L
L
3.
bakteri.
Kompelemen C3: Tes darah untuk menghitung aktivitas dari protein tertentu yang merupakan
dari sistem komplemen. Sistem komplemen adalah kelompok protein yang bergerak bebas
melalui pembuluh darah dan berkerja dengan sistem imun berperan dalam sistem inflamasi. C3
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Oliguria: Produksi atau sekresi urin yang berkurang dalam hubungannya dengan asupan cairan.
Edema palpebral: Pengumpulan cairan secara abnormal di kelopak mata.
Demam: Suatu kondisi saat suhu badan melebihi 37,5 oC.
Sakit tenggorokan: Suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan dari faring, yang
A
Kalimat
1
Prioritas
A
***
L
IS
Sejak 2 hari yang lalu tiba-tiba BAK anak berwana merah sepeti air cucian
2
**
IS
**
pula keluarganya
Pada pemeriksaan fisik:
Anak tampak sakit sedang, suhu 37oC, nadi 100x/menit, pernafasan
28x/menit, TD 130/80 mmHg BB = 35 kg, TB = 140 cm. Pada mata
5
semuda 1 tahun dan pada orang dewasa setua 90 tahun. Namun, dalam seri yang paling
besar, 5-10% dari pasien yang lebih tua dari 40 tahun, dan 5% lebih muda dari 2 tahun.
Kelompok usia yang paling sering terkena adalah mereka yang berusia 5-20 tahun,
meskipun di negara maju, penyakit ini sebagian besar terlihat pada laki-laki putih, sekitar
dekade kelima kehidupan.
Meskipun dominasi laki-laki dicatat dalam kasus simptomatik (rasio laki-lakiperempuan, 1,7-2: 1) untuk alasan yang tidak diketahui (APSGN terlihat dominan pada lakilaki), ketika penyakit subklinis dan klinis diperhitungkan, jumlahnya sama pada laki-laki
dan perempuan.
Tidak ada predileksi ras tercatat untuk glomerulonefritis poststreptococcal akut; kondisi
ini dilaporkan pada semua kelompok etnis dan budaya. Pada populasi perkotaan, predileksi
terhadap populasi minoritas yang diamati; Namun, ini mungkin terkait lebih ke faktor sosial
ekonomi dari kepadatan penduduk daripada predileksi rasial. Di negara maju, APSGN
mempengaruhi laki-laki kulit putih terutama usia tua, lebih sering sekitar dekade kelima
kehidupan. Di negara berkembang, penyakit ini terlihat terutama pada anak-anak kulit
hitam, terutama laki-laki. (medscape, update may, 2015)
b. Bagaimana mekanisme terjadinya BAK merah dan sakit kepala?
Sakit kepala
Kerusakan Glomerulus penurunan filtrasi glomerulus penurunan reabsorbsi di tubulus
proksimal peningkatan reabsorbsi di tubulus Distal Retensi Na dan Air peningkatan
volume intravaskular Hipertensi menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
sakit kepala
BAK merah
Hematuri makroskopik berupa urin coklat kemerah-merahan seperti teh tua / air cucian
daging biasanya muncul pada minggu pertama. Hematuri makroskopik muncul pada 3050% kasus, sedangkan hematuri mikroskopik ditemui pada hampir semua kasus.
Sel darah merah terlepas dari kapiler glomerulus melalui celah-celah dindingkapiler
yang tidak dapat terlihat walaupun dengan pemeriksaan mikroskop electron.
Sel darah merah dapat masuk ke ruang urinari dari glomerulus atau, jarang dari tubulus
renalis. Gangguan barier filtrasi glomerulus dapat disebabkan abnormalitas turunan atau
didapat pada struktur dan integritas dinding kapiler glomerulus. Sel darah merah ini dapat
terjebak pada mukoprotein tamm-horsfall dan akan bermanifestasi sebagai silinder sel darah
merah pada urin. Temuan silinder pada urin merupakan masalah signifikan pada tingkat
glomerular. Meskipun demikian, pada penyakit nefron, silinder dapat tidak ditemukan dan
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |3
hanya ditemukan sel darah merah terisolasi. Adanya proteinuri membantu menunjang
perkiraan bahwa kehilangan darah berasal dari glomerulus.
Hematuria tanpa proteinuria atau silinder diistilahkan sebagai hematuria terisolasi
(isolated hematuria). Meskipun beberapa penyakit glomerular dapat mengakibatkan
hematuria terisolasi, penemuan ini lebih konsisten pada perdarahan ekstraglomerular. Setiap
yang mengganggu epitelium seperti iritasi, inflamasi, atau invasi, dapat mengakibatkan
adanya sel darah normal pada urin. Gangguan lain termasuk keganasan, batu ginjal, trauma,
infeksi, dan medikasi. Juga, penyebab kehilangan darah non glomerular, seperti tumor
ginjal, kista ginjal, infark dan malformasi arteri-vena, dapat menyebabkan hilangnya darah
masuk kedalam ruang urinary.
c.
2. Sejak 2 hari yang lalu tiba-tiba BAK anak berwana merah sepeti air cucian daging dengan
keluhan tambahan sakit kepala. Frekuensi dan volume kencing dirasakan masih seperti
biasa.
a. Apa penyebab dan mekanisme dari BAK merah seperti cucian daging?
Hematuri makroskopik berupa urin coklat kemerah-merahan seperti teh tua / air cucian
daging biasanya muncul pada minggu pertama. Hematuri makroskopik muncul pada 30
50 % kasus, sedangkan hematuri mikroskopik ditemui pada hampir semua kasus.
Sel darah merah terlepas dari kapiler glomerulus melalui celah-celah dindingkapiler yang
tidak dapat terlihat walaupun dengan pemeriksaan mikroskop electron.
Sel darah merah dapat masuk ke ruang urinari dari glomerulus atau, jarang dari tubulus
renalis. Gangguan barier filtrasi glomerulus dapat disebabkan abnormalitas turunan atau
didapat pada struktur dan integritas dinding kapiler glomerulus. Sel darah merah ini dapat
terjebak pada mukoprotein tamm-horsfall dan akan bermanifestasi sebagai silinder sel darah
merah pada urin. Temuan silinder pada urin merupakan masalah signifikan pada tingkat
glomerular. Meskipun demikian, pada penyakit nefron, silinder dapat tidak ditemukan dan
hanya ditemukan sel darah merah terisolasi. Adanya proteinuri membantu menunjang
perkiraan bahwa kehilangan darah berasal dari glomerulus.
Hematuria tanpa proteinuria atau silinder diistilahkan sebagai hematuria terisolasi (isolated
hematuria). Meskipun beberapa penyakit glomerular dapat mengakibatkan hematuria
terisolasi, penemuan ini lebih konsisten pada perdarahan ekstraglomerular. Setiap yang
mengganggu epitelium seperti iritasi, inflamasi, atau invasi, dapat mengakibatkan adanya sel
darah normal pada urin. Gangguan lain termasuk keganasan, batu ginjal, trauma, infeksi, dan
medikasi. Juga, penyebab kehilangan darah non glomerular, seperti tumor ginjal, kista
ginjal, infark dan malformasi arteri-vena, dapat menyebabkan hilangnya darah masuk
kedalam ruang urinary.
b. Kondisi medis apa saja yang dapat menyebabkan BAK merah seperti cucian daging?
Glomerulonefritis pascastreptokokus, Endokarditis bakteri subakut, nefritis akut, penyakit
anti-membran basal glomerulus, nefropati IgA, purpura Henoch-Schoenlein.
c.
infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini
berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain,
seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schenlein atau Benign recurrent haematuria.
