Anda di halaman 1dari 13

No protokol

: P/111/16

Hari/Tanggal

: Rabu, 22 Juni 2016

Dosen PJ
Anamnesa

: Prof Drh Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS,


PhD, APVet
:

Signalement

Nama Hewan

:-

Jenis

: Kambing

Bangsa

: Peranakan Etawa

Jenis Kelamin

: Betina

Umur

: 2,5 tahun

Warna Rambut

: Putih dan hitam

Tanggal Mati

: 11 Juni 2016

Tanggal Nekropsi

: 22 Juni 2016

Hasil Pemeriksaan Nekropsi


Organ
Keadaan Umum Luar
Kulit dan rambut
Mukosa
Mata
Telinga

Epikrise

Diagnosa PA

Lubang kumlah lain

Tidak ada kelainan


Pucat
Tidak ada kelainan
Nodul di bawah kulit
daun telinga
Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan


Anemis
Tidak ada kelainan
Peradangan berisi
nanah
Tidak ada kelainan

Subkutis
Perlemakan
Otot
Kelenjar ludah

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Kelenjar pertahanan
perifer
Ln. Prescapularis
Ln. Prefemoralis
Ln. Poplitea

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Rongga abdomen
Situs viscerum

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Rongga Thoraks
Tekanan negatif

Ada

Tidak ada kelainan

Traktus Respiratorius
Sinus hidung

Ada darah

Faring
Laring
Trakhea

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Ada darah

Perdarahan saluran
pernapasan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Perdarahan saluran
pernapasan
Tracheitis
Edema pulmonum
Pneumonia
haemorrhagica acuta

Bronkhus
Paru-paru

Traktus Digestivus
Rongga mulut
Lidah
Esofagus
Rumen
Retikulum
Omasum

Mukosa merah
Terdapat cairan busa
Warna tidak homogen
Keluar darah dari
bidang sayatan
Uji apung: tenggelam
Mukosa pucat,
terdapat karang gigi
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Banyak sisa makanan
Akumulasi udara
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Caries dentis
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Abomasum
Usus halus
Usus besar
-Sekum
-Kolon
Empedu
Pankreas
Hati

Traktus Sirkulatorius
Jantung

Pembuluh darah
Sistem Limforetikuler
Limpa

Tidak ada kelainan


Mukosa berlendir

Tidak ada kelainan


Enteritis catharralis

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Cairan empedu
warna kuning
Tidak ada kelainan
Warna tidak homogen
Bidang sayatan
keluar darah

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Cholecystitis

Otot jantung pucat


Akumulasi darah
pada ventrikel kanan
dan kiri
Tidak ada kelainan

Degenerasi otot
jantung

Tepian menebal, tidak


ada keriput, ujung
tumpul

Splenitis

Tidak ada kelainan


Kongesti

Tidak ada kelainan

Uji usap : terdapat


pulpa
Traktus Urogenitalia
Ginjal

Ovarium
Uterus
Vagina
Sistem syaraf pusat
dan perifer
Otak
Sistem Lokomasi
Tulang
Persendian

Kapsula mudah
dilepas
Medulla warna merah
gelap
Terdapar corpus
luteum persisten
Eksudat nanah dan
lendir
Tidak ada kelainan

Nefritis disertai
kongesti

Darah di bawah
meningen

Perdarahan otak

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan

Endometritis, bunting
Endometritis supuratif
et kataralis
Tidak ada kelainan

Diagnosa

Causa mortis
Atrial mortis

: Pneumonia haemorrhagica, kardiomiopati,


enteritis katharalis, kongesti hati, splenitis,
kongesti limpa, cholecystitis, kongesti ginjal,
dan perdarahan otak
: Pneumonia haemorrhagica
: Paru-paru
PEMBAHASAN

