Anda di halaman 1dari 5

Perkembangan Teori Kimia Koordinasi Sebelum Tahun 1930

Oleh: Zidni Rahmatika (14630023)


Penemuan senyawa koordinasi pada paruh pertama perkembangnya (sebelum tahun
1930) jarang ditemui, sebagian besar ditemukan karena ketidaksengajaan dan sering
ditemukan secara tidak sitematis (sporadis). Beberapa ilmuwan mencoba membuat teori
mengenai kimia koordinasi berdasarkan beberapa penelitian yang mereka lakukan dan
penemuan telah ada sebelumnya. Penelitian tentang kimia koordinasi terus berlanjut dan lebih
memperkaya pengetahuan dalam bidang ini, penemuan yang terbaru terkadang menbantah
teori yang telah ada sebelumnya yang membuat teori lama yeng bertentangan kemudian
ditinggalkan. Teori yang ditinggalkan bukan berarti ditiadakan karena teori tersebut juga
menjadi batu lompatan untuk semua yang telah diyakini hingga kini.
Awalnya penemuan senyawa koordinasi ditemukan dengan senyawa ligan NH3 yang
membentuk senyawa amina logam. Thomas Graham (1805-1869) mengawali dengan
tercetusnya teori ammonium, yang intinya adalah amina logam dianggap sebagai senyawa
amonium tersubstitusi. Graham berpendapat bahwa senyawa hidrogen yang berikatan dengan
nitrogen digantikan oleh senyawa logam. Ide Graham ini hanya berlaku untuk senyawa
kompleks yang jumlah ligan amoniumnya sesuai dengan jumlah valensi
logam atau elektrovalensi dari logam, dan kemudian terpatahkan dengan adanya
ditemukannya logam yang berelektronvalensi berbeda dengan jumlah NH3 yang ada dalam
satu senyawa kompleks.
Perkembangan selanjutnya ditemukan oleh Kekule (1829-1896) yang berkeyakinan
bahwa suatu unsur hanya memiliki satu valensi saja. Kekule tetap teguh pada prinsip tersebut
walaupun pada penelitian yang ia lakukan ditemukan hal-hal yang bertentangan.
Kontribusinya yang paling berpengaruh terhadap kimia koordinasi adalah pembagian
senyawa menjadi dua golongan yaitu senyawa molekuler dan senyawa atomik. Menurutnya
senyawa atomik adalah senyawa yang perbandingan jumlah valensi dan jumlah atomnya
sama, sedangkan senyawa molekuler adalah gabungan dari senyawa atomik. Senyawa atomik
menurut Kekule dicontohkan dengan adanya senyawa seperti H2O, NH3, HCl, PCl3, NaCl,
dan CoCl. Senyawa kompleks [Co(NH3)6]Cl3 dijelaskan dengan teori senyawa molekuler
Kekule ditulis dengan rumus CoCl3.6NH3.