3. Sejak 1 hari yang lalu anak masih mengeluh sakit kepala dengan kelopak mata sembab dan
frekuensi dan volume kencing yang berkurang.
a. Berapa frekuensi dan volume BAK normal dalam 1 hari? Fisiologi BAK?
Kapasitas buli-buli = [umur(tahun) + 2] x 30 ml
= [10+2] x 30
= 360 ml
Frekuensi normal berkemih sehari = 3-4 kali/hari
Fisiologi berkemih :
Pembentukan urine adalah fungsi ginjal yang paling esensial dalam mempertahankan
homeostatis tubuh. pada orang dewasa sehat lebih kurang 1200ml darah, atau 25% cardiac
output, mengalir ke kedua ginjal. pada keadaan tertentu, aliran darah ke ginjal dapat
meningkat hingga 30% (pada saat latihan fisik) dan menurun hingga 12% dari cardiac output.
Kapiler glomeruli berdinding porous (berlurbang-lubang), yang memungkinkan
terjadinya filtrasi cairan dalam jumlah besar (180 l/hari). molekul yang berukuran kecil (air,
elektrolit, dan sisa metabolisme tubuh, diantaranya kreatinin dan uremum) akan difiltras dari
darah, sedangkan molekul berukuran leih besar (protein dna sel darah) tetap tertahan di dalam
darah. oleh karena itu komposisi cairan filtrat akan direabsorbsi dan beberapa elektrolit kan
mengalami sekresi di tubulus ginjal, yang kemudian menghasilkan urine yang akan disalurkan
melalui duktus kolengentes. cairan urine tersebut disalurkan ke dalam sistem kalises hingga
pelvis ginjal.
b. Mengapa frekuensi kencing jarang sedangkan minum masih seperti biasa?
Streptokokkus terbawa dalam sirkulasi yang akhirnya mengundang antibody dankomplemen
serta system imun non spesifik lain dan membentuk kompleks imun yang kemudian terjebak
dalam glomerulus (karena ukuran kompleks imun yang lebih besar dibandingkan dengan
membrane basalis glomerulus) yang akhirnya mengakibatkan terjadinya proses inflamasi
sehingga mengganggu proses filtrasi glomerulus yang berakibat pada hematuria dikarenakan
eritrosit tidak dapat difiltrasikan dengan benar pada MBG. Hal ini menyebabkan ginjal
mengalami iskemik jaringan dikarenakan jumlah eritrosit yang berkurang pada arteri renalis.
Hal ini berakibat pada vasokontriksi pembuluh darah yang dipengaruhi oleh system renin
angiotensin-aldosteron dan menyebabkan tretensi cairan dan natrium ke jaringan interstisial
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |6
dan berakhir pada edema generalisata sehingga kadar cairan dalam tubuh tidak dapat
dieksresikan dengan baik melalui ginjal karena pada tahap ini telah terjadi penurunan laju
filtrasi glomerulus.
c. Apakah hubungan frekuensi dan volme urin yang bekurang dengan edema?
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi glomeruli
berkurang, sedangkan aliran darah
ke ginjal biasanya
menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1% .Keadaan ini akan menyebabkan
reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang menyebabkan tubulus distalis meningkatkan
proses reabsorbsinya, termasuk Na, Sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air.
Retensi Na dan air ini akan menyebabkan terjadinya edema dan berdapak pada berkurangnya
frekuensi miksi dan volume urin yang dikeluarkan oleh tubuh.
d. Adakah hubungan frekuensi dan volume urin yang berkurang dengan hematuria?
Pada orang yang menderita glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus akan mengalami
gross hematuria atau disebut juga hematuria mikroskopis, pengeluaran darah yang berlebihan
ini akan mempengaruhi laju filtrasi ginjal sehingga urin yang dihasilkan juga menurun
(oliguria).
e. Bagaimana mekanisme terjadinya edema di kelopak mata?
Mekanisme underfilling. Pada mekanisme underfilling, terjadinya edema disebabkan
rendahnya kadar albumin serum yang mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma,
kemudian akan diikuti peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang interstitial sesuai
dengan hukum Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan berkurang (underfilling)
yang selanjutnya mengakibatkan perangsangan sekunder sistem renin-angiotensin-aldosteron
yang meretensi natrium dan air pada tubulus distalis.
Edema yang disebabkan oleh hipoalbuminemia secara khas akan terlihat menyeluruh
(generalisata), tetapi paling jelas pada jaringan kelopak mata serta muka yang sangat lunak
dan cenderung semakin mencolok di pagi hari karena posisi tubuh berbaring pada malam
harinya.
f. Apakah dengan makan dan minum seperti biasa dapat memperparah kondisi andri?
Pada hipertensi ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan
darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Jumlah garam yang diberikan perlu
diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema
ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum
meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik,
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |7
terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang
dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25
ml/kgbb/ hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10
ml/kgbb/hari).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada kasus andri membutuhkan pembatasan
cairan, agar tidak memperparah hipertensi dan juga edema.
4. Riwayat 2 minggu yang lalu anak menderita demam dan sakit tenggorokan dan anak tidak
pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya begitu pula keluarganya.
a. Adakah hubungan riwayat 2 minggu yang lalu dengan sekarang? Jelaskan!
Riwayat menderita demam dan sakit tenggorokan 2 minggu yang lalu menjadi salah
satu hal penting yang didapatkan dari anamnesis untuk menegakan diagnosis pasien saat ini.
Demam dan sakit tenggorokan menununjukkan bahwa pada 2 minggu yang lalu pasien
menderita infeksi traktus repiratorius bagian atas yang salas satunya penyebabnya adalah oleh
bakteri Streptococcus beta hemolitikus grup A.
Kumpulan keluhan/gejala yang dialami oleh Andri (Sindroma Nefritik Akut) dapat
disebabkan oleh beberapa faktor : 1) infeksi, 2) penyakit multisistemik, 3) penyakit ginjal
primer, 4) Nefropati IgA. Glomerulonefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus
(GNAPS) merupakan faktor infeksi penyebab SNA. Glomerulonefritis akut biasanya
didahului oleh infeksi ekstra-renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan
streptococcal skin infection di kulit (impetigo) oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A tipe 12, 4, 16, 25, dan 29. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25
paling sering menyebabkan glomerulonefritis karena lebih bersifat nefritogenik (strain
nefritogenik yang dindingnya mengandung protein M dan T). Antara infeksi bakteri dan
timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang lebih 10 hari, setelah itu
baru menimbulkan gejala-gejala SNA.
Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan
pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya glomerulonefritis akut
setelah infeksi scarlet fever, diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus grup A, dan
meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Jadi, dengan mengetahui riwayat demam dan sakit tenggorokan 2 minggu yang lalu
dapat diperkirakan bahwa Andri mengalami GNAPS, yang ditegakkan dengan adanya riwayat
demam & sakit tenggorokan 2 minggu yang lalu.
b. Mengapa ditanyakan riwayat keluarga?
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |8
Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya penyakit dengan ditemukannya HLA-D dan
HLA-DR.
5. Pada pemeriksaan fisik:
Anak tampak sakit sedang, suhu 37oC, nadi 100x/menit, pernafasan 28x/menit, TD 130/80
mmHg BB = 35 kg, TB = 140 cm. Pada mata tampak palpebra edema, paru dan jantung
dalam batas normal, Pemeriksaan abdomen cembung, lemas, hepar/lien tidak teraba,
pemeriksaan shifting dullness positif. Pemeriksaan ekstremitas: pitting edema pre tibial dan
dorsum pedis +/+.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan fisik?
