ruam diskoid

Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan

Fotosensitivitas

folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik


Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh

Ulkus oral

dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat

Artritis

oleh dokter pemeriksa.


Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.

Serositis:
a. Pleuritis

Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang


didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi

b. Perikarditis

pleura; atau
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub

Gangguan renal

atau terdapat bukti efusi perikardium


a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau > 3+ bila tidak
17

dilakukan pemeriksaan kuantitatif; atau


b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
8

Gangguan

granular, tubular atau campuran.


a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau

neurologi

gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau


ketidak-seimbangan elektrolit); atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit).

Gangguan
hematologi

a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. atau


b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih; atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih; atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh

10

Gangguan
imunologi

obat-obatan
a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal; atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm; atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang
didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda
standar, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes

11

Antibodi

fluoresensi absorpsi antibodi treponema.


Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan

antinuklear

pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat

(ANA) positif

pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan


obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.
18

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki


sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.
3.1.6 Pemeriksaan Penunjang
3.1.6.1 Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik (LES) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG
mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat.
Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme
granular atau sel darah merah pada urin.
3.1.6.2 Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES
adalah tes ANA generik (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada
LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan
tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit
autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid,
tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang
terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA

19

dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis
tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan LES.
Kesimpulannya,

pada

kondisi

klinik

adanya

anti-dsDNA positif

menunjang diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak


menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30%
pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes
anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis LES.
Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm
yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
3.1.7 Derajat Berat Ringannya Penyakit
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan
ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.
Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa11
3.1.7.1 Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi

organ

normal

atau

stabil,

yaitu:

ginjal,

paru,

jantung,

gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.


Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

20

3.1.7.2 Kriteria LES Derajat Sedang adalah:


a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor
3.1.7.3 Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:
a. Jantung:

endokarditis

Libman-Sacks,

vaskulitis

arteri

koronaria,

miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.


b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 1.000/mm 3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.

21

22

3.1.8 Penatalaksanaan LES Secara Umum


3.1.8.1 Edukasi12
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan
membentuk

kelompok

penderita

yang

bertemu

secara

berkala

untuk

membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami


fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu
banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu
menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau
payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi
terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita LES juga harus
menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,
penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.
Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama
penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan

kontraindikasi

untuk

kehamilan,

misalnya

antimalaria

atau

siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan


memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis
tinggi dan imunosupresan lainnya.
23

3.1.8.2 Program Rehabilitasi


Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan LES
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan LES
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.
Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi
rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas
lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan
manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
3.1.8.3 Terapi Konservatif
3.1.8.3.1 Athritis, athralgia dan myalgia1
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik
sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada
penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat
keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar
dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara
berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan
respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya
hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak
memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3
bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi
oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan
analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih
dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita LES.
24

3.1.8.3.2 Lupus Kutaneus1


Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi
akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar
inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita
fotosensitivitas harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan
menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menghindari
paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal
berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,
benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B.
Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid

lokal,

seperti

krem,

salep

atau

injeksi

dapat

dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-hati,


karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat
menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit
muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak
diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan
steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya

betametason valerat dan

triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan


plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi,
misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan
tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang
berkekuatan lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik
lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek
sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Pada penderita yang resisten
terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,
vaskulitis dan lesi LES berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik
adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang
kadang-kadang memperburuk ruam LES di kulit.

25

3.1.8.3.3 Kelelahan dan Keluhan Sistemik1


Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES,
demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul
akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat
juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam
mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup
menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat
dapat menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian
glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
3.1.8.3.4 Serositis1
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat
antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15
mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk
mengontrol penyakitnya
3.1.8.4 Terapi Agresif
3.1.8.4.1 Kortikosteroid12
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan
LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping,
kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi
dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Untuk
meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah
standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Tabel 2. Terminologi pembagian kortikosteroid
Dosis rendah
Dosis sedang
Dosis tinggi
Dosis sangat tinggi
Terapi pulse

