Anda di halaman 1dari 18

Segelas air es dengan beberapa tetes gula diatasnya sedikit mendinginkan suhu tubuhku yang

mulai meninggi. Kulingkarkan jemariku disekitarnya. Mengamati embun yang menetes


sedikit demi sedikit meninggalkan kawannya yang lain. Kurebahkan kepalaku di atas meja
hijau yang biasa kugunakan untuk membaca buku. Terlihat beberapa helai dedaunan kering
yang gugur di luar jendela. Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Hingga
sesuatu memaksaku untuk mengistirahatkan kedua bola mata yang belum kutidurkan sejak
semalam.
Suara denting lonceng di atas pintu kamarku membuyarkan pikiran yang entah sejak kapan
tak lagi berada di tempatnya. Kuarahkan pandanganku ke asal suara yang sedikit menganggu
perhatianku. Seorang pria dengan surai hitamnya yang lancip tersenyum dari sana. Langkah
kakinya membawanya mendekatiku. Kutepuk tepuk ujung tempat tidur lembut. Ia sangat
mengerti tentang isyaratku dan mengistirahatkan kakinya sejenak di sana.
"Jadi bagaimana?" Ia melipat kedua kakinya sesaat setelah ia duduk.
"Kau bertanya tentang apa? Aku yang harus meninggalkan kota ini besok atau sesuatu yang
menyakitkan namun harus kulakukan?" Lagi lagi Kurebahkan kepalaku. Sejujurnya aku
malas harus membahas ini dengannya.
"Kudengar suhu tubuhmu tinggi hari ini, bagaimana kau akan pergi besok?" Ia menyentuh
keningku sejenak, menyamakan suhunya dengan keningnya sendiri.
"Aku tak sakit, hanya terlalu banyak berfikir. Kau tau kan bagaimana perasaanku pada Elena?
Apa yang harus kukatakan padanya nanti?" Mataku mulai menerawang, membayangkannya
saja terasa menyakitkan.
"Oh, tentang itu. Kau hanya perlu mengatakan bahwa kau tak bisa bersamanya lagi. Suatu
alasan yang tak bisa kau utarakan membuatmu harus memutuskan hubungan itu." Ia
memperbaiki caranya duduk, membuatnya lebih santai dengan bersandar pada kedua
lengannya.
"Pantas saja kau tak pernah memiliki kekasih. Aku penasaran bagaimana caranya aku bisa
lahir setelah dirimu. Apalagi dari rahim yang sama." Kugeleng gelengkan kepalaku saat
menatapnya. Pria itu benar benar tak mengerti tentang sebuah hubungan yang didasari oleh
cinta.
"Dasar." Ia menjitak kepalaku lembut. Kakakku memang orang yang selalu membuatku
tersenyum.
***
Sekarang aku mulai memikirkannya lagi. Udara di ice cream shop ini terasa semakin dingin.
Kedua telapak tanganku terasa begitu dingin. Huh, seharusnya aku mendengarkan apa kata
kakakku tadi. Seharusnya aku membawa jacket buluku tadi.
2 jam telah berlalu. Langit yang tadinya biru cerah telah berubah mendung. Kusandarkan
kepalaku di bibir jendela. Tetes demi tetes hujan mulai turun membasahi jalanan yang telah
lengang sedari tadi. Kulihat seorang wanita bergaun merah berlarian menembus hujan.
Bahkan tas tangan kecil yang ia gunakan untuk menutupi kepalanya telah ikut basah
karenanya. Gadis itu berlari dengan senyum yang mengembang. Menggambarkan

kebahagiaan di setiap sudut wajahnya. Aku teringat kembali tentang Elena. Apa yang akan
terjadi padanya nanti jika hujan terus turun seperti ini?
Kutekan beberapa tombol nomor milik Elena. Oh, tentang nomor Elena, aku telah lama
menghapusnya. Sejak sebuah kabar gembira serta menyedihkan datang dari sekolah.
"Nomor yang anda tuju sedang..."
Sial.. Ada apa dengan Elena? Apa ia tak ingin menemuiku untuk yang terakhir kali? Apa ia
tau apa yang ingin kukatakan?
Belum sempat aku berfikir terlalu jauh, sebuah tangan lembut menyentuh pundakku. Elena, ia
tersenyum melihatku. Rambutnya yang kecoklatan dengan wangi apel yang khas seakan
memberiku pertanda bahwa ia baik baik saja.
Elena duduk di depanku. Pakaian, tas, sepatu serta jam tangannya adalah barang barang yang
pernah ia beli bersamaku. Oh, ada apa dengannya hari ini?

5 menit berlalu, suasana terasa begitu canggung. 10 menit berlalu, kami masih tercekat dalam
diam. 15 menit kemudian..
"Permisi tuan.. Ini es krimnya.. Selamat menikmati.." Seorang pelayan mengantar pesanan
yang entah sudah sejak kapan aku memesannya.
Suasana yang bodoh. Bagaimana bisa aku mengajak Elena ke tempat seperti ini saat hujan
turun diluar sana? Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Aku tak mau
mengatakannya, bukan, aku tak bisa mengatakannya. Elena.. Aku..
"Kupikir kau ingin mengatakan sesuatu padaku." Elena mulai memasukkan sesendok es krim
ke dalam mulutnya.
"Bisakah kita membahas itu nanti? Bagaimana tentang kabar orang tuamu?" Aku mencoba
tersenyum ke arah Elena.
"Mereka baik baik saja. Dan kau tau, bisnis ayahku mulai berkembang pesat." Elena
mengatakannya dengan penuh semangat. Dengan senyum yang memenuhi seluruh wajahnya.
Bagaimana mungkin aku akan merusaknya sekarang?
"Baguslah.." Aku mulai menggaruk tengkukku. Tak tau hal apa lagi yang bisa dibicarakan.
"Dan tentangmu.. Apa Jerman begitu menyenangkan?"
Bagaikan disambar petir ditengah hujan yang teramat deras, seluruh tubuhku terasa amat
sakit. Aku tak tau bagaimana aku bisa menjelaskannya pada Elena. Aku tak tau bagaimana
cara untuk membuatnya mengerti.
"Jeremy.." Suara lembut Elena membuyarkan lamunanku.
"Oh.. Itu.. Tak semenyenangkan saat aku bersamamu." Aku memaksakan senyumku. Entah ia
menyadarinya atau tidak.
"Kau pasti bohong kan? Ada banyak gadis cantik disana. Apalagi kita hanya bisa bertemu
beberapa kali dalam sebulan. Kau pasti bosan denganku."

