Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat pada
tingginya angka kematian pada korban kecelakaan dan banyaknya kasus kecacatan dari
korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang menderita cedera kepala.
cedera kepala adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat nondegenerative, non-congenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari luar, yang mungkin
menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang sifatnya menetap maupun
sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran. Dari definisi, telah
diketahui bahwa cedera kepala sangat berbahaya dan membutuhkan penanganan segera demi
keselamatan penderita. Namun, kendati kasus terus meningkat, masih banyak pihak yang
belum sadar pentingnya kecepatan menolong penderita.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ).
Berdasarkan hal-hal dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk membahas
Asuhan Keperawatan Cedera Kepala agar kita bisa menambah wawasan mengenai konsep
dari cedera kepala.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Untuk mengetahui pengertian dari Cedera Kepala.


Untuk mengetahui etiologi dari penyakit Cedera Kepala.
Untuk mengetahui klasifikasi dari Cedera Kepala.
Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit Cedera Kepala.
Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit Cedera Kepala.
Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari penyakit Cedera Kepala.
Untuk mengetahui proses pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien penderita
Cedera Kepala
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR
1. Definisi Cedera Kepala
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya kontinuitas otak, (Paula Kristanty, dkk
2009). Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (acceleasi
decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada
percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serata notasi yaitu pergerakan pada kepala
dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tingkat pencegahan, (Musliha, 2010).
2. Etiologi
a) Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi
Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b) Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma
terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
c) Etiologi lainnya
1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2) Kecelakaan pada saat olah raga.
3) Cedera akibat kekerasan.
3. Klasifikasi
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
a) Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
1)
2)
3)
4)
5)

GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)


Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
Tak ada fraktur tengkorak
Tak ada contusio serebral (hematom)
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

b) Cedera kepala sedang


1)
2)
3)
4)

GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)


Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi)
Dapat mengalami fraktur tengkorak
Muntah

5) Kejang
c) Cedera kepala berat
1)
2)
3)
4)
5)

GCS 3-8 (koma)


Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif)
Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
Tanda neurologist fokal
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium

Klasifikasi Cedera Kepala secara umum


a. Komosio Serebri (geger otak)5
Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau
menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk
kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada
kepala.

Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat,

hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.


b. Kontusio serebri (memar otak)
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh
pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan
pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan
pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga
berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia pascatraumatik, dan
terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi:
1. Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranialyang
dapat menyebabkan kematian.
2. Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil
mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai
kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalamsikap fleksi)
3. Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga
koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan
mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku
dalam sikap ekstensi).
c. Hematoma epidural
Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi
karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningeamedia, robeknya
sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi
akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya

suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi),
tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang
semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.
d. Hematoma subdural
Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya
arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala
yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita semakin
menurun, terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis, epilepsy, dan edema
papil. Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis
1. Hematoma Subdural Akut
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang
dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.
2. Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.
3. Hematoma Subdural Kronik
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula
jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini dapat
pecah dan membentuk perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya
hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang
dapat mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri.
e. Hematoma intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan
otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.
Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
1. Hemiplegi
2. Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat.
3. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri
perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri
f.

media yang tidak normal.


Fraktura basis kranii

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur
pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang
menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa
hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung
letak frakturnya :
1. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran biru (Brill Hematoma atau Racoons Eyes), rusaknya Nervus
Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
2. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan
arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi
hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
3. Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas
foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati
seketika
4. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :
a. Pada cedera otak, kesadaran seringkali menurun
b. Pola nafas menjadi abnormal secara progresif
c. Reson pupil mungkin tidak ada atau secara progresif mengalami deteriorasi
d. Sakit kepala dapat terjadi dengan segera atau terjadi bersama peningkatan tekanan
intracranial
e. Muntah dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial
f. Perubahan perilaku, kognitif, dan fisik pada gerakan motorik dan berbicara dapat
terjadi dengan kejadian segera atau secara lambat. mnesia yang berhubungan
dengan kejadian ini biasa terjadi.
g. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal
(Elizabeth J.Corwin, 2009)

