Anda di halaman 1dari 9

Pencitraan Data Geolistrik Resistivitas Dengan Surfer 10 Berdasarkan

Hasil Inversi Res2dinv 3.56 Untuk Identifikasi Lapisan Aspal Di Dusun


Lagunturu Desa Suandala Kecamatan Lasalimu Kabupaten Buton
Angga Prastiawan1, Daeng Achmad S.2, Sujito3
1

Mahasiswa Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang
Dosen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang
3
Dosen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang
Email: anggamanchunian10@gmail.com
2

Abstrak
Kebutuhan aspal terus meningkat dari tahun ke tahun. Banyak ruas jalan di negeri ini yang tidak
menggunakan aspal, melainkan beton. Dusun Lagunturu, Desa Suandala, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten
Buton merupakan tempat yang diduga terdapat lapisan batuan yang mengandung aspal. Seiring dengan
keadaan tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana sebaran aspal dan seberapa
besar kandungan aspal yang terdapat di tempat tersebut. Data yang diperoleh pada penelitian ini
merupakan data resistivitas semu dengan menggunakan metode Geolistrik Resistivitas dengan konfigurasi
dipole-dipole. Data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan program res2dinv dan surfer untuk
menampilkan sebaran nilai resistivitas yang tampak vertikal pada setiap lintasan dan tampak horizontal
pada tiap kedalaman. Selain itu juga dilakukan perhitungan volume aspal yang terdapat di tempat tersebut.
Hasil dari pengolahan data tersebut kemudian diinterpretasikan sehingga dapat diketahui pola sebaran
aspal tampak vertikal dan horizontal, serta besarnya kandungan aspal di daerah tersebut. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa pada daerah tersebut mempunyai volume aspal pendekatan sebesar 9.810.450 m3 atau
sebesar 51,28% dari keseluruhan daerah penelitian.

Kata kunci: Aspal, Geolistrik, Resistivitas, Res2dinv, Surfer


I. Pendahuluan
Kebutuhan aspal nasional terus meningkat
dari tahun ke tahun. Banyak ruas jalan di negeri ini
yang tidak memakai aspal, melainkan beton. Data
yang diperolah dari Aspalindo tahun 2006,
kebutuhan aspal baru 1,4 juta ton, tahun 2007
skalanya sudah mencapai 1,6 juta ton dan tahun
2008 kebutuhan aspal diperkirakan 2,2 juta ton.
Kebutuhan yang terus meningkat tidak diimbangi
oleh pasokan yang memadai. Produsen aspal
sintetis hanya dipegang oleh PT. Pertamina
(Persero), sedangkan PT. Sarana Karya sebagai
produsen aspal alam. PT. Pertamina hanya mampu
memproduksi aspal sebanyak 600 ribu ton per
tahun sedangkan PT. Saran Karya sebanyak 300
ribu ton per tahun [1].
Berbagai macam metode dalam geofisika
eksplorasi juga terus berkembang, khususnya dalam
hal eksplorasi bawah permukaan. Beberapa metode
geofisika terus dikembangkan dimana dalam hal ini
mencakup eksplorasi minyak bumi, emas, aspal,
dan lain sebagainya. Metode yang sering digunakan
dalam eksplorasi antara lain adalah metode
geolistrik resistivitas, gravity, georadar, magnetik,
dan lain lain.
Salah satu metoda geofisika yang dapat
digunakan untuk memperkirakan keberadaan aspal
adalah metoda geolistrik tahanan jenis. Metode
geolistrik (tahanan jenis) merupakan salah satu
metode geofisika yang sangat popular dan sering