Elena menatapku sendu. Aku tau ada kerinduan yang teramat dalam dimatanya.
Aku tak tau lagi apa yang bisa kukatakan. Elena sangat mengerti tentangku. Mungkin dialah
satu satunya gadis yang bisa mengerti tentang duniaku. 2 tahun bukanlah waktu yang singkat
bagi sebuah hubungan untuk dibangun. Apalagi Elena membangunnya dengan penuh kasih
sayang dari sikapnya yang lembut. Aku tak akan kuasa untuk menghancurkannya. Aku tak
bisa menghancurkannya.
"Oh iya.. Bagaimana tentang sekolahmu?" Aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Elena sangat antusias bercerita. Gadis yang saat ini duduk di didepanku dengan matanya yang
berbinar terlihat begitu bahagia. Apa aku harus merusak kebahagiaannya sekarang?
"Elena.. Bisa aku bertanya tentang sesuatu?" Tanyaku mulai memberanikan diri.
"Tentang apa?"
"Apa kau bahagia bersamaku selama ini?"
Aku bisa melihat keterkejutan di wajah Elena. Mungkin pertanyaanku memang terlalu
mendadak untuk ditanyakan disaat yang seperti ini.
"Tentu saja aku bahagia. Kalau tidak, kenapa aku harus susah payah bertahan?"
"Jadi kau bersusah payah untuk bertahan denganku?"
"Eh, maksudku.."
"Akhiri perjuanganmu untuk terus bertahan denganku."
Aku mengatakannya dengan cepat. Kalimat itu meluncur keluar dari bibirku begitu saja. Tak
pernah terfikir olehku akan begini akhirnya.
Elena kembali memasang ekspresi terkejutnya selama beberapa detik. Sesaat kemudian air
mata pertamanya keluar tepat di depan mataku. Ia hanya diam. Elena menangis dalam diam.
Aku tau bagaimana rasa sakitnya. Aku merasakan hal yang sama, atau bahkan lebih
menyakitkan karna aku sendiri yang harus mengatakannya.
"Kenapa? Apa alasanmu menghentikanku?" Elena kembali meneteskan air matanya yang
amat berharga.
"Karna aku ingin melihatmu bahagia bersama orang lain."
"Jadi kau menemukan gadis yang lebih baik dariku di Jerman?"
Air mata Elena turun semakin deras. Aku ingin memeluknya sekarang. Aku ingin mengusap
kepalanya dan menenangkannya. Aku tak ingin melihatnya menangis lagi.
"Bukan tentang itu. Ini semua tentang.. Beasiswa yang kudapatkan."
Tiba tiba saja berkembang senyum di bibir Elena. Ia tersenyum mendengar kejujuranku.
Kupikir ia akan merengek dan memintaku untuk membawanya ikut. Tapi aku salah, Elena
telah tumbuh dewasa sebelum aku menyadarinya.
"Selamat Jeremy."
"Jadi.. Tentang hubungan kita.."

"Apa kita tak bisa jika hanya seperti ini?"


"Aku tak akan kembali kemari hingga aku lulus nanti."
"Aku bisa menunggu.
"Aku tak mau kau menungguku lagi. Sudah cukup kau menyia nyiakan waktumu untuk terus
menungguku selama 2 tahun belakangan ini."
"Jeremy.. Aku.."
"Aku juga mencintaimu. Tapi aku tak bisa memberikanmu harapan yang kemungkinan besar
tak bisa kutepati. Aku berharap kau akan bahagia bersama pria lain diluar sana. Sikapmu
padaku sungguh baik, dan kau akan menemukan kekasih yang lebih baik dariku. Aku tau
rasanya sangat menyakitkan sekarang. Tapi rasa sakitnya tak akan bertahan lama, kau akan
menemukan pria yang lebih baik."
"Bagaimana bisa kau.." Elena terus menangis. Bahkan ia tak mampu lagi meneruskan
ucapannya.
"Aku harus pergi sekarang. Pesawatku terbang besok dan aku belum mengemasi barang
barangku." Aku bangkit dari duduk.
Aku tersenyum ke arah Elena sebelum akhirnya berbalik ke arah pintu. Bulir bulir bening
mulai memenuhi seluruh ruang di dalam mataku. Pandanganku semakin buram di buatnya.
Aku tak bisa melepaskan air mata ini sekarang. Masih ada Elena yang melihatku di belakang
sana.
"Aku akan mengambil tes beasiswa ke Jerman semester depan." Suara teriakan Elena
menghentikan langkahku.
Aku tak bisa menahan kakiku untuk tak berjalan kembali ke arahnya. Aku berhenti tepat di
depannya. Membuat wajah kami terlihat begitu jelas satu sama lain. Elena terus menangis
sesenggukan. Rasanya teramat sakit melihatnya seperti ini.
"Kau bisa mengambil tes itu. Tapi jangan membuatku sebagai alasannya. Dan saat kau
mendapatkan beasiswa itu dan bisa pergi ke Jerman, aku berharap kau tak akan mengingatku
lagi. Jangan pernah mengingat namaku lagi."
Kukecup kening Elena cukup lama. Setetes air mataku jatuh begitu saja tanpa kusadari.
Perasaanku masih begitu berat untuk melepaskannya. Aku menatapnya sekali lagi. Menikmati
keindahan yang mungkin tak akan pernah kudapatkan kembali.
Aku beranjak dari hadapan Elena dengan senyuman serta tangis yang kusimpan dalam hati.
Kulangkahkan kakiku ke arah pintu dengan air mata yang semakin deras mengalahkan hujan
diluar sana. Kusapu semua tanda sakit ini dengan kasar. Aku hanya ingin menunjukkan pada
Elena bahwa aku baik baik saja. Aku akan bahagia tanpanya begitupun dirinya tanpaku.
***
"Sudah kau selesaikan?"
Kakakku menyodorkan secangkir kopi hangat kepadaku. Kuhirup aromanya dalam dalam.
Setidaknya secangkir kopi ini bisa menghangatkan tubuhku untuk sejenak. Masih ada 30
menit sebelum pesawat kami diberangkatkan.