Keterangan
Kasus
Nilai Normal
Interpretasi
Keadaan umum
Sakit sedang
Suhu
37 oC
36,5-37,5oC
Normal
Tekanan Darah
130/80
80-110/ 50-80
Sakit sedang
renin-angiotensin
Angiotensin
merangsang
korteks
II
adrenal
100 x/menit
Respiratory rate
28 x/menit
18-26 x/menit
Tachypnea.
Diawali
reaksi
inflamasi
di
ke
ginjal
menurun
35 kg
IMT 17,85
Underweight
Edema
Pada
Tidak ada
palpebra,
retensi cairan.
kedua
tungkai
dan
telapak kaki
Paru dan
Jantung
normal
normal
organ.
Abdomen
Cembung
Datar
Tidak normal.
Tidak teraba
Tidek teraba
Normal.
Shifting
(+)
(-)
Dullness
Pitting edema
adanya asites.
Pre tibial dan -/-
dorsum pedis
retensi cairan.
+/+
b. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan shifting dullness?
Pasien diminta berbaring dan membuka baju
Lakukan perkusi dari umbilikus ke sisi lateral
Apabila terdapat perubahan suara dari timpani ke redup, tandai tempat terjadinya
perubahan suara tersebut
Minta pasing miring ke arah kontralateral dari arah perkusi. Tunggu 30 - 60 detik
Lakukan perkusi kembali pada daerah yang ditandai tadi sampai terjadi perubahan bunyi
dari redup ke timpani
sakrum
costae atau sternum
Dahi (Dalam kasus anasacra)
ditimbulkan di kaki pada pasien dalam posisi duduk dan sacrum pada pasien dengan posisi
terbaring di tempat tidur.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |11
Normal
11,5-14,5gr/dl
Interpretasi
Anemia
Mekanisme
Kebocoran
kapiler
glomerulus
mm3
150.000-
220.000/mm3
350.000/mm3
Ureum 90 mg/dl
20-40 mg/dl
Normal
Meningkat
Meningkat
ASTO Positif
Abnormal
Infeksi
streptococcus
hemoliticus
Kuning jernih
cucian daging
Proteinuria (+1)
Hematuria
infeksi streptokokus.
Adanya eritrosit yang keluar bersama
Proteinuria
glomerulus
Infeksi streptococcus
terbentuk
proteinuria
Glomerular Filtration Rate (GFR) Andri rendah. GFR normal adalah sebesar 90
ml/min/17.3m2.
d. Bagaimana pathogenesis ASTO?
Streptolisin o dihasilkan oleh bakteri streptococcus grup A. Pemeriksaan ASTO berguna untuk
mengukur kadar antibodi terhadap zat tersebut. Kuman tersebut menghasilkan berbagai
produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibodi. Sifat antobodi yang
dihasilkan tidak membunuh kuman tersebut seutuhnya, namun mampu memberikan gambaran
tubuh yang tengah terinfeksi.
e. Bagaimana pathogenesis komplemen C3?
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam
proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara
sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1 C globulin) yang paling sering
diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 8092% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama
fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah
4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3
ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada
glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus.
7. Hipotesis:
Andri 10 tahun dibawa ke RSMH karena BAK merah dan sakit kepala menderita
Sindroma nephritic ec infeksi post streptococcal.
a. Etiologi
Glomerulonefritis akut paska streptokokus menyerang anak umur 5 15 tahun, anak
laki laki berpeluang menderita 2 kali lebih sering dibanding anak perempuan , timbul
setelah 9 11 hari awitan infeksi streptokokus.( Noer . 2006. Nelson .2002 ) Timbulnya GNA
didahului oleh infeksi bakteri streptokokus ekstra renal, terutama infeksi di traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh bakteri streptokokus golongan A tipe 4, 12, 25.
b. Epidemiologi
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik atau
sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1.3 Di Indonesia, penelitian multisenter
selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit
pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak
menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6%).
c. Patofisiologi
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi
glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut
akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah1%.Keadaan ini akan
menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan tubulus
distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan
retensi Na dan air.Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air
didukung oleh keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air,
sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi.Efek proteinuria yang terjadi pada
GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang
mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik
hormon (ADH) tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga
hormon tersebut meningkat.
d. Manifestasi klinis
Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik atau tipikal diawali
dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului timbulnya
sembab.
Periode laten rata-rata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit. Hematuria
dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikroskopik. Gross hematuria terjadipada 30-50
% pasien yang dirawat. Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai seperti demam, malaise,
nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu. Pada pemeriksaan fisis dijumpai
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |15
hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada
GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun perlahanlahan dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem pretibial atau berupa
gambaran sindrom nefrotik. Asites dijumpai pada sekitar 35% pasien dengan edem.
Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan takipne dan dispne. Gejala gejala tersebut
dapat disertai oliguria sampai anuria karena penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
e. Diagnosis banding
Glomerulonefritis kronik dengan eksaserbasi akut
Purpura Henoch-Schoenlein yang mengenai ginjal
Hematuria idiopayik
Nefritis herediter (sindrom Alport)
Lupus eritematosus sistemik
f. Cara penegakkan diagnosis
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan
gejalan klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut
setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya
infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti
untuk
menegakkan
diagnosis.
Tetapi
beberapa
keadaan
lain
dapat
menyerupai
akut yang berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala
laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada
anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75%
GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara histologik atau
laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk ke dalam proses kronik,
sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis
GNAPS baik, kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut
(Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.
i. Komplikasi
Komplikasi akut yang paling sering adalah hipertensi dengan atau tanpa gejala sistem syaraf
pusat. Sembab paru diderita oleh beberapa pasien akibat meningkatnya volume intravaskular
yang berlangsung pada awal penyakit. Gagal jantung kongestif dan myokarditis jarang
dijumpai. Azotemia yang menetap atau memburuk selalu merupakan masalah dan merupakan
gagal ginjal akut. Gagal ginjal akut dapat memberikan petunjuk adanya diagnosis yang lain,
seperti misalnya glomerulonefritis proliferasi membranosa, purpura Henoch-Schnlein, lupus
eritematosus sistemik, atau GNAPS yang memburuk, seperti pada glomerulonefritis progresif
cepat.
j. Tatalaksana
1. Istirahat ditempat tidur sampai gejala-gejala edema, kongesti vaskuler (dispnu, edema
paru, kardiomegali, hipertensi) menghilang.
2. Diet: Masukan garam(0,5-1 g/hari) dan cairan dibatasi selama edema, oliguria atau gejala
kongesti vaskuler dijumpai. Protein dibatasi (0,5/kg BB/hari) bila kadar ureum diatas 50
gram/dl.
3. Diuretika: Furosemide
4. Antihipertensif: Captopril
5. Antibiotika: PP atau eritromisin selama 10 hari untuk eradikasi kuman
k. SKDI
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberijan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menetukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |18
Ginjal
Ginjal terletak di rongga retroperitoneale di dinding posterior abdomen di belakang peritonium
parietale. Selain ginjal, organ seperti ureter, kelenjar aderenal serta arteri dan vena testicularis
(ovarica) terletak dalam rongga peritonium. Dinding belakang ginjal dibentuk oleh 3 otot yaitu:
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |19
1. M. Psoas mayor
2. M. Quadratus lumborum
3. Origo m. Tranversus abdominis
Permukaan anterior masing-masing otot di atas diliputi oleh jaringan ikat lemak yang berfungsi
sebagai bantalan bagi ginjal, kelenjar adrenal dan kolon.