digunakan baik dalam survey geologi maupun


eksplorasi [2].
Pada metode geolistrik tahanan jenis, proses
identifikasi aspal dapat dilakukan dengan
menggunakan konfigurasi dipole-dipole teknik
sounding mapping. Semakin panjang bentangan
elektroda yang dipergunakan, maka akan
semakin dalam pantauan resistivitas yang
terukur, sehingga akan didapatkan informasiinformasi mengenai kondisi bawah permukaan.
Data yang diperoleh diolah lebih lanjut dengan
menggunakan program res2dinv, kemudian
diinversikan dan dibuat penampang topografinya.
Data hasil inversi res2dinv diolah dengan
menggunakan surfer dan dibuat model 2 dimensi
untuk sebaran nilai resistivitas batuan yang
mengandung aspal tampak vertikal dan horizontal.
Hasil pengolahan dengan res2dinv dan surfer
kemudian dibandingkan sehingga dapat digunakan
sebagai pertimbangan dalam melakukan eksplorasi
lanjutan. Selain itu, akan dihitung volume aspal
yang terkandung di daerah tersebut.

II. Teori
II.1. Prospek Aspal
Pulau Buton di Sulawesi dikenal banyak
mengandung Aspal Alam (Asbuton) sejak zaman
Belanda, yang dikenal dengan Butas (Buton
Asphalt). Cadangan Asbuton yang sekitar 600 juta
ton, merupakan cadangan aspal terbesar di dunia,
bila dibandingkan dengan negara-negara lain

seperti Venezuela (Trinidad Lake Asphalt / TLA),


Canada (Oil Sand), Perancis dan Mesir [3].
Aspal alam disebabkan adanya pengaruh
tektonik terhadap minyak bumi yang diduga semula
terkandung dalam batuan induk kemudian
berimigrasi melalui dasar dan mengimpregnasi
batuan sekitarnya, yaitu batu gamping dan batu
pasir.

Gb 2. Konfigurasi Dipole-dipole

II.4. Kedalaman Penyelidikan


Tb 2.1. Variasi Material Bumi (Batuan)
Bahan
Resistivitas (m)
Udara
Pirit
3 x 10-1
Galana
2 x 10-3
Kuarsa
4 x 1010 s.d 2 x 1014
Kalsit
1 x 1012 s.d 1 x 1013
Batuan Garam
30 s.d 1 x 1013
Mika
9 x 1012 s.d 1 x 1414
Garnit
1 x 102 s.d 1 x 106
Gabro
1 x 103 s.d 1 x 106
Basalt
10 s.d 1 x 107
Batuan Gamping
50 s.d 1 x 107
Batuan Pasir
1 s.d 1 x 108
Batuan Serpih
20 s.d 1 x 103
Dolomit
1 x 102 s.d 1 x 104
Pasir
1 s.d 1 x 103
Lempung
1 s.d 1 x 102
Air Tanah
0,5 s.d 3 x 102
Air Laut
0,2
[4]

II.2. Geolistrik
Prinsip dasar metoda geolistrik tahanan
jenis adalah menginjeksikan arus listrik searah DC
ke dalam bumi melalui elektroda arus dan
mengukur respon potensial yang dihasilkan melalui
elektroda potensial. Suatu besaran yang berfungsi
sebagai faktor untuk mengoreksi berbagai
konfigurasi elektroda disebut sebagai faktor
geometri [5].

II.3. Konsep Tahanan Jenis Semu


Tahanan jenis semu merupakan tahanan
jenis dari suatu medium fiktif homogen yang
ekivalen dengan medium berlapis yang kita tinjau
[6].
V
=K
I
(1)

Gb 1. Konsep Tahanan Jenis Semu

II.4. Konfigurasi Dipole-dipole


Masingmasing aturan atau konfigurasi
elektroda memiliki nilai K yang tetap. Pada susunan
elektroda dipole-dipole, nilai K adalah [7]:
K = a(n)(n + 1)(n + 2)
(2)

Kedalaman penyelidikan (Depth Of


Investigation) merupakan kedalaman dimana suatu
lapisan tipis horizontal (paralel dengan permukaan
bumi) memberikan jumlah kontribusi maksimum
terhadap total sinyal yang terukur pada permukaan.
Panjang lintasan dengan spasi L pada susunan
elektroda dipole-dipole kedalaman efektif adalah
sama dengan 0,2 x L atau L/5 [8].

