Seorang laki-laki Tn. H berumur 37 tahun dirawat di ICUU sedang dilakukan perawatan,
tiba-tiba gambaran respirasi rhythm flat, EKG flat, dan nadi carotis tidak teraba.
Kata kunci: Rhythm flat, EKG flat, dan nadi carotis tidak teraba
Analisa Kasus
I.
adalah
ketidakmampuan
alat
pernafasan
untuk
1. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang
parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul.
2. Gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik
seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit
penambang batubara).
C. Etiologi Gagal Nafas
Penyebab gagal nafas akut biasanya tidak berdiri sendiri dan merupakan
kombinasi dari beberapa keadaan dimana penyebab utamanya adalah :
1. Gangguan Ventilasi
a. Obstruksi akut, misalnya disebabkan fleksi leher pada pasien tidak sadar,
spasme larink atau oedem larink.
b. Obstruksi kronis, misalnya pada emfisema, bronkritis kronis, asma,
bronkiektasis, terutama yang disertai sepsis.
c. Penurunan compliance, compliance paru atau toraks, efusi pleura, edema
paru, atelektasis, pneumonia, kiposkoloisis, patah tulang iga, pasca
operasi toraks/ abdomen, peritonitis, distensi lambung, sakit dada, dan
sebagainya.
d. Gangguan neuromuskuler, misalnya pada polio, guillain bare syndrome,
miastenia grafis, cedera spinal, fraktur servikal, keracuan obat/ zat lain.
e. Gangguan / depresi pusat pernafasan, misalnya pada penggunaan obat
narkotik / barbiturate/ trankuiliser, obat anestesi, trauma / infak otak,
hipoksia berat pada susunan saraf pusat dan sebagainya.
2. Gangguan Difusi Alveoli Kapiler
a. Oedem paru, ARDS, fibrosis paru, emfisema, emboli lemak, pneumonia,
post perfusion syndrome, tumor paru, aspirasi.
b. Gangguan Kesimbangan Ventilasi Perfusi (V/Q Missmatch)
c. Peningkatan deadspace (ruang rugi) misalnya pada trombo emboli,
enfisema, bronchektasis dsb.
d. Peninggian intra alveolar shunting, misal pada atelektasis, ARDS,
pneumonia edema paru, dan lain sebagainya.
D. Tanda dan Gejala
1. Tanda
a. Gagal nafas total
Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
alveoli
paru.
Terdapat
beberapa
penyakit
kardiovaskuler
yang
menyebabkan
mekanisme
backward-forward
sehingga
terjadi
G. Pemeriksaan Fisik
( Menurut pengumpulan data dasar oleh Doengoes)
1. Sirkulasi
Tanda : Takikardia, irama ireguler, S3S4/Irama gallop, Daerah PMI
bergeser ke daerah mediastinal, Hammans sign (bunyi udara beriringan
dengan denyut jantung menandakan udara di mediastinum), TD :
hipertensi/hipotensi.
2. Nyeri/Kenyamanan
Tanda : Melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi meringis
Gejala : nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat napas dalam, dapat
menjalar ke leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat batuk
3. Pernapasan
Tanda : takipnea, peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot
asesori, penurunan bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi :
hiperesonan di atas area berisi udara (pneumotorak), dullnes di area
berisi cairan (hemotorak); perkusi : pergerakan dada tidak seimbang,
reduksi ekskursi thorak. Kulit : cyanosis, pucat, krepitasi sub kutan;
mental: cemas, gelisah, bingung, stupor.
Gejala : riwayat trauma dada, penyakit paru kronis, inflamasi paru ,
keganasan, lapar udara, batuk
4. Keamanan
Gejala : riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat radiasi/kemoterapi
5. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat faktor resiko keluarga dengan tuberkulosis, kanker.
H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Hb : dibawah 12 gr %
2. Analisa gas darah :
Mukolitik
Postural orainase
Chest physical therapy
Nasotracheal suctioning
Cough/deep Breathing Exercise
II.
D. Penyebab
1. Penyakit jantung koroner menyebabkan Sudden Cardiac Arrest 60 70%
pada orang dewasa, 30% disebabkan oleh Ischemia.
2. Non Ischemia : cardiomyopathy, gangguan ritme jantung, gangguan jantung
kongestif, myocarditis, hipertropi cardio myopathi.
3. Non Cardiac : Trauma, Intra Cranial Bleeding, Overdosis, pasien tenggelam,
emboli paru-paru
4. Hipovolemia, hypoxia, asidosis, hiper/hipo kalemia, hypothermia, hiper/hipo
glikemia.
