Isi Fix
Isi Fix
PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi
patogen dan kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang
bermanifestasi sebagai lesi kulit seperti kupu-kupu di wajah, perikarditis,
kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala susunan saraf pusat1.
Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang lalu dengan berbagai nama yang
merupakan sinonim dari lupus, seperti yang dikemukakan oleh Hippocrates (460370 SM) sebagai herpes esthiomenos dan herpes ulcerosus dari Amatus Lusitanus
(1510-1568). Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu seborhea
kongestif yang diyakini adalah suatu lupus eritematosus dengan gambaran seperti
kupu-kupu (butterfly rash) pada daerah pipi dan hidung. Adanya manifestasi
sistemik dan komplikasi serebral yang serius diperkenalkan oleh William Osler
(1895-1903).
Keterlibatan
kardiovaskuler
seperti
adanya
vaskulitis
dan
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTIFIKASI
Nama
Tanggal Lahir
Usia
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Kewarganegaraan
Agama
Alamat
Tanggal MRS
Nomor MR
2.2 ANAMNESIS
(Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 10 Juni 2016, pukul 15:00 WIB)
a. Keluhan Utama:
Lemas sejak 1 minggu SMRS
b. Keluhan Tambahan:
Nyeri pada sendi kaki bertambah berat sejak 2 minggu SMRS
c. Riwayat Perjalanan Penyakit:
1 tahun SMRS, os mengeluh nyeri sendi di kedua kaki, nyeri tidak
menjalar, nyeri dirasakan sepanjang hari, terutama saat berjalan, nyeri
mengganggu aktivitas, sendi kemerahan (-), sendi terasa panas (-). Os juga
mengeluh badan terasa lemas, demam (-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah
(-), berat badan menurun (-), nafsu makan menurun (-), BAK dan BAB tidak
ada keluhan. Os berobat ke dokter dan dikatakan sakit asam urat, keluhan
belum hilang.
2 bulan SMRS, os mengeluh timbul bercak kemerahan pada wajah dan
telinga, bercak bertambah merah bila terkena paparan matahari, tidak gatal,
dan tidak nyeri, rambut rontok (+), nyeri sendi di kedua kaki (+), nyeri tidak
menjalar, hilang timbul, sendi kemerahan (-), sendi terasa panas (-), demam
(-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-), berat badan menurun (-), nafsu
makan menurun (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan. Os tidak berobat.
1 bulan SMRS, os mengeluh timbul bercak kemerahan pada wajah dan
telinga bertambah banyak, tidak gatal, dan tidak nyeri, bercak bertambah
merah bila terkena paparan matahari, sebagian bercak menjadi berwarna
kehitaman, rambut rontok (+), nyeri sendi di kedua kaki (+), nyeri tidak
3
menjalar, hilang timbul, sendi kemerahan (-), sendi terasa panas (-), demam
(-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-), berat badan menurun (-), nafsu
makan menurun (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan. Os tidak berobat.
2 minggu SMRS, os mengeluh nyeri sendi di kedua kaki bertambah
berat, nyeri tidak menjalar, nyeri dirasakan sepanjang hari, terutama saat
berjalan, nyeri mengganggu aktivitas, sendi kemerahan (-), sendi terasa panas
(-). Os juga mengeluh badan terasa lemas, demam (-), batuk (-), pilek (-), mual
(-), muntah (-), berat badan menurun (-), nafsu makan menurun (-), BAK dan
BAB tidak ada keluhan, bercak kemerahan pada wajah (+), timbul bercak
kemerahan di tangan (+), sensitif terhadap cahaya matahari (+), rambut rontok
(+). Os belum berobat.
1 minggu SMRS, os mengeluh badan terasa lemas, pandangan gelap
dan berkunang-kunang (+), badan bewarna kuning (-), demam (+), naik turun
dan tidak terlalu tinggi, menggigil (-), batuk (-), pilek (-), mual (+), muntah
(-), nyeri ulu hati (-), nyeri pada kedua sendi kaki (+) memberat, hilang
timbul, nyeri tidak menjalar, dirasakan sepanjang hari, nyeri menganggu
aktivitas (+), bercak kemerahan pada wajah, terutama kedua pipi, timbul
bercak kemerahan di tangan (+), sensitif terhadap cahaya matahari (+), rambut
rontok (+). BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien kemudian berobat ke
dokter dan dirujuk ke IGD RSMH.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat nyeri sendi hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu, os berobat ke
Hidung
Telinga
3mm/3mm.