III. Metode
III.1. Sumber Data
Data geolistrik yang dipergunakan
merupakan data yang diperoleh dari Laboratorium
Eksplorasi Pusdiklat Migas Cepu, Kabupaten Blora
Jawa Tengah. Data tersebut diambil pada tanggal
24 Agustus 8 September 2007 di Dusun
Lagunturu, Desa Suandala, Kecamatan Lasalimu,
Buton, Sulawesi Tenggara. Penelitian lapangan
yang dilakukan menggunakan metode geolistrik
konfigurasi dipole-dipole di lokasi seluas 50 Ha dan
dikelompokkan ke dalam 12 lintasan, dengan
panjang setiap lintasan 200 meter dan spasi
elektroda 20 meter.
Data bor yang diperoleh dari Laboratorium
Eksplorasi dan Eksploitasi Pusdiklat Migas Cepu
Blora Jawa Tengah adalah sebagai berikut:
Data Bor :
- Batuan diperkirakan mgdng aspal : Rho > 100
Ohm m
- Masih ragu-ragu (aspal ?)
: Rho 50 100
Ohm m
- Diperkirakan batuan tanpa aspal : Rho < 50
Ohm m
III.2. Perhitungan Datum Point
Datum point atau titik pengukuran di bawah
permukaan lintasan pengukuran merupakan titik
tengah dari total spasi elektroda arus dan tegangan.
Besarnya nilai datum point dapat diperoleh dengan
cara sebagai berikut:
P C1
D = C1 + 1
2
(3)
dimana, D = Datum point
C1 = Jarak titik 0 dengan elektroda C1
P1 = Jarak titik 0 dengan elektroda P1

4.

Gb 3. Datum Point untuk Konfigurasi Dipole-dipole

III.3. Perhitungan Resistivitas Semu


Langkah selanjutnya adalah menghitung
besarnya resistivitas semu. Adapun besarnya nilai
resistivitas semu (a) dapat diperoleh dengan
melakukan langkah-langkah berikut:
1. Menentukan faktor geometri (K):
1
K = 2
1
1 1
1

r

r
r
r
2 3
4
1
(4)
2. Menentukan besarnya reistivitas semu
(a):
V
=K
I
(5)
3. Mengulangi langkah 1 dan 2 diatas untuk
semua titik dari setiap lintasan pada daerah
penelitian.
III.4. Pembuatan Peta Topografi (Res2dinv)
Pengolahan data yang dilakukan meliputi
keseluruhan bagian daerah penelitian dari Line C15, Line C-17, Line E-13, Line E-15, Line E-17,
Line E-19, Line G-15, Line G-17, Line G-19, Line
I-15, Line I-17 dan Line I-19. Hal ini dimaksudkan
untuk memperoleh data nilai resistivitas dari
seluruh
daerah
tersebut
dan
kemudian
membandingkan dengan data bor yang didapat dari
penelitian sebelumnya.
III.5. Pembuatan Peta Sebaran Resistivitas Per
Kedalaman (Surfer)
Peta sebaran resistivitas per kedalaman
dibuat menggunakan fasilitas Save data in XYZ
format pada program res2dinv. Langkah ini hampir
sama dengan langkah diatas, yang berbeda disini
adalah dari data-data yang didapat kemudian dipilih
data dengan ketinggian yang sama dan
dikelompokkan menjadi satu.
III.6. Perhitungan Volume Aspal
Pada proses perhitungan volume aspal,
terlebih dahulu diawali dengan pembuatan Grid
Node Editor pada program Surfer 10. Pembuatan
Grid Node Editor dilakukan dengan langkah
sebagai berikut:
1. Membuka program Surfer 10.
2. Memilih menu Grid Grid Node Editor.
3. Memilih file yang akan ditampilkan
(Format *.Grd), kemudian klik Open.

Mengatur warna garis pada gambar.