Ginjal kanan terletak lebih rendah (T12) daripada ginjal kiri (T 11) karena adanya lobus hepar
pada sebelah kanan. Letak ginjal dapat turun sampai 2,5 cm apabila diafragma berkontraksi
sewaktu bernafas. Kedua margo medialis ginjal berbentuk cekung sebagai tempat masuk
pembuluh darah, syaraf, pembuluh limfa dan ureter (hilum renale). Hilum renale dilalui oleh
vena, 2 cabang arteri, ureter dan arteri secara berurutan dari depan ke belakang.
Ginjal dilapisi oleh 4 lapisan yaitu:
1.
2.
3.
4.
Capsula fibrosa
Capsula adiposa
Fascia renalis
Corpus adiposum pararenale
Struktur ginjal terdiri dari cortex yang berwarna merah gelap di bagian luar dan medulla di
bagian dalam yang berwarna lebih terang dibanding warna cortex. Medula renalis terdiri dari
piramid renalis yang mempunyai basis menghadap ke cortex dan apex (papilla renalis) yang
menghadap ke medulla.
Hilum renalis akan masuk ke dalam ginjal membentuk sinus renalis. Sinus renalis merupakan
suatu pelebaran ureter yang biasa disebut pelvis renalis. Pelvis renalis terdiri dari beberapa calyx
mayor yang masing masing akan becabang menjadi calyx minor.
Urutan pembuluh arteri yang memasuki ginjal:
Arteri renalir arteri segmentalis arteri lobaris arteri interlobaris arteri arcuata
arteri interlobularis arteriole aferen
Serabut saraf aferen yang mempersyrafi ginjal berasal dari medulla spinalis melalui nervus T10
T12.
Ureter
Ureter merupakan suau saluran muskular sepanjang 25 cm yang befungsi untuk menyalurkan
urin dari ginjal ke vesika urinaria. Ureter mendorong urin yang telah terbentuk ke vesica urinaria
melalui gerakan peristaltik. Hal ini disebabkan karena dalam perjalanannya ureter mengalami 3
penyempitan yaitu:
1.
2.
3.
Vesica urinaria
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |20
Vesica urinaria terletak tepat dibelakang pubis yang pada orang dewasa volume maksimalnya
sekitar 500 ml. Vesica urinaria yang kosong pada orang dewasa seluruhnya terletak pada rongga
pelvis, sedangkan bila vesika urinaria terisi penuh oleh urin maka bagian atasnya akan naik
sampai memasuki regio hipogastrik. Vesica urinaria yang kosong berbentuk piramid yang
mempunyai apex, basis, collum dan facies.
Apex vesicae mengarah ke depan dan terletak tepat di belakang pinggir atas symphysis pubis.
Apex vesicae dihubungkan dengan umbilikus melalui ligamentum umbilicale medianum (sisa
urachus). Basis vesicae berbentuk segitiga dan menghadap ke posterior. Sudut superolateralis
merupakan muara ureter dan sudut inferior merupakan tempat asal uretra. Collum vesicae berada
inferior dari VU dan terletak di atas fascies superior prostat. Colum vesicae dipertahankan pada
posisinya melalui ligamentum puboprostaticum pada laki-laki dan ligamentum pubo vesicale
pada wanita.
HISTOLOGI
Ginjal merupakan organ ekskresi utama tubuh manusia. Unit struktural dan fungsional
ginjal disebut nefron. Setiap ginjal memiliki 1 hingga 1,4 juta nefron fungsional. Nefron tersusun
atas bagian-bagian yang berfungsi langsung dalam pembentukan urin. Adapun bagian-bagian
nefron, yaitu: korpus renalis, tubulus kontortus proksimal, ansa henle segmen tebal dan tipis,
tubulus kontortus distal, dan duktus koligens.
Ginjal dibungkus oleh kapsul jaringan lemak dan jaringan ikat padat kolagen (kapsula
fibrosa). Struktur tersebut disebut sebagai kapsula ginjal. Di sebelah dalam kapsula ginjal,
terdapat bagian korteks dan di sebelah dalam korteks terdapat medulla. Korteks berisi korpus
renalis atau korpus malphigi yang merupakan kesatuan dari glomerulus dan kapsula Bowman.
Selain itu juga terdapat tubulus kontortus dan arteri atau vena yang mendarahinya. Di medulla,
dapat ditemukan struktur duktus namun tidak terdapat jaringan glomerulus. Dengan adanya
perbedaan khas tersebut, secara mikroskopis, ginjal dapat dibedakan dengan jelas mana bagian
korteks dan mana bagian medullanya.
Korteks ginjal mengandung korpus renalis yang merupakan permulaan dari setiap nefron.
Korpus renalis mengandung kapiler glomerulus yang diselubungi oleh dua lapis epitel yang
disebut kapsula Bowman. Lapisan dalam kapsul atau lapisan visceral kapsula Bowman
menyelimuti kapiler glomerulus. Pada lapisan ini terdapat podosit, yaitu sel yang memiliki
prosesus primer dan sekunder yang menyelimuti kapiler glomerulus dengan saling bersilangan.
Sementara itu, lapisan parietal di sebelah luarnya, yang tersusun dari epitel selapis skuamosa,
membulat dan membentuk rongga di antara keduanya yang disebut rongga urin atau rongga
kapsular. Di sinilah hasil ultrafiltrat ditampung untuk selanjutnya diteruskan ke tubulus kontortus
proksimal. Korpus renalis memiliki dua kutub yaitu kutub vaskular dan kutub tubular. Kutub
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |22
vaskular berarti kutub tempat masuknya arteriol aferen dan keluarnya arteriol eferen. Daerah ini
ditandai dengan adanya struktur makula densa, yaitu sel reseptor berbentuk palisade di dinding
tubulus kontortus distal yang dekat dengan glomerulus. Di daerah ini juga dapat ditemukan sel
jukstaglomerular atau sel granular yang merupakan modifikasi dari otot polos dinding arteriol
aferen. Makula densa, sel jukstaglomerular, dan kumpulan sel mesangial ekstraglomerular
membentuk aparatus jukstaglomerular. Struktur ini berfungsi dalam pengaturan volume dan
tekanan darah.
Struktur nefron berikutnya adalah tubulus-tubulus yang berperan dalam proses reabsorpsi.
Berikut ini merupakan ciri khas penampakan mikroskopis dari masing-masing tubulus.
Tubulus kontortus proksimal : Epitel selapis kuboid dengan brush border sehingga batas
sel dengan lumen tampak tidak jelas, Batas antar sel juga tidak jelas karena membran sel lateral
berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma asidofilik dan granular, Jarak antar inti sel jauh ,
Ditemukan di jaringan korteks.
Ansa henle segmen tebal pars desendens : Epitel selapis kuboid dengan brush border
sehingga batas sel dengan lumen tampak tidak jelas, Batas antar sel juga tidak jelas karena
membran sel lateral berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma asidofilik dan granular,
Jarak antar inti sel jauh, Ditemukan di jaringan medulla.
Ansa henle segmen tipis : Epitel selapis skuamosa, mirip dengan kapiler namun tidak
memiliki sel darah pada lumennya, Tidak dapat dibedakan antara asendens dan desendens.
Ansa henle segmen tebal pars asendens : Epitel selapis kuboid tanpa brush border sehingga
batas sel dengan lumen tampak cukup jelas dibanding tubulus kontortus proksimal , Batas antar
sel juga tidak jelas karena membran sel lateral berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma
terlihat lebih pucat, Jarak antar inti sel lebih rapat dibanding tubulus kontortus proksimal,
Ditemukan di jaringan medulla.
Tubulus kontortus distal : Epitel selapis kuboid tanpa brush border sehingga batas sel
dengan lumen tampak cukup jelas dibanding tubulus kontortus proksimal, Batas antar sel juga
tidak jelas karena membran sel lateral berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma terlihat
lebih pucat, Jarak antar inti sel lebih rapat dibanding tubulus kontortus proksimal, Ditemukan di
jaringan korteks.