5. Akibat Jangka Panjang Cedera Kepala


Kerusakan saraf cranial
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang
jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada
pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
b. Gangguan penglihatan
5

Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera


(trauma). Biasanya disertai hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya
perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus,
skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan
kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada
mata tersebut bersifat irreversible.
c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya
disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus
untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
d. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan
pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong,
semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo
dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula
dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu
organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita
disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit
karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan
manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di
batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak,
empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
6

Sindrom pasca trauma kepala


Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis
interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar
tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat
didengar penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis
disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunan visus,
nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola
mata.
Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul
dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
6. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai
bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi
cerebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio
berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan
vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) :
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b) MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c) Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e) X-Ray
Mendeteksi

perubahan

struktur

tulang

(fraktur),

perubahan

struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang


8. Craniotomy (SDH)
a. Definisi
Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor,
mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan
b. Tindakan Operasi (SDH)

Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:

1. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran

midline shift > 5 mm pada CT-scan


2. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
3. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan

pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin
antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
4. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi
asimetris/fixed
5. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub
dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan
komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca.
Kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien
yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang
terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat
dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan
trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya solid dan
kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita
SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf memilih
kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya hematoma dan lokasi
kerusakan parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi dimana di
dapatkan hematoma dalam jumlah banyak, dura mater dibuka dan diaspirasi sebanyak
mungkin hematoma, tindakan ini akan segara menurunkan TIK. Lubang bor
berikutnya dibuat dan kepingan kranium yang lebar dilepaskan, duramater dibuka
lebar dan hematoma dievakuasi dari permukaan otak. Setelah itu, dimasukkan
surgical patties yang cukup lebar dan basah keruang subdural, dilakukan irigasi,

kemudian surgical patties disedot (suction). Surgical patties perlahan lahan ditarik
keluar, sisa hematoma akan melekat pada surgical patties, setelah itu dilakukan
irigasi ruang subdural dengan memasukkan kateter kesegala arah. Kontusio jaringan
otak dan hematoma intraserebral direseksi. Dipasang drain 24 jam diruang subdural,
duramater dijahit rapat.
c. Perawatan Pascabedah

Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti
dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasi pun kita harus
tetap berhati-hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang
berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang
kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus,
kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari
cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber
perdarahan harus ditiadakan. Serial CT-scan tomografi pasca kraniotomi sebaiknya
juga dilakukan.
d. Komplikasi

Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim otak
biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat meningkatkan
tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat sisa
hematom yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga
pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan
kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat
terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial.
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase,
sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis,
seperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus.
Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension
pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.
10

Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan 4


hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilaporkan sekitar
12-22%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien. Empiema
subdural, abses otak dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada kurang dari 1%
pasien setelah operasi drainase dari hematoma subdural kronis (SDH). Pada pasien
ini, timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap, usia pasien, dan kondisi
medis secara bersamaan.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a) Pengkajian Primer
1) Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
2) Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan
dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung.
3) Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
4) Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Klasifikasi Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran atau responsivitas dikaji secara teratur karena perubahan pada
tingkat kesadaran mendahului semua perubahan tanda vital dan neurologik lain.
a. Kompos metis (GCS 14-15)
Suatu keadaan sadar penuh atau kesadaran yang normal
b. Somnolen (GCS 13-11)
Suatu keadaan mengantuk dan kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga letargi atau obtundasi. Somnolen ditandai dengan mudahnya
klien dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang
nyeri.
c. Sopor atau Stupor (GCS 8-10)