"Hhh.." Aku hanya bisa menarik nafas panjang dengan mata yang menerawang entah
kemana.
"Hadiah dari Elena."
Sebuah kotak kecil berhiaskan pita berwarna kuning yang diserahkan oleh kakakku kini telah
berada di tanganku. Aku membukanya perlahan, tak ingin merusak setiap sudut kertas yang
telah dibuat Elena dengan susah payah. Di dalamnya berisi sekotak vitamin dan selembar
surat yang ditulis oleh Elena. Bukan surat, lebih tepatnya notes.
"Semoga lekas sembuh" Hanya itu yang tertulis di sana.
"Tau darimana dia tentangku yang sedang tak enak badan?" Aku menatap ke arah kakak.
"Saat kau mencium keningnya. Oh iya, aku yang mengantarkan Elena kemarin."
"Hmm." Aku tak peduli dengan ucapan kakak karna memang ia sangat suka mencampuri
urusanku.
"Lelaki mana yang membiarkan gadisnya menangis di depannya seperti kemarin." Kakakku
menyilangkan tangannya di depan dada. Aku tau ia sedang mengejekku sekarang.
"Lelaki yang ada di sampingmu." Jawabku sekenanya.
"Seharusnya kau menghentikkan air matanya kemarin."
"Kau ini benar benar tak mengerti tentang perempuan. Saat mereka menangis, kita tak bisa
menghentikannya. Yang harus kita lakukan adalah membiarkannya menangis agar
perasaannya lebih lega. Setidaknya harus ada 1 orang yang tau tentang masalahnya."
"Bilang saja kau tak bisa menahan tangisannya."
"Memang seperti itu." Kataku menahan tawa.
"Lalu, kenapa kau tak mau Elena mencarimu? Ia sudah susah payah belajar untuk bisa
menyusulmu ke Jerman."
"Tentang itu.." Aku menahan kalimatku. Mencoba memikirkannya kembali. "Aku melihat
seorang gadis yang berlari di tengah hujan kemarin. Ia terlihat bahagia dengan senyumannya.
Aku teringat tentang Elena saat itu."
"Maksudmu?"
"Hubungan jarak jauh yang kami jalani 2 tahun belakangan ini, aku tau sangat berat untuk
Elena, tapi ia terus tersenyum melawan hujan badai yang terus menentangnya. Orang yang
dekat dengannya pasti bisa melihat senyum Elena. Tapi orang tak mengenal Elena dengan
baik, pasti akan berfikir kalau dia sedang bersusah payah menjalani hubungan yang tak pasti
denganku. Aku tak mau orang lain berfikiran buruk tentang hubungan kami jika dilanjutkan
lagi."
"Setidaknya biarkan dia mencarimu jika ia bisa sampai ke Jerman nanti."
"Karna wanita harusnya dikejar, bukan mengejar. Aku hanya ingin menghargai kodrat Elena
sebagai wanita. Jika aku bisa kembali kemari atau Elena yang akan menyusulku, akulah
orang pertama yang menemuinya dan ia temui. Aku akan terus mengawasi Elena dari jauh
dan tersenyum di atas kebahagiannya nanti. Aku berharap Elena tak akan mengingatku, jadi

ia juga tak mengingat kejadian menyakitkan yang dialaminya kemarin, dan kita bisa memulai
semuanya dari a
Segelas air es dengan beberapa tetes gula diatasnya sedikit mendinginkan suhu tubuhku yang
mulai meninggi. Kulingkarkan jemariku disekitarnya. Mengamati embun yang menetes
sedikit demi sedikit meninggalkan kawannya yang lain. Kurebahkan kepalaku di atas meja
hijau yang biasa kugunakan untuk membaca buku. Terlihat beberapa helai dedaunan kering
yang gugur di luar jendela. Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Hingga
sesuatu memaksaku untuk mengistirahatkan kedua bola mata yang belum kutidurkan sejak
semalam.
Suara denting lonceng di atas pintu kamarku membuyarkan pikiran yang entah sejak kapan
tak lagi berada di tempatnya. Kuarahkan pandanganku ke asal suara yang sedikit menganggu
perhatianku. Seorang pria dengan surai hitamnya yang lancip tersenyum dari sana. Langkah
kakinya membawanya mendekatiku. Kutepuk tepuk ujung tempat tidur lembut. Ia sangat
mengerti tentang isyaratku dan mengistirahatkan kakinya sejenak di sana.
"Jadi bagaimana?" Ia melipat kedua kakinya sesaat setelah ia duduk.
"Kau bertanya tentang apa? Aku yang harus meninggalkan kota ini besok atau sesuatu yang
menyakitkan namun harus kulakukan?" Lagi lagi Kurebahkan kepalaku. Sejujurnya aku
malas harus membahas ini dengannya.
"Kudengar suhu tubuhmu tinggi hari ini, bagaimana kau akan pergi besok?" Ia menyentuh
keningku sejenak, menyamakan suhunya dengan keningnya sendiri.
"Aku tak sakit, hanya terlalu banyak berfikir. Kau tau kan bagaimana perasaanku pada Elena?
Apa yang harus kukatakan padanya nanti?" Mataku mulai menerawang, membayangkannya
saja terasa menyakitkan.
"Oh, tentang itu. Kau hanya perlu mengatakan bahwa kau tak bisa bersamanya lagi. Suatu
alasan yang tak bisa kau utarakan membuatmu harus memutuskan hubungan itu." Ia
memperbaiki caranya duduk, membuatnya lebih santai dengan bersandar pada kedua
lengannya.
"Pantas saja kau tak pernah memiliki kekasih. Aku penasaran bagaimana caranya aku bisa
lahir setelah dirimu. Apalagi dari rahim yang sama." Kugeleng gelengkan kepalaku saat
menatapnya. Pria itu benar benar tak mengerti tentang sebuah hubungan yang didasari oleh
cinta.
"Dasar." Ia menjitak kepalaku lembut. Kakakku memang orang yang selalu membuatku
tersenyum.
***
Sekarang aku mulai memikirkannya lagi. Udara di ice cream shop ini terasa semakin dingin.
Kedua telapak tanganku terasa begitu dingin. Huh, seharusnya aku mendengarkan apa kata
kakakku tadi. Seharusnya aku membawa jacket buluku tadi.
2 jam telah berlalu. Langit yang tadinya biru cerah telah berubah mendung. Kusandarkan
kepalaku di bibir jendela. Tetes demi tetes hujan mulai turun membasahi jalanan yang telah
lengang sedari tadi. Kulihat seorang wanita bergaun merah berlarian menembus hujan.
Bahkan tas tangan kecil yang ia gunakan untuk menutupi kepalanya telah ikut basah
karenanya. Gadis itu berlari dengan senyum yang mengembang. Menggambarkan