Memberi warna merah pada garis yang
mempunyai nilai reristivitas di atas 100
ohm.
Langkah selanjutnya adalah membuat skala
perbandingan pada gambar dengan daerah
sebenarnya dan menghitung luas serta volume
daerah yang mengandung aspal dengan rumus:
Luas
= (Jumlah Kotak x Luas Satu Kotak) x
(Penyebut Skala)2
(6)
Volume = Luas x Tinggi
(7)

IV. Hasil Penelitian


IV.1. Hasil Interpretasi Tiap Lintasan
Kandungan aspal yang dimiliki setiap
lapisan tanah di daerah tersebut ditentukan
berdasarkan besarnya resistivitas batuan yang
dimiliki setiap lapisan. Berdasarkan data bor yang
sudah diperoleh pada daerah pengukuran dapat
diketahui bahwa lapisan batuan dengan nilai
resistivitas lebih dari 100 ohm mengandung aspal
yang diindikasikan dengan warna coklat, untuk
lapisan batuan dengan nilai resistivitas 50-100 ohm
masih diragukan apakah terpadat kandungan aspal
atau tidak yang diindikasikan dengan warna jingga,
sedangkan untuk lapisan batuan dengan nilai
resistivitas kurang dari 50 ohm tidak mengandung
aspal yang diindikasikan dengan warna kuning.
Kandungan aspal biasanya terdapat pada batuan
kapur, dimana lapisan aspal akan menempel pada
pori-pori batuan, sehingga apabila semakin besar
kemungkinan ditemukan batuan kapur yang
memiliki pori-pori besar maka semakin besar
kemungkinan adanya lapisan aspal pada lapisan
tersebut.

Line C-15
Pada line C-15 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 10 - 50 meter
diatas permukaan laut atau 40 meter dari
permukaan. Berdasarkan pada kedua gambar di
bawah, lapisan batuan yang mengandung aspal
paling banyak tampak pada jarak 80 sampai kurang
dari 120 meter dengan kedalaman 10 - 35 meter
dari permukaan. Selain itu lapisan aspal juga
tampak pada jarak 130 - 150 meter dengan
kedalaman 5 - 15 meter dari permukaan dan pada
jarak 40 50 meter dengan kedalaman 5 15 meter
dari permukaan namun lapisan aspal yang tampak
lebih sedikit dibandingkan dengan
yang
sebelumnya.

(a)

(a)
(b)
Gb 4 (a). Pola Sebaran Aspal LINE C-15 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE C-15 pada Program
Surfer

LINE C-17
Pada line C-17 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 20 - 60
meter diatas permukaan laut atau 40 meter dari
permukaan. Berdasarkan pada kedua gambar di
bawah, lapisan aspal tampak hadir pada jarak 120
160 meter dengan kedalaman 5 40 meter dari
permukaan. Selain itu lapisan aspal tampak pada
jarak 80 120 meter dengan kedalaman 30 40
meter dari permukaan. Lapisan aspal juga tampak
hadir pada jarak 40 80 meter dengan kedalaman
15 40 meter dari permukaan, tetapi lapisan aspal
yang tampak kali ini letaknya miring, seperti yang
tampak pada gambar di bawah.

(b)
Gb 6 (a). Pola Sebaran Aspal LINE E-13 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE E-13 pada Program
Surfer

LINE E-15
Pada line E-15 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 30 - 70 meter
diatas permukaan laut atau 40 meter dari
permukaan. Berdasarkan dari kedua gambar di
bawah, lapisan aspal tampak pada jarak 110 140
meter dengan kedalaman 5 20 meter dari
permukaan. Lapisan aspal juga tampak pada jarak
kurang dari 40 meter dengan kedalaman sampai 15
meter dari permukaan dan pada jarak lebih dari 160
meter dengan kedalaman 35 50 meter di atas
permukaan laut.

(a)

(a)

(b)
Gb 5. (a). Pola Sebaran Aspal LINE C-17 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE C-17 pada Program
Surfer

LINE E-13
Pada line E-13 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 30 meter
dibawah permukaan laut sampai 10 meter diatas
permukaan laut atau 40 meter dari permukaan.
Berdasarkan dari kedua gambar di bawah dapat
dikatakan bahwa lapisan aspal yang terdapat pada
lintasan ini hanya sedikit, yaitu hanya tampak pada
jarak 100 110 meter dengan kedalaman 10 20
meter dari permukaan.

