PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat pada
tingginya angka kematian pada korban kecelakaan dan banyaknya kasus kecacatan dari
korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang menderita cedera kepala.
cedera kepala adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat nondegenerative, non-congenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari luar, yang mungkin
menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang sifatnya menetap maupun
sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran. Dari definisi, telah
diketahui bahwa cedera kepala sangat berbahaya dan membutuhkan penanganan segera demi
keselamatan penderita. Namun, kendati kasus terus meningkat, masih banyak pihak yang
belum sadar pentingnya kecepatan menolong penderita.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ).
Berdasarkan hal-hal dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk membahas
Asuhan Keperawatan Cedera Kepala agar kita bisa menambah wawasan mengenai konsep
dari cedera kepala.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
A. KONSEP DASAR
1. Definisi Cedera Kepala
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya kontinuitas otak, (Paula Kristanty, dkk
2009). Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (acceleasi
decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada
percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serata notasi yaitu pergerakan pada kepala
dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tingkat pencegahan, (Musliha, 2010).
2. Etiologi
a) Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi
Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b) Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma
terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
c) Etiologi lainnya
1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2) Kecelakaan pada saat olah raga.
3) Cedera akibat kekerasan.
3. Klasifikasi
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
a) Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
1)
2)
3)
4)
5)
5) Kejang
c) Cedera kepala berat
1)
2)
3)
4)
5)
suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi),
tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang
semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.
d. Hematoma subdural
Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya
arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala
yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita semakin
menurun, terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis, epilepsy, dan edema
papil. Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis
1. Hematoma Subdural Akut
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang
dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.
2. Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.
3. Hematoma Subdural Kronik
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula
jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini dapat
pecah dan membentuk perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya
hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang
dapat mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri.
e. Hematoma intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan
otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.
Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
1. Hemiplegi
2. Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat.
3. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri
perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri
f.
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur
pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang
menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa
hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung
letak frakturnya :
1. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran biru (Brill Hematoma atau Racoons Eyes), rusaknya Nervus
Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
2. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan
arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi
hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
3. Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas
foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati
seketika
4. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :
a. Pada cedera otak, kesadaran seringkali menurun
b. Pola nafas menjadi abnormal secara progresif
c. Reson pupil mungkin tidak ada atau secara progresif mengalami deteriorasi
d. Sakit kepala dapat terjadi dengan segera atau terjadi bersama peningkatan tekanan
intracranial
e. Muntah dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial
f. Perubahan perilaku, kognitif, dan fisik pada gerakan motorik dan berbicara dapat
terjadi dengan kejadian segera atau secara lambat. mnesia yang berhubungan
dengan kejadian ini biasa terjadi.
g. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal
(Elizabeth J.Corwin, 2009)
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio
berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan
vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) :
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b) MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c) Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e) X-Ray
Mendeteksi
perubahan
struktur
tulang
(fraktur),
perubahan
struktur
1. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran
pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin
antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
4. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi
asimetris/fixed
5. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub
dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan
komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca.
Kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien
yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang
terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat
dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan
trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya solid dan
kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita
SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf memilih
kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya hematoma dan lokasi
kerusakan parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi dimana di
dapatkan hematoma dalam jumlah banyak, dura mater dibuka dan diaspirasi sebanyak
mungkin hematoma, tindakan ini akan segara menurunkan TIK. Lubang bor
berikutnya dibuat dan kepingan kranium yang lebar dilepaskan, duramater dibuka
lebar dan hematoma dievakuasi dari permukaan otak. Setelah itu, dimasukkan
surgical patties yang cukup lebar dan basah keruang subdural, dilakukan irigasi,
kemudian surgical patties disedot (suction). Surgical patties perlahan lahan ditarik
keluar, sisa hematoma akan melekat pada surgical patties, setelah itu dilakukan
irigasi ruang subdural dengan memasukkan kateter kesegala arah. Kontusio jaringan
otak dan hematoma intraserebral direseksi. Dipasang drain 24 jam diruang subdural,
duramater dijahit rapat.
c. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti
dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasi pun kita harus
tetap berhati-hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang
berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang
kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus,
kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari
cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber
perdarahan harus ditiadakan. Serial CT-scan tomografi pasca kraniotomi sebaiknya
juga dilakukan.
d. Komplikasi
Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim otak
biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat meningkatkan
tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat sisa
hematom yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga
pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan
kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat
terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial.
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase,
sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis,
seperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus.
Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension
pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.