Kekule juga berpendapat bahwa gaya antar atom pada senyawa atomik lebih kuat
dibandingkan gaya antar atom pada senyawa molekuler. Berdasarkan teori diatas senyawa
atomik bersifat lebih stabil dibandingkan senyawa molekuler. Kenyataan bahwa
ketidaksatbilan senyawa molekuler ini tidak berlaku pada banyak senyawa koordinasi
membuat teori Kekule ditinggalkan. Meskipun demikian ada beberapa senyawa yang masih
terjelaskan oleh teori senyawa molekuler Kekule hingga saat ini yaitu dalam penulisan rumus
garam rangkap FeSO4(NH4)SO46H2O.
Pada waktu yang hampir bersamaan ada seorang peneliti bernama Christian Wilhem
Blomstrand (1826-1897) yang mengembangkan teori cara atom-atom dalam senyawa dapat
berikatan, pengembangan teori ini juga dilakukan oleh peneliti lain namun penemuannya
tentang teori rantai dianggap paling berhasil. Penelitian Blomstand kemudian disempurnakan
oleh muridnya yaitu Sophus Mads Jorgensen (1837-1924) yang merupakan profesor kimia di
Kopenhagen. Jorgensen merupakan seorang peneliti yang sistematis dan intensif dalam
meneliti senyawa kompleks. Selama karir kepenelitiannya terbukti ia berhasil mensintesis
banyak senyawa komlpeks dari logam kobalt, kromium, rodium dan platina. Senyawa
kompleks yang telah tersintesis itu kemudian diteliti sifatnya seperti sifat konduktifitas
senyawa kompleks.
Blomstrad dan Jorgensen berpendapat bahwa jumlah NH3 yang terikat pada suatu
atom logam bergantung pada valensi logam itu sendiri. Jorgensen juga menentukan beberapa
hal mengenai keraktifan atom-atom dan gugus-gugus dalam senyawa kompleks. Senyawa
halogen dalam senyawa komplek dibagi dua yaitu atom halogen dekat dan atom halogen
jauh. Atom halogen dekat terikat langsung dengan atom logam sedangkan atom halogen jauh
tidak terikat langsung dengan atom logam. Dalam suatu senyawa kompleks halogen, atom
hidrogen jauh akan menegendap sebagai perak halida jika ditambahkan dengan larutan perak
nitrat sedangkan atom hidrogen dekat tidak akan mengendap.
Pada tahun 1898 dan 1890 Jorgensen mensintesis dua senyawa berisomer berbeda
warna denga rumus CoCl3.(en)2, namun dari keduanya mempunyai warna yang berbeda dan
diberi nama sesuai dengan warnanya kompleks yang berwarna hijau diberi nama praseo
sedangkan kompleks yang berwarna violet diberi nama violeo. Perbedaan warna kompleks
parseo dan violeo menurut Jurgensen merupakan akibat dari perbedaan pengikatan dua
molekul etilendiamina. Kompleks lain yang ditemukan Jurgensen adalah CoCl3.3NH3, fakta
eksperimen menujukkan bahwa senyawa ini bersifat non elektrolit dan tidak mengendap saat

direaksikan dengan perak nitrat. Selanjutnya Jurgensen juga mengajukan struktur untuk
senyawa tersebut, berikut struktirnya
Cl
Co

NH3

NH3

NH3

Cl

Cl
Dari struktur diatas terdapat atom klorin dekat dan atom klorin jauh. Bedasarkan teori yang
Jurgensen ajukan seharusnya terdapat senyawa klorin yang mengendap saat CoCl3.3NH3
direaksikan dengan perak halida. Ketidaksesuaian pernyataan jurgensen dengan hasil
penelitian yang ia lakuakan melatarbelakangi munculnya teori baru yang lebih tepat dalam
menjelaskan fakta eksperimen tentang CoCl3.3NH3 yaitu teori koordinasi yang diusulkan oleh
Werner.
Alfred Werner mencetuskan teori koordinasi pada tahun 1893. Teori Koordinasi
Wener dipostulasikan dengan dua macam valensi atom logam, yaitu valensi primer dan
valensi logam. Harga valensi primer dapat dipenuhi anion itu sendiri, sedangkan harga
valensi sekunder diarahkan pada posisi tertentu dalam ruang disekitar atom pusat yang berupa
atom logam. Valensi sekunder kemudian dikenal dengan bilangan koordinasi dan dapat
dipenuhi oleh anion atau molekul netral.
Suatu kompleks dapat terbentuk dari anion dengan atom pusat atau molekul netral
yang berikatan dengan atom pusat. Struktur senyawa kompleks terbentuk berdasarkan
bilangan koordinasinya. Senyawa kompleks yang mempunyai bilangan koordinasi enam
struktur khasnya adalah oktahedral, sedangkan senyawa kompleks yang bilangan
koordinasinya empat strktur kahasnya adalah bujur sangkar atau tertahedral.
Awal keberhasilan Werner adalah dapat dijelaskannaya struktur senyawa kompleks
dari CoCl3 dengan ligan NH3 dan etliendiamina, senyawa ini diduga berstruktur oktahedral.
Metode Difraksi sinar X membuktikan dugaan Werner mengenai struktur senyawa
[Co(NH3)Cl3]. Struktur senyawa diatas terbukti lebih tepat dari stuktur rantai yang
dikemukakan oleh Jurgensen. Penjelasan struktur stereokimia senyawa kompleks serta
pemisahaan pasangan isomer optik dari senyawa kompleks oleh Werner, menghantarkan
teorinya diterima oleh sebagian besar pakar kimia di dunia.

