Anda di halaman 1dari 58

I.

SKENARIO B BLOK XVII


Andri, anak laki-laki, usia 10 tahun, dibawa ibunya ke emergensi RSMH anak karena BAK
merah dan sakit kepala. Sejak 2 hari yang lalu tiba-tiba BAK anak berwarna merah seperti air
cucian daging. Frekuensi dan volume kencing dirasakan masih seperti biasa. Anak juga mengeluh
sakit kepala. Makan dan minum seperti biasa. Anak belum dibawa berobat. Sejak 1 hari yang lalu
anak masih mengeluh sakit kepala. Ibu melihat kelopak mata anaknya sembab. Frekuensi kencing
lebih jarang dan volume kencing berkurang sejak semalam. Anak dibawa ke puskesmas, kemudian
dirujuk ke rumah sakit.
Riwayat kira-kira 2 minggu sebelumnya anak mengalami demam dan sakit tenggorokan, anak
dibawa berobat ke puskesmas, keluhan kemudian membaik.
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit yang sama di keluarga
disangkal.
Pada pemeriksaan fisik:
Anak tampak sakit sedang, suhu 37oC, nadi 100x/menit, pernafasan 28x/menit, TD 130/80 mmHg
BB = 35 kg, TB = 140 cm. Pada mata tampak palpebra edema, paru dan jantung dalam batas
normal, Pemeriksaan abdomen cembung, lemas, hepar/lien tidak teraba, pemeriksaan shifting
dullness positif. Pemeriksaan ekstremitas: pitting edema pre tibial dan dorsum pedis +/+.
Hasil pemeriksaan laboratorium rutin sebagai berikut:
Hematologi: Hb: 10 g/dl, leukosit: 9000/mm3, trombosit: 220.000/mm3
Ureum: 90 mg/dl, kreatinin: 1,8 mg/dl, ASTO positif, komplemen C3: 10
Urinalisis: warna merah, proteinuria +1, leukosit 10-15/lpb, eritrosit penuh, silinder eritrosit positif.
II. KLARIFIKASI ISTILAH
1. BAK merah (Hematuria): Kondisi adanya darah di dalam urin yang menyebabkan urin berubah
2.

warna menjadi kemerahan atau sedikit kecoklatan.


ASTO (Anti terhadap Streptolisin O): Substansi yang diproduksi dari grup A streptococcus

3.

bakteri.
Kompelemen C3: Tes darah untuk menghitung aktivitas dari protein tertentu yang merupakan
dari sistem komplemen. Sistem komplemen adalah kelompok protein yang bergerak bebas
melalui pembuluh darah dan berkerja dengan sistem imun berperan dalam sistem inflamasi. C3

4.

merupakan nephritic factor.


Silinder eritrosit: Bagian dari urinary cast adalah partikel kecil berbentuk silinder yang dapat
ditemukan dalam pemeriksaan mikroskopis urin dalam hal ini berisi eritrosit yang

5.

mengindikasikan adanya jumlah eritrosit yang berlebihan.


Proteinuria: Suatu kondisi dimana terlalu banyak protein dalam urin yang dihasilkan dari

6.

adanya kerusakan ginjal.


Pitting edema: Edema yang menunjukkan adanya cekungan yang terbentuk pada jaringan

7.

secara berkepanjangan yang dihasilkan oleh tekanan.


Sakit kepala: Rasa sakit di bagian kepala dia atas mata atau telinga, belakang kepala (occipital),
atau di belakang leher bagian atas.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |1

8.
9.
10.
11.

Oliguria: Produksi atau sekresi urin yang berkurang dalam hubungannya dengan asupan cairan.
Edema palpebral: Pengumpulan cairan secara abnormal di kelopak mata.
Demam: Suatu kondisi saat suhu badan melebihi 37,5 oC.
Sakit tenggorokan: Suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan dari faring, yang

biasanya menyebabkan rasa sakit ketika menelan.


12. Shifting dullness positif: Adanya cairan dalam abdomen yang diketahui dari pemeriksaan
perkusi
III. IDENTIFIKASI MASALAH
IV.

A
Kalimat
1

Prioritas

Andri, anak laki-laki, usia 10 tahun, dibawa ibunya ke emergensi RSMH


anak karena BAK merah dan sakit kepala.

A
***

daging dengan keluhan tambahan sakit kepala. Frekuensi dan volume


kencing dirasakan masih seperti biasa.
Sejak 1 hari yang lalu anak masih mengeluh sakit kepala dengan kelopak
mata sembab dan frekuensi dan volume kencing yang berkurang.
Riwayat 2 minggu yang lalu anak menderita demam dan sakit tenggorokan
dan anak tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya begitu

L
IS

Sejak 2 hari yang lalu tiba-tiba BAK anak berwana merah sepeti air cucian
2

**

IS

**

pula keluarganya
Pada pemeriksaan fisik:
Anak tampak sakit sedang, suhu 37oC, nadi 100x/menit, pernafasan
28x/menit, TD 130/80 mmHg BB = 35 kg, TB = 140 cm. Pada mata
5

tampak palpebra edema, paru dan jantung dalam batas normal,

Pemeriksaan abdomen cembung, lemas, hepar/lien tidak teraba,


pemeriksaan shifting dullness positif. Pemeriksaan ekstremitas: pitting

edema pre tibial dan dorsum pedis +/+.


Hasil pemeriksaan laboratorium rutin sebagai berikut:
Hematologi: Hb: 10 g/dl, leukosit: 9000/mm3, trombosit: 220.000/mm3
Ureum: 90 mg/dl, kreatinin: 1,8 mg/dl, ASTO positif, komplemen C3: 10
Urinalisis: warna merah, proteinuria +1, leukosit 10-15/lpb, eritrosit penuh,

silinder eritrosit positif.


MASALAH :
1. Andri, anak laki-laki, usia 10 tahun, dibawa ibunya ke emergensi RSMH anak karena BAK
merah dan sakit kepala.
a. Adakah hubungan antara umur dan jenis kelamin terhadap kasus?
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak berusia 2-12 tahun, dengan prevalensi
puncak pada individu berusia sekitar 5-6 tahun,

meskipun telah dilaporkan pada bayi

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |2

semuda 1 tahun dan pada orang dewasa setua 90 tahun. Namun, dalam seri yang paling
besar, 5-10% dari pasien yang lebih tua dari 40 tahun, dan 5% lebih muda dari 2 tahun.
Kelompok usia yang paling sering terkena adalah mereka yang berusia 5-20 tahun,
meskipun di negara maju, penyakit ini sebagian besar terlihat pada laki-laki putih, sekitar
dekade kelima kehidupan.
Meskipun dominasi laki-laki dicatat dalam kasus simptomatik (rasio laki-lakiperempuan, 1,7-2: 1) untuk alasan yang tidak diketahui (APSGN terlihat dominan pada lakilaki), ketika penyakit subklinis dan klinis diperhitungkan, jumlahnya sama pada laki-laki
dan perempuan.
Tidak ada predileksi ras tercatat untuk glomerulonefritis poststreptococcal akut; kondisi
ini dilaporkan pada semua kelompok etnis dan budaya. Pada populasi perkotaan, predileksi
terhadap populasi minoritas yang diamati; Namun, ini mungkin terkait lebih ke faktor sosial
ekonomi dari kepadatan penduduk daripada predileksi rasial. Di negara maju, APSGN
mempengaruhi laki-laki kulit putih terutama usia tua, lebih sering sekitar dekade kelima
kehidupan. Di negara berkembang, penyakit ini terlihat terutama pada anak-anak kulit
hitam, terutama laki-laki. (medscape, update may, 2015)
b. Bagaimana mekanisme terjadinya BAK merah dan sakit kepala?
Sakit kepala
Kerusakan Glomerulus penurunan filtrasi glomerulus penurunan reabsorbsi di tubulus
proksimal peningkatan reabsorbsi di tubulus Distal Retensi Na dan Air peningkatan
volume intravaskular Hipertensi menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
sakit kepala
BAK merah
Hematuri makroskopik berupa urin coklat kemerah-merahan seperti teh tua / air cucian
daging biasanya muncul pada minggu pertama. Hematuri makroskopik muncul pada 3050% kasus, sedangkan hematuri mikroskopik ditemui pada hampir semua kasus.
Sel darah merah terlepas dari kapiler glomerulus melalui celah-celah dindingkapiler
yang tidak dapat terlihat walaupun dengan pemeriksaan mikroskop electron.
Sel darah merah dapat masuk ke ruang urinari dari glomerulus atau, jarang dari tubulus
renalis. Gangguan barier filtrasi glomerulus dapat disebabkan abnormalitas turunan atau
didapat pada struktur dan integritas dinding kapiler glomerulus. Sel darah merah ini dapat
terjebak pada mukoprotein tamm-horsfall dan akan bermanifestasi sebagai silinder sel darah
merah pada urin. Temuan silinder pada urin merupakan masalah signifikan pada tingkat
glomerular. Meskipun demikian, pada penyakit nefron, silinder dapat tidak ditemukan dan
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |3

hanya ditemukan sel darah merah terisolasi. Adanya proteinuri membantu menunjang
perkiraan bahwa kehilangan darah berasal dari glomerulus.
Hematuria tanpa proteinuria atau silinder diistilahkan sebagai hematuria terisolasi
(isolated hematuria). Meskipun beberapa penyakit glomerular dapat mengakibatkan
hematuria terisolasi, penemuan ini lebih konsisten pada perdarahan ekstraglomerular. Setiap
yang mengganggu epitelium seperti iritasi, inflamasi, atau invasi, dapat mengakibatkan
adanya sel darah normal pada urin. Gangguan lain termasuk keganasan, batu ginjal, trauma,
infeksi, dan medikasi. Juga, penyebab kehilangan darah non glomerular, seperti tumor
ginjal, kista ginjal, infark dan malformasi arteri-vena, dapat menyebabkan hilangnya darah
masuk kedalam ruang urinary.
c.

Adakah hubungan infeksi dengan keluhan pada kasus?


Pada kasus ditemukan riwayat demam dan sakit tenggorokan 2 minggu yang lalu menjadi
salah satu hal penting yang didapatkan dari anamnesis untuk menegakan diagnosis pasien
saat ini. Demam dan sakit tenggorokan menununjukkan bahwa pada 2 minggu yang lalu
pasien menderita infeksi traktus repiratorius bagian atas yang salas satunya penyebabnya
adalah oleh bakteri Streptococcus beta hemolitikus grup A.
Kumpulan keluhan/gejala yang dialami oleh Andri (Sindroma Nefritik Akut) dapat
disebabkan oleh beberapa faktor : 1) infeksi, 2) penyakit multisistemik, 3) penyakit ginjal
primer, 4) Nefropati IgA. Glomerulonefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus
(GNAPS) merupakan faktor infeksi penyebab SNA. Glomerulonefritis akut biasanya
didahului oleh infeksi ekstra-renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan
streptococcal skin infection di kulit (impetigo) oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A tipe 12, 4, 16, 25, dan 29. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25
paling sering menyebabkan glomerulonefritis karena lebih bersifat nefritogenik (strain
nefritogenik yang dindingnya mengandung protein M dan T). Antara infeksi bakteri dan
timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang lebih 10 hari, setelah itu
baru menimbulkan gejala-gejala SNA.
Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama
kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya glomerulonefritis akut setelah
infeksi scarlet fever, diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus grup A, dan
meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Jadi, Andri mengalami GNAPS ditegakkan dengan adanya riwayat demam dan sakit
tenggorokan 2 minggu yang lalu. menununjukkan bahwa pada 2 minggu yang lalu pasien
menderita infeksi traktus repiratorius bagian atas.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |4

2. Sejak 2 hari yang lalu tiba-tiba BAK anak berwana merah sepeti air cucian daging dengan
keluhan tambahan sakit kepala. Frekuensi dan volume kencing dirasakan masih seperti
biasa.
a. Apa penyebab dan mekanisme dari BAK merah seperti cucian daging?
Hematuri makroskopik berupa urin coklat kemerah-merahan seperti teh tua / air cucian
daging biasanya muncul pada minggu pertama. Hematuri makroskopik muncul pada 30
50 % kasus, sedangkan hematuri mikroskopik ditemui pada hampir semua kasus.
Sel darah merah terlepas dari kapiler glomerulus melalui celah-celah dindingkapiler yang
tidak dapat terlihat walaupun dengan pemeriksaan mikroskop electron.
Sel darah merah dapat masuk ke ruang urinari dari glomerulus atau, jarang dari tubulus
renalis. Gangguan barier filtrasi glomerulus dapat disebabkan abnormalitas turunan atau
didapat pada struktur dan integritas dinding kapiler glomerulus. Sel darah merah ini dapat
terjebak pada mukoprotein tamm-horsfall dan akan bermanifestasi sebagai silinder sel darah
merah pada urin. Temuan silinder pada urin merupakan masalah signifikan pada tingkat
glomerular. Meskipun demikian, pada penyakit nefron, silinder dapat tidak ditemukan dan
hanya ditemukan sel darah merah terisolasi. Adanya proteinuri membantu menunjang
perkiraan bahwa kehilangan darah berasal dari glomerulus.
Hematuria tanpa proteinuria atau silinder diistilahkan sebagai hematuria terisolasi (isolated
hematuria). Meskipun beberapa penyakit glomerular dapat mengakibatkan hematuria
terisolasi, penemuan ini lebih konsisten pada perdarahan ekstraglomerular. Setiap yang
mengganggu epitelium seperti iritasi, inflamasi, atau invasi, dapat mengakibatkan adanya sel
darah normal pada urin. Gangguan lain termasuk keganasan, batu ginjal, trauma, infeksi, dan
medikasi. Juga, penyebab kehilangan darah non glomerular, seperti tumor ginjal, kista
ginjal, infark dan malformasi arteri-vena, dapat menyebabkan hilangnya darah masuk
kedalam ruang urinary.
b. Kondisi medis apa saja yang dapat menyebabkan BAK merah seperti cucian daging?
Glomerulonefritis pascastreptokokus, Endokarditis bakteri subakut, nefritis akut, penyakit
anti-membran basal glomerulus, nefropati IgA, purpura Henoch-Schoenlein.
c.

Kenapa keluhan andri datang 2 hari yang lalu?


Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus
dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu umumnya
terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |5

infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini
berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain,
seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schenlein atau Benign recurrent haematuria.
3. Sejak 1 hari yang lalu anak masih mengeluh sakit kepala dengan kelopak mata sembab dan
frekuensi dan volume kencing yang berkurang.
a. Berapa frekuensi dan volume BAK normal dalam 1 hari? Fisiologi BAK?
Kapasitas buli-buli = [umur(tahun) + 2] x 30 ml
= [10+2] x 30
= 360 ml
Frekuensi normal berkemih sehari = 3-4 kali/hari
Fisiologi berkemih :
Pembentukan urine adalah fungsi ginjal yang paling esensial dalam mempertahankan
homeostatis tubuh. pada orang dewasa sehat lebih kurang 1200ml darah, atau 25% cardiac
output, mengalir ke kedua ginjal. pada keadaan tertentu, aliran darah ke ginjal dapat
meningkat hingga 30% (pada saat latihan fisik) dan menurun hingga 12% dari cardiac output.
Kapiler glomeruli berdinding porous (berlurbang-lubang), yang memungkinkan
terjadinya filtrasi cairan dalam jumlah besar (180 l/hari). molekul yang berukuran kecil (air,
elektrolit, dan sisa metabolisme tubuh, diantaranya kreatinin dan uremum) akan difiltras dari
darah, sedangkan molekul berukuran leih besar (protein dna sel darah) tetap tertahan di dalam
darah. oleh karena itu komposisi cairan filtrat akan direabsorbsi dan beberapa elektrolit kan
mengalami sekresi di tubulus ginjal, yang kemudian menghasilkan urine yang akan disalurkan
melalui duktus kolengentes. cairan urine tersebut disalurkan ke dalam sistem kalises hingga
pelvis ginjal.
b. Mengapa frekuensi kencing jarang sedangkan minum masih seperti biasa?
Streptokokkus terbawa dalam sirkulasi yang akhirnya mengundang antibody dankomplemen
serta system imun non spesifik lain dan membentuk kompleks imun yang kemudian terjebak
dalam glomerulus (karena ukuran kompleks imun yang lebih besar dibandingkan dengan
membrane basalis glomerulus) yang akhirnya mengakibatkan terjadinya proses inflamasi
sehingga mengganggu proses filtrasi glomerulus yang berakibat pada hematuria dikarenakan
eritrosit tidak dapat difiltrasikan dengan benar pada MBG. Hal ini menyebabkan ginjal
mengalami iskemik jaringan dikarenakan jumlah eritrosit yang berkurang pada arteri renalis.
Hal ini berakibat pada vasokontriksi pembuluh darah yang dipengaruhi oleh system renin
angiotensin-aldosteron dan menyebabkan tretensi cairan dan natrium ke jaringan interstisial
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |6

dan berakhir pada edema generalisata sehingga kadar cairan dalam tubuh tidak dapat
dieksresikan dengan baik melalui ginjal karena pada tahap ini telah terjadi penurunan laju
filtrasi glomerulus.
c. Apakah hubungan frekuensi dan volme urin yang bekurang dengan edema?
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi glomeruli
berkurang, sedangkan aliran darah

ke ginjal biasanya

normal. Hal tersebut akan

menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1% .Keadaan ini akan menyebabkan
reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang menyebabkan tubulus distalis meningkatkan
proses reabsorbsinya, termasuk Na, Sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air.
Retensi Na dan air ini akan menyebabkan terjadinya edema dan berdapak pada berkurangnya
frekuensi miksi dan volume urin yang dikeluarkan oleh tubuh.
d. Adakah hubungan frekuensi dan volume urin yang berkurang dengan hematuria?
Pada orang yang menderita glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus akan mengalami
gross hematuria atau disebut juga hematuria mikroskopis, pengeluaran darah yang berlebihan
ini akan mempengaruhi laju filtrasi ginjal sehingga urin yang dihasilkan juga menurun
(oliguria).
e. Bagaimana mekanisme terjadinya edema di kelopak mata?
Mekanisme underfilling. Pada mekanisme underfilling, terjadinya edema disebabkan
rendahnya kadar albumin serum yang mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma,
kemudian akan diikuti peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang interstitial sesuai
dengan hukum Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan berkurang (underfilling)
yang selanjutnya mengakibatkan perangsangan sekunder sistem renin-angiotensin-aldosteron
yang meretensi natrium dan air pada tubulus distalis.
Edema yang disebabkan oleh hipoalbuminemia secara khas akan terlihat menyeluruh
(generalisata), tetapi paling jelas pada jaringan kelopak mata serta muka yang sangat lunak
dan cenderung semakin mencolok di pagi hari karena posisi tubuh berbaring pada malam
harinya.
f. Apakah dengan makan dan minum seperti biasa dapat memperparah kondisi andri?
Pada hipertensi ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan
darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Jumlah garam yang diberikan perlu
diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema
ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum
meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik,
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |7

terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang
dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25
ml/kgbb/ hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10
ml/kgbb/hari).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada kasus andri membutuhkan pembatasan
cairan, agar tidak memperparah hipertensi dan juga edema.
4. Riwayat 2 minggu yang lalu anak menderita demam dan sakit tenggorokan dan anak tidak
pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya begitu pula keluarganya.
a. Adakah hubungan riwayat 2 minggu yang lalu dengan sekarang? Jelaskan!
Riwayat menderita demam dan sakit tenggorokan 2 minggu yang lalu menjadi salah
satu hal penting yang didapatkan dari anamnesis untuk menegakan diagnosis pasien saat ini.
Demam dan sakit tenggorokan menununjukkan bahwa pada 2 minggu yang lalu pasien
menderita infeksi traktus repiratorius bagian atas yang salas satunya penyebabnya adalah oleh
bakteri Streptococcus beta hemolitikus grup A.
Kumpulan keluhan/gejala yang dialami oleh Andri (Sindroma Nefritik Akut) dapat
disebabkan oleh beberapa faktor : 1) infeksi, 2) penyakit multisistemik, 3) penyakit ginjal
primer, 4) Nefropati IgA. Glomerulonefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus
(GNAPS) merupakan faktor infeksi penyebab SNA. Glomerulonefritis akut biasanya
didahului oleh infeksi ekstra-renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan
streptococcal skin infection di kulit (impetigo) oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A tipe 12, 4, 16, 25, dan 29. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25
paling sering menyebabkan glomerulonefritis karena lebih bersifat nefritogenik (strain
nefritogenik yang dindingnya mengandung protein M dan T). Antara infeksi bakteri dan
timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang lebih 10 hari, setelah itu
baru menimbulkan gejala-gejala SNA.
Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan
pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya glomerulonefritis akut
setelah infeksi scarlet fever, diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus grup A, dan
meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Jadi, dengan mengetahui riwayat demam dan sakit tenggorokan 2 minggu yang lalu
dapat diperkirakan bahwa Andri mengalami GNAPS, yang ditegakkan dengan adanya riwayat
demam & sakit tenggorokan 2 minggu yang lalu.
b. Mengapa ditanyakan riwayat keluarga?
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |8

Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya penyakit dengan ditemukannya HLA-D dan
HLA-DR.
5. Pada pemeriksaan fisik:
Anak tampak sakit sedang, suhu 37oC, nadi 100x/menit, pernafasan 28x/menit, TD 130/80
mmHg BB = 35 kg, TB = 140 cm. Pada mata tampak palpebra edema, paru dan jantung
dalam batas normal, Pemeriksaan abdomen cembung, lemas, hepar/lien tidak teraba,
pemeriksaan shifting dullness positif. Pemeriksaan ekstremitas: pitting edema pre tibial dan
dorsum pedis +/+.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan fisik?
Keterangan

Kasus

Nilai Normal

Interpretasi

Keadaan umum

Sakit sedang

Suhu

37 oC

36,5-37,5oC

Normal

Tekanan Darah

130/80

80-110/ 50-80

Meningkat. Kerusakan glomerulus

Sakit sedang

hipoperfusi ginjal aktivasi


sistem

renin-angiotensin

penurunan laju filtrasi glomerulus


eksresi air, elektrolit dan nitrogen
menurun

Angiotensin

merangsang

korteks

II

adrenal

melepaskan aldosteron retensi air


dan garam hipervolemia
hipertensi
Nadi

100 x/menit

60-100 x/menit Normal

Respiratory rate

28 x/menit

18-26 x/menit

Tachypnea.
Diawali

reaksi

inflamasi

di

glomerulus oleh Glomerulonefritis


poststreptokokkus akut banyak
glomeruli tersumbat dan laju filtrasi
darah

ke

ginjal

menurun

pengaktivan sistem RAA berlebihan

hipertensi , retens air & garam


pada jaringan ikat longgar dimata
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |9

dan tungkai bawah edema,


fungsi ginjal menurun eritropoetin
menurun anemia --->kurang
darah kurang O2 tacypnea
Berat badan

35 kg

IMT 17,85

Underweight

Edema

Pada

Tidak ada

Tidak normal. Menandakan adanya

palpebra,

retensi cairan.

kedua
tungkai

dan

telapak kaki
Paru dan

Dalam batas Dalam

Jantung

normal

normal

organ.

Abdomen

Cembung

Datar

Tidak normal.

Hepar dan Lien

Tidak teraba

Tidek teraba

Normal.

Shifting

(+)

(-)

Tidak normal. Hal ini menandakan

Dullness
Pitting edema

batas Normal. Tidak terdapat pembesaran

adanya asites.
Pre tibial dan -/-

Tidak normal. Menandakan adanya

dorsum pedis

retensi cairan.

+/+
b. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan shifting dullness?
Pasien diminta berbaring dan membuka baju
Lakukan perkusi dari umbilikus ke sisi lateral
Apabila terdapat perubahan suara dari timpani ke redup, tandai tempat terjadinya
perubahan suara tersebut
Minta pasing miring ke arah kontralateral dari arah perkusi. Tunggu 30 - 60 detik

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |10

Lakukan perkusi kembali pada daerah yang ditandai tadi sampai terjadi perubahan bunyi
dari redup ke timpani

c. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan edema pretibia dan dorsum pedis?


Tekan dengan ibu jari kanan Anda di atas tulang berikut selama 30 detik (minimal 5 detik)
supaya terbentuk depresi (pitting edema) dan menunggu selama 15 detik supaya cekungan
(jika terbentuk) menghilang:
malleouls medial
5 cm di atas maleolus medial
garas tibia

sakrum
costae atau sternum
Dahi (Dalam kasus anasacra)

waktu pemulihan Pitting:


1. Tekan dengan kuat sampai ke tulang. Mulai stopwatch.
2. Menyinari di singgung di pit dan tidak menyebut waktu pemulihan pit sampai tidak ada
bayangan yang tersisa di mana saja di daerah pit.
3. Interpretasi: Pada edema akut (durasi <3 bulan) terkait dengan hipoalbuminemia, pitting
waktu pemulihan adalah <40 detik
Catatan: Cairan terakumulasi tergantung dari bagian

dari tubuh, maka tanda sering

ditimbulkan di kaki pada pasien dalam posisi duduk dan sacrum pada pasien dengan posisi
terbaring di tempat tidur.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |11

d. Bagaimana klasifikasi dari pitting edema? (Bianca, egi)


Derajat edema :
1+ : menekan sedalam 2mm akan kembali dengan cepat
2+ : menekan lebih dalam (4mm) dan akan kembali dalam waktu 10-15 detik
3+ : menekan lebih dalam (6mm) akan kemabli dalam waktu >1 menit, tampak bengkak
4+ : menekan lebih dalam lagi (8mm) akan kembali dalam waktu 2-5 menit, tampak sangat
bengkak yang nyata
6. Hasil pemeriksaan laboratorium rutin sebagai berikut:
Hematologi: Hb: 10 g/dl, leukosit: 9000/mm3, trombosit: 220.000/mm3
Ureum: 90 mg/dl, kreatinin: 1,8 mg/dl, ASTO positif, komplemen C3: 10
Urinalisis: warna merah, proteinuria +1, leukosit 10-15/lpb, eritrosit penuh, silinder eritrosit
positif.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas pemeriksaan laboratorium rutin?
Pemeriksaan
Hb 10 gr/dl

Normal
11,5-14,5gr/dl

Interpretasi
Anemia

Mekanisme
Kebocoran

kapiler

glomerulus

menyebabkan sel darah merah dapat


keluar ke dalam urine yang sedang
dibentuk oleh ginjal sehingga terjadi
anemia

Leukosit 9000/ mm3 5.000 15.000/ Normal


Trombosit

mm3
150.000-

220.000/mm3

350.000/mm3

Ureum 90 mg/dl

20-40 mg/dl

Normal

Meningkat

Akibat adanya penurunan GFR dan


kemampuan filtrasi ginjal

Kreatinin 1,8 mg/dl 0,4 -1,2 mg/dl

Meningkat

Akibat adanya penurunan GFR dan


kemampuan filtrasi ginjal

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |12

ASTO Positif

Abnormal

Infeksi

streptococcus

hemoliticus

sehingga terjadinya peningkatan titer


antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO).
Peningkatan ini terjadi 10- 14 hari setelah
Urin bewarna

Kuning jernih

cucian daging
Proteinuria (+1)

Hematuria

infeksi streptokokus.
Adanya eritrosit yang keluar bersama

makroskopis dengan urine akibat kebocoran kapiler


Negatif

Proteinuria

glomerulus
Infeksi streptococcus

terbentuk

kompleks antigen antibodi di dalam darah


beredar di sirkulasi masuk ke
sirkulasi glomerulus dan membran basalis
komplemen teraktifasi peradangan
fagositosis dan pelepasan lisosom
kerusakan endotel dan membran basalis
kebocoran kapiler glomerulus
kerusakan glomerulus laju filtrasi
glomerulus menurun protein dan sel
eritrosit banyak keluar hematuri dan
Leukosit 10-15/LPB Negatif

proteinuria

b. Bagaimana gambaran dari silinder eritosit?

c. Berapa GFR Andri dan interpretasinya?

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |13

Glomerular Filtration Rate (GFR) Andri rendah. GFR normal adalah sebesar 90
ml/min/17.3m2.
d. Bagaimana pathogenesis ASTO?
Streptolisin o dihasilkan oleh bakteri streptococcus grup A. Pemeriksaan ASTO berguna untuk
mengukur kadar antibodi terhadap zat tersebut. Kuman tersebut menghasilkan berbagai
produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibodi. Sifat antobodi yang
dihasilkan tidak membunuh kuman tersebut seutuhnya, namun mampu memberikan gambaran
tubuh yang tengah terinfeksi.
e. Bagaimana pathogenesis komplemen C3?
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam
proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara
sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1 C globulin) yang paling sering
diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 8092% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama
fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah
4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3
ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada
glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus.

7. Hipotesis:
Andri 10 tahun dibawa ke RSMH karena BAK merah dan sakit kepala menderita
Sindroma nephritic ec infeksi post streptococcal.
a. Etiologi
Glomerulonefritis akut paska streptokokus menyerang anak umur 5 15 tahun, anak
laki laki berpeluang menderita 2 kali lebih sering dibanding anak perempuan , timbul
setelah 9 11 hari awitan infeksi streptokokus.( Noer . 2006. Nelson .2002 ) Timbulnya GNA

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |14

didahului oleh infeksi bakteri streptokokus ekstra renal, terutama infeksi di traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh bakteri streptokokus golongan A tipe 4, 12, 25.
b. Epidemiologi
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik atau
sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1.3 Di Indonesia, penelitian multisenter
selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit
pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak
menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6%).
c. Patofisiologi
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi
glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut
akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah1%.Keadaan ini akan
menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan tubulus
distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan
retensi Na dan air.Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air
didukung oleh keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air,
sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi.Efek proteinuria yang terjadi pada
GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang
mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik
hormon (ADH) tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga
hormon tersebut meningkat.
d. Manifestasi klinis
Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik atau tipikal diawali
dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului timbulnya
sembab.
Periode laten rata-rata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit. Hematuria
dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikroskopik. Gross hematuria terjadipada 30-50
% pasien yang dirawat. Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai seperti demam, malaise,
nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu. Pada pemeriksaan fisis dijumpai
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |15

hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada
GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun perlahanlahan dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem pretibial atau berupa
gambaran sindrom nefrotik. Asites dijumpai pada sekitar 35% pasien dengan edem.
Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan takipne dan dispne. Gejala gejala tersebut
dapat disertai oliguria sampai anuria karena penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
e. Diagnosis banding
Glomerulonefritis kronik dengan eksaserbasi akut
Purpura Henoch-Schoenlein yang mengenai ginjal
Hematuria idiopayik
Nefritis herediter (sindrom Alport)
Lupus eritematosus sistemik
f. Cara penegakkan diagnosis
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan
gejalan klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut
setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya
infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti
untuk

menegakkan

diagnosis.