kebahagiaan di setiap sudut wajahnya. Aku teringat kembali tentang Elena. Apa yang akan
terjadi padanya nanti jika hujan terus turun seperti ini?
Kutekan beberapa tombol nomor milik Elena. Oh, tentang nomor Elena, aku telah lama
menghapusnya. Sejak sebuah kabar gembira serta menyedihkan datang dari sekolah.
"Nomor yang anda tuju sedang..."
Sial.. Ada apa dengan Elena? Apa ia tak ingin menemuiku untuk yang terakhir kali? Apa ia
tau apa yang ingin kukatakan?
Belum sempat aku berfikir terlalu jauh, sebuah tangan lembut menyentuh pundakku. Elena, ia
tersenyum melihatku. Rambutnya yang kecoklatan dengan wangi apel yang khas seakan
memberiku pertanda bahwa ia baik baik saja.
Elena duduk di depanku. Pakaian, tas, sepatu serta jam tangannya adalah barang barang yang
pernah ia beli bersamaku. Oh, ada apa dengannya hari ini?
5 menit berlalu, suasana terasa begitu canggung. 10 menit berlalu, kami masih tercekat dalam
diam. 15 menit kemudian..
"Permisi tuan.. Ini es krimnya.. Selamat menikmati.." Seorang pelayan mengantar pesanan
yang entah sudah sejak kapan aku memesannya.
Suasana yang bodoh. Bagaimana bisa aku mengajak Elena ke tempat seperti ini saat hujan
turun diluar sana? Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Aku tak mau
mengatakannya, bukan, aku tak bisa mengatakannya. Elena.. Aku..
"Kupikir kau ingin mengatakan sesuatu padaku." Elena mulai memasukkan sesendok es krim
ke dalam mulutnya.
"Bisakah kita membahas itu nanti? Bagaimana tentang kabar orang tuamu?" Aku mencoba
tersenyum ke arah Elena.
"Mereka baik baik saja. Dan kau tau, bisnis ayahku mulai berkembang pesat." Elena
mengatakannya dengan penuh semangat. Dengan senyum yang memenuhi seluruh wajahnya.
Bagaimana mungkin aku akan merusaknya sekarang?
"Baguslah.." Aku mulai menggaruk tengkukku. Tak tau hal apa lagi yang bisa dibicarakan.
"Dan tentangmu.. Apa Jerman begitu menyenangkan?"
Bagaikan disambar petir ditengah hujan yang teramat deras, seluruh tubuhku terasa amat
sakit. Aku tak tau bagaimana aku bisa menjelaskannya pada Elena. Aku tak tau bagaimana
cara untuk membuatnya mengerti.
"Jeremy.." Suara lembut Elena membuyarkan lamunanku.
"Oh.. Itu.. Tak semenyenangkan saat aku bersamamu." Aku memaksakan senyumku. Entah ia
menyadarinya atau tidak.
"Kau pasti bohong kan? Ada banyak gadis cantik disana. Apalagi kita hanya bisa bertemu
beberapa kali dalam sebulan. Kau pasti bosan denganku."
Elena menatapku sendu. Aku tau ada kerinduan yang teramat dalam dimatanya.

Aku tak tau lagi apa yang bisa kukatakan. Elena sangat mengerti tentangku. Mungkin dialah
satu satunya gadis yang bisa mengerti tentang duniaku. 2 tahun bukanlah waktu yang singkat
bagi sebuah hubungan untuk dibangun. Apalagi Elena membangunnya dengan penuh kasih
sayang dari sikapnya yang lembut. Aku tak akan kuasa untuk menghancurkannya. Aku tak
bisa menghancurkannya.
"Oh iya.. Bagaimana tentang sekolahmu?" Aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Elena sangat antusias bercerita. Gadis yang saat ini duduk di didepanku dengan matanya yang
berbinar terlihat begitu bahagia. Apa aku harus merusak kebahagiaannya sekarang?
"Elena.. Bisa aku bertanya tentang sesuatu?" Tanyaku mulai memberanikan diri.
"Tentang apa?"
"Apa kau bahagia bersamaku selama ini?"
Aku bisa melihat keterkejutan di wajah Elena. Mungkin pertanyaanku memang terlalu
mendadak untuk ditanyakan disaat yang seperti ini.
"Tentu saja aku bahagia. Kalau tidak, kenapa aku harus susah payah bertahan?"
"Jadi kau bersusah payah untuk bertahan denganku?"
"Eh, maksudku.."
"Akhiri perjuanganmu untuk terus bertahan denganku."
Aku mengatakannya dengan cepat. Kalimat itu meluncur keluar dari bibirku begitu saja. Tak
pernah terfikir olehku akan begini akhirnya.
Elena kembali memasang ekspresi terkejutnya selama beberapa detik. Sesaat kemudian air
mata pertamanya keluar tepat di depan mataku. Ia hanya diam. Elena menangis dalam diam.
Aku tau bagaimana rasa sakitnya. Aku merasakan hal yang sama, atau bahkan lebih
menyakitkan karna aku sendiri yang harus mengatakannya.
"Kenapa? Apa alasanmu menghentikanku?" Elena kembali meneteskan air matanya yang
amat berharga.
"Karna aku ingin melihatmu bahagia bersama orang lain."
"Jadi kau menemukan gadis yang lebih baik dariku di Jerman?"
Air mata Elena turun semakin deras. Aku ingin memeluknya sekarang. Aku ingin mengusap
kepalanya dan menenangkannya. Aku tak ingin melihatnya menangis lagi.
"Bukan tentang itu. Ini semua tentang.. Beasiswa yang kudapatkan."
Tiba tiba saja berkembang senyum di bibir Elena. Ia tersenyum mendengar kejujuranku.
Kupikir ia akan merengek dan memintaku untuk membawanya ikut. Tapi aku salah, Elena
telah tumbuh dewasa sebelum aku menyadarinya.
"Selamat Jeremy."
"Jadi.. Tentang hubungan kita.."
"Apa kita tak bisa jika hanya seperti ini?"