< 7.5 mg prednison atau setara per hari


>7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara per hari
>30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara per hari
>100 mg prednison atau setara per hari
>250 mg prednison atau setara per hari untuk 1 hari atau

beberapa hari
Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana kasus

rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang relatif tenang.
26

Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang aktif. Dosis sangat tinggi
dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas,
nephritis lupus, lupus cerebral.
Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang
mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya
diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon diberikan selama 3
hari berturut-turut.
3.1.8.4.2 Sparing Agen Kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit
dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah
siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan metrotrexate.
1) Siklofosfamid1
Indikasi siklofosfamid pada LES :

Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing

agent).
Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama

atau berulang.
Glomerulonefritis difus awal.
LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa

adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.


LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl 0,9%

selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah
pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid
diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2
tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan
fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau.
Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya
27

diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml


menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus
ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi
mual dan muntah, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi
ovarium dan azoospermia.
2) Azatioprin1
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai
alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan
secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES,
setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin,
maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah
penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik. Toksisitas azatioprin meliputi
penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan
keganasan.
3) Siklosporin1
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah
Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES
baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah.
Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum
pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.

Algoritma Penatalaksanaan LES

28

Keterangan :
TR
RS
RP
OAINS

: tidak respon
: respon sebagian
: respon penuh
: obat anti inflamasi
non steroid

CYC
NPSLE
KS
AZA
MP

: siklofosfamid
: neuropsikiatri SLE
: kortikosteroid setara prednison
: azatioprin
: metilprednisolon

3.1.9 Lupus Eritematosus Sistemik dalam keadaan khusus


3.1.9.1 Lupus dalam Kehamilan12
Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES.
Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun
umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka
50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan
sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan. Kemungkinan
untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia juga meningkat pada penderita
dengan nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti
fosfolipid (APS).
Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a) Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah 6
bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada
29

lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini
dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
b) Kontrasepsi untuk LES12
Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada para penderita lupus sangatlah
terbatas, dan masing-masing harus diberikan secara individual, tergantung
kondisipenderita. Kontrasepsi oral merupakan pilihan bagi penderita dengan
keadaan yang stabil, tanpa sindrom antifospolipid (APS). Kekhawatiran
penggunaan kontrasepsi oral ini sebelumnya adalah kekambuhan penyakit
akibat hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi, namun penelitian
mendapatkan

bukti

ini

sangat

lemah.

Kontrasepsi

oral

merupakan

kontraindikasi pada penderita LES dengan APS karena dapat mengakibatkan


trombosis. Sementara penggunaan intra uterine device (IUD) pada penderita
yang

mendapat

kortikosteroid

atau

obat

imunosupresan

tidak

direkomendasikan, karena risiko terhadap infeksi, sehingga pilihan hanya


terbatas pada kondom. Depomedroxy progesteron acetate (DMPA) dapat
merupakan suatu pilihan, namun akhir-akhir ini dikhawatirkan adanya
kemungkinan efek negatifnya pada masa tulang (menimbulkan osteoporosis),
sehingga hanya diberikan berdasarkan indikasi tiap-tiap individu, contohnya
mereka dengan kelainan perdarahan dan keterbelakangan mental, DPMA
merupakan pilihan yang terbaik.
c) Medikamentosa:
Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi 7,5

mg/hari prednison atau setara.


DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh
kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan obat-obat
tersebut.

Tabel 3. Obat-obatan pada kehamilan dan menyusui12


Nama obat
NSAID
Anti malaria
Kortikosteroid

Kehamilan
Boleh (hindari setelah minggu ke 32
Boleh
Boleh sebaiknya dosis tidak lebih dari