Duktus koligens, epitel selapis kuboid dengan batas antar sel atau membran sel yang jelas.
2. Fisiologi traktus urinarius
Traktus urinarius atau yang sering disebut dengan saluran kemih terdiri dari dua buah ginjal, dua
buah ureter, satu buah kandung kemih (vesika urinaria) dan satu buah uretra.
Fungsi Ginjal
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |23
Ginjal
memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan, yakni
menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang kemudian dibuang melalui urine. Fungsi tersebut
antaranya (1) mengontrol sekresi hormone aldosteron dan ADH yang berperan dalam mengatur
jumlah cairan tubuh, (2) mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D, (3) menghasilkan
beberapa hormone, antara lain: eritopoitin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah,
rennin yang berperan dalam mengatur tekanan darah, serta hormone prostaglandin yang berguna
dalam berbagai mekanisme tubuh.
Pembentukan Urin
Pembentukan urin adalah funsi ginjal yang paling esensial dalam mempertahankan homeostasis
tubuh. Pada orang dewasa sehat, lebih kurang 1200ml darah atau 25% cardiac output , mengalir
ke kedua ginjal. Pada keadaan tertentu aliran darah ke ginjal dapat meningkat hingga 30%
( pada saat latihan fisisk) dan menurun hingga 12% dari cardiac output.
Kapiler glomerul berdinding porous, yang memungkinkan terjadinya filtrasi cairan dalam
jumlah besar ( 180L/hari). Molekul yang berukuran kecil ( air.elektrolit, dan sisa metabolisme
tubuh, di antaranya kreatinin dan ureum) akan difiltrasi dari darah, sedangkan molekul
berukuran lebih besar (protein dan sel darah) tetap bertahan di dalam darah. Oleh karena itu
komposisi cairan filtrate yang berada di kapsul Bowman, mirip dengan yang ada di dalam
plasma, hanya saja cairan ini tidak mengandung protein dan sel darah.
Volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus setiap satuan waktu disebut sebagai rerata filtrasi
glomerulus atau glomerular filtration rate ( GFR) . Selanjutnya cairan filtrate akan direabsorbsi
dan beberapa elektrolit akan mengalami sekresi di tubulus ginjal, yang kemudian menghasilkan
urin yang akan disalurkan melalui duktus kolegentes. Cairan urin tersebut disalurkan ke dalam
system kalises hingga pelvis ginjal.
Keseimbangan Asam Basa
Keseimbangan asam basa tubuh dikontrol oleh kompleks system buffer pada tubulus
proksimalis dan distalis, yang melibatkan pengaturan ion fosfat, bikarbonat dan ammonium ;
sedangkan sekresi ion hydrogen terutama terjadi di tubulus distalis.
Penghasil Hormon Eritropoietin, Renin dan Prostaglandin
Renin. Pada saat darah mengalir ke ginjal , sensor di dalam ginjal menentukan jumlah
kebutuhan cairan yang akan dieksresikan melalui urin dengan mempertimbangkan konsentrasi
elektrolit yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh , jika pasien mengalami dehidrasi,
ginjal akan menahan cairan tubuh tetap beredar melalui darah, sehingga urin sangat kental. Jika
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |24
tubuh telah terrehidrasi , dan cairan yang beredar telah cukup, urin kembali encer dan warnanya
menjadi lebih jernih. Sistem pengaturan tadi dikontrol oleh hormone rennin, yakni hormone
yang diproduksi di dalam ginjal, yang berperan dalam meregulasi cairan dan tekanan darah.
Hormon ini diproduksi di dalam sel juxtaglomerulus sebagai respon dari penurunan perfusi
jaringan. Renin merubah angiotensinogen ( dari hati) menjadi angiotensin 1 yang kemudian
dirubah oleh enzim ACE
vitamin D, diproduksi kinin, yakni kalikrein dan bradikinin; yang biasanya menyebabkan
vasodilatasi sehingga berakibat meningkatnya produksi urin dan eksresi natrium.
Fungsi Ureter
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang mendorong urin masuk
ke dalam kandung kemih.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Fungsi Vesika Urinaria
Vesika urinaria mempunyai dua fungsi yaitu :
a. Sebagai tempat penyimpanan urin sebelum meninggalkan tubuh.
b. Dibantu uretra vesika urinaria berfungsi mendorong urin keluar tubuh.
Didalam vesika urinaria mampu menampung urin antara 170 - 230 ml.
Fungsi Uretra
Uretra adalah saluran kecil dan dapat mengembang, berjalan dari kandung kemih sampai keluar
tubuh. Pada uretra laki laki mempunyai panjang 15 20 cm. Uretra pada wanita panjangnya
kira-kira 3,7-6,2 cm. sphincter uretra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina)
dan uretra disini hanya sebagai saluran ekskresi .
3. Sindroma nephritic (GNAPS)
1. Definisi
Istilah glomerulonefritis masih merupakan terminologi umum mengenai kondisi
inflamasi pada glomerulus yang ditandai secara histopatologik oleh proliferasi sel-sel
glomerular akibat suatu proses imunologik.
Istilah akut, misalnya pada glomerulonefritis akut (GNA) atau pada glomerulonefritis
akut pasca-streptokokus (GNAPS) secaa klinis berarti sifatnya yang sementara atau awitan
yang bersifat tiba-tiba sedangkan secara histopatologik istilah akut menunjukkan adanya
sebukan leukosit polimorfonuklear (PMN) di dalam glomerulus.
Glomerulonefritis akut pasca-streptokokus (GNAPS) ditandai oleh awitan tiba-tiba dari
kombinasi gejala: hematuria makroskopis atau gros, sembab periorbita, dan hipertensi,
dengan torak atau cast eritrosit, serta adanya riwayat infeksi streptokokus sebelumnya.
GNAPS secara epidemiologi merupakan penyebab terbanyak nefritis akut pada anak di negara
berkembang sedangkan di negara maju GNAPS terjadi dengan prevalensi yang rendah dan
sekali-kali akan timbul epidemi.
2. Etiologi
GNA dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit yang heterogen, misalnya
nefropati IgA, nefritis Henoch-Schnlein, nefritis lupus, vaskulitis ANCA (antineutrophil
cytoplasmic antibody), glomerulonefritis karena virus (HBV, HCV, HIV), nefritis pirau
atau shunt, glomerulonefritis mesangiokapiler, dan GNAPS yang difokuskan pada bab ini.
Etiologi GNAPS yakni Streptokokus -hemolitik grup A. Selain dari infeksi bakteri
tersebut, glomerulonefritis akut juga bisa disebabkan oleh bakteri lain yang disebut sebagai
glomerulonefritis akut pasca infeksi.
3.
Patogenesis
Mekanisme bagaimana terjadinya jejas renal (renal injury) pada GNAPS sampai
sekarang belum dipahami dengan baik meski diduga terdapat sejumlah faktor hospes dan
kuman yang berperan
Faktor Hospes
Fakta yang meunjukkan mengapa hanya 1015% pasien yang terindeksi kuman
Streptokokkus grup A strain nefritogenik menderita GNAPS masih sulit dijelaskan. Diduga
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |26
hal tersebut terjadi karena adanya peran faktor-faktor hospes tertentu. GNAPS dapat
menyerang semua kelompok umur dengan kelompok umur 515 tahun ( di Indonesia
rentang usia yakni 2,515 tahun dengan puncaknya pada usia 8,4 tahun) merupakan
kelompok umur tersering menderita GNAPS dan paling jarang pada bayi.