10
11
Suatu keadan dengan rasa ngantuk yang dalam. Klien masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan
rangsang nyeri klien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah
tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari klien. Gerak
motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
d. Koma ringan atau semi koma (GCS 5-7)
Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil
dan sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap
rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan
jawaban primitif. Klien sama sekali tidak dapat dibangunkan.
e. Koma (dalam atau komplit) (GCS 3-4)
Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri
yang bagaimanapun kuatnya.
5) Exposure
Suhu, lokasi luka.
b) Pengkajian Sekunder
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab nyeri/cedera.
Darimana arah dan kekuatan pukulan?
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak.
Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah klien
dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau
gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya.
Bagaimana asupan nutrisi.
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
NO
1
Diagnosa
Ketidakefektifan
Pola
Napas
berhubungan
dengan
12
kerusakan
neurovaskuler
(cedera
pada
pusat pernapasan
otak)
Perubahan
perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
dengan
penghentian
aliran
darah
(hemoragi,
hematoma)
Nyeri
berhubungan
13
dengan adanya
trauma kepala.
Resiko
kekurangan
volume cairan
Defisit
perawatan diri
berhubungan
dengan
tirah
baring
dan
menurunnya
kesadaran.
14
15
2. Mulut
Hasil Labor
Nilai Normal
Tombosit : 106.00
Hb
6
7
8
9
19
12-16 g/dl
3,5-5,5 mmol/L
0,90-1,08 mmol/L
135-145mmol/L
: 10,5 g/dl
Kalium : 2,5
Calsium : 0,28
Natrium : 141
AGD
PH : 2,41
PCO2 : 33
PO2 : 207
BE : -3,1
HCO3 : 20,9
7,35-7,45
35-45 mmHg
40-100 mmHg
(-2)-(+2)
22-26 mmol/L
o
1
2
3
4
5
6
Ceftriaxone
Tromadol
Ranitidin
Citicoline
Paracetamol
Monitol
Dosis
Indikasi
kontraindikasi
3.
4.
5.
6.
17
nyeri
akibat
gangguan saraf
Untuk penderita
sakit
maag
(lambung)
Pada
stadium
aku
untuk
gangguan
kesadaran akibat
cedera kepala,
bedak otak, dan
infark serebral
stadium
akut.
Pada
stadium
kronis,
untuk
meningkatkan
rehabilitasi
anggota gerak
atas dan bawah
pada hemiplegia
akibat apopleksi
serebral.
Sebagai
obat
analgesik
dan
mengurangi rasa
nyeri
ringan
sampai sedang,
seperti
sakit
kepala,
sakit
gigi, nyeri otot.
Selain itu, PCT
juga mempunyai
efek anti radang
yang lemah
Terapi
dan
profilaksis
oliguria
pada
gagal
ginjal
akut,
edema
otak,
peningkatan
sedang
menyusui,
diawasi
pada
orang
dengan
kondisi
alergi
paracetamol
atau
acetaminophen,
gangguan fungsi hati dan
penyakit hati, gangguan
fungsi
ginjal
shock,
serius,
overdosis
acetaminophen,
buruk.
6. Gagal jantung,
paru, dehidrasi
gizi
edema
TIK.
G. Format Analisa Data
No
1
Data Penunjang
Ds:Do:
Etiologi
Jatuh
Masalah Keperawatan
Pola nafas tidak efektif
Cidera kepala
Pernafa
Ruptur vena dalam ruang
san
menggu
nakan
serebral
Hematoma subdural
ventilat
Tek.jaringan
or, pola
Perubahan pupil, kesadaran,
SMV-
hepirase
Berlanjut
VE,
TV:PS1
2,
RR:12,
F1O2
3,7%,
PEEP:
5,
saturasi
oksigen
100%
Do: Ds:
- Post craniotomi
- Terpasang drain 200 cc
-
serebral
18
serebral
MAP: 99,
H. Diagnosa Keperawatan
I. Format Rencana Asuhan Keperawatan
NO
Diagnosa
Ketidakefektifan
Pola
Napas
berhubungan
dengan disfungsi
neuromuskular
Perubahan
perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
dengan
penurunan
konsentrasi Hb
19
J. Format Perkembangan
NO.DX
1
Implementasi
1. Memantau frekuensi, irama,
kedalaman pernapasan.
2. Mengangkat kepala tempat
tidur sesuai aturannya, posisi
miirng sesuai indikasi.
3. Mengauskultasi suara napas,
perhatikan
daerah
hipoventilasi dan adanya
suara tambahan yang tidak
normal
misal:
ronkhi,
wheezing, krekel.
1. Menentukan
faktor-faktor
yang
menyebabkan
koma/penurunan
perfusi
20
Evaluasi
Tgl 21 november 2016
S: O : Klien bernafas dengan ventilator, suara
nafas vesikuler, terpasang ETT, : pasien
terlihat tenang, kesdaran compos mentis,
pupil 2/2 isokor, cairan drainase 100 cc.