"Aku tak akan kembali kemari hingga aku lulus nanti."


"Aku bisa menunggu.
"Aku tak mau kau menungguku lagi. Sudah cukup kau menyia nyiakan waktumu untuk terus
menungguku selama 2 tahun belakangan ini."
"Jeremy.. Aku.."
"Aku juga mencintaimu. Tapi aku tak bisa memberikanmu harapan yang kemungkinan besar
tak bisa kutepati. Aku berharap kau akan bahagia bersama pria lain diluar sana. Sikapmu
padaku sungguh baik, dan kau akan menemukan kekasih yang lebih baik dariku. Aku tau
rasanya sangat menyakitkan sekarang. Tapi rasa sakitnya tak akan bertahan lama, kau akan
menemukan pria yang lebih baik."
"Bagaimana bisa kau.." Elena terus menangis. Bahkan ia tak mampu lagi meneruskan
ucapannya.
"Aku harus pergi sekarang. Pesawatku terbang besok dan aku belum mengemasi barang
barangku." Aku bangkit dari duduk.
Aku tersenyum ke arah Elena sebelum akhirnya berbalik ke arah pintu. Bulir bulir bening
mulai memenuhi seluruh ruang di dalam mataku. Pandanganku semakin buram di buatnya.
Aku tak bisa melepaskan air mata ini sekarang. Masih ada Elena yang melihatku di belakang
sana.
"Aku akan mengambil tes beasiswa ke Jerman semester depan." Suara teriakan Elena
menghentikan langkahku.
Aku tak bisa menahan kakiku untuk tak berjalan kembali ke arahnya. Aku berhenti tepat di
depannya. Membuat wajah kami terlihat begitu jelas satu sama lain. Elena terus menangis
sesenggukan. Rasanya teramat sakit melihatnya seperti ini.
"Kau bisa mengambil tes itu. Tapi jangan membuatku sebagai alasannya. Dan saat kau
mendapatkan beasiswa itu dan bisa pergi ke Jerman, aku berharap kau tak akan mengingatku
lagi. Jangan pernah mengingat namaku lagi."
Kukecup kening Elena cukup lama. Setetes air mataku jatuh begitu saja tanpa kusadari.
Perasaanku masih begitu berat untuk melepaskannya. Aku menatapnya sekali lagi. Menikmati
keindahan yang mungkin tak akan pernah kudapatkan kembali.
Aku beranjak dari hadapan Elena dengan senyuman serta tangis yang kusimpan dalam hati.
Kulangkahkan kakiku ke arah pintu dengan air mata yang semakin deras mengalahkan hujan
diluar sana. Kusapu semua tanda sakit ini dengan kasar. Aku hanya ingin menunjukkan pada
Elena bahwa aku baik baik saja. Aku akan bahagia tanpanya begitupun dirinya tanpaku.
***
"Sudah kau selesaikan?"
Kakakku menyodorkan secangkir kopi hangat kepadaku. Kuhirup aromanya dalam dalam.
Setidaknya secangkir kopi ini bisa menghangatkan tubuhku untuk sejenak. Masih ada 30
menit sebelum pesawat kami diberangkatkan.
"Hhh.." Aku hanya bisa menarik nafas panjang dengan mata yang menerawang entah
kemana.

"Hadiah dari Elena."