Hewan yang dinekropsi adalah kambing perah betina ras peranakan


etawa. Umur kambing yang dinekropsi 2.5 tahun, terlihat dari gigi seri ke satu
dan kedua sudah tanggal. Sebulan sebelum kematian, Kambing pernah
mengalami demam dan diberikan antibiotik oxytetrasiklin dan injectamin,
kemudian sembuh. Setiap malam setelah sembuh dari demam, kambing sering
merintih. Pada tanggal 10 Juni 2016 sore hari, kambing masih diperah namun
keesokan harinya pada tanggal 11 juni 2016 pukul 08.00 WIB kambing
mengalami kematian. Gejala yang ditemukan sebelum kematian adalah kambing
mengeluarkan darah dari mulut. Nekropsi diawali dengan pemeriksaan keadaan
umum luar yaitu kulit dan rambut, mukosa, mata, telinga, keadaan alat gerak dan
lubang kumlah. Keadaan kulit dan rambut secara umum tidak mengalami
kelainan. Mukosa kambing yang diperiksa terlihat pucat. Keadaan telinga kotor
dan pada daun telinga ditemukan banyak nodul berdiameter 0.5 cm. Nodul
memiliki konsistensi keras, ketika dilakukan insisi nodul berisi eksudat perkejuan
berwarna kuning. Alat gerak kambing secara umum tidak memiliki kelainan,
simetris kanan kiri dengan konformitas alat gerak tegas. Kuku kambing terlihat
panjang dan pecah. Lubang kumlah kambing yang diperiksa bersih dan tidak
menunjukan kelianan. Keadaan subkutis yang diperiksa adalah keadaan
perlemakan, otot, kelenjar ludah dan limfonodus (ln). Keadaan perlemakan
subkutis tidak mengalami kelainan dengan perlemakan tebal menunjukan
kambing gemuk, dan memiliki permukaan lemak licin. Otot kambing dan kelenjar
ludah yang diperiksa tidak mengalami kelainan. Limfonodus yang diperiksa
adalah ln prescapularis, ln prefemoralis, dan ln poplitea. Limfonodus tidak
mengalami kelainan. Situs viserum abdomen dan thorax tidak mengalami
kelainan. Rongga thorax masih menunjukan keadaan tekanan negatif.
Pemeriksaan rongga abdomen dilawali dengan menyayat linea alba mulai
dari perbatasan abdomen-thorax sampai cranial symphysis pubis. Tidak ada
kelainan pada situs viscerum atau letak organ-organ viscera di abdomen.
Pemeriksaan saluran pencernaan dimulai dari rongga mulut, esofagus, rumen,

retikulum, omasum, abomasum, usus halus, usus besar, hati, dan pankreas.
Mukosa rongga mulut terlihat pucat (anemis) namun tidak terdapat kelainan pada
mukosa

ataupun

lidah.

Tidak ditemukan

cacing

di

sepanjang

saluran

pencernaan.
Pada bagian rumen, ditemukan adanya gumpalan darah yang diduga
masuk akibat aktivitas memamah biak kambing ketika masih hidup. Bagian
retikulum, omasum dan abomasum tidak ditemukan adanya kelainan, namun
masih terdapat sisa-sisa pakan yang menandakan bahwa hewan dapat
mencerna pakan dengan baik ketika masih hidup. Pada usus halus kambing
ditemukan

adanya

hemoragi

disertai

eksudat

berupa

lendir.