Tetapi

beberapa

keadaan

lain

dapat

menyerupai

glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan


glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria
nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut
pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada
saat faringitas (synpharyngetic hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut
pascastreptokok hematuria timbul 10 hari setelah faringitas; sedangkan hipertensi dan sembab
jarang tampak pada nefropati-IgA.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria
makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik
yang menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis
lupus, dan glomerulonefritis proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut
pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit.
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya cepat membaik
(hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik dan proteinuria masih
lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada
glomerulonefritis kronik. Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |16

tanda (marker) yang penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok


dengan glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal
dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada
glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama.kadar awal C3 <50 mg/dl sedangkan kadar ASTO
> 100 kesatuan Todd.
Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat
infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis
membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan
biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal
dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan
indikasi.
g. Diagnosis kerja
Anamnesis
a. Riwayat batuk-pilek 1-2 minggu atau riwayat koreng pada kulit (impetigo) 3-4 minggu
sebelum timbul gejala
b. Dijumpai riwayat kontak dengan keluarga yang menderita GNAPS (pada suatu epidemi)
Pemeriksaan fisik ditemukan
a. Edema
b. Hipertensi
c. Gejala-gejala kongesti vaskuler (sesak, edema paru, kardiomegali)
d. Gejala sistem saraf pusat (penglihatan kabur, kejang; penurunan kesadaran)

Pemeriksaan laboratorium ditemukan


a. Kelainan urinalis minimal
Hematuria (makroskopik/gross hematuria, mikroskopik)
Proteinuria
b. ASTO > 200 IU
c. Titer C3 rendah (<80 mg/dl) (hipokomplementemia)
d. Anemia, peningkatan laju endap darah

e. Penurunan fungsi ginjal (ureum/kreatinin meningkat)


h. Prognosis
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada komplikasi,
sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun sangat jarang, GNAPS
dapat kambuh kembali. Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |17

akut yang berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala
laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada
anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75%
GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara histologik atau
laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk ke dalam proses kronik,
sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis
GNAPS baik, kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut
(Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.
i. Komplikasi
Komplikasi akut yang paling sering adalah hipertensi dengan atau tanpa gejala sistem syaraf
pusat. Sembab paru diderita oleh beberapa pasien akibat meningkatnya volume intravaskular
yang berlangsung pada awal penyakit. Gagal jantung kongestif dan myokarditis jarang
dijumpai. Azotemia yang menetap atau memburuk selalu merupakan masalah dan merupakan
gagal ginjal akut. Gagal ginjal akut dapat memberikan petunjuk adanya diagnosis yang lain,
seperti misalnya glomerulonefritis proliferasi membranosa, purpura Henoch-Schnlein, lupus
eritematosus sistemik, atau GNAPS yang memburuk, seperti pada glomerulonefritis progresif
cepat.
j. Tatalaksana
1. Istirahat ditempat tidur sampai gejala-gejala edema, kongesti vaskuler (dispnu, edema
paru, kardiomegali, hipertensi) menghilang.
2. Diet: Masukan garam(0,5-1 g/hari) dan cairan dibatasi selama edema, oliguria atau gejala
kongesti vaskuler dijumpai. Protein dibatasi (0,5/kg BB/hari) bila kadar ureum diatas 50
gram/dl.
3. Diuretika: Furosemide
4. Antihipertensif: Captopril
5. Antibiotika: PP atau eritromisin selama 10 hari untuk eradikasi kuman
k. SKDI
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberijan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menetukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |18

l. Pemeriksaan tambahan dan penunjang


a. Kelainan urinalisis minimal atau hematuria, proteinuria, silinderuria
b. ASTO > 200 IU, titer C3 rendah (<80 mg/dl), C4 biasanya normal
c. Gambaran kimia darah menunjukan;
kadar BUN, kreatinin serum, dapat normal atau meningkat, elektrolit darah (Na, K, Ca,
P, Cl) dapat normal atau terganggu
Kadar kolestrol biasanya normal
kadar protein total dan albumin dapat normal atau sedikit merendah
kadar globulin biasanya normal
d. Biakan apusan tenggorok/keropeng kulit positif untuk kuman Streptococcus B hemoliticus.
ASTO > 200 IU. Hematuria, proteinuria, dan silinderuria. Kadar CH50 dan C3 merendah
(<80 mg/dl), pada evaluasi lebih lanjut menjadi normal 6-8 minggu dari onset penyakit.
m.Pencegahan
Terapi infeksi streptokokus tidak mencegah GNAPS, namun bila pasien masih dalam keadaan
infeksi aktif, antibiotik harus diberikan. Hanya sedikit pasien dengan GNPS atau GN pasca
infeksi lain yang berlanjut menjadi ESRD.
V. LEARNING ISSUE
1. Anatomi traktus urinarius (ginjal)

Ginjal
Ginjal terletak di rongga retroperitoneale di dinding posterior abdomen di belakang peritonium
parietale. Selain ginjal, organ seperti ureter, kelenjar aderenal serta arteri dan vena testicularis
(ovarica) terletak dalam rongga peritonium. Dinding belakang ginjal dibentuk oleh 3 otot yaitu:
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |19

1. M. Psoas mayor
2. M. Quadratus lumborum
3. Origo m. Tranversus abdominis
Permukaan anterior masing-masing otot di atas diliputi oleh jaringan ikat lemak yang berfungsi
sebagai bantalan bagi ginjal, kelenjar adrenal dan kolon.
Ginjal kanan terletak lebih rendah (T12) daripada ginjal kiri (T 11) karena adanya lobus hepar
pada sebelah kanan. Letak ginjal dapat turun sampai 2,5 cm apabila diafragma berkontraksi
sewaktu bernafas. Kedua margo medialis ginjal berbentuk cekung sebagai tempat masuk
pembuluh darah, syaraf, pembuluh limfa dan ureter (hilum renale). Hilum renale dilalui oleh
vena, 2 cabang arteri, ureter dan arteri secara berurutan dari depan ke belakang.
Ginjal dilapisi oleh 4 lapisan yaitu:
1.
2.
3.
4.

Capsula fibrosa
Capsula adiposa
Fascia renalis
Corpus adiposum pararenale

Struktur ginjal terdiri dari cortex yang berwarna merah gelap di bagian luar dan medulla di
bagian dalam yang berwarna lebih terang dibanding warna cortex. Medula renalis terdiri dari
piramid renalis yang mempunyai basis menghadap ke cortex dan apex (papilla renalis) yang
menghadap ke medulla.
Hilum renalis akan masuk ke dalam ginjal membentuk sinus renalis. Sinus renalis merupakan
suatu pelebaran ureter yang biasa disebut pelvis renalis. Pelvis renalis terdiri dari beberapa calyx
mayor yang masing masing akan becabang menjadi calyx minor.
Urutan pembuluh arteri yang memasuki ginjal:
Arteri renalir arteri segmentalis arteri lobaris arteri interlobaris arteri arcuata
arteri interlobularis arteriole aferen
Serabut saraf aferen yang mempersyrafi ginjal berasal dari medulla spinalis melalui nervus T10
T12.
Ureter
Ureter merupakan suau saluran muskular sepanjang 25 cm yang befungsi untuk menyalurkan
urin dari ginjal ke vesika urinaria. Ureter mendorong urin yang telah terbentuk ke vesica urinaria
melalui gerakan peristaltik. Hal ini disebabkan karena dalam perjalanannya ureter mengalami 3
penyempitan yaitu:
1.
2.
3.

Di tempat pelvis renalis berhubungan dengan ureter


Saat ureter masuk ke rongga pelvis melalui apertura pelvis superior
Saat ureter menembus dinding vesika urinaria

Vesica urinaria
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |20

Vesica urinaria terletak tepat dibelakang pubis yang pada orang dewasa volume maksimalnya
sekitar 500 ml. Vesica urinaria yang kosong pada orang dewasa seluruhnya terletak pada rongga
pelvis, sedangkan bila vesika urinaria terisi penuh oleh urin maka bagian atasnya akan naik
sampai memasuki regio hipogastrik. Vesica urinaria yang kosong berbentuk piramid yang
mempunyai apex, basis, collum dan facies.
Apex vesicae mengarah ke depan dan terletak tepat di belakang pinggir atas symphysis pubis.
Apex vesicae dihubungkan dengan umbilikus melalui ligamentum umbilicale medianum (sisa
urachus). Basis vesicae berbentuk segitiga dan menghadap ke posterior. Sudut superolateralis
merupakan muara ureter dan sudut inferior merupakan tempat asal uretra. Collum vesicae berada
inferior dari VU dan terletak di atas fascies superior prostat. Colum vesicae dipertahankan pada
posisinya melalui ligamentum puboprostaticum pada laki-laki dan ligamentum pubo vesicale
pada wanita.

HISTOLOGI

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |21

Ginjal merupakan organ ekskresi utama tubuh manusia. Unit struktural dan fungsional
ginjal disebut nefron. Setiap ginjal memiliki 1 hingga 1,4 juta nefron fungsional. Nefron tersusun
atas bagian-bagian yang berfungsi langsung dalam pembentukan urin. Adapun bagian-bagian
nefron, yaitu: korpus renalis, tubulus kontortus proksimal, ansa henle segmen tebal dan tipis,
tubulus kontortus distal, dan duktus koligens.
Ginjal dibungkus oleh kapsul jaringan lemak dan jaringan ikat padat kolagen (kapsula
fibrosa). Struktur tersebut disebut sebagai kapsula ginjal. Di sebelah dalam kapsula ginjal,
terdapat bagian korteks dan di sebelah dalam korteks terdapat medulla. Korteks berisi korpus
renalis atau korpus malphigi yang merupakan kesatuan dari glomerulus dan kapsula Bowman.
Selain itu juga terdapat tubulus kontortus dan arteri atau vena yang mendarahinya. Di medulla,
dapat ditemukan struktur duktus namun tidak terdapat jaringan glomerulus. Dengan adanya
perbedaan khas tersebut, secara mikroskopis, ginjal dapat dibedakan dengan jelas mana bagian
korteks dan mana bagian medullanya.
Korteks ginjal mengandung korpus renalis yang merupakan permulaan dari setiap nefron.
Korpus renalis mengandung kapiler glomerulus yang diselubungi oleh dua lapis epitel yang
disebut kapsula Bowman. Lapisan dalam kapsul atau lapisan visceral kapsula Bowman
menyelimuti kapiler glomerulus. Pada lapisan ini terdapat podosit, yaitu sel yang memiliki
prosesus primer dan sekunder yang menyelimuti kapiler glomerulus dengan saling bersilangan.
Sementara itu, lapisan parietal di sebelah luarnya, yang tersusun dari epitel selapis skuamosa,
membulat dan membentuk rongga di antara keduanya yang disebut rongga urin atau rongga
kapsular. Di sinilah hasil ultrafiltrat ditampung untuk selanjutnya diteruskan ke tubulus kontortus
proksimal. Korpus renalis memiliki dua kutub yaitu kutub vaskular dan kutub tubular. Kutub
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |22

vaskular berarti kutub tempat masuknya arteriol aferen dan keluarnya arteriol eferen. Daerah ini
ditandai dengan adanya struktur makula densa, yaitu sel reseptor berbentuk palisade di dinding
tubulus kontortus distal yang dekat dengan glomerulus. Di daerah ini juga dapat ditemukan sel
jukstaglomerular atau sel granular yang merupakan modifikasi dari otot polos dinding arteriol
aferen. Makula densa, sel jukstaglomerular, dan kumpulan sel mesangial ekstraglomerular
membentuk aparatus jukstaglomerular. Struktur ini berfungsi dalam pengaturan volume dan
tekanan darah.
Struktur nefron berikutnya adalah tubulus-tubulus yang berperan dalam proses reabsorpsi.
Berikut ini merupakan ciri khas penampakan mikroskopis dari masing-masing tubulus.
Tubulus kontortus proksimal : Epitel selapis kuboid dengan brush border sehingga batas
sel dengan lumen tampak tidak jelas, Batas antar sel juga tidak jelas karena membran sel lateral
berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma asidofilik dan granular, Jarak antar inti sel jauh ,
Ditemukan di jaringan korteks.
Ansa henle segmen tebal pars desendens : Epitel selapis kuboid dengan brush border
sehingga batas sel dengan lumen tampak tidak jelas, Batas antar sel juga tidak jelas karena
membran sel lateral berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma asidofilik dan granular,
Jarak antar inti sel jauh, Ditemukan di jaringan medulla.
Ansa henle segmen tipis : Epitel selapis skuamosa, mirip dengan kapiler namun tidak
memiliki sel darah pada lumennya, Tidak dapat dibedakan antara asendens dan desendens.
Ansa henle segmen tebal pars asendens : Epitel selapis kuboid tanpa brush border sehingga
batas sel dengan lumen tampak cukup jelas dibanding tubulus kontortus proksimal , Batas antar
sel juga tidak jelas karena membran sel lateral berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma
terlihat lebih pucat, Jarak antar inti sel lebih rapat dibanding tubulus kontortus proksimal,
Ditemukan di jaringan medulla.
Tubulus kontortus distal : Epitel selapis kuboid tanpa brush border sehingga batas sel
dengan lumen tampak cukup jelas dibanding tubulus kontortus proksimal, Batas antar sel juga
tidak jelas karena membran sel lateral berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma terlihat
lebih pucat, Jarak antar inti sel lebih rapat dibanding tubulus kontortus proksimal, Ditemukan di
jaringan korteks.
Duktus koligens, epitel selapis kuboid dengan batas antar sel atau membran sel yang jelas.
2. Fisiologi traktus urinarius
Traktus urinarius atau yang sering disebut dengan saluran kemih terdiri dari dua buah ginjal, dua
buah ureter, satu buah kandung kemih (vesika urinaria) dan satu buah uretra.
Fungsi Ginjal
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |23