11

Suatu keadan dengan rasa ngantuk yang dalam. Klien masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan
rangsang nyeri klien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah
tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari klien. Gerak
motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
d. Koma ringan atau semi koma (GCS 5-7)
Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil
dan sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap
rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan
jawaban primitif. Klien sama sekali tidak dapat dibangunkan.
e. Koma (dalam atau komplit) (GCS 3-4)
Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri
yang bagaimanapun kuatnya.
5) Exposure
Suhu, lokasi luka.
b) Pengkajian Sekunder
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab nyeri/cedera.
Darimana arah dan kekuatan pukulan?
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak.
Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah klien
dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau
gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya.
Bagaimana asupan nutrisi.
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
NO
1

Diagnosa
Ketidakefektifan
Pola
Napas
berhubungan
dengan

Rencana Tindakan Keperawatan


Tujuan dan Kriteria hasil
Intervensi
Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau frekuensi, irama,
keperawatan selama 3 x 24
kedalaman
pernapasan.
jam
diharapkan
Catat
ketidakteraturan
ketidakefektifan pola napas
pernapasan.

12

kerusakan
neurovaskuler
(cedera
pada
pusat pernapasan
otak)

Perubahan
perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
dengan
penghentian
aliran
darah
(hemoragi,
hematoma)

Nyeri
berhubungan

teratasi dengan kriteria hasil, 2. Pantau


dan
catat
tidak ada sesak atau kesukaran
kompetensi
reflek
bernafas, jalan nafas bersih,
gag/menelan
dan
dan pernafasan dalam batas
kemampuan pasien untuk
normal.
melindungi jalan napas
sendiri. Pasang jalan napas
sesuai indikasi.
3. Angkat kepala tempat tidur
sesuai aturannya, posisi
miirng sesuai indikasi.
4. Anjurkan pasien untuk
melakukan napas dalam
yang efektif bila pasien
sadar.
5. Auskultasi suara napas,
perhatikan
daerah
hipoventilasi dan adanya
suara tambahan yang tidak
normal misal: ronkhi,
wheezing, krekel.
Setelah dilakukan tindakan 1. Tentukan
faktor-faktor
keperawatan selama 3 x 24
yang
menyebabkan
jam, diharapkan masalah
koma/penurunan
perfusi
teratasi, dengan kriteria hasil
jaringan otak dan potensial
tanda vital stabil dan tidak ada
peningkatan TIK.
tanda-tanda peningkatan TIK. 2. Pantau
/catat
status
neurologis secara teratur
dan bandingkan dengan
nilai standar GCS
3. Evaluasi keadaan pupil,
ukuran, kesamaan antara
kiri dan kanan, reaksi
terhadap cahaya.
4. Pantau tanda-tanda vital:
TD, nadi, frekuensi nafas,
suhu.
5. Bantu
pasien
untuk
menghindari /membatasi
batuk, muntah, mengejan.
6. Kolaborasikan pemberian
obat sesuai indikasi, misal:
diuretik,
steroid,
antikonvulsan, analgetik,
sedatif, antipiretik
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji keluhan nyeri dengan
keperawatan selama 3 x 24 jam
menggunakan skala nyeri,

13

dengan adanya
trauma kepala.

Resiko
kekurangan
volume cairan

Defisit
perawatan diri
berhubungan
dengan
tirah
baring
dan
menurunnya
kesadaran.