Sebuah kotak kecil berhiaskan pita berwarna kuning yang diserahkan oleh kakakku kini telah
berada di tanganku. Aku membukanya perlahan, tak ingin merusak setiap sudut kertas yang
telah dibuat Elena dengan susah payah. Di dalamnya berisi sekotak vitamin dan selembar
surat yang ditulis oleh Elena. Bukan surat, lebih tepatnya notes.
"Semoga lekas sembuh" Hanya itu yang tertulis di sana.
"Tau darimana dia tentangku yang sedang tak enak badan?" Aku menatap ke arah kakak.
"Saat kau mencium keningnya. Oh iya, aku yang mengantarkan Elena kemarin."
"Hmm." Aku tak peduli dengan ucapan kakak karna memang ia sangat suka mencampuri
urusanku.
"Lelaki mana yang membiarkan gadisnya menangis di depannya seperti kemarin." Kakakku
menyilangkan tangannya di depan dada. Aku tau ia sedang mengejekku sekarang.
"Lelaki yang ada di sampingmu." Jawabku sekenanya.
"Seharusnya kau menghentikkan air matanya kemarin."
"Kau ini benar benar tak mengerti tentang perempuan. Saat mereka menangis, kita tak bisa
menghentikannya. Yang harus kita lakukan adalah membiarkannya menangis agar
perasaannya lebih lega. Setidaknya harus ada 1 orang yang tau tentang masalahnya."
"Bilang saja kau tak bisa menahan tangisannya."
"Memang seperti itu." Kataku menahan tawa.
"Lalu, kenapa kau tak mau Elena mencarimu? Ia sudah susah payah belajar untuk bisa
menyusulmu ke Jerman."
"Tentang itu.." Aku menahan kalimatku. Mencoba memikirkannya kembali. "Aku melihat
seorang gadis yang berlari di tengah hujan kemarin. Ia terlihat bahagia dengan senyumannya.
Aku teringat tentang Elena saat itu."
"Maksudmu?"
"Hubungan jarak jauh yang kami jalani 2 tahun belakangan ini, aku tau sangat berat untuk
Elena, tapi ia terus tersenyum melawan hujan badai yang terus menentangnya. Orang yang
dekat dengannya pasti bisa melihat senyum Elena. Tapi orang tak mengenal Elena dengan
baik, pasti akan berfikir kalau dia sedang bersusah payah menjalani hubungan yang tak pasti
denganku. Aku tak mau orang lain berfikiran buruk tentang hubungan kami jika dilanjutkan
lagi."
"Setidaknya biarkan dia mencarimu jika ia bisa sampai ke Jerman nanti."
"Karna wanita harusnya dikejar, bukan mengejar. Aku hanya ingin menghargai kodrat Elena
sebagai wanita. Jika aku bisa kembali kemari atau Elena yang akan menyusulku, akulah
orang pertama yang menemuinya dan ia temui. Aku akan terus mengawasi Elena dari jauh
dan tersenyum di atas kebahagiannya nanti. Aku berharap Elena tak akan mengingatku, jadi
ia juga tak mengingat kejadian menyakitkan yang dialaminya kemarin, dan kita bisa memulai
semuanya dari awal lagi."

Segelas air es dengan beberapa tetes gula diatasnya sedikit mendinginkan suhu tubuhku yang
mulai meninggi. Kulingkarkan jemariku disekitarnya. Mengamati embun yang menetes sedikit
demi sedikit meninggalkan kawannya yang lain. Kurebahkan kepalaku di atas meja hijau yang
biasa kugunakan untuk membaca buku. Terlihat beberapa helai dedaunan kering yang gugur di
luar jendela. Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Hingga sesuatu
memaksaku untuk mengistirahatkan kedua bola mata yang belum kutidurkan sejak semalam.
Suara denting lonceng di atas pintu kamarku membuyarkan pikiran yang entah sejak kapan
tak lagi berada di tempatnya. Kuarahkan pandanganku ke asal suara yang sedikit menganggu
perhatianku. Seorang pria dengan surai hitamnya yang lancip tersenyum dari sana. Langkah
kakinya membawanya mendekatiku. Kutepuk tepuk ujung tempat tidur lembut. Ia sangat
mengerti tentang isyaratku dan mengistirahatkan kakinya sejenak di sana.
"Jadi bagaimana?" Ia melipat kedua kakinya sesaat setelah ia duduk.
"Kau bertanya tentang apa? Aku yang harus meninggalkan kota ini besok atau sesuatu yang
menyakitkan namun harus kulakukan?" Lagi lagi Kurebahkan kepalaku. Sejujurnya aku
malas harus membahas ini dengannya.
"Kudengar suhu tubuhmu tinggi hari ini, bagaimana kau akan pergi besok?" Ia menyentuh
keningku sejenak, menyamakan suhunya dengan keningnya sendiri.
"Aku tak sakit, hanya terlalu banyak berfikir. Kau tau kan bagaimana perasaanku pada Elena?
Apa yang harus kukatakan padanya nanti?" Mataku mulai menerawang, membayangkannya
saja terasa menyakitkan.
"Oh, tentang itu. Kau hanya perlu mengatakan bahwa kau tak bisa bersamanya lagi. Suatu
alasan yang tak bisa kau utarakan membuatmu harus memutuskan hubungan itu." Ia
memperbaiki caranya duduk, membuatnya lebih santai dengan bersandar pada kedua
lengannya.
"Pantas saja kau tak pernah memiliki kekasih. Aku penasaran bagaimana caranya aku bisa
lahir setelah dirimu. Apalagi dari rahim yang sama." Kugeleng gelengkan kepalaku saat
menatapnya. Pria itu benar benar tak mengerti tentang sebuah hubungan yang didasari oleh
cinta.
"Dasar." Ia menjitak kepalaku lembut. Kakakku memang orang yang selalu membuatku
tersenyum.
Sekarang aku mulai memikirkannya lagi. Udara di ice cream shop ini terasa semakin dingin.
Kedua telapak tanganku terasa begitu dingin. Huh, seharusnya aku mendengarkan apa kata
kakakku tadi. Seharusnya aku membawa jacket buluku tadi.
2 jam telah berlalu. Langit yang tadinya biru cerah telah berubah mendung. Kusandarkan
kepalaku di bibir jendela. Tetes demi tetes hujan mulai turun membasahi jalanan yang telah
lengang sedari tadi. Kulihat seorang wanita bergaun merah berlarian menembus hujan.
Bahkan tas tangan kecil yang ia gunakan untuk menutupi kepalanya telah ikut basah
karenanya. Gadis itu berlari dengan senyum yang mengembang. Menggambarkan
kebahagiaan di setiap sudut wajahnya. Aku teringat kembali tentang Elena. Apa yang akan
terjadi padanya nanti jika hujan terus turun seperti ini?
Kutekan beberapa tombol nomor milik Elena. Oh, tentang nomor Elena, aku telah lama
menghapusnya. Sejak sebuah kabar gembira serta menyedihkan datang dari sekolah.

"Nomor yang anda tuju sedang..."