Anak laki-laki menderita dua kali lebih sering dibandingkan perempuan dengan rasio
laki-laki banding perempuan yakni 76,84%:58,2% atau 1,3:1,6. GNAPS lebih sering
dijumpai di daerah trpis dan biasanya menyerang anak-anak dari golongan ekonomi rendah.
Faktor Kuman
GNAPS terjadi mula-mula karena adanya kerentanan hospes yang terpapar kuman
Streptokokus grup A strain nefritogenik yang kemudian timbul reaksi imunologik untuk
membentuk antibodi terhadap antigen yang menyerang. Namun, komponen antigen yang
mampu memicu hal tersebut masih belum dapat diidentifikasi secara pasti meskipun paling
tidak telah diketahui 7 komponen antigen Streptokokus yang mungkin berperan, yakni
Protein M, endostreptosin (pre-absorbing antigen), cationic protein, streptococcal pyrogenic
exotoxin
B, streptokinase,
neuramidase,
dan nephritis-assoceiated
plasmin
receptor (nephritis plasming-binding protein). Kemungkinan besar lebih dari satu antigen
yang terlibat dan bekerja pada stadium yang berbeda.
4.
Aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh streptokinase yang kemudian diikuti oleh
aktivasi kaskade komplemen.
5.
Gejala Klinik
Awitan GNAPS biasanya berlangsung secara tiba-tba yakni 714 hari setelah anak
menderita faringitis atau infeksi saluran nafas atas, atau 36 minggu setelah infeksi kulit.
Gejala klinik biasanya berupa sindrom nefritik akut yang terdiri atas: hematuria gros, sembab
periorbita, dan hipertensi dengan torak atau cast eritrosit, proteinuria, dan oliguria.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |27
Gejala kelebihan cairan berupa edema atau sembab terjadi pada 85% kasus (sementara
di Indonesia yakni sekitar 76,3% kasus) dan kadang-kadang ditemukan tanda-tanda sembab
paru (14%), atau gagal jantung kongestif (2%). Hematuria mikroskopis ditemukan pada
hampir semua pasien (di Indonesia sekitar 99,3%). Hematuria gros atau makroskopis (di
Indonesia terjadi pada 53,6% kasus) terlihat sebagai urin berwarna merah kecoklatan seperti
warna coca-cola tanpa disertai rasa sakit. Kebanyakan pasien tampak pucat akibat hemodilusi
dan pembengkakan jaringan subkutan. Penurunan fungsi ginjal biasanya ringan sampai
sedang dengan meingkatnya kadar kreatinin pada 45% kasus.
Kongesti paru dengan efusi pleura dapat menunjukkan gejala takipneu dan dispneu yang
sering ditemukan pada pasien glomerulonefritis akut. Takikardia, kongesti hepar, dan irama
gallop timbul bila terjadi gagal jantung kongesti. Proteinuria (di Indonesia 98,5%) biasanya
bukan tipe proteinuria nefrotik. Hipoalbuminemia tidak hebat disebabkan oleh efek dilusi
yang membuat ekspansi volume cairan intravaskular. Gejala sindrom nefrotik dapat terjadi
pada kurang dari 5% pasien.
Hipertensi ringan sampai sedang terlihat pada 6080% kasus (di Indonesia sekitar
61,8%) yang biasanya sudah muncul sejak awal penyakit. Tingkat hipertensi beragam dan
tidak proporsional dengan hebatnya sembab. Kadang-kadang terjadi krisis hipertensi yaitu
tekanan darah mendadak meningkat tinggi dengan sistolik melampaui 200 mmHg dan
diastolik lebih dari 120 mmHg. Sekitar 5% pasien rawat inap mengalami ensefalopati
hipertensi (di Indonesia 9,2%) dengan keluhan seperti sakit kepala hebat, perubahan status
mental, koma, dan kejang. Adanya anuria, proteinuria nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal
yang lebih parah kemungkinan merupakan glomerulonefritis progresif cepat yang terjadi pada
1% kasus GNAPS.
6.
Pemeriksaan
Urinalisis
Urin biasanya menjadi sangat berkurang, pekat, dengan warna mulai dari kelabu
berkabut sampai merah coklat. Warna tersebut sebagai akibat degradasi hemoglobin menjadi
asam hematin.
Proteinuria biasanya sesuai dengan tingkat hematuria dan berkisar antara seangin
sampai 2+ (sampai 100 mg/dl). Ekskresi protein jarang melebihi 2 g/m 2 luas permukaan tubuh
per harinya. Hampir 25% pasien GNAPS menunjukkan proteinuria masif dengan gambaran
sindrom nefrotik.
Hematuria merupakan kelainan urin yang selalu ada. Cast atau torak eritorist sebagai
tanda adanya perdarahan gomerulus kadang-kadang terlihat pada pemeriksaan urinalisis.
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |28
Darah
Anemia biasanya tampak sebagai anemia normkromik normositik yang terjadi sebagia
akibat dilusi dan retensi cairan. Komponen darah lainnya biasanya normal meskipun kadangkadang terlihat kenaikan jumlah sel darah putih. Beberapa pasien menunjukkan hiporteinemia
dan hiperlipidemia (hiperkolestrolemia ringan).
dan kreatinin serum. Sebagian pasien menunjukkan gejala uremia (di Indonesia 10,5%)
dengan asidsis metabolik dan hiperkalemia. Penurunan fungsi ginjal berkorelasi dengan
parahnya jejas glomerulus. Profil elektrolit biasanya normal. Hiperkalemia dan asidosis
metabolik hanya terjadi pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berat.
Infeksi Streptokokus
Bila tanda-tanda adanya infeksi Streptokokus secara langsung tidak didapatkan, uji
serologik dapat dipakai untuk membutkikan adanya respon imun terhadap antigen
streptokokus. Kenaikan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASO) terlihat dalam 1014
hari setelah terjadinya infeksi streptokokus. Tetapi respon titer ASO pada pasca infeksi kulit
sangat rendah. Hal tersebut disebabkan karena efek lemak kulit yang menghambat
antigenisitas sterptolisin O. Sebaiknya dilakukan kombinasi dengan uji lainnya, seperti antihyaluronidase dan anti-deoksiribonuklease B, atau uji streptozyme yang meningkat pada
infeksi Streptokokus tanpa terpengaruh lokasi infeksi.
Uji Imunologi
Uji yang penting dan konsesten pada GNAPS adalah menurunnya kadar komplemen
ketiga (C3). Kadar C3 mulai menurun pada saat awitan penyakit di 8090% pasien dan akan
kembali normal dalam 810 minggu setelah awitan.
Pencitraan
Pada USG ginjal, akan terlihat ukuran ginjal masih normal. Bila terlihat ginjal yang
kecil, mengkerut, atau berparut, kemungkinan terjadi penyakit ginjal kronik yang mengalami
eksaserbasi akut. Gamabaran ginjal pada USG menunjukkan hiperechoik yang setara dengan
dengan echogenisitas parenkim hepar. Gambaran tersebut tidak spesifik dan dapat ditemukan
pada penyakit ginjal lainnya.
Pemeriksaan
Histologik
Biopsi ginjal dilakukan pada pasien-pasien yang mempunyai gejala klinik, uji
laboratorium, atau perjalanan penyakit yang tidak sesuai dengan lazimnya gambaran GNAPS.
Pada pasien tersebut, pemeriksaan histologis dengan pemeriksaan mikroskop cahaya,
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |29
akut
yang
Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan
terhadap komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian.
Pada kasus yang berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau
kemajuan pengobatan.