diharapkan nyeri berkurang


catat lokasi nyeri, lamanya,
atau hilang dengan criteria
serangannya, peningkatan
hasil klien merasa nyaman
nadi, nafas cepat atau
yang ditandai dengan tidak
lambat, berkeringat dingin.
mengeluh nyeri, dan tanda- 2. Atur
posisi
sesuai
tanda vital dalam batas normal.
kebutuhan anak untuk
mengurangi nyeri.
3. Kurangi rangsangan yang
bisa memicu terjadinya
nyeri.
4. Berikan obat analgetik
sesuai dengan program.
5. Ciptakan lingkungan yang
nyaman termasuk tempat
tidur.
6. Berikan
sentuhan
terapeutik,
lakukan
distraksi dan relaksasi.
Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor status hidrasi
keperawatan selama 3 x 24
seperti
kelembaban
jam
diharapkan
masalah
mukosa dan turgor kulit
teratasi dengan criteria hasil 2. Monitor Vital Sign
hasil
membran
mukosa 3. Monitor intake dan output
lembab, integritas kulit baik, 4. Monitor status nutrisi
dan nilai elektrolit dalam batas 5. Dorong
pasien
untuk
normal.
menambah intake oral
6. Berikan
penggantian
nasogatrik sesuai dengan
output
7. Kolaborasikan pemberian
cairan IV
Setelah dilakukan tindakan 1. Bantu
anak
dalam
keperawatan selama 3 x 24
memenuhi
kebutuhan
jam
diharapkan
terjadi
aktivitas, makan minum,
peningkatan perawatan diri
mengenakan pakaian, BAK
dengan kriteria hasil tempat
dan BAB, membersihkan
tidur bersih, tidak ada iritasi
tempat
tidur,
dan
pada kulit, buang air besar dan
kebersihan perseorangan.
kecil tanpa dibantu.
2. Berikan
makanan
via
parenteral bila ada indikasi.
3. Lakukan Perawatan kateter
bila terpasang.
4. Kaji adanya konstipasi,
bila
perlu
pemakaian
pelembek
tinja
untuk
memudahkan BAB.

14

5. Libatkan orang tua atau


orang
terdekat
dalam
perawatan
pemenuhan
kebutuhan sehari-hari.
BAB III
KASUS
FORMAT PENGKAJIAN
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PSIK STIKES HANGTUA PEKANBARU
A. Informasi Umum
Nama
: Ny. Nurjaini
Tanggal lahir
: 10-06-1939
Umur
: 77 tahun
Tanggal pengkajian
: 23-Nov-2016
Suku Bangsa
: Minang
Diagnosa Medik
: Post Craniotomy
B. Pengkajian Primer
1. Airway
: Paten
2. Breathing : Pernafasan menggunakan ventilator, pola SMV-VE, TV:PS12,
RR:12, F1O2 :3,7%, PEEP: 5, saturasi oksigen 100%
3. Circulation
: Akral teraba Dingin, TD: 131/75, HR: 75, MAP: 99
4. Disability : kesadaran compos mentis, GCS E: 4, M:6, pupil 2/2 (isokor)
5. Expousure : post craniotomy (SDH), cairan drainase 200 cc, keadaan tubuh
lemah, kulit teraba kering dan kasar
6. Foly Kateter : terpasang kateter, urin berwarna kuning,
7. Gastric tube : terpasang OGT
8. Heart Monitor : terpasang monitor, EKG: Sinus rythim, TD 131/75, HR:75,
MAP: 99
C. Pengkajian Sekunder
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Ny, N berusia 77 tahun post craniotomy, dengan kesadaran compos mentis,
terpasang ETT dengan tersanbung ke ventilator untuk bantu nafas, makan
melalaui selang OGT, fisik tampak lemah, akral teraba dingin, kulit kering
2. Riwayat Kesehatan Masa lalu
Keluarga mengatakan Ny. N pernah jatuh lima bulan yang lalu.
D. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
: ada bekas pos craniotomy (SDH), tidak ada rambut, terpasang
drainase dengan cairan 200 cc sampai jam 02.00 Wib.

15

2. Mulut

: terpasang selang OGT dan ETT yang tersambung keventilator

untuk membantu pernafasan,


3. Ekstremitas: akral teraba dingin, tampak pucat, kekuatan otot lemah, kulit
terlihat kering
E. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan diagnostic
N
o
1
2
3
4
5

Hasil Labor

Nilai Normal

Tombosit : 106.00
Hb

6
7
8
9
19

12-16 g/dl
3,5-5,5 mmol/L
0,90-1,08 mmol/L
135-145mmol/L

: 10,5 g/dl

Kalium : 2,5
Calsium : 0,28
Natrium : 141
AGD
PH : 2,41
PCO2 : 33
PO2 : 207
BE : -3,1
HCO3 : 20,9

