Anda di halaman 1dari 12

Perkembangan Tektonik Pulau Sumatra

Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng IndoAustralia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng
Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific di utara
Irian dan Maluku utara. Salah satu hasil pertemuan ketiga ini membentuk pulau Sumatra.

A. Gambaran Umum
Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng IndoAustralia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng
Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific di utara Irian
dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan terkumpul
sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga
lepas berupa gempa bumi.
Pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia di selatan Jawa hampir tegak lurus, berbeda
dengan pertemuan lempeng di wilayah Sumatera yang mempunyai subduksi miring dengan
kecepatan 5-6 cm/tahun (Bock, 2000).
Pulau Sumatera dicirikan oleh tiga sistem tektonik. Berurutan dari barat ke timur adalah sebagai
berikut: zona subduksi oblique dengan sudut penunjaman yang landai, sesar Mentawai dan zona
sesar besar Sumatera. Zona subduksi di Pulau Sumatera, yang sering sekali menimbulkan gempa
tektonik, memanjang membentang sampai ke Selat Sunda dan berlanjut hingga selatan Pulau
Jawa. Subsuksi ini mendesak lempeng Eurasia dari bawah Samudera Hindia ke arah barat laut di
Sumatera dan frontal ke utara terhadap Pulau Jawa, dengan kecepatan pergerakan yang
bervariasi. Puluhan hingga ratusan tahun, dua lempeng itu saling menekan. Namun lempeng
Indo-Australia dari selatan bergerak lebih aktif. Pergerakannya yang hanya beberapa millimeter
hingga beberapa sentimeter per tahun ini memang tidak terasa oleh manusia. Karena dorongan
lempeng Indo-Australia terhadap bagian utara Sumatera kecepatannya hanya 5,2 cm per tahun,
sedangkan yang di bagian selatannya kecepatannya 6 cm per tahun. Pergerakan lempeng di
daerah barat Sumatera yang miring posisinya ini lebih cepat dibandingkan dengan penyusupan
lempeng di selatan Jawa.

B. Kerangka Tektonik Pulau Sumatra


Pulau Sumatra terletak di baratdaya dari Kontinen Sundaland dan merupakan jalur konvergensi
antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng Eurasia/Sundaland.
Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral
menganan dari Sistem Sesar Sumatra.

Gambar Pembentukan Cekungan Belakang Busur di Pulau Sumatra (Barber dkk, 2005).

Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa Paleogen
diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra searah jarum jam.
Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W menjadi SE-NW dimulai pada EosenOligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya pergerakan sesar mendatar
Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra
menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000).
Karakteristik Awal Tersier Sumatra ditandai dengan pembentukkan cekungan-cekungan belakang

busur sepanjang Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra Utara, Cekungan Sumatra Tengah, dan
Cekungan Sumatra Selatan (Gambar Diatas).
Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari mikrokontinen di Akhir
Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; dalam Barber dkk, 2005). Sekarang Lempeng
Samudera Hindia subduksi di bawah Lempeng Benua Eurasia pada arah N20E dengan rata-rata
pergerakannya 6 7 cm/tahun. Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra berhubungan
langsung dengan kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan
volcano-plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi, 2000):
1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan yang
memisahkan dari lereng trench.
2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik punggungan outer-arc
dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-arc Sumatra.
3. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan Selatan.
Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada bagian bawah Bukit
Barisan.
4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama pada PermKarbon hingga batuan Mesozoik.
5. Intra-arc Sumatra, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah pengendapan
terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-arc dan back-arc basin.
Struktur Utama Cekungan Sumatra Selatan
Menurut Salim dkk (1995) Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan belakang busur
karena berada di belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-nya. Cekungan ini berumur
Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda sebagai bagian dari
Lempeng Kontinen Asia dan Lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah
seluas 330 x 510 km2, bagian barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di
sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan
Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010) perkembangan struktur maupun evolusi
cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah struktur utama yaitu, berarah
timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Jambi, berarah baratlaut-tenggara atau disebut Pola
Sumatra, dan berarah utara-selatan atau disebut Pola Sunda. Hal inilah yang membuat struktur
geologi di daerah Cekungan Sumatra Selatan lebih kompleks dibandingkan cekungan lainnya di
Pulau Sumatra. Struktur geologi berarah timurlaut-baratdaya atau Pola Jambi sangat jelas
teramati di Sub-Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlaut-baratdaya di daerah
ini berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra Selatan. Struktur lipatan
yang berkembang pada Pola Jambi diakibatkan oleh pengaktifan kembali sesar-sesar normal

tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi dengan sesar mendatar (wrench
fault). Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak begitu kuat.
Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang (Pulunggono dan
Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini berupa perlipatan yang berasosiasi
dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya kompresi Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah
utara-selatan atau Pola Sunda juga terlihat di Cekungan Sumatra Selatan. Pola Sunda yang pada
awalnya dimanifestasikan dengan sesar normal, pada periode tektonik Plio-Pleistosen teraktifkan
kembali sebagai sesar mendatar yang sering kali memperlihatkan pola perlipatan di permukaan.

Gambar Elemen Struktur Utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi Timurlautbaratdaya atau Utara-Selatan Menunjukkan Umur Eo-Oligosen dan Struktur Inversi
Menunjukkan Umur Plio-Pleistosen (Ginger dan Fielding, 2005).

C. Perkembangan Tektonik Pulau Sumatra


Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan Cekungan Sumatra
Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah:
Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik ini menghasilkan
sesar geser dekstral WNW ESE seperti Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan
Lampung, Musi Lineament dan N S trend. Terjadi wrench movement dan intrusi granit
berumur Jurasik Kapur.

Gambar Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan Elipsoid Model (Pulonggono dkk,
1992).
Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar normal dan sesar
tumbuh berarah N S dan WNW ESE. Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di atas

batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian awal dari cekungan yaitu
Formasi Lahat.

Gambar Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid Model (Pulonggono
dkk, 1992).

Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen menyebabkan
pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan bahan-bahan klastika. Yaitu
terendapkannya Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air
Benakat, dan Formasi Muara Enim.

Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian Formasi
Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah
yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan perlipatan
berarah barat laut di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di
Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi aktivitas volkanisme pada cekungan belakang
busur.

Gambar Fase Kompresi Miosen Tengah Sampai Sekarang dan Elipsoid Model (Pulonggono
dkk, 1992).
Sistem Subduksi Sumatra
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam. Pada zaman
Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-timur laut, di mana aktivitas
tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini disebabkan oleh pembentukan letak samudera di Laut
Andaman dan tumbukan antara Lempeng Mikro Sunda dan Lempeng India-Australia terjadi
pada sudut yang kurang tajam. Terjadilah kompresi tektonik global dan lahirnya kompleks
subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera dan pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan pada
zaman
Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada Laut Andaman. Sebagai
akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE menghasilkan patahan berarah utaraselatan. Sejak Pliosen sampai kini, akibat kompresi terbentuk tegasan yang berarah NNE-SSW
yang menghasilkan sesar berarah NE-SW, yang memotong sesar yang berarah utara-selatan.
Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur pulau depan (forearch
islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P.
Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar
aktif The Great Sumatera Fault yang membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko
hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Patahan
aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan
daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus terhadap arah
pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia. Lempeng Eurasia bergerak relatif ke

arah tenggara, sedangkan Lempeng India-Australia bergerak relatif ke arah timurlaut. Karena
tidak tegak lurus inilah maka Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar (garis jingga) yang dikenal
dengan nama Sesar Semangko.
Penunjaman Lempeng India Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau Sumatera.
Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat, sedangkan bagian timur
relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai dataran pantai yang sempit dan
kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai
jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang
bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur,
gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.