Edukasi pasien
Pasien dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai sifat penyakit, perjalananya, dan
prognosisnya. Mereka perlu memahami bahwa meskipun kesembuhan yang sempurna
diharapkan, masih ada kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang menetap dan bahkan
memburuk
9. Prognosis
Biasanya sembuh sempurna meskipun proteinuria memerlukan waktu 36 bulan untuk
menghilang dan sampai 1 tahun untuk hematuria. Hanya kurang dari 1% yang berlanjut
menjadi
glomerulonefritis
progresif
cepat
(RPGN
atau rapidly
progressive
glomerulonephritis).
4. Anemia pada anak terutama anemia karena penyakit ginjal
A. Definisi
1) Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar
hemoglobin dan hematokrit dibawah normal . Anemia bukan merupakan penyakit,
melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh.
Secara fisiologis anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan(Smeltzer, 2002).
2) Anemia adalah penurunan dibawah normal dalam jumlah eritrosit, banyaknya hemoglobin,
atau volume sel darah merah (Packed red cells) dalam darah (Dorland).
Batasan Normal Kadar HB
a.
b.
c.
d.
yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah
mendapat cairan yang cukup.
Perjalanan GGA dapat:
Sembuh sempurna
Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap 1-4)
Eksaserbasi berupa naik turunnya progesivitas GGK/CKD tahap 1-4
Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5)
b. Klasifikasi RIFLE
Klasifikasi RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss, End stage renal dissease)
Kategori RIFLE
The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the definition and
classification of AKI
Risk
Injury
Failure
minggu
Renal replacement therapy >3
bulan
Klasifikasi AKIN
Tahap
Kenaikan kreatinin serum 0.3 mg/dl Kurang dari 0.5 ml/kg per jam lebih
(26,4 mol/l) atau kenaikan 150% to dari 6 jam
200% (1.5 sampai 2 kali lipat) dari nilai
dasar
Kenaikan kreatinin serum >200% - Kurang dari 0,5 ml/kg per jam lebih
Klasifikasi ini menilai tahao GGA dari nilai kreatinin serum dan diuresis. Kemudian ada
upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam kriteria
RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan
memakai batasan waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks,
sehingga perlu suatu standar baku untuk penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan
berdasarkan kriteria RIFLE. Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal,
walaupun belum cukup untuk perbaikan prognosis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.
c. Diagnosis
Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal, yaitu kadar
ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada gangguan ginjal akut yang berat dengan
berkurangnya fungsi ginjal eksresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan
edema bahkan ampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Eksresi asam yang
berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan
kussmaul.
Penilaian pasien GGA :
1. Kadar kreatinin serum
Pada gangguan ginjal akut faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum
kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju filtrasi glomerulus
karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan eksresi oleh
ginjal.
2. Kadar cyastatin C serum
Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cyastatin C dapat menjadi indikator
gangguan ginjal akut tahap awal yang cukup dapat dipercaya
3. Volume urin
Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal
akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah.
4. Kelainan analisis urin
Temuan kelainan urin pada GGA
Etiologi
Sedimen
Fe-urea
Proteinuria
Prerenal
Torak hialin
<1
<35
Iskemia
>2
>50
Samar-ringan
Nefritis interstisial
Leukosit (WBC),
>1
Ringan-sedang
akut
torak lekosit,
eosinophilis,
Eritrosit (RBC), sel
epitel
GN akut
Dysmorphic RBCs,
RBC cast
<1 early
Sedang-baik
Postrenal
Beberapa torak
hialin, eritrosit
<1 early
>1 late
Lysis tumor
Arterial/venous
thrombosis
Eritrosit
Ringan-sedang
Ethylene glycol
Kristal kalsium
oksalat
Samar-ringan
keterlambatan diagnosis dan tata laksana sehingga dapat berpengaruh pada prognosis
penderita.
Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara
dini sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab AKI,
menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis AKI. Penanda biologis dari
spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni
penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus (kidney injury molecule [KIM]-1,
Na+/H+ exchanger isoform 3), penanda kerusakan tubulus (cystatin C, a-1 mikroglobulin,
retinol-binding protein, NAG). (Han et al, 2008; Coca et al, 2008)
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa:
IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI
NGAL, IL-18, GST-p , dan g-GST merupakan penanda potensial diagnosis dini AKI
NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi kematian setelah AKI.
(Coca et al, 2008)
Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel
pemeriksaan beberapa penanda biologis. Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang
beredar di Indonesia. (Roesli, 2007)
d. Klasifikasi IKA
Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010)
AKI Prarenal
I. Hipovolemia
Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi
usus
Kehilangan darah
Kehilangan cairan ke luar tubuh
Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran
kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit
(luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
Penyebab perikard: tamponade
Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
Aritmia
Penyebab katup jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |36
e. Patofisiolgi
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relatif konstan
yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang berperan
dalam autoregulasi ini adalah :
- Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
- Timbal balik tubuloglomerular.
Selain itu, norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi
otoregulasi. (Sudoyo dkk, 2007)
A. AKI Pra Renal
Pada AKI pra renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan
hipovolemi, akan terjadi penurunan tekanan darah yang mengaktivasi baroreseptor
kardiovaskularyang selanjutnya mengaktivasi sistim saraf simpatis, sistim reninangiotensin serta merangsang pelepasan vasopresin dan endothelin-1 (ET-1), yang
merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung
serta perfusi ginjal. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen
yang dipengaruhi oleh refleks miogenik, prostaglandin, dan nitrit oxide (NO), serta
vasokontriksi arteriol afferen yang terutama dipengaruhi oleh angiotendin-II dan ET-1.
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung
dalam jangka waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu
dimana arteriol afferen mengalami vasokontriksi, terjadi kontraksi mesangial dan
peningkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini disebut pre renal atau acute kidney
injury fungsional belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. (Sudoyo dkk, 2007)
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostatis intrarenal
menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |38
seperti ACE inhibitor, NSAID terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan
kadar serum kreatinin 2mg/dL sehingga dapat terjadi acute kidney injury pre renal. Proses
ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretik, sirosis
hati, dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaankeadaan yang merupakan resiko AKI pra rena; seperti penyempitan pembuluh darah ginjal
(penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. (Sudoyo
dkk, 2007)
B. AKI Renal
Pada AKI renal, terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular
akut (NTA), dimana pada NTA terjadi kelainan vaskular dan tubular
Kelainan vaskular
Pada kelainan vaskular terjadi:
1. Peningkatan Ca2+ sitosolik dan arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan
sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
2. Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular
ginjal yang mengakibatkan peningkatan angiotensin II dan ET-1 serta penurunan
prostaglandin dan ketersediaan nitrit oxide yang berasal dari endotelial NO-sintase.
3. Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor (TNF) dan interleukin-18
(IL-18), yang selanjutnya meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1
dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel
netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.
Keseluruhan proses di atas secara bersama-sama menyebabkan vasokontriksi intrarenal
yang akan menyebabkan penurunan GFR. (Sudoyo dkk, 2007)
Kelainan Tubular
Pada kelainan tubular terjadi:
1. Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain sostolik phospholipase A2
serta kerusakan actin, yang akan menyebabkan kerusakan sitoskeleton. Keadaan ini
akan mengakibatkan penurunan basolateral Na+/K+-ATPase yang selanjutnya
menyebabkan penurunan reabsorbsi natrium di tubulus proksimalis serta terjadi
pelepasan NaCl ke makula densa. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan umpan
tubuloglomerular.
2. Peningkatan NO
yang
berasal
dari
inducable
NO
sintase,
caspases,
dan
metalloproteinase serta defisiensi heat shock protein akan menyebabkan nekrosis dan
apoptosis sel.