Menyusui
Boleh
Boleh
Boleh sampai
30

7.5 mg/hari

20 mg/hari

Siklosporin
Azitosprin

Boleh
Boleh, dosis sebaiknya tidak lebih dari

Boleh
Boleh

Metrotrexat

1,5-2 mg/kgBB/hari
Tidak, dan harus dihentikan minimal 3

Tidak

Siklofosfamid
Wafarain
Heparin
Aspirin dosis rendah

bulan sebelum konsepsi


Tidak
Tidak
Boleh
Boleh

Tidak
Boleh
Boleh
Boleh

3.1.9.2 Sistemik dengan Antifosfolipid (APS)12


Sindroma anti fosfolipid (APS) atau yang dikenal sebagai sindroma
Hughes merupakan suatu kondisi autoimun yang patologik di mana terjadi
akumulasi dari bekuan darah oleh antibodi antifosfolipid. Penyakit ini merupakan
suatu kelainan trombosis, abortus berulang atau keduanya disertai peningkatan
kadar antibodi antifosfolipid yang menetap yaitu antibodi antikardiolipin (ACA)
atau lupus antikoagulan (LA). Diagnosis APS ditegakkan berdasarkan konsensus
internasional kriteria klasifikasi sindroma anti fosfolipid (Sapporo) yang
disepakati tahun 2006, apabila terdapat 1 gejala klinis dan 1 kelainan laboratorium
sebagaimana tertera di bawah ini:
Kriteria Klinis:
a) Trombosis vaskular: Penyakit tromboembolik vena (Trombosis vena dalam,
emboli pulmonal)
b) Penyakit tromboemboli arteri : Trombosis pembuluh darah kecil
c) Gangguan pada kehamilan:
Satu kematian fetus normal yang tak dapat dijelaskan pada usia 10

minggu kehamilan atau


Satu kelahiran prematur neonatus normal pada usia kehamilan 34

minggu atau
Tiga abortus spontan berturut-turut yang tak dapat dijelaskan pada usia
kehamilan < 10 minggu

Kriteria Laboratorium:
a) Positif lupus antikoagulan
b) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi antikardiolipin (sedang atau tinggi).
c) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi anti-beta2 glikoprotein (anti 2 GP)
I (sedang atau tinggi).
31

Perbedaan waktu antara pemeriksaan yang satu dengan yang berikutnya adalah 12
minggu untuk melihat persistensinya
3.1.9.3 Neuropsikiatri Lupus Eritematosus (NPSLE)12
Prevalensi NPSLE bervariasi antara 15%-91% tergantung pada kriteria
diagnosis dan seleksi penderita.14,59,60 Manifestasi klinis NPSLE sangat
beragam mulai dari disfungsi saraf pusat sampai saraf tepi dan dari gejala kognitif
ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan psikiatrik yang berat seperti
stroke dan psikosis. Sulitnya mempelajari kasus NPSLE akibat tidak adanya
kesepakatan dalam definisi penyakit, karena itu American College of
Rheumatology

(ACR)

mengeluarkan

suatu

klasifikasi

untuk

membuat

keseragaman tersebut.
Tabel 4. Sindrom neuropsikiatrik pada SLE menurut ACR
Sistem saraf pusat
Sistem saraf perifer
Acute confusional state
Polineuropati
Disfungsi kognitif
pleksopati
psikosis
Mononeuropati (tunggal/ multi pleks)
Gangguan mood
Sindrom guillain-Barre
Gangguan cemas
Gangguan otonom
Nyeri kepala (termasuk migrain
Mistenia gravis
dan hipertensi intrakranial ringan)
Penyakit serebrovaskular
Mielopati
Gangguan gerak
Sindrom demielinisasi
Kejang
Meningitis aseptik
Neuropati kranial
Berdasarkan kriteria ACR ini, beberapa penelitian mendapatkan
manifestasi terbanyak NPSLE adalah disfungsio gknitif dan sakit ekpala.
Patogenesis NPSLE sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti, namun
tampaknya NPSLE bukan disebabkan oleh satu mekanisme saja, namun berbagai
mekanisme. Sekitar 60% kasus NPSLE tidak ditemukan penyebabnya sehingga
disimpulkan LES sendiri sebagai penyebab manifestasi tersebut (NPSLE primer)
sedangkan sisanya 40% disebabkan oleh faktor sekunder yang berhubungan
dengan LES seperti infeksi, efek samping obat atau gangguan metabolik akibat
kerusakan pada organ lain dalam tubuh.
32