Ginjal

memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan, yakni

menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang kemudian dibuang melalui urine. Fungsi tersebut
antaranya (1) mengontrol sekresi hormone aldosteron dan ADH yang berperan dalam mengatur
jumlah cairan tubuh, (2) mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D, (3) menghasilkan
beberapa hormone, antara lain: eritopoitin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah,
rennin yang berperan dalam mengatur tekanan darah, serta hormone prostaglandin yang berguna
dalam berbagai mekanisme tubuh.
Pembentukan Urin
Pembentukan urin adalah funsi ginjal yang paling esensial dalam mempertahankan homeostasis
tubuh. Pada orang dewasa sehat, lebih kurang 1200ml darah atau 25% cardiac output , mengalir
ke kedua ginjal. Pada keadaan tertentu aliran darah ke ginjal dapat meningkat hingga 30%
( pada saat latihan fisisk) dan menurun hingga 12% dari cardiac output.
Kapiler glomerul berdinding porous, yang memungkinkan terjadinya filtrasi cairan dalam
jumlah besar ( 180L/hari). Molekul yang berukuran kecil ( air.elektrolit, dan sisa metabolisme
tubuh, di antaranya kreatinin dan ureum) akan difiltrasi dari darah, sedangkan molekul
berukuran lebih besar (protein dan sel darah) tetap bertahan di dalam darah. Oleh karena itu
komposisi cairan filtrate yang berada di kapsul Bowman, mirip dengan yang ada di dalam
plasma, hanya saja cairan ini tidak mengandung protein dan sel darah.
Volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus setiap satuan waktu disebut sebagai rerata filtrasi
glomerulus atau glomerular filtration rate ( GFR) . Selanjutnya cairan filtrate akan direabsorbsi
dan beberapa elektrolit akan mengalami sekresi di tubulus ginjal, yang kemudian menghasilkan
urin yang akan disalurkan melalui duktus kolegentes. Cairan urin tersebut disalurkan ke dalam
system kalises hingga pelvis ginjal.
Keseimbangan Asam Basa
Keseimbangan asam basa tubuh dikontrol oleh kompleks system buffer pada tubulus
proksimalis dan distalis, yang melibatkan pengaturan ion fosfat, bikarbonat dan ammonium ;
sedangkan sekresi ion hydrogen terutama terjadi di tubulus distalis.
Penghasil Hormon Eritropoietin, Renin dan Prostaglandin
Renin. Pada saat darah mengalir ke ginjal , sensor di dalam ginjal menentukan jumlah
kebutuhan cairan yang akan dieksresikan melalui urin dengan mempertimbangkan konsentrasi
elektrolit yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh , jika pasien mengalami dehidrasi,
ginjal akan menahan cairan tubuh tetap beredar melalui darah, sehingga urin sangat kental. Jika
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |24

tubuh telah terrehidrasi , dan cairan yang beredar telah cukup, urin kembali encer dan warnanya
menjadi lebih jernih. Sistem pengaturan tadi dikontrol oleh hormone rennin, yakni hormone
yang diproduksi di dalam ginjal, yang berperan dalam meregulasi cairan dan tekanan darah.
Hormon ini diproduksi di dalam sel juxtaglomerulus sebagai respon dari penurunan perfusi
jaringan. Renin merubah angiotensinogen ( dari hati) menjadi angiotensin 1 yang kemudian
dirubah oleh enzim ACE

menjadi angiotensin 11, yang menyebabkan vasokonstriksi dan

reabsorbsi natrium, untuk mengembalikan fungsi perfusi jaringan.


Eritopoietin( EPO) . Ginjal juga mengjasilkan EPO, yakni hormone yang merangsang jaringan
hemopoietik ( sum sum tulang) membuat sel darah merah. Terdapat sel khusus yang memantau
konsentrasi oksigen di dalam darah, yaitu kadar oksigen turun, kadar EPO meningkat dan tubuh
mulai memproduksi sel darah merah.
Prostaglandin(PG). Prostaglandin disintesis di dalam ginjal, tetapi peranannya belum diketahui
secara pasti. Vasodilatasi dan vasokonstriksi yang diinduksi oleh PG adalah sebagai respon dari
berbagai stimulus, di antaranya adalah peningkatan tekanan kapsula Bowman.
1,25-Dihidroksi Cholekalsiferol.

1,25- Dihidroksi Cholekalsiferol adalah metabolit aktif

vitamin D, diproduksi kinin, yakni kalikrein dan bradikinin; yang biasanya menyebabkan
vasodilatasi sehingga berakibat meningkatnya produksi urin dan eksresi natrium.
Fungsi Ureter
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang mendorong urin masuk
ke dalam kandung kemih.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Fungsi Vesika Urinaria
Vesika urinaria mempunyai dua fungsi yaitu :
a. Sebagai tempat penyimpanan urin sebelum meninggalkan tubuh.
b. Dibantu uretra vesika urinaria berfungsi mendorong urin keluar tubuh.
Didalam vesika urinaria mampu menampung urin antara 170 - 230 ml.
Fungsi Uretra

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |25

Uretra adalah saluran kecil dan dapat mengembang, berjalan dari kandung kemih sampai keluar
tubuh. Pada uretra laki laki mempunyai panjang 15 20 cm. Uretra pada wanita panjangnya
kira-kira 3,7-6,2 cm. sphincter uretra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina)
dan uretra disini hanya sebagai saluran ekskresi .
3. Sindroma nephritic (GNAPS)
1. Definisi
Istilah glomerulonefritis masih merupakan terminologi umum mengenai kondisi
inflamasi pada glomerulus yang ditandai secara histopatologik oleh proliferasi sel-sel
glomerular akibat suatu proses imunologik.
Istilah akut, misalnya pada glomerulonefritis akut (GNA) atau pada glomerulonefritis
akut pasca-streptokokus (GNAPS) secaa klinis berarti sifatnya yang sementara atau awitan
yang bersifat tiba-tiba sedangkan secara histopatologik istilah akut menunjukkan adanya
sebukan leukosit polimorfonuklear (PMN) di dalam glomerulus.
Glomerulonefritis akut pasca-streptokokus (GNAPS) ditandai oleh awitan tiba-tiba dari
kombinasi gejala: hematuria makroskopis atau gros, sembab periorbita, dan hipertensi,
dengan torak atau cast eritrosit, serta adanya riwayat infeksi streptokokus sebelumnya.
GNAPS secara epidemiologi merupakan penyebab terbanyak nefritis akut pada anak di negara
berkembang sedangkan di negara maju GNAPS terjadi dengan prevalensi yang rendah dan
sekali-kali akan timbul epidemi.
2. Etiologi
GNA dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit yang heterogen, misalnya
nefropati IgA, nefritis Henoch-Schnlein, nefritis lupus, vaskulitis ANCA (antineutrophil
cytoplasmic antibody), glomerulonefritis karena virus (HBV, HCV, HIV), nefritis pirau
atau shunt, glomerulonefritis mesangiokapiler, dan GNAPS yang difokuskan pada bab ini.
Etiologi GNAPS yakni Streptokokus -hemolitik grup A. Selain dari infeksi bakteri
tersebut, glomerulonefritis akut juga bisa disebabkan oleh bakteri lain yang disebut sebagai
glomerulonefritis akut pasca infeksi.
3.

Patogenesis
Mekanisme bagaimana terjadinya jejas renal (renal injury) pada GNAPS sampai
sekarang belum dipahami dengan baik meski diduga terdapat sejumlah faktor hospes dan
kuman yang berperan

Faktor Hospes
Fakta yang meunjukkan mengapa hanya 1015% pasien yang terindeksi kuman
Streptokokkus grup A strain nefritogenik menderita GNAPS masih sulit dijelaskan. Diduga
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |26

hal tersebut terjadi karena adanya peran faktor-faktor hospes tertentu. GNAPS dapat
menyerang semua kelompok umur dengan kelompok umur 515 tahun ( di Indonesia
rentang usia yakni 2,515 tahun dengan puncaknya pada usia 8,4 tahun) merupakan
kelompok umur tersering menderita GNAPS dan paling jarang pada bayi.
Anak laki-laki menderita dua kali lebih sering dibandingkan perempuan dengan rasio
laki-laki banding perempuan yakni 76,84%:58,2% atau 1,3:1,6. GNAPS lebih sering
dijumpai di daerah trpis dan biasanya menyerang anak-anak dari golongan ekonomi rendah.

Faktor Kuman
GNAPS terjadi mula-mula karena adanya kerentanan hospes yang terpapar kuman
Streptokokus grup A strain nefritogenik yang kemudian timbul reaksi imunologik untuk
membentuk antibodi terhadap antigen yang menyerang. Namun, komponen antigen yang
mampu memicu hal tersebut masih belum dapat diidentifikasi secara pasti meskipun paling
tidak telah diketahui 7 komponen antigen Streptokokus yang mungkin berperan, yakni
Protein M, endostreptosin (pre-absorbing antigen), cationic protein, streptococcal pyrogenic
exotoxin

B, streptokinase,

neuramidase,

dan nephritis-assoceiated

plasmin

receptor (nephritis plasming-binding protein). Kemungkinan besar lebih dari satu antigen
yang terlibat dan bekerja pada stadium yang berbeda.
4.

Mekanisme Imunogenik terjadinya GNAPS


GNAPS merupakan penyakit imunologik akibat reaksi antigen-antibodi yang terjadi
dalam sirkulasi atau in situ di dalam glomerulus. Proses inflamasi yang mengakibatkan
terjadinya jejas renal dipicu oleh:

Aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh streptokinase yang kemudian diikuti oleh
aktivasi kaskade komplemen.

Deposisi kompleks antigenantibodi yang telah terbentuk sebelumnya akibat infeksi


streptokokkus yang kemudian tertumpuk di glomerulus.

Antibodi anti-streptokokus yang telah terbentuk sebelumnya berikatan dengan molekul


tiruan (molecul mimicry) dari protein renal yang menyerupai antigen stroptokokus (jaringan
glomerulus yang normal dan bersifat autoantigen bereaksi dengan antibodi yang bersirkulasi
dan fungsi sebelumnya yakni melawan antigen streptokokus).

5.

Gejala Klinik
Awitan GNAPS biasanya berlangsung secara tiba-tba yakni 714 hari setelah anak
menderita faringitis atau infeksi saluran nafas atas, atau 36 minggu setelah infeksi kulit.
Gejala klinik biasanya berupa sindrom nefritik akut yang terdiri atas: hematuria gros, sembab
periorbita, dan hipertensi dengan torak atau cast eritrosit, proteinuria, dan oliguria.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |27

Gejala kelebihan cairan berupa edema atau sembab terjadi pada 85% kasus (sementara
di Indonesia yakni sekitar 76,3% kasus) dan kadang-kadang ditemukan tanda-tanda sembab
paru (14%), atau gagal jantung kongestif (2%). Hematuria mikroskopis ditemukan pada
hampir semua pasien (di Indonesia sekitar 99,3%). Hematuria gros atau makroskopis (di
Indonesia terjadi pada 53,6% kasus) terlihat sebagai urin berwarna merah kecoklatan seperti
warna coca-cola tanpa disertai rasa sakit. Kebanyakan pasien tampak pucat akibat hemodilusi
dan pembengkakan jaringan subkutan. Penurunan fungsi ginjal biasanya ringan sampai
sedang dengan meingkatnya kadar kreatinin pada 45% kasus.
Kongesti paru dengan efusi pleura dapat menunjukkan gejala takipneu dan dispneu yang
sering ditemukan pada pasien glomerulonefritis akut. Takikardia, kongesti hepar, dan irama
gallop timbul bila terjadi gagal jantung kongesti. Proteinuria (di Indonesia 98,5%) biasanya
bukan tipe proteinuria nefrotik. Hipoalbuminemia tidak hebat disebabkan oleh efek dilusi
yang membuat ekspansi volume cairan intravaskular. Gejala sindrom nefrotik dapat terjadi
pada kurang dari 5% pasien.
Hipertensi ringan sampai sedang terlihat pada 6080% kasus (di Indonesia sekitar
61,8%) yang biasanya sudah muncul sejak awal penyakit. Tingkat hipertensi beragam dan
tidak proporsional dengan hebatnya sembab. Kadang-kadang terjadi krisis hipertensi yaitu
tekanan darah mendadak meningkat tinggi dengan sistolik melampaui 200 mmHg dan
diastolik lebih dari 120 mmHg. Sekitar 5% pasien rawat inap mengalami ensefalopati
hipertensi (di Indonesia 9,2%) dengan keluhan seperti sakit kepala hebat, perubahan status
mental, koma, dan kejang. Adanya anuria, proteinuria nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal
yang lebih parah kemungkinan merupakan glomerulonefritis progresif cepat yang terjadi pada
1% kasus GNAPS.
6.

Pemeriksaan

Urinalisis
Urin biasanya menjadi sangat berkurang, pekat, dengan warna mulai dari kelabu

berkabut sampai merah coklat. Warna tersebut sebagai akibat degradasi hemoglobin menjadi
asam hematin.
Proteinuria biasanya sesuai dengan tingkat hematuria dan berkisar antara seangin
sampai 2+ (sampai 100 mg/dl). Ekskresi protein jarang melebihi 2 g/m 2 luas permukaan tubuh
per harinya. Hampir 25% pasien GNAPS menunjukkan proteinuria masif dengan gambaran
sindrom nefrotik.
Hematuria merupakan kelainan urin yang selalu ada. Cast atau torak eritorist sebagai
tanda adanya perdarahan gomerulus kadang-kadang terlihat pada pemeriksaan urinalisis.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |28

Darah
Anemia biasanya tampak sebagai anemia normkromik normositik yang terjadi sebagia

akibat dilusi dan retensi cairan. Komponen darah lainnya biasanya normal meskipun kadangkadang terlihat kenaikan jumlah sel darah putih. Beberapa pasien menunjukkan hiporteinemia
dan hiperlipidemia (hiperkolestrolemia ringan).

Uji Fungsi Ginjal


Sebagian besar pasien GNAPS yang dirawat inap menunjukkan kenaikan kadar BUN

dan kreatinin serum. Sebagian pasien menunjukkan gejala uremia (di Indonesia 10,5%)
dengan asidsis metabolik dan hiperkalemia. Penurunan fungsi ginjal berkorelasi dengan
parahnya jejas glomerulus. Profil elektrolit biasanya normal. Hiperkalemia dan asidosis
metabolik hanya terjadi pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berat.

Infeksi Streptokokus
Bila tanda-tanda adanya infeksi Streptokokus secara langsung tidak didapatkan, uji

serologik dapat dipakai untuk membutkikan adanya respon imun terhadap antigen
streptokokus. Kenaikan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASO) terlihat dalam 1014
hari setelah terjadinya infeksi streptokokus. Tetapi respon titer ASO pada pasca infeksi kulit
sangat rendah. Hal tersebut disebabkan karena efek lemak kulit yang menghambat
antigenisitas sterptolisin O. Sebaiknya dilakukan kombinasi dengan uji lainnya, seperti antihyaluronidase dan anti-deoksiribonuklease B, atau uji streptozyme yang meningkat pada
infeksi Streptokokus tanpa terpengaruh lokasi infeksi.

Uji Imunologi
Uji yang penting dan konsesten pada GNAPS adalah menurunnya kadar komplemen

ketiga (C3). Kadar C3 mulai menurun pada saat awitan penyakit di 8090% pasien dan akan
kembali normal dalam 810 minggu setelah awitan.