(b)
Gb 7 (a). Pola Sebaran Aspal LINE E-15 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE E-15 pada Program
Surfer

LINE E-17
Pada line E-17 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 25 - 65 meter
diatas permukaan laut atau 40 meter dari
permukaan. Berdasarkan dari kedua gambar di
bawah, lapisan aspal tampak pada jarak 100 160

meter dengan kedalaman mencapai 15 meter dari


permukaan. Selain itu lapisan aspal tampak pada
jarak 40 sampai kurang dari 80 meter dengan
kedalaman 5 20 meter dari permukaan. Lapisan
aspal juga tampak pada jarak 80 120 meter
dengan kedalaman 30 40 meter dari permukaan.

LINE G-15
Pada line G-15 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 10 meter di
bawah permukaan laut sampai 35 meter di atas
permukaan laut atau 45 meter dari permukaan.
Berdasarkan kedua gambar di bawah, lapisan aspal
tampak pada jarak 90 sampai kurang dari 150 meter
dengan kedalaman 10 45 meter dari permukaan.

(a)

(a)

(b)
Gb 8 (a). Pola Sebaran Aspal LINE E-17 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE E-17 pada Program
Surfer

LINE E-19
Pada line E-19 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 20 sampai 60
meter diatas permukaan laut atau 40 dari
permukaan. Berdasarkan dari kedua gambar di
bawah, lapisan aspal tampak pada jarak 80 150
meter dengan kedalaman mencapai 25 meter dari
permukaan. Selain itu terdapat lapisan aspal tampak
miring pada jarak 50 90 meter dengan kedalaman
25 40 meter dari permukaan. Lapisan aspal juga
tampak pada jarak 80 120 meter dengan
kedalaman 35 40 meter dari permukaan.

(b)
Gb 10 (a). Pola Sebaran Aspal LINE G-15 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE G-15 pada Program
Surfer

LINE G-17
Pada line G-17 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 0 sampai 45
meter diatas permukaan laut. Berdasarkan dari
kedua gambar di bawah, lapisan aspal tampak pada
jarak kurang dari 80 sampai lebih dari 120 meter
dengan kedalaman 20 45 meter dari permukaan.
Selain itu lapisan aspal juga tampak pada jarak 130
150 meter dengan kedalaman 20 30 meter dari
permukaan.

(a)
(a)

(b)
Gb 9 (a). Pola Sebaran Aspal LINE E-19 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE E-19 pada Program
Surfer

Gb 11 (a). Pola Sebaran Aspal LINE G-17 pada Program


Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE G-17 pada Program
Surfer

LINE G-19
Pada line G-19 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 0 sampai 45
meter diatas permukaan laut. Berdasarkan dari
kedua gambar di bawah, lapisan aspal tampak pada
jarak 50 110 meter dengan kedalaman 10 45
meter dari permukaan. Selain itu lapisan aspal juga
tampak pada jarak 30 50 meter dengan kedalaman
mencapai 20 meter dari permukaan.

LINE I-17
Pada line I-17 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 30 meter
dibawah permukaan laut sampai 15 meter diatas
permukaan laut atau 45 meter dari permukaan.
Berdasarkan dari kedua gambar di bawah, lapisan
aspal tampak pada jarak 80 120 meter dengan
kedalaman 35 45 meter dari permukaan.

(a)

(a)

(b)
Gb 12 (a). Pola Sebaran Aspal LINE G-19 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE G-19 pada Program
Surfer

LINE I-15
Pada line I-15 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 30 meter
dibawah permukaan laut sampai 15 meter diatas
permukaan laut atau 45 meter dari permukaan.
Berdasarkan kedua gambar di bawah, lapisan aspal
tampak pada jarak 60 90 meter dengan kedalaman
20 45 meter dari permukaan. Selain itu lapisan
aspal juga tampak pada jarak 100 130 meter
dengan kedalaman 35 45 meter dari permukaan.

