Anda di halaman 1dari 5

Flora Sulawesi

Analisis belakangan mengenai 4222 jenis dari flora Sulawesi mengungkapkan bahwa
flora Sulawesi itu berkerabat paling dekat dengan flora wilayah lain yang relatif kering di
Filipina, Maluku, Nusa Tenggara dan Jawa. Akan tetapi jenis yang tempat tumbuhnya di
habitat pantai, dataran rendah dan ultra basis lebih mirip flora Irian dan jenis-jenis tumbuhan
gunung lebih mirip dengan yang di Kalimantan. Makin tinggi dari permukaan laut, jarak
antara wilayah dengan ketinggian yang sama semakin jauh, sehingga dengan demikian
wilayah yang lebih dekat mempunyai kemungkinan lebih besar untuk dikolonisasi dari pada
wilayah yang jauh. Hal ini dapat menerangkan besarnya bagian tumbuhan Kalimantan di
gunung-gunung Sulawesi tetapi eratnya afinitas antara tumbuhan dataran rendah dan flora
Irian mungkin karena Irian relatif lebih banyak mempunyai wilayah yang kering dari pada
Kalimantan dan oleh karena itu lebih merupakan sumber jenis tumbuhan yang lebih cocok.
Beberapa diantaranya mungkin dibawa ke Sulawesi melalui Taji Sula, sedang yang lain
mungkin meloncat dari pulau ke pulau.
Suatu penelaahan mengenai presentase takson yang tidak melintasi garis imajiner
antar benua atau dalam benua itu sendiri ke arah yang diberikan, mengungkapkan bahwa
garis demarkasi demikian yang paling kuat adalah untuk tumbuhan berasal dari barat antara
Kalimantan dan Sulawesi. Kira-kira 50 % tumbuhan yang merupakan jenis endemik
Kalimantan tidak terdapat di Sulawesi. Hal ini menunjukkan bahwa selat Makasar pernah
terbuka untuk waktu yang sangat lama.
Ternyata jalan yang paling mudah bagi jenis jenis tumbuhan untuk dapat memasuki
Sulawesi adalah melalui Jawa dan Nusa Tenggara serta melalui Filipina dan Sangihe. Alasan
pertama dibuktikan dengan adanya rantai pulau-pulau antara Jawa/Nusa Tenggara dan
Sulawesi di masa yang belum begitu lama silam. Persentase suatu jumlah jenis yang dimiliki
bersama oleh pulau pulau yang berdekatan menunjukkan bahwa pada umumnya afinitas yang
lebih dekat antara Sulawesi dan pulau pulau di sebelah timurnya, tetapi hal ini untuk sebagian
merupakan akibat flora dan fauna di sebelah timur yang relatif sedikit. Flora pegunungan
Sulawesi berasal dari dua sumber : yang berasal dari sumber setempat (anokton) dan yang
pusat sumber asalnya di luar daerah yang bersangkutan (alokton). Flora yang alokton,
walaupun merupakan minoritas dalam flora pegunungan seluruhnya, memungkinkan
pembuatan hipotesis mengenai asalnya. Bagian flora ini tergolong marga marga yang jenis
jenisnya hanya ditemukan dalam iklim dingin (mikroterm), dan di daerah tropika tumbuhan
ini umumnya hanya ditemukan di hutan subalpin di gunung-gunung pada ketinggian sekitar
2000 m.