Pencitraan
Pada USG ginjal, akan terlihat ukuran ginjal masih normal. Bila terlihat ginjal yang

kecil, mengkerut, atau berparut, kemungkinan terjadi penyakit ginjal kronik yang mengalami
eksaserbasi akut. Gamabaran ginjal pada USG menunjukkan hiperechoik yang setara dengan
dengan echogenisitas parenkim hepar. Gambaran tersebut tidak spesifik dan dapat ditemukan
pada penyakit ginjal lainnya.
Pemeriksaan

Histologik

Biopsi ginjal dilakukan pada pasien-pasien yang mempunyai gejala klinik, uji
laboratorium, atau perjalanan penyakit yang tidak sesuai dengan lazimnya gambaran GNAPS.
Pada pasien tersebut, pemeriksaan histologis dengan pemeriksaan mikroskop cahaya,
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |29

immunofloresens, dan elektron


mungkin akan dapat banyak
membantu. Biopsi ginjal tidak
diperlukan ada sebagian besar
pasien GNAPS.
7. Komplikasi
Komplikasi

akut

yang

paling sering adalah hipertensi


dengan atau tanpa gejala sistem
syaraf pusat. Sembab paru diderita oleh beberapa pasien akibat meningkatnya volume
intravaskular yang berlangsung pada awal penyakit. Gagal jantung kongestif dan myokarditis
jarang dijumpai. Azotemia yang menetap atau memburuk selalu merupakan masalah dan
merupakan gagal ginjal akut. Gagal ginjal akut dapat memberikan petunjuk adanya diagnosis
yang lain, seperti misalnya glomerulonefritis proliferasi membranosa, purpura HenochSchnlein, lupus eritematosus sistemik, atau GNAPS yang memburuk, seperti pada
glomerulonefritis progresif cepat.
8. Tatalaksana
Medikamentosa
Golongan penisilin dapat diberikan untuk eradikasi kuman, dengan amoksisilin 50 mg/kg BB
dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
Diuretik diberikan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Jika terdapat hipertensi,
berikan obat antihipertensi, tergantung pada berat ringannya hipertensi.
Bedah
Tidak diperlukan tindakan bedah.
Suportif
Pengobaan GNAPS umumnya bersifat suportif. Tirah baring umumnya diperlukan jika pasien
tampak sakit misalnya kesadaran menurun, hipertensi, edema. Diet nefritis diberikan terutama
pada keadaan dengan retensi cairan dan penurunan fungsi ginjal. Jika terdapat komplikasi
seperti gagal ginjal, hipertensi ensefalopati, gagal jantung, edema paru, maka tatalaksananya
disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi.
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Rujuk ke dokter nefrologi anak bila terdapat komplikasi gagal ginjal, ensefalopati hipertensi,
gagal jantung.
Pemantauan
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |30

Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan
terhadap komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian.
Pada kasus yang berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau
kemajuan pengobatan.
Edukasi pasien
Pasien dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai sifat penyakit, perjalananya, dan
prognosisnya. Mereka perlu memahami bahwa meskipun kesembuhan yang sempurna
diharapkan, masih ada kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang menetap dan bahkan
memburuk
9. Prognosis
Biasanya sembuh sempurna meskipun proteinuria memerlukan waktu 36 bulan untuk
menghilang dan sampai 1 tahun untuk hematuria. Hanya kurang dari 1% yang berlanjut
menjadi

glomerulonefritis

progresif

cepat

(RPGN

atau rapidly

progressive

glomerulonephritis).
4. Anemia pada anak terutama anemia karena penyakit ginjal
A. Definisi
1) Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar
hemoglobin dan hematokrit dibawah normal . Anemia bukan merupakan penyakit,
melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh.
Secara fisiologis anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan(Smeltzer, 2002).
2) Anemia adalah penurunan dibawah normal dalam jumlah eritrosit, banyaknya hemoglobin,

atau volume sel darah merah (Packed red cells) dalam darah (Dorland).
Batasan Normal Kadar HB

Derajat Anemia Pada Anak


Derajat anemia untuk menentukan seorang anak mengalami anemia atau tidak dapat ditentukan
oleh jumlah kadar Hb yang terdapat dalam tubuh. Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai
dalah sebagai berikut:
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |31

a.
b.
c.
d.

Ringan sekali Hb 10 gr/dl 13 gr / dl


Ringan Hb 8 gr / dl 9,9 gr / dl
Sedang Hb 6 gr / dl 7,9 gr / dl
Berat Hb < 6 gr / dl

(Sumber : WHO, 2002,. dalam Wiwik , 2008).


B. Etiologi
Menurut Price (2006) penyebab anemia dapat dikelompokan sebagai berikut :
1. Gangguan produksi eritrosit yang dapat terjadi karena :
a) Perubahan sintesa Hb yang dapat menimbulkan anemi difisiensi Fe, Thalasemia, dan
anemi infeksi kronik.
b) Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrien yang dapat menimbulkan anemi
pernisiosa dan anemi asam folat.
c) Fungsi sel induk ( stem sel ) terganggu , sehingga dapat menimbulkan anemi aplastik
dan leukemia.
d) Infiltrasi sumsum tulang, misalnya karena karsinoma.
2. Kehilangan darah :
a) Akut karena perdarahan atau trauma / kecelakaan yang terjadi secara mendadak.
b) Kronis karena perdarahan pada saluran cerna atau menorhagia.
3. Meningkatnya pemecahan eritrosit ( hemolisis). Hemolisis dapat terjadi karena :
a) Faktor bawaan, misalnya, kekurangan enzim G6PD untuk mencegah kerusakan
eritrosit.
b) Faktor yang didapat, yaitu adanya bahan yang dapat merusak eritrosit misalnya, ureum
pada darah karena gangguan ginjal atau penggunaan obat acetosal.
4. Bahan baku untuk pembentukan eritrosit tidak ada.
Bahan baku yang dimaksud adalah protein , asam folat, vitamin B12, dan mineral
Fe.Sebagian besar anemia anak disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi
esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-sel darah
merah. Anemia bisa juga disebabkan oleh kondisi lain seperti penyakit malaria, infeksi
cacing tambang (Masrizal, 2007).
C. Patofisiologi
Anemia yang terjadi pada kasus dengan jumlah Hemoglobin 10 g/dl (Normal 11 g/dl) dapat
diklasifikasikan sebagai anemia sangat ringan sesuai dengan nilai rujukan yang diberikan oleh
WHO. Anemia pada kasus terjadi karena terjadi reaksi inflamasi pada glomerulus ginjal yang
menyebabkan perdarahan dan darah tersebut keluar bersama urin yang disekresi oleh ginjal.
5. Acute kidney injury
a. Definisi
Acute Kidney Injury (Gangguan Ginjal Akut) adalah penurunan mendadak faal ginjal
dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum 0.3 mg/dl (26.4 mol/l),
presentasi kenaikan kreatinin serum 50% (1,5 kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan
produksi urin (uliguria yang tercatat 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam). Kriteria
tersebut harus memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria lain
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |32

yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah
mendapat cairan yang cukup.
Perjalanan GGA dapat:
Sembuh sempurna
Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap 1-4)
Eksaserbasi berupa naik turunnya progesivitas GGK/CKD tahap 1-4
Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5)
b. Klasifikasi RIFLE
Klasifikasi RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss, End stage renal dissease)
Kategori RIFLE

Kriteria Kreatinin Serum

Kriteria Urin Output

The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the definition and
classification of AKI
Risk

Kenaikan kreatinin serum 1.5x <0.5 mL/kg/jam untuk


nilai dasar atau penurunan GFR 6/jam
25%
Kenaikan kreatinin serum 2.0x <0.5 mL/kg/jam untuk

Injury

5x nilai dasar atau penurunan 12/jam


GFR 50%
Kenaikan kreatinin 3x atau <0.3 mL/kg/jam untuk

Failure

penurunan GFR 75%


24/jam
Atau
Nilai absolut kreatinin serum 4
Anuria 12 jam
mg
dengan
peningkatan
mendadak minimal 0,5 mg
Loss

Kehilangan fungsi ginjal total >4

End stage renal disease

minggu
Renal replacement therapy >3
bulan

Klasifikasi AKIN
Tahap

Kriteria kreatinin serum

Kriteria produksi urin

Kenaikan kreatinin serum 0.3 mg/dl Kurang dari 0.5 ml/kg per jam lebih
(26,4 mol/l) atau kenaikan 150% to dari 6 jam
200% (1.5 sampai 2 kali lipat) dari nilai

dasar
Kenaikan kreatinin serum >200% - Kurang dari 0,5 ml/kg per jam lebih

300% (>2-3x lipat)


dari 12 jam
Kenaikan kreatinin serum > 300% (>3 Kurang dari 0.3 ml/kg per jam lebih
kali lipat) dari nilai dasar

dari 24 jam atau anuria 12 jam


Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |33

Klasifikasi ini menilai tahao GGA dari nilai kreatinin serum dan diuresis. Kemudian ada
upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam kriteria
RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan
memakai batasan waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks,
sehingga perlu suatu standar baku untuk penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan
berdasarkan kriteria RIFLE. Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal,
walaupun belum cukup untuk perbaikan prognosis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.
c. Diagnosis
Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal, yaitu kadar
ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada gangguan ginjal akut yang berat dengan
berkurangnya fungsi ginjal eksresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan
edema bahkan ampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Eksresi asam yang
berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan
kussmaul.
Penilaian pasien GGA :
1. Kadar kreatinin serum
Pada gangguan ginjal akut faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum
kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju filtrasi glomerulus
karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan eksresi oleh
ginjal.
2. Kadar cyastatin C serum
Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cyastatin C dapat menjadi indikator
gangguan ginjal akut tahap awal yang cukup dapat dipercaya
3. Volume urin
Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal
akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah.
4. Kelainan analisis urin
Temuan kelainan urin pada GGA
Etiologi

Sedimen

Fe-urea

Proteinuria

Prerenal

Torak hialin

<1
<35

Tidak ada atau


samar

Iskemia

Sel epitel, muddybrown cats,


pigmented
granular casts

>2
>50

Samar-ringan

Nefritis interstisial

Leukosit (WBC),

>1

Ringan-sedang

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |34

akut

torak lekosit,
eosinophilis,
Eritrosit (RBC), sel
epitel

GN akut

Dysmorphic RBCs,
RBC cast

<1 early

Sedang-baik

Postrenal

Beberapa torak
hialin, eritrosit

<1 early
>1 late

Tidak ada atau


samar

Lysis tumor

Kristal asam urat

Tidak ada atau


samar

Arterial/venous
thrombosis

Eritrosit

Ringan-sedang

Ethylene glycol

Kristal kalsium
oksalat

Samar-ringan

Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi


ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka
waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana arteriol afferen
mengalami vasokontriksi, terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi Na+ dan
air. Keadaan ini disebut pre-renal atau GGA fungsional, dimana belum terjadi kerusakan
struktural dari ginjal.
5. Penanda biologis
Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria diagnosis AKI (Cr serum, LFG
dan UO) dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara lain:
Sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang berat
Tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan ginjal (iskemia, nefrotoksik,
kerusakan glomerulus atau tubulus)
Tidak sensitif karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan
LFG dan tidak baik dipakai sebagai parameter pemulihan.
Penghitungan LFG menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan
perhitungan untuk pasien dengan PGK dengan asumsi kadar Cr serum yang stabil.
Perubahan kinetika Cr yang cepat terjadi tidak dapat ditangkap oleh rumus-rumus yang
ada. Penggunaan kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh faktor prarenal dan sangat
dipengaruhi oleh penggunaan diuretik. Keseluruhan keadaan tersebut menggambarkan
kelemahan perangkat diagnosis yang ada saat ini, yang dapat berpengaruh pada
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |35

keterlambatan diagnosis dan tata laksana sehingga dapat berpengaruh pada prognosis
penderita.
Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara
dini sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab AKI,
menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis AKI. Penanda biologis dari
spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni
penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus (kidney injury molecule [KIM]-1,
Na+/H+ exchanger isoform 3), penanda kerusakan tubulus (cystatin C, a-1 mikroglobulin,
retinol-binding protein, NAG). (Han et al, 2008; Coca et al, 2008)
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa:
IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI
NGAL, IL-18, GST-p , dan g-GST merupakan penanda potensial diagnosis dini AKI
NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi kematian setelah AKI.
(Coca et al, 2008)
Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel
pemeriksaan beberapa penanda biologis. Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang
beredar di Indonesia. (Roesli, 2007)
d. Klasifikasi IKA
Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010)
AKI Prarenal

I. Hipovolemia
Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi
usus
Kehilangan darah
Kehilangan cairan ke luar tubuh
Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran
kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit
(luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
Penyebab perikard: tamponade
Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
Aritmia
Penyebab katup jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |36

(contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)


Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
amphotericin B
Hipoperfusi ginjal lokal
Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi
kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna),
penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2inhibi
tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,
sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)
Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
Penggunaan penyekat ACE, ARB
Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
AKI Renal

Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia


I. Obstruksi renovaskular
Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,
diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis,
kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
Iskemia (serupa AKI prarenal)
Toksin
Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis,
asam urat, oksalat, mieloma)
IV. Nefritis interstitial
Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri,
viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |37

Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,


sulfonamida
AKI pascarenal

VI. Rejeksi alograf ginjal


I. Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan,
darah
III. Obstruksi uretra
Striktur, katup kongenital, fimosis

e. Patofisiolgi
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relatif konstan
yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang berperan
dalam autoregulasi ini adalah :
- Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
- Timbal balik tubuloglomerular.
Selain itu, norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi
otoregulasi. (Sudoyo dkk, 2007)
A. AKI Pra Renal
Pada AKI pra renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan
hipovolemi, akan terjadi penurunan tekanan darah yang mengaktivasi baroreseptor
kardiovaskularyang selanjutnya mengaktivasi sistim saraf simpatis, sistim reninangiotensin serta merangsang pelepasan vasopresin dan endothelin-1 (ET-1), yang
merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung
serta perfusi ginjal. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen
yang dipengaruhi oleh refleks miogenik, prostaglandin, dan nitrit oxide (NO), serta
vasokontriksi arteriol afferen yang terutama dipengaruhi oleh angiotendin-II dan ET-1.
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung
dalam jangka waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu
dimana arteriol afferen mengalami vasokontriksi, terjadi kontraksi mesangial dan
peningkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini disebut pre renal atau acute kidney
injury fungsional belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. (Sudoyo dkk, 2007)
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostatis intrarenal
menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |38

seperti ACE inhibitor, NSAID terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan
kadar serum kreatinin 2mg/dL sehingga dapat terjadi acute kidney injury pre renal. Proses
ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretik, sirosis
hati, dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaankeadaan yang merupakan resiko AKI pra rena; seperti penyempitan pembuluh darah ginjal
(penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. (Sudoyo
dkk, 2007)
B. AKI Renal
Pada AKI renal, terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular
akut (NTA), dimana pada NTA terjadi kelainan vaskular dan tubular
Kelainan vaskular
Pada kelainan vaskular terjadi:
1. Peningkatan Ca2+ sitosolik dan arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan
sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
2. Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular
ginjal yang mengakibatkan peningkatan angiotensin II dan ET-1 serta penurunan
prostaglandin dan ketersediaan nitrit oxide yang berasal dari endotelial NO-sintase.
3. Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor (TNF) dan interleukin-18
(IL-18), yang selanjutnya meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1
dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel
netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.
Keseluruhan proses di atas secara bersama-sama menyebabkan vasokontriksi intrarenal
yang akan menyebabkan penurunan GFR. (Sudoyo dkk, 2007)
Kelainan Tubular
Pada kelainan tubular terjadi:
1. Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain sostolik phospholipase A2
serta kerusakan actin, yang akan menyebabkan kerusakan sitoskeleton. Keadaan ini
akan mengakibatkan penurunan basolateral Na+/K+-ATPase yang selanjutnya
menyebabkan penurunan reabsorbsi natrium di tubulus proksimalis serta terjadi
pelepasan NaCl ke makula densa. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan umpan
tubuloglomerular.
2. Peningkatan NO

yang

berasal

dari

inducable

NO

sintase,

caspases,

dan

metalloproteinase serta defisiensi heat shock protein akan menyebabkan nekrosis dan
apoptosis sel.
3. Obstruksi tubulus, mikrovili tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler
akan membentuk substrat yang menyumbat tubulus, dalm hal ini pada thick assending
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |39

limb diproduksi Tamm-Horsfall protein (THP) yang disekresikan ke dalam tubulus


dalam bentuk monomer yang kemudian berubah menjadi polimer yang akan
membentuk materi berupa gel dengan adanya natrium yang konsentrasinya meningkat
pada tubulus distalis. Gel polimerik THP bersama sel epitel tubulus yang terlepas, baik
sel yang sehat, nekrotik, maupun yang apoptopik, mikrovili dan matriks ekstraseluler
seperti fibronektin akan membentuk silinder-silinder yang akan menyebabkan obstruksi
tubulus ginjal.
4. Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari cairan
intratubuler masuk ke dalam sirkulasi peritubuler.
Keseluruhan proses tersebut di atas secara bersama-sama yang akan menyebabkan
penurunan LFG. (Sudoyo dkk, 2007)
C. AKI Post Renal
Merupakan 10% dari kejadian keseluruhan AKI. AKI post renal disebabkan oleh
obstruksi intrarenal dan ekstra renal. (Sudoyo dkk, 2007)
Obstruksi intrarenal
Terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein (mioglobin
dan hemoglobin) (Sudoyo dkk, 2007)
Obstruksi ekstrarenal
Dapat terjadi pada pelvus ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis
papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada
kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (striktura). (Sudoyo
dkk, 2007)
AKI post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli buli dan ureter
bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada
fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan
peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada
fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat
pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5
jam mulai menetap. Fase ke-3 atau fase kronik,ditandai oleh aliran ginjal yang makin
menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran
darah ginjal setelah 24 jam adalah 50%dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari
normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor
pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis interstisial ginjal. (Sudoyo dkk, 2007)
f. Pengelolaan
Tujuan pengelolaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan
komestasis, melakikan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |40

mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip
pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai tindak
pencegahan),

mengatasi

penyakit

penyebab

GGA,

mempertahankan

homeostasis,

mempertahnakna eopolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi


metabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi
kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.
g. Pencegahan
GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat kontras yang daat
menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefropati akibat zat kontras adalah menjaga
hidrasi yang baik, pemakaian N-asetyl cystein serta pemakaian furosemid pada penyakit
tropik perlu diwaspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis akut, malaria, dan demam
berdarah.
h. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengelolaan GGA adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal,
mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan
infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faalginjalnya sembuh secara
spontan. Penatalaksanaan gagal ginjal meliputi, perbaikan faktor prerenal dan post renal,
evaluasi pengobatan yang telah diberikan pada pasien, mengoptimalkan curah jantung dan
aliran darah ke ginjal, mengevaluasi jumlah urin, mengobati komplikasi akut pada gagal
ginjal, asupan nutrisi yang kuat, atasi infeksi, perawatan menyeluruh yang baik, memulai
terapi dialisis sebelum timbul komplikasi, dan pemberian obat sesuai dengan GFR.
Status volume pasien harus ditentukan dan dioptimalkan dengan pemantauan berat
badan pasien serta asupan dan keluaran cairan setiap hari. Pada pasien dengan kelebihan
volume, keseimbangan cairan dapat dipertahankan dengan menggunakan diuretika Furosemid
sampai dengan 400 mg/hari. Dosis obat harus disesuaikan dengan tingkat fungsi ginjal, obatobat yang mengandung magnesium (laksatif dananatasida) harus dihentikan. Antibiotik bisa
diberikan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Untuk dukungan gizi yang optimal pada
GGA, penderita dianjurkan menjalani diet kaya karbohidrat serta rendah protein, natrium dan
kalium. Terapi khusus GGA Dialisis diindikasikan pada GGA untuk mengobati gejala uremia,
kelebihan volume, asidemia, hiperkalemia, perikarditis uremia, dan hipoinatremia. Indikasi
dilakukannya dialisa adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Oligouria : produksi urine < 2000 ml in 12 h


Anuria : produksi urine < 50 ml in 12 h
Hiperkalemia : kadar potassium >6,5 mmol/L
Asidemia : pH < 7,0
Azotemia : kadar urea > 30 mmol/L
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |41

6.
7.
8.
9.
10.
11.

Ensefalopati uremikum
Neuropati/miopati uremikum
Perikarditis uremikum
Natrium abnormalitas plasma : Konsentrasi > 155 mmol/L atau < 120 mmol/L
Hipertermia
Keracunan obat

Kebutuhan gizi pada gagal ginjal akut :


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Energy 2030 kcal/kgBW/d


Carbohydrates 35 (max. 7) g/kgBW/d
Fat 0.81.2 (max. 1.5) g/kgBW/d
Protein (essential dan non-essential amino acids)
Terapi konservatif 0.60.8 (max. 1.0) g/kgBW/d
Extracorporeal therapy 1.01.5 g/kgBW/d
CCRT, in hypercatabolism Up to maximum 1.7g/kgBW/d
GGA post-renal memerlukan tindakan cepat bersama dengan ahli urologimisalnya

tindakan nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan sumbatan yang
dapat disebabkan oleh batu, striktur uretra atau pembesaran prostate.
Tabel Pengobatan suportif pada gagal ginjal akut
Komplikasi
- Kelebihan volume intravaskuler

Pengobatan
- Batasi
garam

(1-2

g/hari)

dan

air

(<1L/hari)Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis


- Hiponatremia

- Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari


infuselarutan hipotonik.

- Hiperkalemia

- Batasi asupan diit K (<40 mmol/hari),


hindari diuretic hemat kalium

- Asidosis metabolic

- Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonatserum


> 15 mmol/L, pH >7.2)

- Hiperfosfatemia

- Batasi asupan diit fosfat (<800 mg/hari)

- Hipokalsemia

- Obat

pengikat

fosfat

kalsiumkarbonat)Kalsium

(kalsium
karbonat;

asetat,
kalsium

glukonat ( 10-20ml larutan 10% )


-

Nutrisi

- Batasi asupan protein (0,8-1 g/kgBB/hari) jika


tidak dalam kondisi katabolicKarbohidrat 100
g/hari Nutrisi enteral atau parenteral, jika
perjalanan klinik lama atau katabolik

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |42

Indikasi hemodialisa pada gagal ginjal akut :


GGT ( klirens kreatinin < 5 ml/m)
GGA berkepanjangan ( > 5 hari)
GGA dengan. :
a. keadaan umum yang buruk
b. K serum > 6 mEq/L
c. BUN > 200 mg%
d. pH darah < 7,1e. Fluid overload
Intoksikasi obat yang gagal dengan terapi konservatif
6. Hipertensi pada anak terutama pada penyakit ginjal
Definisi
Tekanan darah normal pada anak adalah tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah
diastolik (TDD) di bawah persentil 90 berdasarkan jenis kelamin, usia dan tinggi badan. Definisi
hipertensi pada anak dan remaja didasarkan pada distribusi normal tekanan darah pada anak
sehat. Data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES), tekanan darah anak
laki-laki dan anak perempuan berdasarkan persentil usia dan tinggi badan yang sudah direvisi
tersaji pada tabel 1 dan 2 di bawah ini.7,10 Hipertensi dinyatakan sebagai rerata TDS dan/atau
TDD > persentil 95 menurut jenis kelamin, usia dan tinggi badan pada > 3 kali pengukuran
seperti tampak pada gambar 1. Prahipertensi yaitu rerata TDS atau TDD > persentil 90 tetapi <
persentil 95 merupakan, keadaan yang berisiko tinggi berkembang menjadi hipertensi. Terdapat
istilah white-coat hypertension yang merupakan keadaan penderita yang tekanan darahnya >
persentil 95 pada pemeriksaan di klinik

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |43

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |44

atau praktek dokter, padahal di luar tempat tersebut tekanan darahnya yang normal. Seperti
halnya pada dewasa, hipertensi dibedakan atas beberapa tingkat (Tabel 3)

Cara penggunaan tabel tekanan darah 1 dan 2 yaitu sebagai berikut:


1. Pergunakan

grafik

pertumbuhan

Center

for

Disease

Control

(CDC)

2000

(www.cdc.gov/growthcharts) untuk menentukan persentil tinggi anak.


2. Ukur dan catat TDS dan TDD anak.
3. Gunakan tabel TDS dan TDD yang benar sesuai jenis kelamin.
4. Lihat usia anak pada sisi kiri tabel. Ikuti perpotongan baris usia secara horizontal dengan
persentil tinggi anak pada tabel (kolom vertikal).
5. Kemudian cari persentil 50, 90, 95, dan 99 TDS di kolom kiri dan TDD di kolom kanan.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |45

6. Interpretasikan tekanan darah (TD) anak:


a. TD: <persentil 90 adalah normal.
b. TD: antara persentil 90-95 disebut pre-hipertensi. Pada anak remaja jika >120/80

7.

mmHg disebut prehipertensi.


c. TD >persentil 95 kemungkinan suatu hipertensi.
Bila TD >persentil 90, pengukuran TD harus diulang sebanyak dua kali pada kunjungan

berikutnya di tempat yang sama, dan rerata TDS dan TDD harus dipergunakan.
8. Bila TD >persentil 95, TD harus diklasifikasikan dan dievaluasi lebih lanjut.
Kriteria hipertensi juga dibagi atas derajat ringan, sedang, berat, dan krisis berdasarkan kenaikan
tekanan darah sistolik normal sesuai dengan usia yang diajukan Wila Wirya seperti terlihat pada
tabel 4 di bawah ini

Formula untuk menghitung tekanan darah pada anak juga dikembangkan untuk mendukung
deteksi dini hipertensi pada anak yaitu:
Tekanan darah sistolik (persentil 95)
1-17 tahun = 100 + (usia dalam tahun x 2)
Tekanan darah diastolik (persentil 95)
1-10 tahun = 60 + (usia dalam tahun x 2)
11-17 tahun = 70 + (usia dalam tahun)
Pengukuran Tekanan Darah pada Anak
Tekanan darah adalah hasil kali tahanan vaskuler perifer dan curah jantung. Pengukuran
tekanan darah yang tepat bergantung pada kondisi penderita saat diperiksa, kualitas peralatan,
dan keterampilan pemeriksa.9 Pengukuran tekanan darah pada anak memerlukan ruang
pemeriksaan yang tenang, serta kondisi anak yang tenang agar tidak mempengaruhi hasil
pengukuran. Anak dapat berbaring telentang dengan tangan lurus di samping badan atau duduk
dengan lengan bawah yang diletakkan di atas meja sehingga lengan atas berada setinggi jantung.
Peralatan standar untuk mengukur tekanan darah adalah sfigmo manometer air raksa pada anak
berusia lebih dari tiga tahun.3,7,10,13 Metode terpilih untuk pengukuran tekanan darah adalah
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |46

dengan auskultasi. Manset yang digunakan harus sesuai dengan ukuran tubuh anak. Tekanan
darah akan terlalu tinggi apabila manset yang dipakai terlalu kecil dan terlalu rendah bilaukuran
manset terlalu besar.3,7,10,12 Lebar kantong manset harus menutupi 1/2 sampai 2/3 panjang
lengan atas atau panjang tungkai atas. Panjang manset juga harus melingkari setidak-tidaknya
2/3 lingkar lengan atas atau tungkai atas. Manset dipasang melingkari lengan atas atau tungkai
atas dengan batas bawah lebih kurang 3 cm dari siku atau lipat lutut. Manset dipompa sampai
denyut nadi arteri radialis atau dorsalis pedis tidak teraba kemudian diteruskan dipompa sampai
tekanan naik 20-30 mmHg lagi. Stetoskop diletakkan di denyut arteri brakialis atau poplitea,
kemudian manometer dikosongkan perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per detik. Pada
penurunan air raksa ini akan terdengar bunyibunyi Korotkoff. Bunyi Korotkoff I yaitu bunyi
yang pertama kali terdengar berupa bunyi detak yang perlahan. Bunyi Korotkoff II seperti bunyi
Korotkoff I tetapi disertai bunyi desis (swishing sign). Bunyi Korotkoff III seperti bunyi
Korotkoff II tetapi lebih keras. Bunyi Korotkoff IV bunyi tiba-tiba melemah. Bunyi Korotkoff V
bunyi menghilang. Tekanan sistolik adalah saat mulai terdengarnya bunyi Korotkoff I, sedangkan
tekanan diastolik adalah saat mulai terdengarnya bunyi Korotkoff IV yang biasanya pada bayi
dan anak bersamaan atau hampir bersamaan dengan menghilangnya bunyi (Korotkoff V). Dalam
keadaan normal, tekanan darah sistolik di lengan 10-15 mmHg lebih rendahdibanding dengan
tekanan darah tungkai.3,7,10,13 Pada bayi baru lahir penggunaan sfignomanometri konvensional
tidak dianjurkan karena suara Korotkoff tidak dapat terdengar jelas. Untuk pasien ini digunakan
alat ultrasonik Doppler, oxymetry pulse, atau osilometri. Teknik puls oksimetri menggunakan
muncul dan hilangnya gelombang phletysmographic saat tekanan pada manset menaik dan
menurun di sekitar tekanan sistolik. Manometer osilometrik digunakan secara luas dalam praktek
klinis tetapi lebih kurang akurat dibandingkan dengan alat ultrasonic Doppler dan puls oksimetri
saat dibandingkan dengan baku emas yaitu tekanan darah intraarterial.10,14,15 Peningkatan
tekanan darah harus dipastikan pada kunjungan ulang sebelum menetapkan anak menderita
hipertensi. Konfirmasi peningkatan tekanan darah ini sangat penting karena tekanan darah yang
tinggi dapat turun pada pengukuran berikutnya karena terpengaruh oleh faktor-faktor: (1)
berkurangnya kecemasan penderita dari kunjungan pertama ke kunjungan berikutnya. (2) regresi
rerata tekanan darah karena sifat tekanan darah yang bersifat tidak statis tetapi bervariasi bahkan
dalam kondisi tenang.
PATOGENESIS HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL
- Patogenesis hipertensi bervariasi dengan jenis penyakit (misalnya, glomerulus terhadap
pembuluh darah) dan dengan durasi penyakit (akut dan kronis).