(a)

(b)
Gb 12 (a). Pola Sebaran Aspal LINE I-15 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE I-15 pada Program
Surfer

(b)
Gb 13 (a). Pola Sebaran Aspal LINE I-17 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE I-17 pada Program
Surfer

LINE I-19
Pada line I-19 kedalaman yang diperoleh
dalam pengukuran yaitu pada rentang 10 meter
dibawah permukaan laut sampai 35 meter diatas
permukaan laut atau 45 meter dari permukaan.
Berdasarkan kedua gambar di bawah, lapisan aspal
tampak pada jarak kurang dari 40 sampai 110 meter
dengan kedalaman 10 45 meter dari permukaan.
Lapisan aspal juga tampak pada jarak lebih dari 120
sampai 160 meter dengan kedalaman 25 45 meter
dari permukaan.

(a)

(b)
Gb 13 (a). Pola Sebaran Aspal LINE I-19 pada Program
Res2dinv, (b). Pola Sebaran Aspal LINE I-19 pada Program
Surfer

IV.2. Hasil Interpretasi Tiap Kedalaman


Kedalaman 10 Meter
Kedalaman yang terdapat pada elevasi 10
meter ini merupakan kedalaman rata-rata, yaitu
kedalaman yang berkisar lebih dari 5 meter sampai
kurang dari 15 meter di atas permukaan laut. Pada
kedalaman ini terlihat banyak sekali warna coklat,
ini berarti bahwa terdapat banyak lapisan batuan
yang mengandung aspal, terutama pada line I-19,
G-19, E-19, E-17, E-15, C-17 dan C15. Pada line I15, G-15, G-17 dan E-13 terdapat lapisan aspal
yang relatif sedikit dan sebagian dari line-line
tersebut masih diragukan apakah lapisan tersebut
mengandung aspal atau tidak. Ini ditunjukkan
dengan adanya sedikit wana coklat dan sebagian
berwarna jingga. Pada line I-17 tidak terdapat
lapisan batuan yang mengandung aspal, dimana
pada line-line tersebut didominasi oleh warna
kuning.

Elevasi 30 Meter Dpl


Kedalaman yang terdapat pada elevasi 30
meter ini merupakan kedalaman rata-rata, yaitu
kedalaman yang berkisar lebih dari 25 meter
sampai kurang dari 35 meter di atas permukaan
laut. Pada kedalaman ini terlihat banyak sekali
warna coklat pada line I-19, G-19, E-19, E-17, E-15
dan C15. Ini berarti pada line-line tersebut terdapat
banyak lapisan batuan yang mengandung aspal.
Pada line G-17, dan C-17 dan G-15 terdapat lapisan
aspal yang relatif sedikit, dan masih diragukan
apakah mengandung aspal atau tidak. Ini
ditunjukkan dengan adanya sebagian warna coklat
dan sebagian lagi berwarna jingga. Pada line I-17,
I-15, dan E-13 tidak terdapat lapisan batuan yang
mengandung aspal, dimana pada line tersebut
terdapat banyak sekali warna kuning.

Gb 14. Pola Sebaran Aspal Pada Kedalaman 10 Meter Dpl

Elevasi 20 Meter
Kedalaman yang terdapat pada elevasi 20
meter ini merupakan kedalaman rata-rata, yaitu
kedalaman yang berkisar lebih dari 15 meter
sampai kurang dari 25 meter di atas permukaan
laut. Pada kedalaman ini terlihat banyak sekali
warna coklat pada line I-19, G-19, E-19, E-17, E15, C-17 dan C15. Ini berarti pada line-line tersebut
terdapat banyak lapisan batuan yang mengandung
aspal. Pada line I-17, I-15, dan E-13 tidak terdapat
lapisan aspal. Ini ditunjukkan dengan banyaknya
warna kuning. Pada line G-15 dan G-17 terdapat
sedikit lapisan batuan yang mengandung aspal.