Sistem Sesar Sumatra


Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang mengakibatkan kedua lempeng
tersebut bertabrakan dan menghasilkan penunjaman menghasilkan rangkaian busur pulau depan
(forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut
hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya,
serta sesar aktif The Great Sumatera Fault yang membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk
Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma.
Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun dan
merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu: Sesar Aneuk
Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren. Khusus untuk
Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan aktif, yaitu Darul
Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya pengaruh tekanan
tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera serta
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di sepanjang patahan
tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor, disebabkan oleh adanya
aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh sendiri merupakan suatu
dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah graben. Dataran yang terbentuk
tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh besar jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau Sumatera.
Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat, sedangkan bagian timur
relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai dataran pantai yang sempit dan
kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai
jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang
bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur,
gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa pertumbukan
antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu, yang
mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai

dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi
padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter /
tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan
tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun pada awal proses
konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu
kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993
dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut teori indentasi pada akhirnya
mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk
mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan busur muka
dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi. Kenyataan
menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera
menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000).
Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu
dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan
bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
D. Periode Tektonik Pulau Sumtera
Penjelasan mengenai periode tektonik wilayah sumatera terbagi menjadi 3 daerah berdasarkan
letak cekungan yang ada di sumatera yaitu cekungan Bengkulu yang menandakan forearc basin,
cekungan Sumateratengah yaitu central basin dan cekungan Sumatera Selatan yang merupakan
backarc basin. Berikut adalah penjelasan masing masingperiode yang terjadi di masing
masing cekungan tersebut.
a.

Cekungan Bengkulu (forearc basin)

Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan forearc artinya
cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore arc ; arc = jalur volkanik). Berdasarkan
berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan( dalam hal ini adalah volcanic
arc -nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada
Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidakada forearc basin
Bengkulu sebab pada saat itu arc -nya sendiri tidak ada.Sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen,
Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu
pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan
Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah,Cekungan Bengkulu
menjadi cekungan forearc dan CekunganSumatera Selatan menjadi cekungan backarc (belakang
busur).
Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera Selatan dapat
dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati bahwa pada
Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan sistem graben di
beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna,
Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan SumateraSelatan saat itu ada graben-graben
Jambi, Palembang, Lematang,dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu

masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh
berkembangnya terumbu terumbu karbonat yang masif pada Miosen Atas yang hampir ekivalen
secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat (paraoperator yang pernah bekerja di
Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga). Pada saat yang sama, di Cekungan
Sumatera Selatan lebih banyak sedimen-sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower
Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang mengalami
pengangkatan dan inversi.Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di
Cekungan Bengkulu yaitu disebabkan Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman
sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang terangkat.
b.

Cekungan Sumatera Tengah (central basin)

Pola struktur yang ada saat ini di Cekungan Sumatra Tengah merupakan hasil sekurangkurangnya 3 (tiga) fase tektonikutama yang terpisah, yaitu Orogenesa Mesozoikum
Tengah,Tektonik Kapur Akhir-Tersier Awal, dan Orogenesa Plio-Plistosen(De Coster,
1974).Heidrick dan Aulia (1993), membahas secara terperinci tentang perkembangan tektonik di
Cekungan Sumatra Tengah dengan membaginya menjadi 3 (tiga) episode tektonik, F1 (fase
1)berlangsung pada Eosen-Oligosen, F2 (fase 2) berlangsung padaMiosen Awal-Miosen Tengah,
dan F3 (fase 3) berlangsung pada Miosen Tengah-Resen. Fase sebelum F1 disebut sebagai fase 0
(F0) yang berlangsung pada Pra Tersier.1. Episode F0 (Pre-Tertiary)Batuan dasar Pra Tersier di
Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng-lempeng benua dan samudera yang berbentuk
mozaik. Orientasi struktur pada batuan dasar memberikan efek pada lapisan sedimen Tersier
yang menumpang di atasnya dan kemudian mengontrol arah tarikan dan pengaktifan ulang yang
terjadi kemudian. Pola struktur tersebut disebut sebagai elemen struktur F0.
Ada 2 (dua) struktur utama pada batuan dasar. Pertama kelurusan utara -selatan yang merupakan
sesar geser (Transform/WrenchTectonic) berumur Karbon dan mengalami reaktifisasi selama
Permo-Trias, Jura, Kapur dan Tersier. Tinggian-tinggian yang terbentuk pada fase ini adalah
Tinggian Mutiara, Kampar, Napuh, Kubu, Pinang dan Ujung Pandang. Tinggian tinggian
tersebut menjadi batas yang penting pada pengendapan sedimen selanjutnya.2. Episode F1 (26
50 Ma)
Episode F1 berlangsung pada kala Eosen-Oligosendisebut juga Rift Phase. Pada F1 terjadi
deformasi akibat Rifting dengan arah Strike timur laut, diikuti oleh reaktifisasi struktur-struktur
tua. Akibat tumbukan Lempeng Samudera Hindia terhadap Lempeng Benua Asia pada 45 Ma
terbentuklah suatu sistem rekahan Transtensional yang memanjang ke arah selatan dari Cina
bagian selatan ke Thailand dan ke Malaysia hingga Sumatra dan Kalimantan Selatan (Heidrick &
Aulia,1993). Perekahan ini membentuk serangkaian Horst dan Graben di Cekungan Sumatra
Tengah. Horst-Graben ini kemudian menjadi danau tempat diendapkannya sedimen-sedimen
Kelompok Pematang.
Pada akhir F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan ditandai oleh
pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan daratan Peneplain. Hasil dari erosi
tersebut berupa paleosol yang diendapkan di atas Formasi Upper Red Bed.3. Episode F2 (13 26
Ma) Episode F2 berlangsung pada kala Miosen Awal-Miosen Tengah. Pada kala Miosen Awal
terjadi fase amblesan (sagphase), diikuti oleh pembentukan Dextral Wrench Fault secararegional