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |47

penyakit glomerular Akut - Pasien dengan penyakit glomerulus akut, seperti glomerulonefritis
poststreptococcal atau nefropati membranosa, cenderung menalami peningkatan volume cairan
dan edema akibat retensi natrium . Akibatnya, peningkatan tekanan darah terutama karena
kelebihan cairan, yang dibuktikan dengan penekanan pada sistem renin-angiotensin-aldosteron
dan peningkatan pelepasan atrial netriuretic peptide ( ANP ) . Meskipun perubahan ini paling
menonjol dengan penyakit parah, kejadian hipertensi meningkat bahkan pada pasien dengan
konsentrasi kreatinin serum yang normal . kecenderungan keluarga untuk hipertensi dan ekspansi
volume subklinis dianggap penting dalam pengaturan ini.
studi eksperimental dari sindrom nefrotik atau glomerulonefritis menunjukkan bahwa retensi
natrium dalam gangguan ini adalah karena peningkatan reabsorpsi di tubulus pengumpul . Dua
kelainan yang berbeda pada fungsi tubulus kolektivus telah diidentifikasi pada penyakit
glomerular, . keduanya dapat meningkatkan reabsorpsi dari natrium:

resistensi yang relatif

terhadap atrial netriuretic peptide, dikarenakan degradasi cepat

setidaknya sebagian hingga lebih dari second messenger cyclic GMP (guanosin monofosfat)
oleh enzim phosphodiesterase . Pada hewan model dengan sindrom nefrotik, infus inhibitor
phosphodiesterase dapat sebagian besar membalikkan cacat ini dan mengembalikan respon

natriuretik yang normal terhadap ekspansi volume.


Peningkatan aktivitas pompa Na-K-ATPase dalam duktus kolektivus kortikal tetapi tidak
pada segmen nefron lain . Pompa ini memberikan energi untuk transportasi aktif natrium
dengan cara memompa natrium yang diserap kembali, keluar sel dan masuk ke dalam
kapiler peritubular. Bagaimana perubahan ini mungkin disebabkan oleh sindrom nefrotik
atau glomerulonefritis masih tidak jelas. Mereka tidak mungkin dimediasi oleh aldosteron,
yang mana sekresinya berkurang oleh ekspansi volume memediasi pengurangan kegiatan
renin plasma.

penyakit pembuluh darah akut - Hipertensi juga sering terjadi pada penyakit pembuluh darah
akut, seperti vaskulitis atau krisis ginjal scleroderma. Dalam kasus ini, elevasi tekanan darah
merupakan hasil dari aktivasi sistem renin-angiotensin yang diinduksi oleh iskemia , daripada
ekspansi volume . Perbedaan antara penyakit glomerulus dan pembuluh darah dalam mekanisme
ini mungkin penting dalam hal diagnosis . Sebagai contoh, seorang pasien datang dengan acute
kidney injury, hipertensi, dan sel darah merah dan sel darah merah silinder di sedimen urin
hampir pasti menglami glomerulonefritis atau vaskulitis. Tidak adanya edema dalam pengaturan
ini akan mengarah dengan kuat ke penyakit vaskular primer.
penyakit ginjal kronis - Hipertensi diderita oleh sekitar 80 hingga 85 persen pasien dengan
penyakit ginjal kronis (CKD) . Prevalensi hipertensi meningkat pada pasien dengan kerusakan
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |48

ginjal dan laju filtrasi glomerulus normal, dan terus meningkat sejalan dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus . Data dari Modification of Diet in Renal Desease Study, misalnya,
menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat secara progresif dari 65 hingga 95 persen
saat laju filtrasi glomerulus turun 85-15 mL / menit per 1,73 m2 . Sama seperti pada pasien tanpa
penyakit ginjal, prevalensi hipertensi juga lebih tinggi pada pasien dengan berat badan yang
lebih tinggi dan pada orang kulit hitam. (Lihat "Obesity and Weight Reduction in hypertension",
bagian tentang 'Patogenesis hipertensi' dan "komplikasi hipertensi pada orang kulit hitam".)
Berbagai faktor dapat berkontribusi pada peningkatan prevalensi hipertensi pada pasien dengan
CKD:

Retensi sodium umumnya kepentingan primer, meskipun tingkat ekspansi volume

ekstraseluler mungkin tidak cukup untuk menginduksi edema.


Peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin sering menjadi penyebab setidaknya bagian
dari hipertensi yang tetap bertahan setelah pemulihan normovolemia, terutama pada pasien
dengan penyakit pembuluh darah karena iskemia ginjal adalah stimulus ampuh sekresi renin.

iskemia regional yang disebabkan oleh jaringan parut juga mungkin memainkan peran.
Hipertensi bisa menjadi penyebab (misalnya, nephrosclerosis hipertensi) atau faktor

penyumbang dalam perkembangan penyakit ginjal.


Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik . Sinyal aferen mungkin timbul di suatu bagian
di dalam ginjal yang telah gagal, karena tidak terlihat pada pasien yang telah menjalani

nefrektomi bilateral.
hiperparatiroidisme sekunder menimbulkan konsentrasi kalsium intraseluler, yang dapat
menyebabkan vasokonstriksi dan hipertensi . Penurunan sekresi hormon paratiroid oleh
administrasi kronis dari analog vitamin D aktif dapat mengurangi baik kalsium intraseluler
maupun tekanan darah sistemik. (Lihat "Patogenesis osteodistrofi ginjal", bagian tentang

'Secondary hiperparatiroidisme dan osteitis fibrosa'.)


Pengobatan dengan erythropoietin, efek yang sebagian terkait dengan tingkat elevasi di
hematokrit. (Lihat "Hipertensi yang megikuti eritropoietin pada penyakit ginjal kronis",

bagian tentang 'Patogenesis'.)


gangguan sintesis oksida nitrat dan vasodilatasi yang dimediasi endothelium telah
dibuktikan pada pasien dengan uremia . Meskipun mekanisme yang belum jelas, penjelasan
potensial termasuk pengurangan ketersediaan nitrit oksida karena keadaan peningkatan stres
oksidatif, atau defisiensi kofaktor yang diinduksi uncoupling nitrit oxide synthase.

Selain faktor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan arteri rata-rata, dua faktor lain mungkin
penting:

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |49

Pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir lebih mungkin untuk memiliki peningkatan
pada tekanan nadi sentral dan hipertensi sistolik terisolasi . Mengapa ini terjadi adalah tidak
sepenuhnya dipahami namun peningkatan kekakuan aorta mungkin memainkan peran

penting.
Pasien dengan penyakit ginjal kronis mungkin tidak menunjukkan penurunan nokturnal
tekanan darah yang normal (disebut "nondippers"), faktor risiko yang mungkin untuk
komplikasi hipertensi . (Lihat "tekanan darah pemantauan Ambulatory dan hipertensi jas
putih pada orang dewasa", bagian tentang 'tekanan darah Nocturnal dan nondippers'.)

Tekanan darah tinggi yang normal - Pengamatan sebelumnya berlaku untuk pasien dengan
hipertensi yang jelas. Namun, peningkatan tekanan darah dalam kisaran normal juga terjadi pada
pasien dengan penyakit glomerular kronis dan mungkin signifikan secara klinis. Satu laporan
mengevaluas 19 pasien dengan nefropati IgA kronis yang "normotensif" sebagaimana ditentukan
oleh penentuan tekanan darah kasual . Bila dibandingkan dengan kontrol sehat yang sama, pasien
dengan glomerulonefritis kronik memiliki tekanan darah ambulatory tinggi yang masih dalam
kisaran normal. Para pasien juga mengalami peningkatan relatif dalam ketebalan ventrikel kiri
pada ekokardiografi (lagi dalam kisaran normal), menunjukkan bahwa peningkatan tekanan
darah ycukup untuk menyebabkan kerusakan end-organ awal.
PENGOBATAN HIPERTENSI PADA GLOMERULUS ATAU PENYAKIT VASKULAR AKUT
Mengingat perbedaan patogenesis, mekanisme dan pengobatan hipertensi bervariasi pada pasien
dengan glomerular akut dan penyakit pembuluh darah.
Kami lebih memilih terapi awal dengan diuretik (terutama diuretik loop pada pasien dengan
mengurangi tingkat filtrasi glomerulus) untuk mengobati hipertensi pada pasien dengan penyakit
glomerulus akut dan edema, karena diuretik juga akan mengobati hypervolemia dan edema
terkait. Jika hipertensi berlanjut, angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor mungkin
efektif, bahkan di hipertensi dengan kadar renin rendah sering dikaitkan dengan
glomerulonefritis akut . Tanggapan ini mungkin mencerminkan aktivasi sistem renin-angiotensin
jaringan, seperti yang terjadi di ginjal, endotelium pembuluh darah, dan kelenjar adrenal. (Lihat
"inhibisi sistem Renin-angiotensin dalam pengobatan hipertensi".)
Dibandingkan dengan glomerulonefritis akut, kita lebih suka inhibitor ACE sebagai terapi
antihipertensi awal pada pasien dengan penyakit pembuluh darah akut, karena iskemia ginjal
menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Data yang kuat mendukung pendekatan ini pada
pasien dengan krisis ginjal skleroderma dan kita lebih suka penghambatan angiotensin di
poliarteritis nodosa dan vaskulitid lain juga. (Lihat "krisis Scleroderma ginjal", bagian tentang
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |50

'Pengobatan' dan "Pengobatan dan prognosis dari poliarteritis nodosa", bagian tentang
'Hipertensi'.)
PENGOBATAN HIPERTENSI pada PENYAKIT GINJAL KRONIK
- Pengobatan bahkan hipertensi yang ringan adalah penting pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis (CKD) untuk melindungi terhadap kedua progresif hilangnya fungsi ginjal dan penyakit
kardiovaskular, kejadian yang meningkat dengan ringan CKD sampai sedang. (Lihat "terapi anti
hipertensi dan perkembangan penyakit ginjal kronis nondiabetes" dan "penyakit ginjal kronis dan
penyakit

jantung

koroner",

bagian

tentang

'kontrol

tekanan

darah'.)

Tekanan darah Goal - Kami setuju dengan 2.011 KDIGO klinis praktek pedoman pengelolaan
tekanan darah pada penyakit ginjal kronis yang tekanan darah tujuan tergantung pada derajat
proteinuria:

Pada pasien dengan CKD proteinuric, biasanya didefinisikan sebagai lebih besar dari atau
sama dengan 500 mg / hari atau lebih tinggi, tekanan darah harus diturunkan menjadi kurang

dari 130/80 mmHg.


Pada pasien dengan CKD nonproteinuric, didefinisikan sebagai kurang dari 500 mg / hari,
tekanan darah harus diturunkan menjadi kurang dari 140/90 mmHg.

Bukti yang mendukung rekomendasi kami untuk tekanan darah gol pada pasien dengan CKD
diabetes dan nondiabetes disajikan secara rinci di tempat lain. (Lihat "terapi anti hipertensi dan
perkembangan penyakit ginjal kronis nondiabetes", bagian tentang 'Proteinuria dan
perkembangan penyakit ginjal kronis' dan "terapi anti hipertensi dan perkembangan penyakit
ginjal kronis nondiabetes", bagian tentang 'tujuan Tekanan darah' dan "Pengobatan hipertensi
pada pasien dengan diabetes mellitus ", bagian tentang 'tekanan darah Goal'.)
Selain kontrol tekanan darah, tujuan spesifik yang berkaitan dengan pengurangan ekskresi
protein urin telah dirumuskan untuk memperlambat laju perkembangan CKD proteinuric:

Kami menyarankan tujuan proteinuria kurang dari 1000 mg / hari.


Sejak target ini mungkin sulit untuk mencapai, terutama pada pasien dengan sindrom
nefrotik, kami menyarankan pengurangan minimum di proteinuria minimal 50 sampai 60
persen dari nilai-nilai dasar ditambah ekskresi protein kurang dari 3,5 g / hari.

Bukti yang mendukung rekomendasi kami untuk pengurangan proteinuria pada pasien dengan
CKD diabetes dan nondiabetes dibahas secara terpisah. (Lihat "terapi anti hipertensi dan
perkembangan penyakit ginjal kronis nondiabetes", bagian tentang 'tekanan dan proteinuria
tujuan Blood' dan "Pengobatan nefropati diabetik", bagian tentang 'Rekomendasi'.)
Teknik pengukuran tekanan darah - Hampir setiap persidangan yang dievaluasi tujuan tekanan
darah atau terapi antihipertensi tertentu pada pasien dengan CKD bekerja kantor berbasis,
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |51

sebagai lawan ambulatory atau rumah, pengukuran tekanan darah. Dengan demikian, kita
menggunakan pengukuran berbasis kantor untuk menentukan apakah atau tidak pasien telah
mencapai tekanan darah gol. Teknik yang tepat untuk mengukur tekanan darah di kantor dibahas
di tempat lain. (Lihat "Teknik pengukuran tekanan darah dalam diagnosis hipertensi".)
Namun, beberapa penelitian observasional telah menemukan bahwa 24 jam tekanan darah
ambulatory adalah prediktor kuat penyakit ginjal tahap akhir (End Stage Renal Desease ),
penyakit kardiovaskular, dan kematian dari kantor berbasis pengukuran . Pada 436 pasien dengan
CKD yang menjalani kedua pengukuran tekanan darah ambulatory dan kantor berbasis,
misalnya, siang ambulatory tekanan sistolik lebih besar dari 145 mmHg dikaitkan dengan tiga
kali lipat peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan risiko hampir dua kali lipat
peningkatan ESRD atau kematian dibandingkan dengan pasien yang tekanan sistolik siang hari
adalah 126-135 mmHg. Nilai prognostik tekanan darah ambulatory malam bahkan lebih kuat.
Sebaliknya, rata-rata enam kantor berbasis pengukuran yang dilakukan selama dua hari tidak
berhubungan dengan baik penyakit kardiovaskular, ESRD, atau kematian.
Manfaat restriksi natrium - pembatasan Sodium meningkatkan efek dari banyak obat
antihipertensi. (Lihat "asupan garam, pembatasan garam, dan hipertensi esensial", bagian
"Respon terhadap obat antihipertensi '.) Hal ini juga berlaku pada pasien dengan CKD
kebanyakan, seperti dibahas di bawah, diperlakukan dengan inhibitor angiotensin untuk
memperlambat perkembangan penyakit. Potensi manfaat pembatasan natrium yang ditunjukkan
di crossover percobaan 52 pasien dengan CKD proteinuric (berarti ekskresi protein 1,6 g / hari
dan berarti kreatinin dari 70 mL / menit), yang semuanya mengambil lisinopril [18]. Empat
perlakuan diberi secara acak, masing-masing selama enam minggu: diet rendah sodium dengan
plasebo; diet rendah sodium dengan valsartan; natrium diet biasa dengan plasebo; dan natrium
diet biasa dengan valsartan. Dibandingkan dengan natrium diet biasa (berarti urin ekskresi
natrium 184 mmol / hari), diet rendah sodium (berarti 106 mmol / hari) penurunan tekanan darah
ke tingkat yang lebih besar daripada penambahan valsartan (11 vs 3 mmHg). Selain dari
valsartan memiliki efek minimal tambahan (2 mmHg) pada tekanan darah di atas diet rendah
sodium.
Penggunaan diuretik dan tujuan terapi - Karena penurunan fungsi ginjal, dosis yang lebih tinggi
dari diuretik biasanya diperlukan pada pasien dengan CKD yang biasanya volume yang diperluas
bahkan tanpa adanya edema. Diuretik thiazide menjadi kurang efektif bila laju filtrasi glomerulus
kurang dari 30 mL / menit [19]. Pada pasien tersebut, diuretik loop lebih disukai sebagai terapi
awal. Torsemide, yang memiliki durasi panjang tindakan, mungkin lebih disukai. (Lihat
"Pengobatan hipertensi resisten", bagian tentang 'Diuretik'.)
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |52