Sial.. Ada apa dengan Elena? Apa ia tak ingin menemuiku untuk yang terakhir kali? Apa ia
tau apa yang ingin kukatakan?
Belum sempat aku berfikir terlalu jauh, sebuah tangan lembut menyentuh pundakku. Elena, ia
tersenyum melihatku. Rambutnya yang kecoklatan dengan wangi apel yang khas seakan
memberiku pertanda bahwa ia baik baik saja.
Elena duduk di depanku. Pakaian, tas, sepatu serta jam tangannya adalah barang barang yang
pernah ia beli bersamaku. Oh, ada apa dengannya hari ini?
5 menit berlalu, suasana terasa begitu canggung. 10 menit berlalu, kami masih tercekat dalam
diam. 15 menit kemudian..
"Permisi tuan.. Ini es krimnya.. Selamat menikmati.." Seorang pelayan mengantar pesanan
yang entah sudah sejak kapan aku memesannya.
Suasana yang bodoh. Bagaimana bisa aku mengajak Elena ke tempat seperti ini saat hujan
turun diluar sana? Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Aku tak mau
mengatakannya, bukan, aku tak bisa mengatakannya. Elena.. Aku..
"Kupikir kau ingin mengatakan sesuatu padaku." Elena mulai memasukkan sesendok es krim
ke dalam mulutnya.
"Bisakah kita membahas itu nanti? Bagaimana tentang kabar orang tuamu?" Aku mencoba
tersenyum ke arah Elena.
"Mereka baik baik saja. Dan kau tau, bisnis ayahku mulai berkembang pesat." Elena
mengatakannya dengan penuh semangat. Dengan senyum yang memenuhi seluruh wajahnya.
Bagaimana mungkin aku akan merusaknya sekarang?
"Baguslah.." Aku mulai menggaruk tengkukku. Tak tau hal apa lagi yang bisa dibicarakan.
"Dan tentangmu.. Apa Jerman begitu menyenangkan?"
Bagaikan disambar petir ditengah hujan yang teramat deras, seluruh tubuhku terasa amat
sakit. Aku tak tau bagaimana aku bisa menjelaskannya pada Elena. Aku tak tau bagaimana
cara untuk membuatnya mengerti.
"Jeremy.." Suara lembut Elena membuyarkan lamunanku.
"Oh.. Itu.. Tak semenyenangkan saat aku bersamamu." Aku memaksakan senyumku. Entah ia
menyadarinya atau tidak.
"Kau pasti bohong kan? Ada banyak gadis cantik disana. Apalagi kita hanya bisa bertemu
beberapa kali dalam sebulan. Kau pasti bosan denganku."
Elena menatapku sendu. Aku tau ada kerinduan yang teramat dalam dimatanya.
Aku tak tau lagi apa yang bisa kukatakan. Elena sangat mengerti tentangku. Mungkin dialah
satu satunya gadis yang bisa mengerti tentang duniaku. 2 tahun bukanlah waktu yang singkat
bagi sebuah hubungan untuk dibangun. Apalagi Elena membangunnya dengan penuh kasih
sayang dari sikapnya yang lembut. Aku tak akan kuasa untuk menghancurkannya. Aku tak
bisa menghancurkannya.

"Oh iya.. Bagaimana tentang sekolahmu?" Aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Elena sangat antusias bercerita. Gadis yang saat ini duduk di didepanku dengan matanya yang
berbinar terlihat begitu bahagia. Apa aku harus merusak kebahagiaannya sekarang?
"Elena.. Bisa aku bertanya tentang sesuatu?" Tanyaku mulai memberanikan diri.
"Tentang apa?"
"Apa kau bahagia bersamaku selama ini?"
Aku bisa melihat keterkejutan di wajah Elena. Mungkin pertanyaanku memang terlalu
mendadak untuk ditanyakan disaat yang seperti ini.
"Tentu saja aku bahagia. Kalau tidak, kenapa aku harus susah payah bertahan?"
"Jadi kau bersusah payah untuk bertahan denganku?"
"Eh, maksudku.."
"Akhiri perjuanganmu untuk terus bertahan denganku."
Aku mengatakannya dengan cepat. Kalimat itu meluncur keluar dari bibirku begitu saja. Tak
pernah terfikir olehku akan begini akhirnya.
Elena kembali memasang ekspresi terkejutnya selama beberapa detik. Sesaat kemudian air
mata pertamanya keluar tepat di depan mataku. Ia hanya diam. Elena menangis dalam diam.
Aku tau bagaimana rasa sakitnya. Aku merasakan hal yang sama, atau bahkan lebih
menyakitkan karna aku sendiri yang harus mengatakannya.
"Kenapa? Apa alasanmu menghentikanku?" Elena kembali meneteskan air matanya yang
amat berharga.
"Karna aku ingin melihatmu bahagia bersama orang lain."
"Jadi kau menemukan gadis yang lebih baik dariku di Jerman?"
Air mata Elena turun semakin deras. Aku ingin memeluknya sekarang. Aku ingin mengusap
kepalanya dan menenangkannya. Aku tak ingin melihatnya menangis lagi.
"Bukan tentang itu. Ini semua tentang.. Beasiswa yang kudapatkan."
Tiba tiba saja berkembang senyum di bibir Elena. Ia tersenyum mendengar kejujuranku.
Kupikir ia akan merengek dan memintaku untuk membawanya ikut. Tapi aku salah, Elena
telah tumbuh dewasa sebelum aku menyadarinya.
"Selamat Jeremy."
"Jadi.. Tentang hubungan kita.."
"Apa kita tak bisa jika hanya seperti ini?"
"Aku tak akan kembali kemari hingga aku lulus nanti."
"Aku bisa menunggu.
"Aku tak mau kau menungguku lagi. Sudah cukup kau menyia nyiakan waktumu untuk terus
menungguku selama 2 tahun belakangan ini."