Keberhasilan Werner selanjutnya adalah menjelasakan adanya tiga sepit pada senyawa
kompleks tris[tertraamina--dihidroksokobalt(III)]kobalt(III)bromida yang menyebabkan
senyawa tersebut dapat menunjukkan gejala isomerisme optik. Penemuan ini membuktikan
bahwa gejala isomerisme optik bukan hanya dimotori oleh atom karbon. Werner sebelumnya
juga mendobrak dominasi atom karbon terhadap timbulnya gejala isomerisme, pada
disertasinya Werner menjelaskan bahwa pada oksim gejala isomerisme disebabkan oleh
nitrogen bukan oleh karbon.
Atas dasar teori koordinasinya Werner dapat menjelaskan sifat elektrolit senyawa
kompleks. Susunan atom-atom dalam senyawa kompleks juga lebih mudah dijelaskan dengan
teori ini. Istilah senyawa kompleks untuk senyawa yang sukar dijelakan, pun menjadi kabur
sehingga senyawa kompleks sedikit tidak relevan digunakan. Namun seiring perkembangan
kimia koordinasi yang semakin kompleks, membuat istilah senyawa kompleks tetap
digunakan.
Penjelasan elektronik mengenai teori koordinasi Werner pertama kali dikemukakan
oleh Nevil Vincent Sidgwick (1873-1952). Sidgwick mengajukan tenteng kaidah bilangan
atom efektif yang berdasar dari teori oktet Lewis pada tahun 1927. Hasil penjumlahan
elektron pada atom pusat dengan elektron yang didonorkan oleh ligan-ligan disebut dengan
bilangan atom efektif. Ketentuan mengenai atom efektif, jika jumlah elektron tersebut sama
dengan elektron pada kripton (36), xenon (54), atau radon (86), maka dapat diktakan bahwa
kaidah bilangan atom efektif telah terpenuhi dan komplek itu bersifat stabil. Adapun kaidah
lain yang dapat menjelasakan masalah ini adalah kaidah 18 elektron yaitu jika konfigurasi
elektron terluar atom pusat (n-1)d10ns2np6, maka pada orbital valensi atom pusat terisi 18
elektron, dan kompleks itu bersifat stabil.
Kenyataan bahwa terdapat kecacatan pada teori ini tidak serta merta meniadakan
kaidah muatan atom efektif, kaidah ini dapat digunakan untuk meramalkan kestabilan
senyawa yang belum disintesis. Kecendrungan senyawa yang memenuhi kaidah bilangan
atom efektif adalah lebih mudah disintesis dari pada senyawa yang tidak memenuhi kaidah
ini. Hal ini karena tingkat kestabilan senyawa tersebut lebih tinggi.
Tumbuh dan berkembangnya teori pada tahun sebelum 1930 juga dipengaruhi oleh
masifnya perkembangan bidang lain dalam kimia sehingga tidak jarang penemu teori
koordinasi juga memiliki minat pada cabang ilmu kimia yang lain. Berdasarkan

perkembangan teori koordinasi ini dapat diketahui bahwa para peneliti terdahulu saling
bersinergi terhadap adanya teori koordinasi yang ada sekarang.

Anda mungkin juga menyukai