Pemeriksaan penunjang untuk NPSLE


Tidak ada suatu pemeriksaan ataupun gejala khusus yang dapat
membedakan NPSLE primer atau sekunder. Pada penelitian didapatkan 47%
penderita dengan NPSLE primer tidak menunjukan abnormalitas pada MRI
konvensional. Namun demikian MRI ini dipelurkan untuk menyingkirkan
penyebab lain NPSLE59. Suatu teknik baru yang disebut Magnetization Transfer
Imaging (MTI) yaitu teknik MRI yang dapat memberikan informasi secara
kuantitatif. Alat inilebih sensitif dari MRI konvensional dalam mendeteksi NPSLE
primer, termasuk mendeteksi kelainan otak pada mereka dengan riwayat NPSLE
tanpa gejala aktif NP saat pemeriksaan dilakukan.
3.1.9.4 Lupus Nefritis12
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan LES.
Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan
penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi
perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan transplantasi atau cuci
darah.
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka
seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, evaluasi
aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan menentukan
prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria World Health Organization
(WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh International Society of
Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS) tahun 2003 Klasfikasi WHO
dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari imun kompleks, sementara
klasiikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan
kronis.
Tabel 5. Klasifikasi lupus nefritis oleh International Society of Nephrology/Renal
Pathology Society 2003 (ISN/RPS)12
Kelas I Minimal mesangial lupus nefritis
Kelas II Mesangial proliferative lupus nefritis
Kelas III Fokal lupus nefritis
III (A)

: Lesi aktif : fokal proliferatif lupus nefritis


33

III (A/C) : Lesi aktif dan kronis : fokal proliferatif dan sklerosing lupus nefritis
III (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
Kelas IV Difuse lupus nefritis
IV-S (A)

: Lesi aktif : difus segmental proliferatif lupus nefritis

IV-G (A)

: Lesi aktif: difus global prolifertif lupus nefritis

IV-S (A/C) : Lesi aktif dan kronis


IV-G (A/C) : Lesi aktif dan kronis
IV-S (C)

: Lesi kronis tidak aktif dengan skar

IV-G (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar


Kelas V Membranous lupus nefritis
Kelas VI Advanced sklerotik lupus nefritis

Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala sering


tidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau
hipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut adalah
pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum kreatinin, serologi anti dsDNA dan
C3.
Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi prognosis.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk tersebut adalah ras
hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid, gagal terhadap terapi
imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk.
Tatalaksana Lupus Nefritis12
a. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak
terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap
komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tersedianya
dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan sangat berbeda pada
kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi ginjal diperlukan pada
pasien dengan perubahan gambar klinis dimana terapi tambahan agresif
diperlukan.
b. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama sedimen,
kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds DNA,
proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung situasi klinis. Pada
penyakit glomerulonefritis progesif diperlukan pemeriksaan kreatinin serum

34

harian, untuk parameter lain diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk


berubah.
c. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien dengan
riwayat

glomerulonefritis

adalah

<

120/80

mmHg.

Beberapa

obat

antihipertensi banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan


angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama
untuk pasien dengan proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja atau
dengan kombinasi. Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh pasien
hipertensi dengan lupus nefritis aktif. Bila diperlukan loop diuretik dipakai
untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi dengan monitor elektrolit
yang baik.
d. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko prematur
aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga
harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target terapi
menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah kolesterol
serum < 180 mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan LES masih
meningkat pada kolesterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus dengan
hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak seperti HMG
Co-A reductase inhibitors
e. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena
infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES
f. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis
lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3
bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi, obatobatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat (kecuali
terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.
g. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan parameter
berikut: tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium, gula
darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi gonad, dan
densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi klinis dimana
dapat diperkirakan dampak buruk dari kortokosteroid.
h. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat anti inflamasi non steroid, karena
dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan hipertensi serta
35

meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi bila dikombinasi


dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya). Bila sangat
diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam waktu singkat,
dengan pemantauan yang ketat.
i. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat risiko
morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian gagal ginjal
juga meningkat.
3.1.10 Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien
dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat
kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada LES kurang dari 50%. Saat
ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata
melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir
adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir
di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan
angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis
yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan
kemajuan dalam perawatan medis umum.