Hal

ini

mengindikasikan adanya peradangan pada usus halus disertai eksudat berupa


lendir atau disebut enteritis kataralis. Menurut Vegad (2008) adanya peradangan
disertai eksudat berupa lendir dapat terjadi pada sel-sel yang dapat
memproduksi mucin seperti membran mukosa pada usus. Peradangan disertai
eksudat kataral dapat diakibatkan oleh iritasi bahan kimia, iritasi akibat pakan
pada traktus digestivus, infeksi virus dan bakteri. Selain itu, enteritis juga dapat
disebabkan oleh infeksi protozoa dan endoparasit (McGavin dan Zachary 2007).
Pemeriksaan selanjutnya ditemukan pankreas terlihat berwarna lebih merah. Hal
ini diduga hewan mengalami peradangan pankreas atau disebut pankreatitis.
Pankreas merupakan organ yang berfungsi sebagai kelenjar eksokrin dan
endokrin yang menghasilkan enzim-enzim pencernaan. Adanya peradangan
pada pankreas dapat disebabkan oleh adanya gangguan hati, trauma atau
obesitas.
Pemeriksaan hati diawali dengan inspeksi, perihatika (kapsul hati) tidak
ditemukan adanya kelainan dan perlekatan. Pemeriksaan secara inspeksi pada
organ hati ditemukan hati berwarna merah gelap, permukaan licin, mengkilat,
dan tidak terjadi pembesaran (bagian pinggir hati masih lancip). Saat dilakukan
dipalpasi, konsistensi hati kenyal. Ditemukan genangan darah pada saat disayat
yang menandakan bahwa terjadi kongesti pada hati. Pemeriksaan pada kantung
empedu ditemukan cairan empedu berwarna kuning dan sedikit mengental,
namun tidak ditemukan adanya penyumbatan pada saluran empedu. Cairan
empedu berwarna kuning menandakan adanya peradangan empedu atau
cholecystitis. Menurut McFarlane et al (2000), kausa cholecystitis yaitu akibat
keberadaan penyakit hepatitis, fatty liver, dan pertumbuhan yang berlebihan dari
Candida sp.

Pemeriksaan limpa menunjukan limpa mengalami pembengkakan.


Kebengkakan dapat dilihat dari tepian limpa yang tumpul dan permukaannya
yang licin serta tidak keriput. Permukaan limpa terlihat lebih gelap homogen.
Hasil palpasi menunjukkan limpa memiliki konsistensi kenyal. Limpa kemudian
diinsisi untuk melihat bagian dalam dari limpa dan ditemukan limpa berwarna
merah gelap. Ketika dilakukan uji usap menggunakan pisau, terdapat pulpa yang
menempel pada pisau. Hal ini menandakan bahwa limpa mengalami peradangan
atau splenitis. Splenitis ditandai dengan adanya pembesaran limpa, kongesti,
dan infiltrasi neutrofil sebagai akibat dari infeksi dalam tubuh (Feig dan Cina
2001). Kebengkakan tersebut diuga akibat adanya kongesti sebagai efek lanjut
dari kardiomiopati pada limpa sehingga menyebabkan akumulasi darah yang
berlebihan.
Pemeriksaan pada organ ginjal dilakukan secara inspeksi, palpasi, dan
insisi. Secara inspeksi ukuran ginjal kanan dan kiri sama besar. Permukaan ginjal
rata dan halus dengan konsistensi ginjal kenyal. Hasil pemeriksaan organ ginjal
ditemukan permukaan ginjal kanan rata danterlihat licin, batas antara korteks dan
medula ginjal tidak jelas, keduanya berwarnamerah gelap. Hal ini menunjukkan
ginjal mengalami nefritis interstisialis dan kongesti. Ginjal kiri secara umum tidak
terlihat adanya kelainan, hanya pada bagian medula berwarna sedikit merah,
namun batas antara korteks dan medula masih jelas.Kongesti pada ginjal
ditandai dengan medulla ginjal yang berwarna merah.
Kongesti merupakan akumulasi darah yang berlebihan dalam vena.
Kongesti dapat terjadi secara fisiologis, aktif, pasif dan hipostatik.Kongesti ginjal
terjadi karena adanya gangguan pada glomerulus, dapat juga disebabkan karena
terjadi edema pulmonum yang selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya gagal
jantung kongesti (McFarlane et al. 2000).
Pemeriksaan traktus sirkulatorius dilakukan pada organ jantung. Terlebih
dahulu dilakukan inspeksi terhadapa warna, bentuk dan ukuran jantung. Tidak
didapatkan kelainanan pada inspeksi jantung. Pemeriksaan dilanjutkan dengan
palpasi jantung, namun tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan selanjutnya
jantung dilakukan insisi di sisi kanan dan kiri sulcus longitudinal. Pada lumen
ventrikel kanan dan kiri ditemukan adanya akumulasi darah. Insisi dilakukan
kembali di daerah lain dan ditemukan perubahan warna otot jantung berupa
warna yang tidak homogen pada otot penyusun jantung. Pada hal ini diduga otot
jantung mengalami degenerasi yang mengarah kepada keadaan kardiomiopati.

Kardiomiopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan disfungsi


jantung akibat abnormalitas pada myocardium (Elsevier 1982). Kardiomiopati
merupakan gangguan otot jantung yang berkaitan dengan kelemahan jantung
untuk memompa dan menarik darah secara normal. Kardiomiopati dapat terjadi
karena kausa yang tidak diketahui maupun kausa yang diketahui (Kasper EK
2006). Kardiomiopati dengan kausa tidak diketahui disebut kardiomiopati primer,
yaitu penyakit jantung yang progresif yang dibagi menjadi tiga yaitu hipertrofi,
dilatasi, dan restriktif. Hasil insisi menunjukan otot jantung pada ventrikel kanan
dan kiri pada kondisi normal, sehingga bukan bentuk kardiomiopati yang
hipertrofi

atau

dilatasi.

Bentuk

kardiomiopati

yang

ditemukan

adalah

kardiomiopati restriktif, yaitu ketidakseimbangan kemampuan ventrikel kanan dan


kiri untuk mengisi darah pada kondisi normal atau turunnya tekanan sistolik pada
kedua ventrikel. Sederhananya, otot jantung tidak mampu berelaksasi setelah
melakukan kontraksi, akibatnya terjadi penurunan jumlah darah saat pengisian
kembali ventrikel. Penyebab kardiomiopati restriktif adalah kekakuan yang terjadi
pada otot ventrikel, baik di ventrikel kanan maupun kiri (Kushwah et al 2016).
Kardiomiopati dengan kausa diketahui atau kardiomiopati sekunder dapat
disebabkan oleh kelainan genetik, malnutrisi, toksin, cedera fisik, kelainan
endokrin, infeksi mikroba dan parasit, serta infiltrasi neoplastik (Carlton dan
Ferrans 1995).
Kardiomiopati pada jantung menimbulkan melemahnya kemampuan
jantung untuk menarik darah dari organorgan seperti ginjal, hati, limpa, dan
paru-paru, akibatnya darah tetap tergenang pada organorgan tersebut
menimbulkan kongesti (Kardena et al. 2011). Pada kasus ini kongesti diduga
karena adanya kelainan pada organ jantung, sehinga darah tidak dapat
disirkulasikan dengan baik, akiatnya darah terakumulasi berlebihan pada ginjal,
hati, limpa, dan paru-paru.
Pemeriksaan pada traktus respiratorius diawali dengan melakukan
inspeksi pada sinus, trakhea, dan paru-paru. Hasil pemeriksaan pada sinus
kambing adalah terdapat darah di dalam sinus dan mukosa sinus berwarna
merah. Hal ini menunjukkan bahwa sinus mengalami peradangan (sinusitis) dan
hemoragi (Sendow et al 2001).
Hasil pemeriksaan pada trakhea kambing adalah terdapat gumpalan
darah di sepanjang trakhea sampai ke bronkhus dan trakhea berwarna merah.
Hal ini menunjukkan trakhea mengalami hemoragi dan peradangan (trakheitis).