: Deviasi septum nasal (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
: MAE lapang, selaput pendengaran tidak ada
Mulut
pendengaran baik
: Bibir kering (-), bibir pucat (+), sianosis (-), atrofi papil lidah (-),
Leher
kelainan,
normal,
ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Inspeksi:
Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi:
5
gallop (-)
Inspeksi:
Datar, striae (-), skar (-)
Palpasi :
Lemas, nyeri tekan (-)
Hepar teraba 2 jari bawah arcus costae, permukaan rata, kenyal,
sudut tumpul
Lien teraba schuffner I
Perkusi:
Timfani, shifting dullness (-)
Auskultasi:
Bising usus (+) normal, 3 kali/menit
Kulit
: Discoid rash
Genitalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat (+) Palmar pucat (+/+), discoid lession (+) kedua
tangan, edema pretibial (-/-)
2.4
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (tanggal 1 Juni 2016)
Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
RBC
WBC
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
LED
Hitung jenis leukosit
Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Retikulosit
Coombs test
Kimia Klinik
Hasil
Rujukan
3,1
0,98
12,1
9
365
91,8
31,6
34,4
2
11,4 15,0
4,0 5,7
4,73 10,89
35 45
189 436
85 95
28 32
33 35
< 20
0
1
51
37
11
3,8
Positif
01
16
50 70
20 40
28
0,5 1,5
Negatif
Hati
Bilirubin total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek
AST/SGOT
ALT/SGPT
Metabolisme karbohidr
Gula sewaktu
Imunoserologi
C3
C4
Ginjal
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Kalsium
Natrium
Kalium
Urinalisis
Protein
Bilirubin
Urobilinogen
Sedimen urine
Epitel
0,1 1,0
0 0,2
< 0,8
0 32
0 31
95
<200
44,0
3,00
90 180
10 40
22
0,58
16,6 48,5
0,5 0,9
8,1
135
4,2
9,2 11,0
135 155
2,5 5,5
Negatif
Negatif
8
Negatif
Negatif
0,1 1,8
Positif +
Negatif
3,64
0,64
3,00
45
18
Hasil
Rujukan
5,5
1,64
8,4
15
343
2
11,4 15,0
4,0 5,7
4,73 10,89
35 45
189 436
< 20
0
0
45
44
11
01
16
50 70
20 40
2-8
DIAGNOSIS KERJA
SLE dengan manifestasi Anemia hemolitik autoimun
2.7 PENATALAKSANAAN
Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet tinggi karbohidrat tinggi protein
Edukasi
Farmakologi:
Metilprednisolon 3 x 16mg
Mikofenolat mofetil 2 x 50 mg
Metotreksat 7,5 mg/minggu
Asam folat 3 x 1 tab
CaCO3 2 x 1 mg
R/ Transfusi PRC 600cc
RENCANA PEMERIKSAAN
ANA test
Antids-DNA
Apusan darah tepi
Profil besi
2.8
2.9
PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam
2.10 FOLLOW UP
Tanggal
S
O
Sensorium
Tekanan
darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Kepala
80 kali/menit
18 kali/menit
36,5oC
Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-) malar
Leher
Thoraks
rash
JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
HR 80 kali/menit, regular, murmur (-), gallop (-), napas
Abdomen
Ekstremitas
A
P
BU (+) normal
Akral hangat (+), Pucat (+), Edema pretibial (-)
SLE dengan manifestasi AIHA
Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet nasi biasa
Edukasi
Farmakologi:
Metilprednisolon 3 x 16mg
Mikofenolat mofetil 2 x 50 mg
Metotreksat 7,5 mg/minggu
Asam folat 3 x 1 tab
CaCO3 2 x 1 mg
R/ transfusi PRC 600 cc
Tanggal
S
O
Sensorium
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
120/70 mmHg
88 kali/menit
20 kali/menit
36,9oC
Kepala
Compos mentis
rash
9
Leher
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
A
P
BU (+) normal
Akral hangat (+), pucat (+) Edema pretibial (-)
SLE dengan manifestasi AIHA
Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet nasi biasa
Edukasi
Farmakologi:
Metilprednisolon 3 x 16mg
Mikofenolat mofetil 2 x 50 mg
Metotreksat 7,5 mg/minggu
Asam folat 3 x 1 tab
CaCO3 2 x 1 mg
R/ transfusi PRC 600 cc
Tanggal
S
O
Sensorium
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
120/80 mmHg
83 kali/menit
20 kali/menit
36,9oC
Kepala
Leher
Thoraks
rash
JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
HR 83 kali/menit, regular, murmur (-), gallop (-), napas
Abdomen
Ekstremitas
A
P
Compos mentis
BU (+) normal
Akral hangat (+), pucat (+) Edema pretibial (-)
SLE dengan manifestasi AIHA
Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet nasi biasa
10
Edukasi
Farmakologi:
Metilprednisolon 3 x 16mg
Mikofenolat mofetil 2 x 50 mg
Metotreksat 7,5 mg/minggu
Asam folat 3 x 1 tab
CaCO3 2 x 1 mg
R/ transfusi PRC 450 cc
R/ cek darah rutin ulang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
3.1.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan1.
Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang
ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada
beberapa organ tubuh4. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang
diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai
jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari
penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung
dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan
penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES
harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam
yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan
fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap
berperan dalam disregulasi sistem imun.
11
3.1.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan
pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).
Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 11.
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat
dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada
periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan,
sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan1.
3.1.3 Patogenesis
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,
faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik
memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat
pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur
sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada
kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat
komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang
mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan
sitokin6.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel
12
pada penderita
lupus. Virus
rubella,
ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama
beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya
keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.
3.1.4.1 Manifestasi konstitusional1
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada
anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 oC tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil.
3.1.4.2 Manifestasi Muskuloskeletal1
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering
terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi berupa nyeri
otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana tampak
jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi
Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES
tidak ditemukan adanya deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit
dan sebagainya. Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas
penyakit dan terapi steroid.
3.1.4.3 Manifestasi Kulit9
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,
butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi
14
psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tandatanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari,
gangren.
3.1.4.4 Manifestasi Paru9
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa
radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal,
atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut
secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi
kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis
atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik terhadap pemberian
streroid.
3.1.4.5 Manifestasi Kardiologis1,9
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda
dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.
3.1.4.6 Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal
pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
3.1.4.7 Manifestasi Gastrointestinal1,9
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric
valkulitis, inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat
berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis
15
aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi
terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.
3.1.4.8 Manifestasi Hemopoetik9
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia
hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.
Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada
LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES
setelah ditemukan gambaran LES yang lain.
3.1.4.9 Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi
anti-fosfolipid
dapat
merupakan
penyebab
terbanyak
kelainan
tidak
memberikan
gambaran
yang
spesifik,
kecuali
untuk
Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid
Fotosensitivitas
Ulkus oral
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
Artritis
Serositis:
a. Pleuritis
b. Perikarditis
pleura; atau
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
Gangguan renal
Gangguan
neurologi
Gangguan
hematologi
10
Gangguan
imunologi
obat-obatan
a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal; atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm; atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang
didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda
standar, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes
11
Antibodi
antinuklear
(ANA) positif
19
dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis
tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan LES.
Kesimpulannya,
pada
kondisi
klinik
adanya
anti-dsDNA positif
organ
normal
atau
stabil,
yaitu:
ginjal,
paru,
jantung,
20
endokarditis
Libman-Sacks,
vaskulitis
arteri
koronaria,
21
22
kelompok
penderita
yang
bertemu
secara
berkala
untuk
kontraindikasi
untuk
kehamilan,
misalnya
antimalaria
atau
lokal,
seperti
krem,
salep
atau
injeksi
dapat
25
beberapa hari
Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana kasus
rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang relatif tenang.
26
Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang aktif. Dosis sangat tinggi
dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas,
nephritis lupus, lupus cerebral.
Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang
mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya
diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon diberikan selama 3
hari berturut-turut.
3.1.8.4.2 Sparing Agen Kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit
dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah
siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan metrotrexate.
1) Siklofosfamid1
Indikasi siklofosfamid pada LES :
agent).
Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama
atau berulang.
Glomerulonefritis difus awal.
LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa
selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah
pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid
diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2
tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan
fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau.
Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya
27
28
Keterangan :
TR
RS
RP
OAINS
: tidak respon
: respon sebagian
: respon penuh
: obat anti inflamasi
non steroid
CYC
NPSLE
KS
AZA
MP
: siklofosfamid
: neuropsikiatri SLE
: kortikosteroid setara prednison
: azatioprin
: metilprednisolon
lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini
dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
b) Kontrasepsi untuk LES12
Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada para penderita lupus sangatlah
terbatas, dan masing-masing harus diberikan secara individual, tergantung
kondisipenderita. Kontrasepsi oral merupakan pilihan bagi penderita dengan
keadaan yang stabil, tanpa sindrom antifospolipid (APS). Kekhawatiran
penggunaan kontrasepsi oral ini sebelumnya adalah kekambuhan penyakit
akibat hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi, namun penelitian
mendapatkan
bukti
ini
sangat
lemah.
Kontrasepsi
oral
merupakan
mendapat
kortikosteroid
atau
obat
imunosupresan
tidak
Kehamilan
Boleh (hindari setelah minggu ke 32
Boleh
Boleh sebaiknya dosis tidak lebih dari
Menyusui
Boleh
Boleh
Boleh sampai
30
7.5 mg/hari
20 mg/hari
Siklosporin
Azitosprin
Boleh
Boleh, dosis sebaiknya tidak lebih dari
Boleh
Boleh
Metrotrexat
1,5-2 mg/kgBB/hari
Tidak, dan harus dihentikan minimal 3
Tidak
Siklofosfamid
Wafarain
Heparin
Aspirin dosis rendah
Tidak
Boleh
Boleh
Boleh
minggu atau
Tiga abortus spontan berturut-turut yang tak dapat dijelaskan pada usia
kehamilan < 10 minggu
Kriteria Laboratorium:
a) Positif lupus antikoagulan
b) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi antikardiolipin (sedang atau tinggi).
c) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi anti-beta2 glikoprotein (anti 2 GP)
I (sedang atau tinggi).
31
Perbedaan waktu antara pemeriksaan yang satu dengan yang berikutnya adalah 12
minggu untuk melihat persistensinya
3.1.9.3 Neuropsikiatri Lupus Eritematosus (NPSLE)12
Prevalensi NPSLE bervariasi antara 15%-91% tergantung pada kriteria
diagnosis dan seleksi penderita.14,59,60 Manifestasi klinis NPSLE sangat
beragam mulai dari disfungsi saraf pusat sampai saraf tepi dan dari gejala kognitif
ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan psikiatrik yang berat seperti
stroke dan psikosis. Sulitnya mempelajari kasus NPSLE akibat tidak adanya
kesepakatan dalam definisi penyakit, karena itu American College of
Rheumatology
(ACR)
mengeluarkan
suatu
klasifikasi
untuk
membuat
keseragaman tersebut.
Tabel 4. Sindrom neuropsikiatrik pada SLE menurut ACR
Sistem saraf pusat
Sistem saraf perifer
Acute confusional state
Polineuropati
Disfungsi kognitif
pleksopati
psikosis
Mononeuropati (tunggal/ multi pleks)
Gangguan mood
Sindrom guillain-Barre
Gangguan cemas
Gangguan otonom
Nyeri kepala (termasuk migrain
Mistenia gravis
dan hipertensi intrakranial ringan)
Penyakit serebrovaskular
Mielopati
Gangguan gerak
Sindrom demielinisasi
Kejang
Meningitis aseptik
Neuropati kranial
Berdasarkan kriteria ACR ini, beberapa penelitian mendapatkan
manifestasi terbanyak NPSLE adalah disfungsio gknitif dan sakit ekpala.
Patogenesis NPSLE sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti, namun
tampaknya NPSLE bukan disebabkan oleh satu mekanisme saja, namun berbagai
mekanisme. Sekitar 60% kasus NPSLE tidak ditemukan penyebabnya sehingga
disimpulkan LES sendiri sebagai penyebab manifestasi tersebut (NPSLE primer)
sedangkan sisanya 40% disebabkan oleh faktor sekunder yang berhubungan
dengan LES seperti infeksi, efek samping obat atau gangguan metabolik akibat
kerusakan pada organ lain dalam tubuh.
32
III (A/C) : Lesi aktif dan kronis : fokal proliferatif dan sklerosing lupus nefritis
III (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
Kelas IV Difuse lupus nefritis
IV-S (A)
IV-G (A)
34
glomerulonefritis
adalah
<
120/80
mmHg.
Beberapa
obat
3.2.2. Epidemiologi
Anemia hemolitik automun (AHIA) merupakan penyakit yang langka.