Tekanan darah belum stabil, Hb 10,5,
akral terba dingin, TD pada jam 15.00
140/75, HR: 83, saturasi Oksigen: 100%
A : ketidakefektifan pola nafas dan resiko
tinggi gangguan perfusi jaringan serebral
belum teratasi teratasi
P : pemakaian ventilator tetap dilanjutkan
Pantau GCS dan suara nafas
Pantau TD, HR, Drainase
Tanggal 22 november 2016
S: O: Klien bernafas menggunakan T-Peaace
yang diganti sekitar jam 11.50, ETT
masih terpakai, suara nafas vesikuler,
GCS E:4, M:6, V:ETT, akral teraba
dingin, kesadran CM, pupil 2/2. TD
terakhir pada jam 15.00 129/71, HR: 108.
Drainase sekitar 8 cc.
A: ketidakefektifan pola nafas dan resiko
tinggi gangguan perfusi jaringan serebral
belum teratasi teratasi
P: pemakaian T-peac dilanjutkan
Pantau GCS
Pantau TD, HR
Tanggal 23 nov 2016
S: pasien mengatakan sudah bisa bernafas
O: ETT dan OGT telah terlepas, menggunkan
nasal kanul,kesadaran CM.
A: ketidakefektifan pola nafas dan resiko
tinggi gangguan perfusi jaringan serebral
belum teratasi teratasi
P: terapi Oksigen dilanjutkan (penggunaan
nasal kanul), cek laboratorium, pantau
GCS
2.
3.
4.
5.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pembahasan kasus dan teori
Dalam memberikan penatalaksanaan kepada pasien cedera kepala, perawat harus
melakukan asuhan keperawatan yang sesuai dengan standar asuhan keperawatan atau
prosedur tetap penanganan pasien cedera kepala. Dengan itu klien akan tertangani dengan
maksimal dan akan mengurangi tingkat mortilitas. Adapun standar asuhan keperawatan atau
21
prosedur tetap penanganan pasien cedera kepala antara lain, yaitu jika terdapat riwayat
trauma pada kepala hal yang perlu ditangani adalah Airway, Breathing, Circulation,
melakukan tindakan resusitasi.
Setelah dilakukan pengkajian, penyebab cidera kepala pasien adalah terjatuh dan
klasifikasi pasien termasuk cidera kepala sedang dengan nilai GCS 10 terdiri dari E:4, M :6
dan SDH yaitu Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid.
Sehingga dilakukan Kraniotomi yaitu tindakan operasi membuka tulang tengkorak untuk
mengeluarkan bekuan. Selain itu diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus dan ada di
teori yaitu terdapat 2 diagnosa, antara lain: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
disfungsi neuromuskular dan resiko perubahan jaringan serebral berhubungan dengan
penurunan konsentrasi HB.
Prioritas utama dari dua diagnosa tersebut adalah pola nafas tidak efektif karena pasien
harus menggunakan ventilator untuk bernafas dan mendapatkan oksigen. Sedangkan resiko
perubahan fungsi jaringan serebral menjadi diagnosa kedua dikarenakan pasien dalam
kesadaran compos mentis dan tidak hipoksia. Salah satu tanda hiposia adalah kesadaran
pasien dan pasien tampak gelisah. Secara teori, Otak dapat berfungsi dengan baik bila
kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 %
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 %
akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Selain itu jantung juga membutuhkan
O2 untuk proses metabolisme. Sehingga pola nafas diprioritaskan agar oksigen yang
dibutuhkan oleh otak terpenuhi secara maksimal.
22
BAB V
PENUTUTP
A.
Kesimpulan
Cedera kepala adalah serangkainan kejadian patofisiologik yang terjadi setelah
trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya. Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
23
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
B. Saran
Melalui kesimpulan diatas, adapun saran yang diajukkan oleh Tim Penulis adalah :
1. Sebagai tenaga kesehatan yang lebih tahu tentang kesehatan, kita dapat menerapakan
perilaku yang lebih berhati-hati agar tidak memicu terjadinya cedera pada kepala.
2. Perawat harus melakukan tindakan asuhan keperawatan dengan baik pada pasien penderita
Cedera Kepala sehingga kesembuhan pasien dapat tercapai dengan baik
3. Perawat maupun calon perawat harus memahami konsep dasar dari Cedera Kepala dan
ruang lingkupnya sehingga dalam proses memberikan asuhan keperawatan pada pasien
penderita Cedera Kepala dapat terlaksana dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC: Jakarta
Doenges, M.E. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakarta
Price, S, A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit, (terjemahan),
Edisi 4. Jakarta: EGC.
Sartono, Masudik, & Suhaimi AE. 2016, Basic Trauma Cardiac Life Support.
Bekasi: GADAR Medik Indonesia
24