7,35-7,45
35-45 mmHg
40-100 mmHg
(-2)-(+2)
22-26 mmol/L

F. Medikasi yang diberikan


N

Rute Pemberian Obat

o
1
2
3
4
5
6

Ceftriaxone
Tromadol
Ranitidin
Citicoline
Paracetamol
Monitol

Dosis

Indikasi

kontraindikasi

1. Infeksi berat dan 1. Hipersensitif


terhadap
yang disebabkan
ceftriaxone
atau
oleh
bakteri
sefalosporin lainnya.
gram
positif
2. Keracunan akut oleh
maupun negatif
alkohol,
hipnotik,
yang
resisten
terhadap
analgesik, atau obat-obat
antibiotik lain
yang mempengaruhi SSP
2. Untuk mengatasi
lainnya, penderita yang
nyeri
dengan
intensitas
mendapat
pengobatan
menengah
penghambat monoamin
sampai
berat,
aksidae
(MAO),
seperti
nyeri
akibat
trauma
penderita
yang
berat,
nyeri
hipersensitivitas terhadap
setelah operasi,
tromadol.
16

3.

4.

5.

6.

17

nyeri
akibat
gangguan saraf
Untuk penderita
sakit
maag
(lambung)
Pada
stadium
aku
untuk
gangguan
kesadaran akibat
cedera kepala,
bedak otak, dan
infark serebral
stadium
akut.
Pada
stadium
kronis,
untuk
meningkatkan
rehabilitasi
anggota gerak
atas dan bawah
pada hemiplegia
akibat apopleksi
serebral.
Sebagai
obat
analgesik
dan
mengurangi rasa
nyeri
ringan
sampai sedang,
seperti
sakit
kepala,
sakit
gigi, nyeri otot.
Selain itu, PCT
juga mempunyai
efek anti radang
yang lemah
Terapi
dan
profilaksis
oliguria
pada
gagal
ginjal
akut,
edema
otak,
peningkatan

3. Riwayat alergi ranitidin,


ibu

sedang

menyusui,

pemberian ranitidin juga


perlu

diawasi

pada

kondisi gagal ginjal.


4. Hipersensitif
terhadap
citicoline
5. Tidak boleh digunakan
pada

orang

dengan

kondisi

alergi

paracetamol

atau

acetaminophen,
gangguan fungsi hati dan
penyakit hati, gangguan
fungsi

ginjal

shock,

serius,
overdosis

acetaminophen,
buruk.
6. Gagal jantung,
paru, dehidrasi

gizi
edema

TIK.
G. Format Analisa Data
No
1

Data Penunjang
Ds:Do:

Etiologi
Jatuh

Masalah Keperawatan
Pola nafas tidak efektif

Cidera kepala

Pernafa
Ruptur vena dalam ruang

san
menggu
nakan

serebral
Hematoma subdural

ventilat

Tek.jaringan

or, pola
Perubahan pupil, kesadaran,

SMV-

hepirase
Berlanjut

VE,
TV:PS1

Hemisiasi batang otak


Hilangnya kontrol jantung

2,
RR:12,
F1O2

Pola nafas tidak efektif

3,7%,
PEEP:
5,
saturasi

Resiko perubahan jaringan


Trauma kepala
Cidera jaringan
Hematoma

oksigen
100%

Aliran darah keotak menurun


Resiko peruban jaringan

Do: Ds:
- Post craniotomi
- Terpasang drain 200 cc
-

serebral

smpai jam 02.00 wib


GCS: E:4, M:6
Hb: 10,5
Akral terba dingin
TD: 131/75, HR: 75,

18

serebral

MAP: 99,

H. Diagnosa Keperawatan
I. Format Rencana Asuhan Keperawatan
NO

Diagnosa

Ketidakefektifan
Pola
Napas
berhubungan
dengan disfungsi
neuromuskular

Perubahan
perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
dengan
penurunan
konsentrasi Hb