"Jeremy.. Aku.."
"Aku juga mencintaimu. Tapi aku tak bisa memberikanmu harapan yang kemungkinan besar
tak bisa kutepati. Aku berharap kau akan bahagia bersama pria lain diluar sana. Sikapmu
padaku sungguh baik, dan kau akan menemukan kekasih yang lebih baik dariku. Aku tau
rasanya sangat menyakitkan sekarang. Tapi rasa sakitnya tak akan bertahan lama, kau akan
menemukan pria yang lebih baik."
"Bagaimana bisa kau.." Elena terus menangis. Bahkan ia tak mampu lagi meneruskan
ucapannya.
"Aku harus pergi sekarang. Pesawatku terbang besok dan aku belum mengemasi barang
barangku." Aku bangkit dari duduk.
Aku tersenyum ke arah Elena sebelum akhirnya berbalik ke arah pintu. Bulir bulir bening
mulai memenuhi seluruh ruang di dalam mataku. Pandanganku semakin buram di buatnya.
Aku tak bisa melepaskan air mata ini sekarang. Masih ada Elena yang melihatku di belakang
sana.
"Aku akan mengambil tes beasiswa ke Jerman semester depan." Suara teriakan Elena
menghentikan langkahku.
Aku tak bisa menahan kakiku untuk tak berjalan kembali ke arahnya. Aku berhenti tepat di
depannya. Membuat wajah kami terlihat begitu jelas satu sama lain. Elena terus menangis
sesenggukan. Rasanya teramat sakit melihatnya seperti ini.
"Kau bisa mengambil tes itu. Tapi jangan membuatku sebagai alasannya. Dan saat kau
mendapatkan beasiswa itu dan bisa pergi ke Jerman, aku berharap kau tak akan mengingatku
lagi. Jangan pernah mengingat namaku lagi."
Kukecup kening Elena cukup lama. Setetes air mataku jatuh begitu saja tanpa kusadari.
Perasaanku masih begitu berat untuk melepaskannya. Aku menatapnya sekali lagi. Menikmati
keindahan yang mungkin tak akan pernah kudapatkan kembali.
Aku beranjak dari hadapan Elena dengan senyuman serta tangis yang kusimpan dalam hati.
Kulangkahkan kakiku ke arah pintu dengan air mata yang semakin deras mengalahkan hujan
diluar sana. Kusapu semua tanda sakit ini dengan kasar. Aku hanya ingin menunjukkan pada
Elena bahwa aku baik baik saja. Aku akan bahagia tanpanya begitupun dirinya tanpaku.
"Sudah kau selesaikan?"
Kakakku menyodorkan secangkir kopi hangat kepadaku. Kuhirup aromanya dalam dalam.
Setidaknya secangkir kopi ini bisa menghangatkan tubuhku untuk sejenak. Masih ada 30
menit sebelum pesawat kami diberangkatkan.
"Hhh.." Aku hanya bisa menarik nafas panjang dengan mata yang menerawang entah
kemana.
"Hadiah dari Elena."
Sebuah kotak kecil berhiaskan pita berwarna kuning yang diserahkan oleh kakakku kini telah
berada di tanganku. Aku membukanya perlahan, tak ingin merusak setiap sudut kertas yang
telah dibuat Elena dengan susah payah. Di dalamnya berisi sekotak vitamin dan selembar
surat yang ditulis oleh Elena. Bukan surat, lebih tepatnya notes.

"Semoga lekas sembuh" Hanya itu yang tertulis di sana.


"Tau darimana dia tentangku yang sedang tak enak badan?" Aku menatap ke arah kakak.
"Saat kau mencium keningnya. Oh iya, aku yang mengantarkan Elena kemarin."
"Hmm." Aku tak peduli dengan ucapan kakak karna memang ia sangat suka mencampuri
urusanku.
"Lelaki mana yang membiarkan gadisnya menangis di depannya seperti kemarin." Kakakku
menyilangkan tangannya di depan dada. Aku tau ia sedang mengejekku sekarang.
"Lelaki yang ada di sampingmu." Jawabku sekenanya.
"Seharusnya kau menghentikkan air matanya kemarin."
"Kau ini benar benar tak mengerti tentang perempuan. Saat mereka menangis, kita tak bisa
menghentikannya. Yang harus kita lakukan adalah membiarkannya menangis agar
perasaannya lebih lega. Setidaknya harus ada 1 orang yang tau tentang masalahnya."
"Bilang saja kau tak bisa menahan tangisannya."
"Memang seperti itu." Kataku menahan tawa.
"Lalu, kenapa kau tak mau Elena mencarimu? Ia sudah susah payah belajar untuk bisa
menyusulmu ke Jerman."
"Tentang itu.." Aku menahan kalimatku. Mencoba memikirkannya kembali. "Aku melihat
seorang gadis yang berlari di tengah hujan kemarin. Ia terlihat bahagia dengan senyumannya.
Aku teringat tentang Elena saat itu."
"Maksudmu?"
"Hubungan jarak jauh yang kami jalani 2 tahun belakangan ini, aku tau sangat berat untuk
Elena, tapi ia terus tersenyum melawan hujan badai yang terus menentangnya. Orang yang
dekat dengannya pasti bisa melihat senyum Elena. Tapi orang tak mengenal Elena dengan
baik, pasti akan berfikir kalau dia sedang bersusah payah menjalani hubungan yang tak pasti
denganku. Aku tak mau orang lain berfikiran buruk tentang hubungan kami jika dilanjutkan
lagi."
"Setidaknya biarkan dia mencarimu jika ia bisa sampai ke Jerman nanti."
"Karna wanita harusnya dikejar, bukan mengejar. Aku hanya ingin menghargai kodrat Elena
sebagai wanita. Jika aku bisa kembali kemari atau Elena yang akan menyusulku, akulah
orang pertama yang menemuinya dan ia temui. Aku akan terus mengawasi Elena dari jauh
dan tersenyum di atas kebahagiannya nanti. Aku berharap Elena tak akan mengingatku, jadi
ia juga tak mengingat kejadian menyakitkan yang dialaminya kemarin, dan kita bisa memulai
semuanya dari awal lagi."

SEBUAH KENANGAN
Sosok mata yang tak terduga
Kini hanyalah seberkas cahaya
Tak punya makna apapun

Sosok air mata


Tak berharga di matamu
Hanyalah kenangan sekejap
Tertinggal di relung kalbu

Jika esok hari


Engkau bertanya
Mungkin tak ada lagi

Sosok mata dan canda


Kini telah sirna
Habis oleh masa
Yang tak pernah kau anggap

TUGAS : BAHASA INDONESIA

DISUSUN

OLEH:
NAMA: SYAFRINA
NIS : 17753
KELAS: XI MIA 6

SMA NEGERI 4 KEDARI

Anda mungkin juga menyukai