Gb 15. Pola Sebaran Aspal Pada Kedalaman 20 Meter Dpl

Gb 16. Pola Sebaran Aspal Pada Kedalaman 30 Meter Dpl

Elevasi 40 Meter
Kedalaman yang terdapat pada elevasi 40
meter ini merupakan kedalaman rata-rata, yaitu
kedalaman yang berkisar lebih dari 35 meter
sampai kurang dari 45 meter di atas permukaan
laut. Pada keseluruhan daerah penelitian,
kandungan aspal yang terdapat pada kedalaman ini
sudah
berkurang jika dibandingkan dengan
kedalaman 10, 20 dan 30 meter diatas permukaan
laut. Kandungan aspal paling banyak pada
kedalaman ini terdapat pada line G-19, I-19, E-15
dan C-17. Ini terlihat dari warna coklat pada lineline tersebut. Pada line G-17, E-19, E-17 dan C-15
sedikit mengandung aspal dan sebagian masih
diragukan kandungan aspalnya yang ditunjukkan
dengan sedikit warna coklat dan warna jingga yang
mendominasi line-line tersebut. Pada line I-17, I15, G-15 dan E-13 tidak terdapat kandungan aspal,
yang ditunjukkan oleh warna kuning.

Ini terlihat dari warna coklat pada line tersebut.


Untuk lapisan batuan yang masih diragukan
kandungan aspalnya terdapat pada line C-17 dan C15, yang ditunjukkan dengan warna jingga. Pada
line-line yang lain tidak terdapat lapisan batuan
yang mengandung aspal, dimana ditunjukkan
dengan warna kuning.

Gb 17. Pola Sebaran Aspal Pada Kedalaman 40 Meter Dpl

Elevasi 50 Meter
Kedalaman yang terdapat pada elevasi 50
meter ini merupakan kedalaman rata-rata, yaitu
kedalaman yang berkisar lebih dari 45 meter
sampai kurang dari 55 meter di atas permukaan
laut. Pada keseluruhan daerah penelitian,
kandungan aspal yang terdapat pada kedalaman ini
relatif sedikit. Kandungan aspal paling banyak pada
kedalaman ini terdapat pada line G-19, G-17 dan C17. Ini terlihat dari warna coklat pada line-line
tersebut. Pada line E-19 dan C-15 terdapat sedikit
lapisan yang mengandung aspal, yang ditunjukkan
dengan warna coklat dan masih diragukan
kandungan aspalnya yang ditunjukkan dengan
warna jingga. Pada line I-19, I-17, I-15, G-15, E-17,
E-15 dan E-13 tidak terdapat kandungan aspal,
yang ditunjukkan oleh warna kuning.

Gb 18. Pola Sebaran Aspal Pada Kedalaman 50 Meter Dpl

Elevasi 60 Meter
Kedalaman yang terdapat pada elevasi 60
meter ini merupakan kedalaman rata-rata, yaitu
kedalaman yang berkisar lebih dari 55 meter
sampai kurang dari 65 meter di atas permukaan
laut. Pada keseluruhan daerah penelitian,
kandungan aspal yang terdapat pada kedalaman ini
sangat sedikit. Kandungan aspal paling banyak
pada kedalaman ini hanya terdapat pada line E-17.