5. Toxin, tamponade jantung, tension pneumothorax, thrombosis.
6. Resiko tinggi : perokok, tidak pernah olahraga, kegemukan, kencing manis,
dan keturunan.
E. Penanganan
1. Resusitasi jantung paru yang mengacu pada Basic Life Support sesuai
dengan Standar Prosedur Operasional.
2. Berikan bantuan ventilasi sebanyak 2 kali, bantu dengan pemasangan oro
faringeal tube.
3. Bila dalam 5 detik tidak ada nadi segera dilakukan pijatan jantung luar
dengan perbandingan 30 : 2 baik oleh 1 maupun 2 penolong.
4. Tindakan intubasi dalam study kasus tidak ditemukan dapat membantu
penyelamatan pasien secara signifikan saat terjadi cardiac arrest, apabila
dilakukan intubasi pada pre hospital malah bisa memperburuk kondisi pasien.
5. DC Shock dilakukan apabila ditemukan ritme jantung menggambarkan VF
dan atau SVT.
6. Obat-obatan : Epinephrine, Atropine, dan amiodarone. Epinephrine diberikan
secara IV dengan dosis 1 mg, dapat diulang setelah 3 5 menit selama
dilakukan Resusitasi Jantung Paru.
7. Apabila berhasil jaga perfusi dengan pemberian inotropik (dobutamin)
dikombinasi dengan vasopressor (Nor epinephrine).
III.
B. Indikasi
1. Henti nafas (Respiratory Arrest), henti nafas yang bukan disebabkan
gangguan pada jalan nafas dapat terjadi karena gangguan pada sirkulasi
(asistole, bradikardia, fibrilasi ventrikel).
2. Henti jantung (Cardiac Arrest) dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti:
Hipoksemia karena berbagai sebab
Gangguan elektrolit (hipokalemia, hiperkalemia, hipomagnesia)
Gangguan irama jantung (aritmia)
Penekanan
mekanik
pada
jantung
(tamponade
jantung,
tension
pneumothoraks
C. Klasifikasi
Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni,
1. Bantuan hidup dasar / BHD adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga
jalan nafas (airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi dan
tanpa menggunakan alat-alat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan
mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera
memberikan bantuan sirkulasi dan ventilasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan
cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital
lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan
bahwa resusitasi jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan henti
jantung yang disaksikan (witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan oleh
orang yang berada di sekitar korban.
2. Bantuan hidup lanjut / BHL adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan
usaha
hidup
dasar
dengan
memberikan
obat-obatan
yang
dapat
Serangan Adams-Stokes
Hipoksia akut
Sengatan listrik
Refleks vagal
Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik
yang berat.
Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu
sesudah 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.
Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru penilaian tahapan BHD
sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan nafas, nafas
buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau memang betul dibutuhkan. Ini
ditentukan penilaian yang tepat, setiap langkah ABC RJP dimulai dengan :
penentuan tidak ada respons, tidak ada nafas dan tidak ada nadi.
F. Langkah-Langkah yang Dilakukan Dalam Resusitasi Jantung Paru
1. Bantuan Hidup Dasar
a. Airway (jalan nafas)
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan
nafas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh
mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena
sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan.
Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini.
Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan.
Caranya ialah:
b. Breathing (Pernafasan)
Dalam
melakukan
pernafasa
mulut
ke
mulut
penolong
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu
perhatikan :
Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru
korban mengecil sampai batas habis. (5)
Serangan jantung
Syok listrik
Obat-obatan
Reaksi sensitifitas
Kateterasi jantung
Anestesi.
Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus
Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertamatama membuka jalan nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila
korban tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba
denyut a. carotis.
Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena :
Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk
melakukan pernafasan buatan
Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian
korban
Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih
berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.
Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila
denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk
memulai sirkulasi buatan dengan kompresi jantung luar. Kompresi
jantung luar harus disertai dengan pernafasan buatan.
pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa
pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya
menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya
biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila
tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut
selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif. 2004. Kapita Selekta Kedokteraan . Edisi 3. Jilid 2. Jakarta :
Mediaesculapius.
Price, Sylvia. A. 20004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. Jakarta :
EGC
Sarwono.1996.Buku Ajar Penyakit Dalam.Jilid pertama,Edisi Ketiga.Jakarta:FKUI
Sjamsuhidajat R, Jong Wd, Resusitasi, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC,
Jakarta, hal : 124-119, 1997.
http://nursecerdas.wordpress.com/2009/10/23/resusitasi-jantung-paru/
http://dokter-medis.blogspot.com/2009/07/resusitasi-jantung-paru-rjp.html
ANALISA KASUS
KEMENTERIAN KESEHATAN RI