Selama waktu paling dingin dalam zaman Pleistosen suhu rata rata hanya turun kira
kira 2oC, yang laju perubahan suhu kira kira sebesar 0,6oC/100 m, setara dengan penurunan
pada aras mintakat hutan pada ketinggian 350-400 m. Palma merupakan golongan tumbuhan
yang berguna dalam studi biogeografi, karena marga-marganya setidaknya telah dikenal baik
dan golongan ini mewakili suatu golongan tumbuhan yang sudah tua, yang marga marganya
telah berkembang menjelang zaman Oligosen (30 Ma yang lalu).
Tipe-tipe distribusi yang terkenal yaitu :
a. Barat : 22 spesies hanya ditemukan di Sulawesi dan sebelah baratnya; yang tidak
terdapat di Filipina, Kepulauan Sunda Kecil atau New Guinea, yang mencapai
Sulawesi dengan menyebrangi Selat Makassar.
b. Utara : 32 Spesies terdapat di Sulawesi dan Filipina tetapi tidak ada di blok Sunda
atau New Guinea.
c. Selatan : 27 spesies terdapat di Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil (dan Jawa),
tetapi tidak ada di Kalimantan, Filipina atau Maluku.
d. Timur : 41 spesies terdapat di Sulawesi dan New Guinea (dan Maluku) tetapi tidak
ada di Kepulauan Sunda Kecil, Filipina atau blok Sunda.
e. Barat daya : 60 spesies terdapat di Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan dan
wilayah lain disebelah barat garis Wallace. Spesies-spesies tersebut telah mencapai
Sulawesi melalui rute selatan atau langsung menyebrangi Selat Makasar.
f. Timur laut : 21 spesies terdapat di Sulawesi dan pulau-pulau di bagian timur dan di
Filipina. Mereka tiba melalui rute utara atau timur. Hubungannya dengan barat cukup
lemah, yang mengherankan adalah cukup dekat dan beragamnya tanaman di
Kalimantan.
Fauna Sulawesi
a. Mamalia Sulawesi
Semua hewan plasental Sulawesi berasal dari daerah Sunda, kecuali hewan marsupial
dari genus Phalanger (Musser dalam Whitmore, 1987). Mamalia non-volant menunjukkan
hewan kuno, kebanyakan primitif pada masanya. Hewan-hewan original diyakini
menyeberang lewat laut yang menyebabkan fauna di pulau ini tidak berimbang (40 % adalah
spesies kelelawar), dimana banyak famili dari Sunda tidak ada. Fosil vertebrata semuanya
berasal dari sebelah barat daya dan di perkirakan berasal dari masa Pliosen atau Pleistosen.
Ada spekulasi bahwa bagian barat daya adalah sebuah pulau dimana faunanya punah
berkompetisi sewaktu pulau ini bergabung dengan bagian tengah Sulawesi.

Menurut Cranbrook (1981) dalam (Whitmore, 1987) bahwa secara kumulatif bukti
dari hewan bertulang belakang sangat mendukung dimana pada saat tidak ada hubungan atau
putusnya hubungan antara Sulawesi dan daerah Sunda. Semua imigran dari daerah Sunda
kemungkinan pernah menyeberang lewat laut bukan karena pergerakan pulau Sulawesi tetapi
segmen Laurasia mengambang seperti rakit menyebabkan hewan terestrial menyeberang.
Pada masa itu tidak ada bukti hewan bertulang belakang mempengaruhi pulau Sulawesi
walaupun pada masa Pliosen selat Makasar pernah tertutup. Kemudian beberapa bagian pulau
yang terbentuk antara Kalimantan dan Sulawesi kemungkinan muncul pada tingkatan laut
yang rendah sehingga menjadi tidak lengkap atau berumur pendek.
Fauna asli Sulawesi sekarang sangat beragam dalam spesies dan genus dibanding
dengan pulau Oceanic lainnya, karena :
o Sumber dari kepulauan itu memang sangat kaya akan spesies, genus dan famili.
o Sulawesi sekarang merupakan dataran luas dengan relief topografi yang beragam dan
walaupun pada masa lalu kemungkinan adalah suatu kepulauan dari pulau yang besar.
o Adanya adaptasi radiasi beberapa kelompok menghasilkan keturunan yang endemik.
Faunanya berimbang secara fisik dan ekologi pulau tetapi tidak berimbang dalam
keragaman kelompok terbesar dibandingkan dengan fauna Sunda. Sulawesi diwakili oleh 15
famili mamalia dimana 6 diantaranya adalah kelelawar. Untuk Phalangeridae sangat jelas
berhubungan dengan fauna marsupial dari Australia dan New Guinea. Diantara jenis-jenis
Kuskus sedikitnya terdapat kelompok-kelompok marsupial yang berdiri sendiri pada pulau
dan di luar daratan utama dari kepulauan New Guinea dan Australia, di mana menjelaskan
setidaknya beberapa spesies menyebar luas dibanding famili marsupial lainnya.
Migrasi ke Sulawesi mungkin dimulai sejak akhir Miosen atau awal Pliosen, ini
terlihat jelas dimana bagian Sulawesi Timur pada masa pertengahan Miosen mengambang di
bawah permukaan laut sedangkan Sulawesi Barat pada masa akhir Miosen berada di atas
permukaan laut (Audley-Charles, 1981 dalam Whitmore, 1987).
Tingkatan keragaman morfologi dan karakter endemik dari mamalia non-volant
menunjukkan banyak spesies yang terdapat di Sulawesi berasal dari daerah Sunda dan sedikit
dari timur (Musser dalam Whitmore, 1987).
b. Burung Sulawesi
Khusus untuk penyebaran avifauna, selain pengaruh dari Paleogeografi yang harus di
pertimbangkan juga adalah pengaruh dari pergantian iklim yang radikal. Jadi, keterangan dari
penyebaran arah burung dalam Sulawesi terbentuk tidak hanya dipengaruhi oleh lempeng

tectonic dengan pertimbangan Paleogeographical tetapi juga diakibatkan oleh Paleoclimate,