Gb 19. Pola Sebaran Aspal Pada Kedalaman 60 Meter Dpl

IV.3. Hasil Interpretasi untuk Volume


Pendekatan
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan
menggunakan Grid Node Editor pada program
surfer 10 beserta hasil perhitungan pada bab
sebelumnya, maka dapat diketahui besarnya volume
untuk beberapa kedalaman pada daerah penelitian.
Pada kedalaman 10 meter di atas permukaan laut,
volume aspal yang terkandung sebanyak 2.697.750
m3. Pada kedalaman 20 meter di atas permukaan
laut, volume aspal sebanyak 2.209.500 m3. Pada
kedalaman 30 meter di atas permukaan laut, volume
aspal sebanyak 1.851.840 m3. Pada kedalaman 40
meter di atas permukaan laut, volume aspal
sebanyak 1.519.200 m3. Pada kedalaman 50 meter
di atas permukaan laut, volume aspal sebanyak
1.198.080 m3. Pada kedalaman 60 meter di atas
permukaan laut, volume aspal sebanyak 334.080
m3. Jadi, volume aspal total untuk daerah penelitian
sebesar 9.810.450 m3. Apabila diprosentasekan,
maka prosentase jumlah aspal pada daerah
penelitian adalah 51,28 %.
V. Kesimpulan
Dari hasil studi penelitian tentang metode
geolistrik tahanan jenis konfigurasi dipole-dipole
untuk identifikasi lapisan aspal di Dusun
Lagunturu, Desa Suandala, Kecamatan Lasalimu
dapat disimpulkan sebagaimana berikut:
1. Lapisan aspal banyak terdapat pada line I19, G-19 dan E-19. Pada line I-17, G-17,
E-17, C-15 dan C-17 terdapat lapisan aspal
yang cukup banyak, tetapi lapisan aspal
pada line-line tersebut terhalang oleh
lapisan
batuan
lain
yang
tidak
mengandung aspal. Pada line I-15, G-15,

2.

3.

E-15 dan C-15 terdapat lapisan aspal yang


relatif sedikit.
Berdasarkan peta sebaran resistivitas per
kedalaman yang sudah dibuat, kandungan
aspal paling banyak terdapat pada
kedalaman 10 hingga 30 meter di atas
permukaan laut. Pada kedalaman 40
hingga 60 meter di atas permukaan laut
kandungan aspalnya relatif sedikit.
Berdasarkan hasil perhitungan volume,
didapatkan volume total keseluruhan pada
daerah penelitian adalah sebesar 9.810.450
m3 atau 51,28 %.

VI. DAFTAR PUSTAKA


[1] Kusnadi. 2009. Uji Produksi Batch Bioaspal
Sebagai Alternatif Pengganti Aspal Minyak
Bumi. Jogjakarta : UGM, pdf.file.
[2] Minarto, Eko. Tanpa tahun. Pemodelan Inversi
Data Geolistrik Untuk Menentukan Struktur
Lapisan Bawah Permukaan Daerah Panas
Bumi Mataloko, (Online), (http://www.its.ac.id/
personal/files/pub/1692-minarto-physicsPENELITIAN_4.pdf, diakses 4 September
2012).
[3] Nuryanto, Agus. 2007. Aspal Buton dan
Propelan Padat, (Online),http://www.bai.co.id
/fl/ref_articles_citation/Asbuton-dan-Proppdt.pdf, diakses 4 September 2012).
[4] Santoso, Djoko. 2002. Pengantar Teknik
Geofisika. Bandung : Departemen Teknik
Geofisika Bandung.
[5] Telford and Sheriff. 1990. Applied Geophysics
2nd Edition. Cambridge University, (Online),
(http://hotfile.com/dl/54498536/c063524/
Applied_Geophysics_2nd_Edition_Telford_Ge
ldart_Sheriff.pdf.html, diakses 22 Desember
2012).
[6] Triwansyah, M. Y. 2012. Skripsi (Aplikasi
Model Anomali Geolistrik Anisotropi DarZarrouk
untuk
Menentukan
Reservoir
Hidrokarbon di Benakat Barat Sumatra
Barat). Malang : UM (tidak dipublikasikan).
[7] Andriyani S, Ramelan A H & Sutarno. 2010.
Metode Geolistrik Imaging Konfigurasi DipoleDipole Digunakan untuk Penelusuran Sistem
Sungai Bawah Tanah pada Kawasan Karst di
Pacitan, Jawa Timur, (Online), (http://jurnal.
pasca.uns.ac.id/index.php/ekosains/article/dow
nload/7/8, diakses 4 September 2012).
[8] Maganti,
Dharmateja.2008.
Subsurface
Investigations
Using
High
Resolution
Resistivity. Tesis tidak diterbitkan. Texas: Civil
Engineering The University of Texas at
Arlington.

Anda mungkin juga menyukai