Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM

KAIDAH KEEMPAT

Disusun Oleh:
Nama
NIM
Dosen Pembimbing

: Piska Ayu Diah Pancari


: 1531500077
: Moh. Dapiet, M.Sy.

PROGRAM STUDI
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2015/2016
KAIDAH KEEMPAT

Kemadloratan itu harus dihilangkan


Arti dari kaidah ini menunjukkan bahwa kemadloratan itu telah terjadi dan
akan terjadi. apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan.
Dasar dari kaidah ini ialah firman Allah dan Hadist Nabi :
Artinya : Dan janganlah kamu sekalian membuat kerusakan di bumi.
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang
membuat kerusakan.
Artinya : Tidak boleh membuat kemadlorotan pada diri sendiri dan
membuat kemadlorotan pada orang lain.1
Beberapa masalah-masalah hukum fiqh yang tercakup dalam kaidah yang
keempat, yaitu:
1. Di dalam muamalah, pengembalian barang yang sudah dibeli lantaran
adanya cacat diperbolehkan. Demikin pula macam-macam kiar dalam
transaksi jual beli karena terdapat beberapa sifat yang tidak sesuai dengan
yang telah disepakati.
2. Pada bagian munakahat, islam memperbolehkan perceraian yaitu di dalam
situasi dan kondisi kehidupan rumah tangga yang sudah tidak teratasi, agar
kedua suami istri tidak mengalami penderitaan batin terus menerus.
Demikian pula telah di izinkanya fasakh aib dan sebagainya,Termasuk
dalam lingkungan kaidah ini adalah kaidah-kaidah berikut :
1. Kemadlorotan-kemadlorotan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.
2. Tiada ada hukum haram beserta dorurot dan hukum makruh beserta
kebutuhan.
Dasar dari kaidah ini terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah : 173

1 Prof. Dr. Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih (Jakarta: dana bakti wakaf, 1995),
hlm. 10.

Artinya : tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang


ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya.
Dan terdapat pula dalam Q.S. Al-Maidah : 4
Artinya : maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Jadi dari kaidah keempat ini dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan
(sangat) terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam
keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan
menimbulkan suatu kemadlorotan pada dirinya.
Contohnya : Orang yang sedang mengalami kelaparan. Makanan yang ada
hanya bangkai saja. Bangkai ini baginya halal dimakan. Di dalam kondisi yang
sama karena kehausan orang boleh minum minuman karas, sebab yang ada hanya
minuman keras itu saja.
3. Apa yang dibolehkan karena adanya kemadlorotan diukur menurut kadar
kemadlorotan.
Yang membolehkan seseorang menempuh jalan yang semula haram, itu
adalah karena kondisi yang memakan. Manakata keadaannya sudah normal, maka
hukum akan kembali menurut status. Oleh sebab itu wajar syara memberi batas di
dalam mempergunakan kemudahan karena darurat itu, menurut ukuran daruratnya
semata-mata untuk melepaskan diri dari bahaya. Contoh : Boleh makan bangkai
hanya sekedar pelepas kelaparan saja. Tidak boleh berlebihan apabila terus
menerus. Bila sudah kenyang dan kondisi pisik telah pulih kembali, batas
kehalalan habis sampai disini.2

2 Drs. H. Amir Abyan, MA dkk, Fiqih (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1997),
hlm. 15.

4. Apa yang diizinkan karena udzur, hilang keizinan itu sebab hilangnya
udzur.
Contohnya : Tayamum tidak lagi diizinkan karena adanya air sebelum masuk
waktu shalat. Izin tidak hadirnya petugas karena sakit, akan batal karena
sembuhnya.
5. Kemadlorotan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemadlorotan.
Sebab kalau boleh akan bertentangan dengan kaidah :
Kemadlorotan itu harus dihilangkan.
Contoh : Tidak boleh bagi seseorangan yang sedang kelaparan mengambil
makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan apabila makanannya hilang.
Demikian juga tidak boleh dokter mengobati pasien yang memerlukan tambahan
darah dengan mengambil darah pasien lain, yang apabila diambil darahnya, akan
lebih parah.
6. Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan, dan
apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah, didahulukan menolak
yang mafsadah.
hal ini sesuai dengan prinsip bahwa perhatian syara terhadap larangan lebih
besar daripada perhatian terhadap apa-apa yang diperintah.
Sabda Nabi SAW :
Apabila saya memerintah kapadamu sesuatu perintah, maka hendaklah kamu
laksanakan perintah itu sekuatmu, dan apabila saya melarang kepadamu dari
mengerjakan sesuatu, maka tinggalkanlah perbuatan itu.
Dan sesuai hadist ini, kemudian diizinkan meninggalkan sebagian kewajiban
karena kesulitan yang kecil, seperti diizinkannya shalat dengan duduk atau
berbuka tapi terhadap larangan, khususnya dosa besar tidak ada jalan untuk
mengizinkanya.