3.2. ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN


3.2.1. Definisi
Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120
hari (umur eritrosit normal). Anemia hemolitik dapat terjadi jika aktivitas
sumsum tulang tidak dapat mengimbangi hilangnya eritrosit. Anemia hemolitik
autoimun merupakan kelainan yang terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit
yang menyebabkan umur eritrosit memendek.1 Anemia hemolitik autoimun
(autoimmune hemolytic anemia = AIHA /AHA) merupakan suatu kelainan
dimana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit yang menganggap eritrosit
sebagai antigen non-selfnya sehingga umur eritrosit memendek.Antibodi yang
khas pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang
berbeda-beda.
36

3.2.2. Epidemiologi
Anemia hemolitik automun (AHIA) merupakan penyakit yang langka.
Penelitian terbaru menyebutkan kejadian 0,8/100.000 per tahun dengan prevalensi
17/100.000. AIHA primer lebih jarang terjadi dibandingkan AIHA sekunder
(Lechner, 2010). Pada anak-anak kejadian AIHA terjadi sebagai akut self limited
illness, dan memberikan respon bagus melalui terapi steroid pada 80% pasien.
Onset AIHA baik pada anak-anak maupun dewasa terjadi awalnya tidak diketahui
sampai akhirnya menjadi kronik.2
3.2.3. Etiologi
Pada anemia hemolitik autoimun, antibodi abnormal langsung menyerang
antigen membran eritrosit, tetapi patogenesis induksi anibodi ini tidak diketahui
secara pasti. Auto-antibodi mungkin memproduksi respon imun yang tidak sesuai
terhadap antigen eritrosit atau terhadap antigen epitop yang serupa dengan antigen
eritrosit. Agen infeksius dapat mengubah membran eritrosit sehingga menjadi
asing atau antigen terhapat host.3
Beberapa penyebab tidak normalnya sistem imun antara lain:
1. Obat-obatan:
Alpha-methyldopa
L-dopa
2. Infeksi
Infeksi virus
Mycoplasma pneumonia
3. Keganasan
Leukemia
Lymphoma (Non-Hodgkins tapi kadang juga pada Hodgkins)
4. Penyakit Collagen-vascular (autoimun) contoh: Lupus
3.2.4. Klasifikasi
Anemia hemolitik autoimun diklasifikasikan sebagai berikut :
Tabel 6. Klasifikasi Anemia Hemolitik Autoimun
I. Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)
A. AIHA tipe hangat
1. Idiopatik
37

2. Sekunder (karena limfoma, SLE)


B. AIHA tipe dingin
1. Idiopatik
2. Sekunder (infeksi mycoplasma, virus, keganasan limforetikuler)
C. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
1. Idiopatik
2. Sekunder (viral dan sifilis)
D. AIHA atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
II. AIHA diinduksi obat
III. AIHA diinduksi aloantibodi
A. Reaksi hemolitik transfusi
B. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
3.2.5. Patofisiologi
Patofisiologi anemia hemolitik autoimun ini terjadi melalui aktifasi sistem
komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
1. Aktifasi sistem komplemen
Sistem komplemen diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur klasik dan jalur
alternatif . secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan
hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intraveskuler. Hal ini
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah
IgM, IgG1,IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin oleh karena
berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel eritrosit pada suhu
dibawah suhu tubuh, sedangkan IgG disebut aglutinin hangat oleh karena
bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
a. Aktifasi komponen jalur klasik
Reaksi diawali dengan aktifasi C1 (suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit). C1 berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan
menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi reaksi pada jalur klasik. C1
akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi kompleks C4b,2b (C3-convertase).
C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami
perubaha konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan
partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3
38

juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan C3g akan tetap
berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk final aktifasi
C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5
convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan
C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks
penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa C9.
Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran
transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu,
menyebabkan air dan ion masuk kedalam sel sehingga sel membengkak dan
ruptur.
b. Aktifasi komplemen jalur alternatif
Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan melekat
pada C3b, dan oleh D faktor B akan dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb
merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb
lalu akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan
dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5 akan
berperan dalam penghancuran membran.
2. Aktifasi mekanisme seluler
Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen
atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak tejadi aktifasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan
sel eritrosit yang diperantarai oleh sel. Immunoadherenceterutama yang
diperantarai oleh IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
3.2.6. Gejala dan Tanda
a. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi bereaksi
secara optimal pada suhu 37oC. Kurang lebih 50% AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain. Pada AIHA tipe hangat onset penyakit tersamar, gejala anemia
terjadi perlahan-lahan, ikterik (40% pasien), dan demam. Pada beberapa kasus
terdapat gejala mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin
berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Pada AIHA idiopatik
splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali pada 30%, dan limfadenopati
39

pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak terjadi pembesaran organ dan
limfonodi.
b. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia
biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis dan
splenomegali.
c. Paroxysmal cold hemoglobinuri
Merupakan bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi
secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Hemolisis paroksismal
disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung
beberapa jam. Sering dosertai urtikaria.
d. Anemia hemolitik autoimun yang diinduksi obat
Riwayat pemakaian obat tertentu positif. Banyak obat yang dapat menginduksi
pembentukan autoantibodi terhadap eritrosi autolog, seperti methyldopa. Sel
darah merah juga bisa mengalami trauma oksidatif, contoh obat yang
menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin,
aminosalicylic acid. Pasien dengan hemolisis yang timbul melalui mekanisme
hapten (penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat misalnya
penisilin) atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan
sampai sedang. Bila kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe
innocent bystander akibat obat kinin, kuinidin, ssulfonamid, sulfonylurea, dan
thiazide) yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak
dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut,
maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemmaparan dengan dosis tunggal.
e. Anemia hemolitik aloimun karena transfusi
Hemolisis yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan
karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (transfusi PRC golongan A pada
penderita golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum)
yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien
akan mengalami sesak nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual,
muntah, dann syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah
transfusi.
3.2.7.

Diagnosis pada anemia hemolitik autoimun

Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit


40

a. Direct Antiglobulin Test (direct Coombs test)


Sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan
dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai immunoglobulin
dan fraksi komplemen, terhadap IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel
terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.
b. Indirect antiglobulin test (indirect Coombs test)
Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat dalam serum. Serum pasien
direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum
akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera
dengan terjadinya aglutinasi
Laboratorium pada anemia hemolitik autoimun
a. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Hemoglobin sering dijumpai bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk biasanya
positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam seru dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan
bereaksi dengan semuasel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini
biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya
antigen Rh.
b. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Anemia ringan, sferositosis, polikromatosis, tes Coomb positif, anti-I, anti-Pr,
anti-M, atau anti-P
c. Paroxysmal cold hemoglobinuri
Hemoglobulinuria, sferositosis, eritrofagositos, Coomb positif, antibody
Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah
d. Anemia hemolitik imun diinduksi obat
Anemia,

retikulosis,

MCV

tinggi,

tes

Coomb

positif,

lekopenia,

trombositopenia, hemoglobulinemia, hemoglobulinuria sering terjadi pada


hemolisis yang diperantarai kompleks ternary.
3.2.8.

Penatalaksanaan pada anemia hemolitik autoimun


41

a. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat


- Kortikosteroid
1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam dua minggu sebagian besar akan menunjukkan
respon klinis baik (hematokrit meningkat, retikulosit meningkat, tes Coomb
direk positif lemah, tes Coomb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan
dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon terhadapt
steroid, dosis diturunka setiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari.
Terapi steroid dosis < 30mg/hari dapat diberikan secara selang sehari.
Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah.
Namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar
hematokrit, maka perlu segera memperrtimbangkan terapi dengan modalitas
-

lain.
Splenektomi
Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak dapat dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dpertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih
bisa terus berlangsung setelah splenektomi, tetapi akan dibutuhkan jumlah sel
eritrosit yang terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk
menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca
splenektomi mencapai 50-75%, tetapi tidak bersifat permanen. Glukokortikoid

dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.