Darah di dalam sinus dan trakhea berasal dari saluran respirasi bagian bawah
yaitu paru-paru. Hewan mengalami kesulitan bernapas selama hidupnya karena
trakhea terisi oleh cairan darah. Darah yang ada di trakhea mengalir ke sinus
kemudian keluar melalui hidung. Oleh karena itu, sebelum dinekropsi dilakukan
pengamatan pada bagian hidung kambing dan terdapat cairan darah. Adanya
darah pada saluran respirasi dapat disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri
(Sendow et al 2001).
Hasil pemeriksaan organ paru-paru, ditemukan adanya kelainan pada
paru-paru kiri dan kanan. Warna paru-paru tampak lebih merah dari paru-paru
normal yang menandakan terjadinya hemoragi dan ditemukan adanya undulasi
pada paru-paru yang menandakan adanya oedema. Ketika dilakukan uji apung
pada paru-paru yang tampak lebih merah, terdapat bagian yang tenggelam dan
juga terapung. Bagian yang tenggelam mengindikasikan adanya pneumonia
alveolar, sedangkan bagian yang terapung mengindikasikan adanya pneumonia
interstitial.
Pneumonia merupakan peradangan yang terjadi pada paru-paru.
Pneumonia pada kambing yang diperiksa terjadi menyebar hampir di semua
bagian paru-paru.Pada pneumonia alveolar, terdapat cairan di dalam ruang
alveol sehingga berat jenisnya ketika di uji apung lebih besar dari air yang
menyebabkan paru-paru tenggelam. Sedangkan pada pneumonia interstisial
infeksi terjadi di dalam sel, sehingga pada uji apung paru-paru masih mengapung
karena ruang alveol masih berisi udara. Pneumonia dapat disebabkan oleh
infeksi virus sebagai penyebab primer dan diikuti dengan infeksi sekunder dari
bakteri. Pneumonia pada kambing dapat disebabkan oleh lentivirus, sedangkan
infeksi akibat bakteri dapat disebabkan oleh Pasteurella haemolytica dan
Mycoplasma mycoides ssp. Infeksi Mycoplasma mycoides spp. pada domba
memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan menunjukkan gejala
klinis berupa demam,batuk, dispnea, menyebabkan stres dan kelemahan
(McGacvin dan Zachary 2012).
Infeksi virus pada paru-paru akan menimbulkan respon peradangan awal
yaitu infiltrasi dari sel-sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular.
Jika proses ini meluas maka sejumlah debris dan mukus serta sel-sel inflamasi
yang meningkat dalam saluran nafas kecil akan menyebabkan terjadinya
obstruksi baik parsial maupun total dan dapat menyebar ke alveoli jika terjadi
edema submukosa. Proses infeksi yang berat akan menyebabkan terjadinya