Rencana Tindakan Keperawatan


Tujuan dan Kriteria hasil
Intervensi
Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau frekuensi, irama,
keperawatan selama 3 x 24
kedalaman
pernapasan.
jam
diharapkan
Catat
ketidakteraturan
ketidakefektifan pola napas
pernapasan.
teratasi dengan kriteria hasil, 2. Pasang jalan napas sesuai
tidak ada sesak atau kesukaran
indikasi.
bernafas, jalan nafas bersih, 3. Angkat kepala tempat tidur
dan pernafasan dalam batas
sesuai aturannya, posisi
normal.
miirng sesuai indikasi.
4. Auskultasi suara napas,
perhatikan
daerah
hipoventilasi dan adanya
suara tambahan yang tidak
normal misal: ronkhi,
wheezing, krekel.
Setelah dilakukan tindakan 1. Tentukan
faktor-faktor
keperawatan selama 3 x 24
yang
menyebabkan
jam, diharapkan masalah
koma/penurunan
perfusi
teratasi, dengan kriteria hasil
jaringan otak dan potensial
tanda vital stabil dan tidak ada
peningkatan TIK.
tanda-tanda peningkatan TIK. 2. Pantau
/catat
status
neurologis secara teratur
dan bandingkan dengan
nilai standar GCS
3. Evaluasi keadaan pupil,
ukuran, kesamaan antara
kiri dan kanan, reaksi
terhadap cahaya.
4. Pantau tanda-tanda vital:
TD, nadi, frekuensi nafas,
suhu.
5. Kolaborasikan pemberian
obat sesuai indikasi, misal:
diuretik,
steroid,
antikonvulsan, analgetik,
sedatif, antipiretik

19

J. Format Perkembangan
NO.DX
1

Implementasi
1. Memantau frekuensi, irama,
kedalaman pernapasan.
2. Mengangkat kepala tempat
tidur sesuai aturannya, posisi
miirng sesuai indikasi.
3. Mengauskultasi suara napas,
perhatikan
daerah
hipoventilasi dan adanya
suara tambahan yang tidak
normal
misal:
ronkhi,
wheezing, krekel.

1. Menentukan
faktor-faktor
yang
menyebabkan
koma/penurunan
perfusi

20

Evaluasi
Tgl 21 november 2016
S: O : Klien bernafas dengan ventilator, suara
nafas vesikuler, terpasang ETT, : pasien
terlihat tenang, kesdaran compos mentis,
pupil 2/2 isokor, cairan drainase 100 cc.
Tekanan darah belum stabil, Hb 10,5,
akral terba dingin, TD pada jam 15.00
140/75, HR: 83, saturasi Oksigen: 100%
A : ketidakefektifan pola nafas dan resiko
tinggi gangguan perfusi jaringan serebral
belum teratasi teratasi
P : pemakaian ventilator tetap dilanjutkan
Pantau GCS dan suara nafas
Pantau TD, HR, Drainase
Tanggal 22 november 2016
S: O: Klien bernafas menggunakan T-Peaace
yang diganti sekitar jam 11.50, ETT
masih terpakai, suara nafas vesikuler,
GCS E:4, M:6, V:ETT, akral teraba
dingin, kesadran CM, pupil 2/2. TD
terakhir pada jam 15.00 129/71, HR: 108.
Drainase sekitar 8 cc.
A: ketidakefektifan pola nafas dan resiko
tinggi gangguan perfusi jaringan serebral
belum teratasi teratasi
P: pemakaian T-peac dilanjutkan
Pantau GCS
Pantau TD, HR
Tanggal 23 nov 2016
S: pasien mengatakan sudah bisa bernafas
O: ETT dan OGT telah terlepas, menggunkan
nasal kanul,kesadaran CM.
A: ketidakefektifan pola nafas dan resiko
tinggi gangguan perfusi jaringan serebral
belum teratasi teratasi
P: terapi Oksigen dilanjutkan (penggunaan
nasal kanul), cek laboratorium, pantau
GCS

2.