Apabila dalam suatu perkara terlihat adanya manfaat, namun disitu juga ada
kerusakan, maka haruslah didahulukan menghilangkan kerusakan karena
kerusakan

dapat

meluas

dan

menjalar

kemana-mana,

sehingga

akan

mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.


Oleh karena itu diharamkan berjudi, minum minuman keras karena walaupun
keduanya ada kemaslahatanya lebih besar.
Allah berfirman pada Q.S. Al-Baqarah : 219
Artinya : mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi; katakanlah
pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia;
tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.
7. Apabila dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih
besar madlorotnya dengan dikerjakan yang lebih ringan madlorotnya.
Jadi apabila datang pada suatu ketika secara bersama dua mafsadah atau lebih,
maka harus di teliti mana yang lebih kecil atau lebih ringan dari kedua mafsadah
tersebut. Yang lebih besar mafsadahnya ditinggalkan, dikerjakan yang lebih rigan
madlorotnya.3
Berdasarkan kaidah ini kalau sesautu pekerjaan menimbulkan dua dampak
kemadlorotan atau lebih, maka hendaklah diseleksi mana kira-kira yang lebih
ringan resikonya. Inilah yang harus diupayakan. Walaupun sebenarnya madlorot
itu biar kecil apa lagi besar harus dihindari.
Contohnya : Tim dokter boleh membedah kandungan mayit bila bayi yang
dikandungnya masih ada harapan hidup. Membedah perut mayit itu sendiri adalah
perbuatan merusak seperti halnya membiarkan bayi mati di dalam kandungan.
Namun

resiko

akibat

pembedahan

dipandang

lebih

ringan

membiarkannya mati di dalam perut.


3 Drs. Supiana, Mag & M. Karman, Materi PAI (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001), hlm. 24.

daripada

8. Hajat (kebutuhan) itu menduduki kedudukan darurat, baik hajat umum


(semua orang) ataupun hajat khusus (satu golongan atau perorangan).
Jadi dari kaidah ini dapat diambil pengertian, bahwa keringanan itu tidak
batas karena darurat saja, tetapi juga terdapat karena hajat atau dengan kata lain
bahwa keringanan itu diperbolehkan karena adanya hajat sebagaimana dibolehkan
karena adanya darurat.
Contoh : Pada dasarny dalam aqad jual beli, hanya dibolehkan/ dianggap sah
apabila syarat rukunya telah sempurna, diantaranya ialah bahwa obyek dari aqad
jual beli telah terwujud,(tanpa sesuatu alasan yang bersifat darrat tidak boleh di
tiadakan keringanan dengan penyimpangan dari hukum diatas). Namun demi
kelancaran/ kemudahan hidup atau untuk meghilagkan kesulita atau kesukaran
diadakan

keringanan

dalam

aqad

jual

beli,

yakni

dengan

memboehkan/menganggap jua beli meskipun obyek belom terwujud, seperti yang


terjadi pada aqad salam.
Begitu juga boleh jul beli barang dagangan yang masih ada di dalam tanah, seperti
kentang, lobak, berambang, ubi jalar,ubi kayu dan lain-lainnya, karena kalau harus
dikeluarkn sketika, akan menimbulkan kesultan bagi keduabelah pihak.
Demikian pula seorang laki-laki memakai pakaiyan sutra karena sakit kulit dan
sebagainya, sedangkan dalam keadaan biasa tidak boleh.
Dalam hubungannya dengan kaidah ini, perlu dijelaskan lebih lanjut bahwa
kebutuhan seorang itu ada 5 tingkat, yaitu :
1. Tingkat darurat, tidak boleh tidak, seperti orang yang sudah sangat lapar,
dia tidak boleh tidak harus memakan apa yang dapat dimakan. Sebab
kalau tidak, dia akan mati.
2. Tingkat hajat, seperti orang yang lapar. Dia harus makan, sebab kalau dia
tidak makan dia akan lemas(lemah), walaupun tidak membahayakan
hidupnya.
3. Tingkat manfaat, seperti kebutuhan makan yang bergizi dan memberikan
kekuatan, sehingga dapat hidup wajar.

4. Tingkat zienah, untuk keindahan dan kemewahan hidup, seperti makanan


yang lezat, pakaian yang indah, perhoasan dan sebagainya.
5. Tingkat fudlul, berlebihan-lebihan, misalnya banyak makan makanan

yang syubhat atau yang haram atau sebagainya.4

4 Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, (Kalam Mulia: Jakarta, 2001)


hlm. 57.

Anda mungkin juga menyukai