pengelupasan epitel dan terbentuk eksudat hemoragi.infeksi bakteri pada alveol


dapat menyebabkan pneumonia jika mekanisme pertahanan tubuh tidak mampu
untuk melawan bakteri. Leukosit PMN dengan aktivitas fagositosis akan direkrut
dengan perantaraan sitokin sehingga respons inflamasi akan tejadi. Hal ini
menyebabkan terjadinya kongesti vaskular dan edema yang luas. Bakteri akan
dilapisi oleh cairan edematus kemudian area edematus akan meluas dan berisi
eritrosit, eksudat purulen dan bakteri (Retno et al. 2006). Secara histopatologi
fase ini disebut sebagai red hepatization (hepatisasi merah) seperti yang terjadi
di paru-paru kambing pada nekropsi kali ini. Pneumonia menyebabkan terjadi
gangguan fungsi paru-paru. Volume paru secara fungsional akan berkurang
karena proses inflamasi dan mengganggu proses difusi. Hal ini menyebabkan
terjadinya gangguan pertukaran gas yang berakibat terjadinya hipoksia dan pada
keadaan berat bisa menyebabkan gagal nafas (Lang F 2000).
Pemeriksaan organ uterus diawali dengan inspeksi pada uterus. Organ
uterus kambing terlihat pucat dengan permukaan licin. Konsistensi kenyal dan
terdapat massa dalam uterus. Setelah uterus diinsisi ditemukan adanya eksudat
lendir yng didominasi oleh nanah. Uterus dengan akumulasi eksudat nanah ini
mencirikan adanya peradangan pada uterus, yaitu endometritis. Endometritis
merupakan peradangan pada dinding uterus yang umumnya berkaitan dengan
partus. Kejadian ini dapat dipengaruhi oleh adanya perubahan hormonal yang
terkait dengan aktivitas korpus luteum di ovarium. Korpus luteum terus ada
melebihi waktu fase luteal. Terjadi peningkatan sekresi progesteron yang
mengakibatkan terjadinya endometritis (Kempisty et al 2013).
Agen penyebab endometritis ini dapat berupa khamir, bekteri maupun
virus (Gunay et al 2010; Fontbonne 2015). Endometritis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri berasal dari perkawinan alam, yaitu betina terinfeksi dari pejantan
yang menderita penyakit seperti brucellosis, trichomoniasis, dan vibriosis.
Inseminasi buatan juga berisiko terjadinya endometritis, karena adanya
kontaminasi alat oleh bakteri patogen. Selain itu terdapat pula infeksi sistemik
yang mengakibatkan peradangan pada uterus, antara lain Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) danBovine Viral Diarrhea (BVD) (Prihatini 2011).
Kambing yang dinekropsi merupakan kambing ras peranakan etawa
sebagai penghasil susu. Endometritis yang akibat perubahan hormonal dan
terjadi post partus dengan ditemukannya kotiledon pada uterus. Perubahan
hormonal dan adanya infeksi bakteri dari luar tubuh mengakibatkan terjadinya

endometritis pada kambing ini. Endometritis dicirikan adanya akumulasi sel


limfosit dan sel plasma pada stroma (Zachary dan McGavin 2012).
Pemeriksaaan otak kambing dilakukan dengan inspeksi, palpasi, dan
insisi. Secara inspeksi ditemukan otak berwarna putih kemerahan dengan
struktur otak yang jelas. Otak ini terdiri dari cerebrum, cerebellum, dan medulla
oblongata. Meningen otak bening dan tidak ditemukan kelainan. Otak kambing
ditemukan adanya dilatasi pembuluh darah pada otak. Dilatasi ini terjadi akibat
adanya gangguan pada jantung. Adanya emboli dan trombus berakibat
terhambatnya sirkulasi darah ke otak, sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah
otak. Apabila kejadian ini terjadi dalam waktu yang lama dapat berakibat sel- sel
neuron akan mengalami kematian. Kematian neuron ini mengakibatkan
terganggunya sistem syaraf (Zachary dan McGavin 2012). Permukaan otak halus
dengan konsistensi lembek. Insisi otak dilakukan untuk melihat hipokampus
dengan cara menyayat girus pertama. Tidak ditemukan kelainan pada
hipokampus otak kambing.
SIMPULAN
Berdasarkan