Jika edema berlanjut, thiazide diuretik dapat ditambahkan ke loop diuretik. Alasan untuk terapi
gabungan adalah bahwa sebagian besar cairan meninggalkan lengkung Henle, bahkan setelah
pemberian loop diuretik, diserap di tubulus distal, lokasi aksi diuretik thiazide. Dengan
demikian, tiazid memiliki efek diuretik ditingkatkan pada pasien yang diobati dengan loop
diuretik. (Lihat "Pengobatan edema refrakter pada orang dewasa", bagian tentang 'thiazide
ditambah diuretik loop'.)
Kemanjuran terapi diuretik gabungan telah diilustrasikan dalam sebuah laporan dari lima pasien
dengan (kreatinin serum 2,3-4,9 mg / dL [203-433 mikromol / L]) CKD yang memiliki respon
yang tidak memadai untuk 160-240 mg / hari furosemide di dosis terbagi [20]. Meningkatkan
dosis furosemide hanya keberhasilan yang terbatas. Sebaliknya, penambahan 25 sampai 50 mg
dua kali sehari dari hydrochlorothiazide menghasilkan diuresis ditandai. Chlorthalidone
umumnya lebih disukai untuk hydrochlorothiazide karena lebih kuat dan memiliki durasi yang
lebih lama dari tindakan [21]. (Lihat "Pengobatan hipertensi resisten", bagian tentang 'Diuretik'.)
Pada pasien edema dengan CKD, tujuan awal adalah penghapusan edema. Namun, jika
hipertensi menetap setelah edema telah dihapus, ekspansi volume plasma masih dapat hadir dan
memberikan kontribusi untuk hipertensi. Jadi, ketika diuretik digunakan untuk mengobati
hipertensi pada pasien dengan CKD tanpa edema yang jelas, dosis dan / atau frekuensi diuretik
harus ditingkatkan ketika respon antihipertensi tidak memadai.
terapi diuretik harus ditingkatkan sampai salah satu dari dua titik akhir tercapai: tujuan tekanan
darah dicapai; atau pasien telah mencapai "berat kering" yang, di hadapan hipertensi persisten,
didefinisikan sebagai berat di mana kehilangan cairan lebih lanjut mengarah ke gejala (kram,
kelelahan, hipotensi ortostatik) atau penurunan perfusi jaringan yang dibuktikan dengan tidak
jelas penyebabnya elevasi dalam konsentrasi kreatinin serum.
Pilihan terapi antihipertensi - Pencapaian tekanan darah gol pada pasien dengan CKD biasanya
membutuhkan terapi multidrug [22]. Seperti tekanan darah tujuan dibahas di atas, pilihan agen
tergantung sebagian pada apakah atau tidak pasien memiliki proteinuria.
Urutan terapi antihipertensi di CKD proteinuric - Pada pasien dengan CKD yang memiliki
proteinuria, didefinisikan sebagai ekskresi protein lebih besar dari atau sama dengan 500 mg /
hari, kami sarankan inhibitor angiotensin sebagai terapi lini pertama. Kami menyarankan diuretik
dan non-dihydropyridine calcium channel blockers (misalnya, diltiazem, verapamil) sebagai lini
kedua dan ketiga-line agen, meskipun diuretik loop akan menjadi terapi lini pertama dengan
inhibitor angiotensin pada pasien dengan edema. Bila menggunakan inhibitor angiotensin dan
diuretik dalam kombinasi sebagai terapi lini pertama, kami titrasi dosis obat kedua perlahan
untuk menghindari hipotensi sejak diuretik meningkatkan efek antihipertensi inhibitor
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |53

angiotensin. (Lihat "inhibisi Renin-angiotensin system dalam pengobatan hipertensi", bagian


tentang

'respon

anti

hipertensi'.)

terapi lini pertama di CKD proteinuric - Bukti kuat nikmat penggunaan ACE inhibitor atau
angiotensin II receptor blocker (ARB) sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan CKD
proteinuric (yaitu, ekskresi protein lebih besar dari 500 mg / hari) karena, di Selain menurunkan
tekanan darah, obat ini memperlambat laju perkembangan CKD. Data yang mendukung
disajikan di tempat lain. (Lihat "terapi anti hipertensi dan perkembangan penyakit ginjal kronis
nondiabetes", bagian tentang 'Choice terapi' dan "Pengobatan hipertensi pada penderita diabetes
mellitus", bagian tentang 'Choice agen antihipertensi'.)
Efek samping yang umum dari penghambatan angiotensin, termasuk pengurangan akut pada laju
filtrasi glomerulus dan hiperkalemia yang lebih mungkin terjadi pada pasien dengan CKD,
dibahas secara rinci secara terpisah. (Lihat "efek samping utama dari angiotensin converting
enzyme inhibitor dan angiotensin II receptor blockers".)
Penggunaan inhibitor ACE atau ARB untuk mengelola hipertensi pada anak dengan CKD
dibahas secara rinci di tempat lain. (Lihat "Sekilas pengelolaan penyakit ginjal kronis pada anakanak", bagian tentang 'Hipertensi'.)
Kedua dan ketiga-line therapy di CKD proteinuric - saran kami untuk kedua dan ketiga-line
terapi antihipertensi pada pasien dengan CKD proteinuric tergantung pada apakah overload
volume terang-terangan hadir:

Pada pasien dengan CKD yang memiliki proteinuria dan edema, terapi awal biasanya terdiri
dari kedua inhibitor angiotensin untuk perlindungan ginjal dan diuretik loop untuk edema,
yang, dengan meningkatkan pelepasan renin, juga dapat meningkatkan efek antihipertensi
dari inhibitor angiotensin. Penggunaan diuretik juga dapat mengembalikan efek
antiproteinuric terapi inhibitor ACE pada pasien tanpa respon antiproteinuric memadai,
karena ekspansi volume mengurangi angiotensin rilis II dan membuat tekanan darah kurang
tergantung pada angiotensin II [23,24]. (Lihat "inhibisi Renin-angiotensin system dalam
pengobatan hipertensi", bagian tentang 'respon anti hipertensi'.)
Jika terapi antihipertensi lebih lanjut diperlukan, kami menyarankan non-dihydropyridine
calcium channel blocker (misalnya, diltiazem atau verapamil) karena obat ini juga
proteinuria lebih rendah. Sebaliknya, dihydropyridines (misalnya, amlodipine) memiliki
sedikit atau tidak berpengaruh pada ekskresi protein [25]. (Lihat "terapi anti hipertensi dan
perkembangan penyakit ginjal kronis nondiabetes", bagian tentang 'Calcium channel

blocker'.)
Pada pasien dengan CKD yang memiliki proteinuria tapi tidak edema, kami sarankan baik
diuretik atau saluran kalsium blocker non-dihidropiridin sebagai lini kedua dan kemudian
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |54

terapi lini ketiga. ekspansi volume, bahkan tanpa adanya edema, sering memainkan peran
utama dalam hipertensi terkait dengan CKD. (Lihat 'Penggunaan diuretik dan tujuan terapi'
di atas.)
Isu yang terkait dengan penggunaan diuretik dan tujuan dan keterbatasan terapi diuretik yang
dibahas

di

atas.

(Lihat

'Penggunaan

diuretik

dan

tujuan

terapi'

di

atas.)

Urutan terapi antihipertensi di CKD nonproteinuric - Berbeda dengan efek renoprotektif mereka
di CKD proteinuric, inhibitor angiotensin tidak muncul untuk menjadi lebih menguntungkan
daripada obat antihipertensi lain pada pasien dengan CKD nonproteinuric [26]. Data-data ini
dibahas secara rinci di tempat lain. (Lihat "terapi anti hipertensi dan perkembangan penyakit
ginjal kronis nondiabetes", bagian tentang 'Proteinuria dan perkembangan penyakit ginjal
kronis'.)
Pada pasien dengan CKD nonproteinuric, kami sarankan urutan berikut, yang tergantung pada
ada tidaknya edema:

Pada pasien dengan edema, kita lebih suka terapi awal dengan loop diuretik. Setelah edema
dikendalikan, inhibitor angiotensin atau saluran kalsium dihidropiridin blocker (misalnya,

amlodipine) dapat ditambahkan dalam rangka baik jika hipertensi berlanjut.


Pada pasien tanpa edema, kita mulai dengan inhibitor angiotensin, dan kemudian
menambahkan kalsium dihidropiridin channel blocker (misalnya, amlodipine) sebagai terapi
lini kedua. Pendekatan ini belum diteliti secara khusus pada pasien dengan CKD
nonproteinuric. Sebaliknya, itu adalah ekstrapolasi dari rekomendasi kami untuk pasien
hipertensi pada umumnya, yang dipandu oleh temuan MEMENUHI sidang. Jika diperlukan,
kami menyarankan untuk menambahkan diuretik sebagai terapi lini ketiga. (Lihat "Pilihan
terapi hipertensi esensial: Rekomendasi", bagian tentang 'MEMENUHI percobaan'.)

Lini terapi keempat dengan agen lain - obat antihipertensi lainnya dapat digunakan sebagai
diperlukan pada pasien dengan CKD yang memiliki hipertensi resisten. Antagonis aldosteron
(spironolakton dan eplerenone) adalah agen keempat-line yang efektif untuk pengobatan
hipertensi resisten pada umumnya dan pada pasien dengan CKD. Selain mengurangi tekanan
darah, antagonis aldosteron juga memiliki sifat antiproteinuric yang mungkin terkait dengan
penurunan lambat dalam fungsi ginjal. Namun, uji coba dengan hasil pasien-penting tidak
tersedia. (Lihat "Pengobatan hipertensi resisten".)
Khasiat antagonis aldosteron dievaluasi dalam studi dari 46 pasien dengan rata-rata perkiraan
laju filtrasi glomerulus (eGFR) dari 57 mL / menit per 1,73 m2 dan hipertensi yang tidak
terkontrol dengan tiga obat mekanis pelengkap, termasuk diuretik dan angiotensin inhibitor .
penurunan tekanan sistolik rerata ( mean systolic pressure ) yang disebabkan oleh antagonis
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |55

aldosteron adalah 14,7 mmHg. (Lihat "Pengobatan hipertensi resisten", bagian tentang
'Aldosteron antagonis'.)
Efek samping utama antagonis aldosteron pada pasien dengan CKD adalah penurunan fungsi
ginjal dan hiperkalemia. Dalam studi di atas, 39 persen memiliki penurunan laju filtrasi
glomerulus (eGFR) dari 30 persen atau lebih ketika tekanan darah tujuan dicapai dan 17 persen
Andri
10 risiko hiperkalemia termasuk dasar
hiperkalemia dikembangkan terjadi di 17 persen [27].
Faktor
tahun laki-

eGFR 45 mL / menit pada pasien dengan kalium laki


serum di atas 4,5 meq / L, dan penurunan
Laki-laki dan
Riwayat
eGFR lebih dari 30 persenusia(faktor
setelah terapi.
menderita demam
resiko)
dan faringitis
Pemeliharaan dialisis - Tujuan
terapi utama pada pasien dialisis hipertensi
adalah bertahap
Pembentukan
pemindahan cairan untuk mencapai "berat kering."
(Lihat "Hipertensi pada pasien dialisis").
kompleks
imun

Pengendapan di
subendotel glomerulus
Aktivasi komplemen
C3

VII. KERANGKA KONSEP


Akumulasi PMN pada
membran basal glomerulus
Terbentuk Lesi di
glomerulus
Kebocoran
kapiler

GFR

- Hematuria
Proteinuria

Oliguria

Hipoperfusi

Aktivasi Sistem
RAA
Retensi Na
Ag II

Vasokontrik
si Perifer
Hipertensi

Aldostero
n

Retensi Air

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |56


Cairan
intravaskuler

Edema

VIII. KESIMPULAN
Andri, anak laki-laki usia 10 tahun, menderita sindroma nefritik akut (GNAPS) e.c pasca infeksi
streptococcus beta hemolyticus group A tipe 12.

DAFTAR PUSTAKA
1.

David T. Selewski, Jordan M. Symons. Acute Kidney Injury. Pediatrics in Review, Volume
35/ Issue 1. January, 2014.
(Situs: http://pedsinreview.aappublications.org/content/35/1/30)

2.

Dr. Gusti Ayu Putu Nilawati, SpA. Kejadian Acute Kidney Injury dengan Kriteria pRIFLE
pada Unit Perawatan Intensif Anak Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Sari Pediatri, Vol. 14, No.
3, Oktober 2012.
(Situs: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/14-3-4.pdf)

3.

Dr. Sondang Maniur Lumbanbatu. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus pada Anak. Sari
Pediatri, Vol. 5, No. 2, September 2003: 58 63
(http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-2-4.pdf)

4.

Dr. Sudung O. Pardede, SpA (K). Gangguan Ginjal Akut. Kapita Selekta, (Nefrologi Anak).
ed.IV, Vol. I. 2014

5.

Pedoman Pelayanan Medis. Edisi II. IDAI. 2011.


(http://www.idai.or.id/downloads/PPM/Buku-PPM-Jilid2.pdf )

6.

Prof.Dr.Syarifuddin Rauf, Dr., Sp.A(K) Prof.Husein Albar, Dr., Sp.A(K). Konsensus


Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Unit Kerja Nefrologi. IDAI. 2012.

7.
8.

Kompendium Nefrologi Anak, Jakarta 2011


Noer MS . Glomerulonefritis, 2002. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Buku

9.

Ajar Nefrologi Anak. 2nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Sudoyo AW dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. V . Jakarta: Pusat

Penerbitan IPD FKUI


10. Basuki B Purnomo. Dasar-dasar Urologi. 2011. Jakarta: Sagung Seto
11. Anemia pada Anak. (http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimus-gdl-rahmandase6687-3-babii.pdf)
12. Anemia. (http://eprints.undip.ac.id/43853/3/Elsa_G2A009017_BAB_2.pdf)
13. Gangguan ginjal akut. (http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Pustaka_
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |57

Unpad_Gangguan_-Ginjal_-Akut.pdf.pdf)

Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |58

Anda mungkin juga menyukai