dan pembentukan Transtensional Fracture Zone. Pada struktur tua yang berarah utara-selatan
terjadi Release,sehingga terbentuk Listric Fault, Normal Fault, Graben, dan Half Graben.
Struktur yang terbentuk berarah relatif barat laut-tenggara. Pada episode F2, Cekungan Sumatra
Tengah mengalami transgresi dan sedimen-sedimen dari Kelompok Sihapas diendapkan.4.
Episode F3 (13-Recent) Episode F3 berlangsung pada kala Miosen Tengah-Resendisebut juga
Barisan Compressional Phase. Pada episode F3 terjadi pembalikan struktur akibat gaya kompresi
menghasilkan reverse dan Thrust Fault di sepanjang jalur Wrench Fault yang terbentuk
sebelumnya. Proses kompresi ini terjadi bersamaan dengan pembentukan Dextral Wrench Fault
di sepanjang Bukit Barisan. Struktur yang terbentuk umumnya berarah barat laut-tenggara. Pada
episode F3 Cekungan Sumatra Tengah mengalami regresi dan sedimen-sedimen Formasi Petani
diendapkan, diikuti pengendapan sedimen-sedimen Formasi Minas secara tidak selaras.
c.

Cekungan Sumatera Selatan ( backarc basin)

Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan
busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan
Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah
cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi
olehsingkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh PaparanSunda (Sunda Shield),
sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tiga puluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian
Lampung.Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakantelah terjadi 3 episode
orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu
orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir Tersier Awal dan Orogenesa Plio
Plistosen. Episode pertama, endapan endapan Paleozoik danMesozoik termetamorfosa, terlipat
dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk
pola dasar struktur cekungan.
Menurut Pulunggono,1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar
berarah barat laut-tenggara yang berupa sesar sesar geser.Episode kedua pada Kapur Akhir
berupa fase ekstensi menghasilkan gerak gerak tensional yang membentuk grabendan horst
dengan arah umum utara selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil
pelapukan batuan -batuan Pra Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang
mengontrol pembentukan Formasi Pra Talang Akar. Episode ketiga berupa fase kompresi pada
Plio Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan
dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi
sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang
menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit
Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang
mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar -sesar yang baru
terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko.
Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio-Plistosen menghasilkan
lipatan yang berarah barat laut-tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut-barat daya
dan barat laut- tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar
mendatar dan sesar normal. Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah
barat laut-tenggara sebagai hasil orogenesa Plio-Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang

terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara-selatan dan barat laut-tenggara serta pola
muda yang berarah barat laut-tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera.

Anda mungkin juga menyukai