pemeriksaan

nekropsi,

kambing

diduga

mengalami

pneumonia haemorrhagica, kardiomiopati, enteritis katharalis, kongesti hati,


splenitis, kongesti limpa, cholecystitis, kongesti ginjal, dan perdarahan otak.
Kematian kambing tersebut diduga berasal dari paru-paru akibat pneumonia
yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Carlton WW, Ferrans VJ. 1995. Pathology of the cardiovascular system. Di dalam
McGavin MD, Editor. Special Veterinary Pathology. Missouri (US): Mosby.
hlm 175-208.
Elsevier S. 1982. Color Atlas of Veterinary Pathology 2nd Edition. Editor van Djik
J, Gruys E, Mouwen J. United States (US): Elsevier
Feig JA, Cina SJ. 2001. Evaluation of Characteristics Associated With Acute
Splenitis (Septic Spleen) as Markers of Systemic Infection. Arch Pathol Lab
Med. 125:888-891.
Fontbonne A. 2015. Canine and Feline Fertility/Infertility [internet]. Tersedia pada:
http://www.sevc2015.com/images/sevc/pdf/canine-and-feline-fertilityinfertility.pdf. [Diakses pada: 2016 Juni 22]
Gunay U, Onat K, Gunay A, Ulgen M. 2010. Vaginal, Cervical, and Uterine
Bacterial Flora at the Different Stages of the Reproductive Cycle in
Ovariohysterectomized Bitches. Journal of Animal and Veterinary
Advances. 9(3): 478481.
Kardena IM, Winaya IBO, Berata IK. 2011. Gambaran patologi paru-paru anjing
lokal Bali yang terinfeksi penyakit distemper. Bali (ID): Buletin Veteriner
Udayana. 3(1):17-24.
Kasper EK. 2006. Cardiomyopathies and Myocarditis. Di dalam: Rosendorff
Clive, Editor. Essential Cardiology 2nd. New Jersey (US): Humana. hlm
641-651.
Kushwah S, Fallon J, Fuster V. 2016. Restrictive Cardiomyophaty. Medical
Progres. 336(4): 267-276
Kempisty B, Bukowska D, Wozna M, Piotrowska H, Jackowska M, Zuraw A,
Ciesiolka S, Antosik P, Maryniak H, Ociepa E, Porowski S, Brussow KP,
Jaskowski JM, Nowicki M. 2013. Endometritis and Pyometra in Bitches: A
Review. Veterinarni Medicina. 58(6): 289297.
Lang F. 2000. Respiration, Acid-Base Balance. Dalam : Silbernagl S, Lang F,
editor. Color Atlas of Pathophysiology. Sturgart: Thieme FlexiBook.
McFarlane PS, Reid R, Callender R. 2000. Pathology Illustrated. 5th Ed. London
(UK): Churchill Livingstone.
McGavin MD, Zachary JF. 2007. Phatologic Basic of Veterinary Disease. St.Louis
(US): Mosby Inc.
McGacvin MD, Zachary JF. 2012. Pathologic Basic of Veterinary Disease. 5th Ed.
St.Louis (US): Mosby Inc.
Prihatini R. 2011. Hubungan retensio sekundinae dan endometritis dengan
efisiensi reproduksi pada sapi perah: studi kasus di koperasi peternak sapi
bandung utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Retno AS, Landia S, Makmuri MS. 2006. Pneumonia, Kapita Selekta Ilmu
kesehatan anak VI. Surabaya (ID) : Divisi Respirologi FK Unair RSU Dr.
Soetomo Surabaya.
Sendow I, Syafriati T, Wiedosari E, Selleck P. 2001. Isolasi virus parainfluenza
tipe 3 dari kasus penumonia kambing dan domba. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Balai
Penelitian Veteriner. Hlm 503508.
Vegad JL. 2008. A Textbook of Veterinary General Pathology. Lucknow (IND):
International Book Distributing Co.

LAPORAN NEKROPSI KAMBING


Selasa, 22 Juni 2016
Disusun oleh;
Kelompok E
PPDH Gelombang II Tahun 2015/2016
Anggraeni Tampubolon
Citra Ayu Lestari
Delin Nofifta
Dewi Sri Manunggal
Elma Nefia
Faisal Amri Satrio
Firdauzi Akbar Wicaksono
Intan Maria Paramita
Karen Jap Ker Li
Kartini Izreen Kurnia
Luthzia Fauzan Aswindra
M Elmanaviean
Muhammad Abhi Purnomosidi
Sri Rahayu Resmawati
Wahyu Sri Wulandari
Wuri Wulandari
Yohan Naim Nurul Fatonah

B94154202
B94154205
B94154207
B94154209
B94154214
B94154215
B94154217
B94154222
B94154224
B94154225
B94154227
B94154228
B94154232
B94154242
B94154246
B94154247
B94154248

Dosen Penanggung Jawab:


Prof Drh Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD, APVet
Dosen Tentor:
Prof Drh Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD, APVet

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Anda mungkin juga menyukai