Penelitian terbaru menyebutkan kejadian 0,8/100.000 per tahun dengan prevalensi
17/100.000. AIHA primer lebih jarang terjadi dibandingkan AIHA sekunder
(Lechner, 2010). Pada anak-anak kejadian AIHA terjadi sebagai akut self limited
illness, dan memberikan respon bagus melalui terapi steroid pada 80% pasien.
Onset AIHA baik pada anak-anak maupun dewasa terjadi awalnya tidak diketahui
sampai akhirnya menjadi kronik.2
3.2.3. Etiologi
Pada anemia hemolitik autoimun, antibodi abnormal langsung menyerang
antigen membran eritrosit, tetapi patogenesis induksi anibodi ini tidak diketahui
secara pasti. Auto-antibodi mungkin memproduksi respon imun yang tidak sesuai
terhadap antigen eritrosit atau terhadap antigen epitop yang serupa dengan antigen
eritrosit. Agen infeksius dapat mengubah membran eritrosit sehingga menjadi
asing atau antigen terhapat host.3
Beberapa penyebab tidak normalnya sistem imun antara lain:
1. Obat-obatan:
Alpha-methyldopa
L-dopa
2. Infeksi
Infeksi virus
Mycoplasma pneumonia
3. Keganasan
Leukemia
Lymphoma (Non-Hodgkins tapi kadang juga pada Hodgkins)
4. Penyakit Collagen-vascular (autoimun) contoh: Lupus
3.2.4. Klasifikasi
Anemia hemolitik autoimun diklasifikasikan sebagai berikut :
Tabel 6. Klasifikasi Anemia Hemolitik Autoimun
I. Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)
A. AIHA tipe hangat
1. Idiopatik
37
juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan C3g akan tetap
berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk final aktifasi
C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5
convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan
C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks
penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa C9.
Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran
transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu,
menyebabkan air dan ion masuk kedalam sel sehingga sel membengkak dan
ruptur.
b. Aktifasi komplemen jalur alternatif
Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan melekat
pada C3b, dan oleh D faktor B akan dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb
merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb
lalu akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan
dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5 akan
berperan dalam penghancuran membran.
2. Aktifasi mekanisme seluler
Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen
atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak tejadi aktifasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan
sel eritrosit yang diperantarai oleh sel. Immunoadherenceterutama yang
diperantarai oleh IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
3.2.6. Gejala dan Tanda
a. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi bereaksi
secara optimal pada suhu 37oC. Kurang lebih 50% AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain. Pada AIHA tipe hangat onset penyakit tersamar, gejala anemia
terjadi perlahan-lahan, ikterik (40% pasien), dan demam. Pada beberapa kasus
terdapat gejala mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin
berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Pada AIHA idiopatik
splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali pada 30%, dan limfadenopati
39
pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak terjadi pembesaran organ dan
limfonodi.
b. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia
biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis dan
splenomegali.
c. Paroxysmal cold hemoglobinuri
Merupakan bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi
secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Hemolisis paroksismal
disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung
beberapa jam. Sering dosertai urtikaria.
d. Anemia hemolitik autoimun yang diinduksi obat
Riwayat pemakaian obat tertentu positif. Banyak obat yang dapat menginduksi
pembentukan autoantibodi terhadap eritrosi autolog, seperti methyldopa. Sel
darah merah juga bisa mengalami trauma oksidatif, contoh obat yang
menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin,
aminosalicylic acid. Pasien dengan hemolisis yang timbul melalui mekanisme
hapten (penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat misalnya
penisilin) atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan
sampai sedang. Bila kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe
innocent bystander akibat obat kinin, kuinidin, ssulfonamid, sulfonylurea, dan
thiazide) yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak
dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut,
maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemmaparan dengan dosis tunggal.
e. Anemia hemolitik aloimun karena transfusi
Hemolisis yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan
karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (transfusi PRC golongan A pada
penderita golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum)
yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien
akan mengalami sesak nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual,
muntah, dann syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah
transfusi.
3.2.7.
retikulosis,
MCV
tinggi,
tes
Coomb
positif,
lekopenia,
lain.
Splenektomi
Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak dapat dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dpertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih
bisa terus berlangsung setelah splenektomi, tetapi akan dibutuhkan jumlah sel
eritrosit yang terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk
menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca
splenektomi mencapai 50-75%, tetapi tidak bersifat permanen. Glukokortikoid
50-150mg/hari
(60mg/m2)
Terapi lain
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid.
Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Kombinasi danazol dan prednisone
memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisisal dan memberikan respon
pada 80% kasus. Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau
Evans Syndrome.
Terapi immunoglobulin
intravena
(400mg/kgBB/hari
selama
hari)
42
40%. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan reponnya bersifat
sementara.
Mycophenolate mofetil 500 mg/hari sampai 1000 mg/hari dilaporkan
memberikan hasi yang bagus pada AIHA refrakter.
Rituximab dan Alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon
yang cukup menggembirakan sebagai salbage terapi. Dosis Rituximab 100
sambil
`
Prognosis anemia hemolitik autoimun
a. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian
menekan
produksi
eritropoietin
oleh
ginjal
serta
menyebabkan
45
(8-12hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang
berbeda.
3.3.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi dan keganasan
menderita anemia, anemia tersebut disebut sebagai anemia penyakit kronis hanya
jika anemia sedang, selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan
TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsumtulang normal atau
meningkat, serta feritin serum yang meningkat.
Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan diagnosis banding atau
mengaburkan diagnosis anemia penyakit kronis
1. Anemia dilusional. Pada penyakit kronis terutama pada keganasan stadium
lanjut.
2. Drug-induced marrow supression atau drug-induced hemolysis. Pada
penekanan sumsum tulang akibat obat, kaar besi serum tinggi. Pemeriksaan
hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs harus
dilakukan untuk menyingkirkan hemolisis
3. Perdarahan kronis
4. Thalasemia minor
5. Gangguan ginjal. Pada keadaan ini umur eritrosit memendek dan terdapat
kegagalan relatif sumsum tulang
6. Metastasis pada sumsum tulang
3.3.6 Pengobatan
Transfusi
Preparat besi
Eriropoietin
46
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini, pasien merupakan seorang wanita dan berusia 19 tahun.
Berdasarkan epidemiologi, SLE banyak diderita oleh wanita dalam usia masa
reproduksi (15-40 tahun). Faktor yang menyebabkan terjadinya SLE adalah faktor
genetik, faktor hormonal dan faktor lingkungan. Pada pasien ini, faktor
presdiposisinya adalah faktor hormonal karena pasien merupakan seorang wanita
dan faktor lingkungan, seperti stres, paparan sinar matahari, dan pasien
mempunyai riwayat tinggal dekat pabrik
Pada pasien ini, diagnosis SLE manifestasi anemia hemolitik autoimun
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. SLE
dapat ditegakkan jika terdapat 5 kriteria dari 11 kriteria ARA. Pada penderita ini,
kriteria ARA yang ditemukan adalah malar rash, discoid rash, fotosensitifitas,
artritis, anemia dan juga gangguan hematologi yaitu didapatkan retikulositosis.
Pada penderita ini, terdapat 7 dari 11 kriteria ARA sehingga dapat ditegakkan
diagnosis SLE.
Penegakkan diagnosis anemia hemolitik autoimun adalah dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan dari
47
penelitian, 10% dari penderita SLE menderita anemia hemolitik autoimun. Dari
anamnesis, pasien mengeluh lesu, lemas dan pandangan berkunang-kunang.
Pasien juga menderita SLE. Setelah dihitung MCV dan MCH pasien ini,
didapatkan anemia normokrom normositer. retikulositosis 3,8% dan coombs test
(+). Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, pasien
diduga anemia hemolitik autoimun. Ini sekaligus menyingkirkan diagnosis
banding anemia penyakit kronis. Untuk lebih memastikan diagnosis ini, rencana
pemeriksaan yang akan dilakukan adalah pemeriksaan ANA dan antids-DNA test,
apusan darah tepi, dan profil besi.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian kortikosteroid,
imunosupresan, dan juga transfusi darah.
Prognosis pada pasien ini secara vitam dan fungsionam adalah dubia ad
bonam namun untuk sanationam adalah dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2009.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.
2. NN. 2009. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik. Dikutip dari :
http://digilib.unsri.ac.id/download/Lupus%20eritematosus.pdf
3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS.2006. Epidemiology of systemic
lupus rythematosus: a comparison of worldwide disease burden.
Lupus;308-318.
4. NN. Lupus dan Penatalaksanaannya. 2010. Dikutip dari :
http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan
%20penatalaksanaannya.pdf
5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA,
Ogryzlo MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus
Erythematosus. Am J Med;60:221-225.
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus
page. J Clin Pathol; 481-490.
7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum; 2100-2110
48
49