Imunosupresi
Azathioprin 50-20 mg/hari (80mg/m2), siklofosfamid

50-150mg/hari

(60mg/m2)
Terapi lain
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid.
Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Kombinasi danazol dan prednisone
memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisisal dan memberikan respon
pada 80% kasus. Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau
Evans Syndrome.
Terapi immunoglobulin

intravena

(400mg/kgBB/hari

selama

hari)

menunjukkan perrbaikan pada beberapa pasien, tetapi dilaporkan terapi ini


nuga tidak efekrif pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya

42

40%. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan reponnya bersifat
sementara.
Mycophenolate mofetil 500 mg/hari sampai 1000 mg/hari dilaporkan
memberikan hasi yang bagus pada AIHA refrakter.
Rituximab dan Alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon
yang cukup menggembirakan sebagai salbage terapi. Dosis Rituximab 100

mg/minggu selama 4 minggu tampa memperhitungkan luas permukaan tubuh.


Terapi plasmafaresis masih controversial.
Terapi transfusi
Terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kodisi yang
mengancam jiwa (misal Hb < 3g/dl) transfusi dapat diberika,

sambil

menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.


b. Anemia hemolitik imun tipe dingin
Pasien harus menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis.
Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu Chrolambucil 2-4 mg/hari.
Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi
hemolisis tetapi secara praktik hal ini sukar dilakukan.
c. Paroxysmal cold hemoglobulinuri
Menghindari faktor pencetus pada pasien,glukokortikoid dan splenektomi tidak
ada manfaatnya
d. Anemia hemolitik imun yang diinduksi obat
Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat
dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi
berat.
3.2.9.

`
Prognosis anemia hemolitik autoimun
a. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian

besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, tetapi terkendali.


Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan
kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif.
Mortalitas 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekuder
tergantung penyaikit yang mendasari.
b. Anemia hemolitik imun tipe dingin
Pasien dengan sindroma kronik akan memiliki survival baik dan cukup stabil.
c. Paroxysmal cold hemoglobulinuri
Pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki prognosis. Prognosis
pada kasus-kasus idiopatk pada umumnya juga baik dengan survival yang
panjang
43

3.3. ANEMIA PENYAKIT KRONIS


3.3.1 Definisi
Anemia yang dijumpai dengan infeksi, inflamasi kronis, maupun
keganasan. Anemia ini umumnya bersifat ringan atau sedang disertai dengan rasa
lelah atau penurunan berat badan.
3.3.2 Etiologi dan Etiopatogenesis
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti pada infeksi
kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif sedikit. Penyakit kolagen dan
artritis rheumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, colitis
ulseratif serta sindrom inflamasi yang lainnya juga dapat disertai anemia pada
penyakit kronis.
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih
dalam stadium dini dan asimptomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia
ini biasanya disebut dengan anemia pada kanker.
Pemendekan Masa Hidup Eritrosit
Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stres hematologi,
dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan karena
infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi
makrofag sehigga mengikat lebih banyak zat besi , meningkatkan destruksi di
limpa,

menekan

produksi

eritropoietin

oleh

ginjal

serta

menyebabkan

perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang. Pada keadaan


lebh lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 menjadi T3
menyebabkan hipotiroid fungsional di mana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang
mengangkut O2 sehingga sintesis eritropeitin pun berkurang.
Penghancuran Eritrosit
Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek
pada sekitar 20-30 % pasien. Defek ini terjadi di ekstrakopuskular karena bila
44

eritrosit pasien ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal.


Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis
makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa menjadi kurang tolerana
terhadap perubahan atau kerusakan minor dari eritrosit
3.3.3 Gambaran Klinis
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali
gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena dasarnya karena kadar
Hb sekitar 7-11gr/dL umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam
atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapisitas transport O2 jaringan akan
memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik, umunya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa
kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari
hasil pemeriksaan laboratorium.
3.3.4 Pemeriksaan Laboratorium
Anemia umunya adalah normokrom normositer meskipun banyak pasien
mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC <31g/dL dan beberapa
mempunyai sel mikrositer dengan MCV <80fL. Nilai retikulosit absolut dalam
batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak
konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya.
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk
diagnosis anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu
infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein
pengikat Fe ( transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi
daripada anemia defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin
mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang
dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat daripada
penurunan kadar Fe serum disebabkan karenawaktu paruh transferin lebih lama