pergerakan jembatan-pulau dan kemampuan dari beberapa kelompok burung tertentu untuk
menyeberangi daratan yang terpisah oleh laut (Coates & Bishop, 1997).
Walaupun secara detail keterangan yang ada belum mendapat penyelesaian, anggapan
dari Wallace adanya geographical yang serupa dan arah penyebaran burung hasil dari rentetan
peristiwa yang kompleks dapat membantu memahami bahwa beberapa daerah lebih
menyimpang penyebaran burungnya. Banyak karakteristik famili, genus dan spesies di bagian
timur yang dibatasi jarak mereka dengan garis Wallacea. Hal ini terlihat dengan adanya
kekhususan dari Avifauna (Coates and Bishop, 1997).
Dari catatan khusus adalah dua dari beberapa famili burung bagian timur yang hanya
dapat melintasi garis Wallacea masuk ke Sulawesi adalah Woodpeckers dan Babblers, tidak
ada famili yang menjangkau Maluku atau sebelah barat Sunda Kecil. Pendapat lain (On the
other hand), jumlah yang lebih pantas terdapat famili burung bagian timur menjangkau lebih
jauh dari New Guinea dan sering pula Melanesia Utara dan atau Australia. (e.g. Hornbills,
thrushes, starlings, shrikes, flowerpeckers dan sunbirds. Famili-famili burung Australia dapat
melintasi garis Wallacea ke Asia (seringkali hanya pinggiran) dan adakalanya melebihi
termasuk Megapodes, Fairy-warblers, Whistlers, Wood-swallows dan Honey-eaters.
Walaupun daerah-daerah dataran rendah mendukung sejumlah besar spesies, spesies
tersebut tersebar luas menjadi endemik Wallacea atau menetap di bagian timur atau menjadi
spesies Australo-Papua. Spesies ini dapat menetap di sejumlah pulau dan dalam beberapa hal,
sebagian besar di Sulawesi. Dengan demikian Sulawesi sangat menentukan dalam
pembahasan mengenai keberadaan suatu spesies. Apakah kekhususan populasi dataran rendah
terisolasi di pulau-pulau akan terancam (threated) sebagai species terpisah atau subspecies.
Hal ini akan menjadi sumber pembahasan terus-menerus. Kehadiran Wallacea banyak contoh
pada tingkatan menengah dari species (e.g. Macropygia, Monarcha, Dicaeum dan Zosterops).
Faktor lain yaitu sangat kayanya jenis endemik di Wallacea yang kurang diperhatikan.
Sulawesi memiliki 380 jenis burung, diantaranya 115 jenis endemik Indonesia dan 96
jenis endemik Sulawesi (Sujatnika dkk, 1995). Dengan adanya sejumlah genus endemik
menunjukkan bahwa Sulawesi merupakan pulau yang telah lama. Hal ini terlihat dengan
adanya gugusan pulau asli yang terbentuk kearah Timur Laut, terbentuknya gunung di awal
zaman Eocene atau di akhir zaman Mesozoic. Proses ini berawal dari zaman Miocene di
Sulawesi utara dan di semenanjung selatan yang terisolasi oleh terbentuknya gunung
Lompobattang dari laut di zaman Miocene.

Proses spesiasi di daerah ini tampaknya terjadi pada saat turun naiknya permukaan
laut dalam era Pleistosen yang memisahkan semenanjung-semenanjung yang tampak pada
saat ini menjadi pulau-pulau yang terpisah. Pulau-pulau yang muncul keatas permukaan laut
akan dikunjungi (kolonisasi) oleh spesies-spesies hidupan liar yang mampu menyeberangi
laut luas. Spesies ini kemudian mengalami proses spesiasi dan kemudian terpisah dari plasma
nutfah induknya di daratan.

Sumber:
Coates, B.J. and Bishop, K.D. 1997. A Guide of the Bird of Wallacea. Dove Publication.
Ardeley.
Sujatnika, Jepson P., Soehartono T.R., Crosby M.J., Mardiastuti A., 1995. Melestarikan
Keanekaragaman Hayati Indonesia : Pendekatan Daerah Burung Endemik. PHPA/BirdLife
International-Indonesia Programme. Jakarta.
Wallace, A. R. 1989. The Malay Archipelago. Oxford Univesity Press. Oxford
Whitten, A.J. Mustafa, F. and G.S. Hendersen. 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada Press
Yogyakarta.
White. C.M.N. and Bruce, M.D. 1986. The Birds of Wallacea (Sulawesi, the Molluccas and
Lasser Sunda Islands, Indonesia) : an annotated check-list. London: British Ornithologists
Union (Check-list 7).
Whitmore, T.C., 1987. Biogeographical Evolution of the Malay Archipelago. Clarendon
Press. Oxford.

Anda mungkin juga menyukai