3.

4.
5.

jaringan otak dan potensial


peningkatan TIK.
Memantau
/catat
status
neurologis secara teratur dan
bandingkan
dengan
nilai
standar GCS
Mengevaluasi keadaan pupil,
ukuran, kesamaan antara kiri
dan kanan, reaksi terhadap
cahaya.
Memantau tanda-tanda vital:
TD, nadi, frekuensi nafas,
suhu.
Mengkolaborasikan pemberian
obat sesuai indikasi

BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pembahasan kasus dan teori
Dalam memberikan penatalaksanaan kepada pasien cedera kepala, perawat harus
melakukan asuhan keperawatan yang sesuai dengan standar asuhan keperawatan atau
prosedur tetap penanganan pasien cedera kepala. Dengan itu klien akan tertangani dengan
maksimal dan akan mengurangi tingkat mortilitas. Adapun standar asuhan keperawatan atau

21

prosedur tetap penanganan pasien cedera kepala antara lain, yaitu jika terdapat riwayat
trauma pada kepala hal yang perlu ditangani adalah Airway, Breathing, Circulation,
melakukan tindakan resusitasi.
Setelah dilakukan pengkajian, penyebab cidera kepala pasien adalah terjatuh dan
klasifikasi pasien termasuk cidera kepala sedang dengan nilai GCS 10 terdiri dari E:4, M :6
dan SDH yaitu Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid.
Sehingga dilakukan Kraniotomi yaitu tindakan operasi membuka tulang tengkorak untuk
mengeluarkan bekuan. Selain itu diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus dan ada di
teori yaitu terdapat 2 diagnosa, antara lain: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
disfungsi neuromuskular dan resiko perubahan jaringan serebral berhubungan dengan
penurunan konsentrasi HB.
Prioritas utama dari dua diagnosa tersebut adalah pola nafas tidak efektif karena pasien
harus menggunakan ventilator untuk bernafas dan mendapatkan oksigen. Sedangkan resiko
perubahan fungsi jaringan serebral menjadi diagnosa kedua dikarenakan pasien dalam
kesadaran compos mentis dan tidak hipoksia. Salah satu tanda hiposia adalah kesadaran
pasien dan pasien tampak gelisah. Secara teori, Otak dapat berfungsi dengan baik bila
kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 %
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 %
akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Selain itu jantung juga membutuhkan
O2 untuk proses metabolisme. Sehingga pola nafas diprioritaskan agar oksigen yang
dibutuhkan oleh otak terpenuhi secara maksimal.

22

BAB V
PENUTUTP
A.

Kesimpulan
Cedera kepala adalah serangkainan kejadian patofisiologik yang terjadi setelah

trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya. Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses

23

oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
B. Saran
Melalui kesimpulan diatas, adapun saran yang diajukkan oleh Tim Penulis adalah :
1. Sebagai tenaga kesehatan yang lebih tahu tentang kesehatan, kita dapat menerapakan
perilaku yang lebih berhati-hati agar tidak memicu terjadinya cedera pada kepala.
2. Perawat harus melakukan tindakan asuhan keperawatan dengan baik pada pasien penderita
Cedera Kepala sehingga kesembuhan pasien dapat tercapai dengan baik
3. Perawat maupun calon perawat harus memahami konsep dasar dari Cedera Kepala dan
ruang lingkupnya sehingga dalam proses memberikan asuhan keperawatan pada pasien
penderita Cedera Kepala dapat terlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC: Jakarta
Doenges, M.E. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakarta
Price, S, A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit, (terjemahan),
Edisi 4. Jakarta: EGC.
Sartono, Masudik, & Suhaimi AE. 2016, Basic Trauma Cardiac Life Support.
Bekasi: GADAR Medik Indonesia

24

Anda mungkin juga menyukai