45

(8-12hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang
berbeda.
3.3.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi dan keganasan
menderita anemia, anemia tersebut disebut sebagai anemia penyakit kronis hanya
jika anemia sedang, selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan
TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsumtulang normal atau
meningkat, serta feritin serum yang meningkat.
Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan diagnosis banding atau
mengaburkan diagnosis anemia penyakit kronis
1. Anemia dilusional. Pada penyakit kronis terutama pada keganasan stadium
lanjut.
2. Drug-induced marrow supression atau drug-induced hemolysis. Pada
penekanan sumsum tulang akibat obat, kaar besi serum tinggi. Pemeriksaan
hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs harus
dilakukan untuk menyingkirkan hemolisis
3. Perdarahan kronis
4. Thalasemia minor
5. Gangguan ginjal. Pada keadaan ini umur eritrosit memendek dan terdapat
kegagalan relatif sumsum tulang
6. Metastasis pada sumsum tulang
3.3.6 Pengobatan
Transfusi
Preparat besi
Eriropoietin

46

BAB IV
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini, pasien merupakan seorang wanita dan berusia 19 tahun.
Berdasarkan epidemiologi, SLE banyak diderita oleh wanita dalam usia masa
reproduksi (15-40 tahun). Faktor yang menyebabkan terjadinya SLE adalah faktor
genetik, faktor hormonal dan faktor lingkungan. Pada pasien ini, faktor
presdiposisinya adalah faktor hormonal karena pasien merupakan seorang wanita
dan faktor lingkungan, seperti stres, paparan sinar matahari, dan pasien
mempunyai riwayat tinggal dekat pabrik
Pada pasien ini, diagnosis SLE manifestasi anemia hemolitik autoimun
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. SLE
dapat ditegakkan jika terdapat 5 kriteria dari 11 kriteria ARA. Pada penderita ini,
kriteria ARA yang ditemukan adalah malar rash, discoid rash, fotosensitifitas,
artritis, anemia dan juga gangguan hematologi yaitu didapatkan retikulositosis.
Pada penderita ini, terdapat 7 dari 11 kriteria ARA sehingga dapat ditegakkan
diagnosis SLE.
Penegakkan diagnosis anemia hemolitik autoimun adalah dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan dari
47

penelitian, 10% dari penderita SLE menderita anemia hemolitik autoimun. Dari
anamnesis, pasien mengeluh lesu, lemas dan pandangan berkunang-kunang.
Pasien juga menderita SLE. Setelah dihitung MCV dan MCH pasien ini,
didapatkan anemia normokrom normositer. retikulositosis 3,8% dan coombs test
(+). Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, pasien
diduga anemia hemolitik autoimun. Ini sekaligus menyingkirkan diagnosis
banding anemia penyakit kronis. Untuk lebih memastikan diagnosis ini, rencana
pemeriksaan yang akan dilakukan adalah pemeriksaan ANA dan antids-DNA test,
apusan darah tepi, dan profil besi.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian kortikosteroid,
imunosupresan, dan juga transfusi darah.
Prognosis pada pasien ini secara vitam dan fungsionam adalah dubia ad
bonam namun untuk sanationam adalah dubia ad malam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2009.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.
2. NN. 2009. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik. Dikutip dari :
http://digilib.unsri.ac.id/download/Lupus%20eritematosus.pdf
3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS.2006. Epidemiology of systemic
lupus rythematosus: a comparison of worldwide disease burden.
Lupus;308-318.
4. NN. Lupus dan Penatalaksanaannya. 2010. Dikutip dari :
http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan
%20penatalaksanaannya.pdf
5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA,
Ogryzlo MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus
Erythematosus. Am J Med;60:221-225.
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus
page. J Clin Pathol; 481-490.
7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum; 2100-2110

48

8. Kanda N, Tamaki K. 1999. Estrogen enhances immunoglobulin production


by human peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol;
282-288
9. DCruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus:
pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. [cited 2011 Dec 7].
Available from
http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pd
f
10. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothield NF, et al.
1982. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum; 1271-1277
11. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus
erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96
12. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta

49

Anda mungkin juga menyukai