3. Obstruksi tubulus, mikrovili tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler
akan membentuk substrat yang menyumbat tubulus, dalm hal ini pada thick assending
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |39
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip
pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai tindak
pencegahan),
mengatasi
penyakit
penyebab
GGA,
mempertahankan
homeostasis,
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Ensefalopati uremikum
Neuropati/miopati uremikum
Perikarditis uremikum
Natrium abnormalitas plasma : Konsentrasi > 155 mmol/L atau < 120 mmol/L
Hipertermia
Keracunan obat
tindakan nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan sumbatan yang
dapat disebabkan oleh batu, striktur uretra atau pembesaran prostate.
Tabel Pengobatan suportif pada gagal ginjal akut
Komplikasi
- Kelebihan volume intravaskuler
Pengobatan
- Batasi
garam
(1-2
g/hari)
dan
air
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolic
- Hiperfosfatemia
- Hipokalsemia
- Obat
pengikat
fosfat
kalsiumkarbonat)Kalsium
(kalsium
karbonat;
asetat,
kalsium
Nutrisi
atau praktek dokter, padahal di luar tempat tersebut tekanan darahnya yang normal. Seperti
halnya pada dewasa, hipertensi dibedakan atas beberapa tingkat (Tabel 3)
grafik
pertumbuhan
Center
for
Disease
Control
(CDC)
2000
7.
berikutnya di tempat yang sama, dan rerata TDS dan TDD harus dipergunakan.
8. Bila TD >persentil 95, TD harus diklasifikasikan dan dievaluasi lebih lanjut.
Kriteria hipertensi juga dibagi atas derajat ringan, sedang, berat, dan krisis berdasarkan kenaikan
tekanan darah sistolik normal sesuai dengan usia yang diajukan Wila Wirya seperti terlihat pada
tabel 4 di bawah ini
Formula untuk menghitung tekanan darah pada anak juga dikembangkan untuk mendukung
deteksi dini hipertensi pada anak yaitu:
Tekanan darah sistolik (persentil 95)
1-17 tahun = 100 + (usia dalam tahun x 2)
Tekanan darah diastolik (persentil 95)
1-10 tahun = 60 + (usia dalam tahun x 2)
11-17 tahun = 70 + (usia dalam tahun)
Pengukuran Tekanan Darah pada Anak
Tekanan darah adalah hasil kali tahanan vaskuler perifer dan curah jantung. Pengukuran
tekanan darah yang tepat bergantung pada kondisi penderita saat diperiksa, kualitas peralatan,
dan keterampilan pemeriksa.9 Pengukuran tekanan darah pada anak memerlukan ruang
pemeriksaan yang tenang, serta kondisi anak yang tenang agar tidak mempengaruhi hasil
pengukuran. Anak dapat berbaring telentang dengan tangan lurus di samping badan atau duduk
dengan lengan bawah yang diletakkan di atas meja sehingga lengan atas berada setinggi jantung.
Peralatan standar untuk mengukur tekanan darah adalah sfigmo manometer air raksa pada anak
berusia lebih dari tiga tahun.3,7,10,13 Metode terpilih untuk pengukuran tekanan darah adalah
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |46
dengan auskultasi. Manset yang digunakan harus sesuai dengan ukuran tubuh anak. Tekanan
darah akan terlalu tinggi apabila manset yang dipakai terlalu kecil dan terlalu rendah bilaukuran
manset terlalu besar.3,7,10,12 Lebar kantong manset harus menutupi 1/2 sampai 2/3 panjang
lengan atas atau panjang tungkai atas. Panjang manset juga harus melingkari setidak-tidaknya
2/3 lingkar lengan atas atau tungkai atas. Manset dipasang melingkari lengan atas atau tungkai
atas dengan batas bawah lebih kurang 3 cm dari siku atau lipat lutut. Manset dipompa sampai
denyut nadi arteri radialis atau dorsalis pedis tidak teraba kemudian diteruskan dipompa sampai
tekanan naik 20-30 mmHg lagi. Stetoskop diletakkan di denyut arteri brakialis atau poplitea,
kemudian manometer dikosongkan perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per detik. Pada
penurunan air raksa ini akan terdengar bunyibunyi Korotkoff. Bunyi Korotkoff I yaitu bunyi
yang pertama kali terdengar berupa bunyi detak yang perlahan. Bunyi Korotkoff II seperti bunyi
Korotkoff I tetapi disertai bunyi desis (swishing sign). Bunyi Korotkoff III seperti bunyi
Korotkoff II tetapi lebih keras. Bunyi Korotkoff IV bunyi tiba-tiba melemah. Bunyi Korotkoff V
bunyi menghilang. Tekanan sistolik adalah saat mulai terdengarnya bunyi Korotkoff I, sedangkan
tekanan diastolik adalah saat mulai terdengarnya bunyi Korotkoff IV yang biasanya pada bayi
dan anak bersamaan atau hampir bersamaan dengan menghilangnya bunyi (Korotkoff V). Dalam
keadaan normal, tekanan darah sistolik di lengan 10-15 mmHg lebih rendahdibanding dengan
tekanan darah tungkai.3,7,10,13 Pada bayi baru lahir penggunaan sfignomanometri konvensional
tidak dianjurkan karena suara Korotkoff tidak dapat terdengar jelas. Untuk pasien ini digunakan
alat ultrasonik Doppler, oxymetry pulse, atau osilometri. Teknik puls oksimetri menggunakan
muncul dan hilangnya gelombang phletysmographic saat tekanan pada manset menaik dan
menurun di sekitar tekanan sistolik. Manometer osilometrik digunakan secara luas dalam praktek
klinis tetapi lebih kurang akurat dibandingkan dengan alat ultrasonic Doppler dan puls oksimetri
saat dibandingkan dengan baku emas yaitu tekanan darah intraarterial.10,14,15 Peningkatan
tekanan darah harus dipastikan pada kunjungan ulang sebelum menetapkan anak menderita
hipertensi. Konfirmasi peningkatan tekanan darah ini sangat penting karena tekanan darah yang
tinggi dapat turun pada pengukuran berikutnya karena terpengaruh oleh faktor-faktor: (1)
berkurangnya kecemasan penderita dari kunjungan pertama ke kunjungan berikutnya. (2) regresi
rerata tekanan darah karena sifat tekanan darah yang bersifat tidak statis tetapi bervariasi bahkan
dalam kondisi tenang.
PATOGENESIS HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL
- Patogenesis hipertensi bervariasi dengan jenis penyakit (misalnya, glomerulus terhadap
pembuluh darah) dan dengan durasi penyakit (akut dan kronis).
penyakit glomerular Akut - Pasien dengan penyakit glomerulus akut, seperti glomerulonefritis
poststreptococcal atau nefropati membranosa, cenderung menalami peningkatan volume cairan
dan edema akibat retensi natrium . Akibatnya, peningkatan tekanan darah terutama karena
kelebihan cairan, yang dibuktikan dengan penekanan pada sistem renin-angiotensin-aldosteron
dan peningkatan pelepasan atrial netriuretic peptide ( ANP ) . Meskipun perubahan ini paling
menonjol dengan penyakit parah, kejadian hipertensi meningkat bahkan pada pasien dengan
konsentrasi kreatinin serum yang normal . kecenderungan keluarga untuk hipertensi dan ekspansi
volume subklinis dianggap penting dalam pengaturan ini.
studi eksperimental dari sindrom nefrotik atau glomerulonefritis menunjukkan bahwa retensi
natrium dalam gangguan ini adalah karena peningkatan reabsorpsi di tubulus pengumpul . Dua
kelainan yang berbeda pada fungsi tubulus kolektivus telah diidentifikasi pada penyakit
glomerular, . keduanya dapat meningkatkan reabsorpsi dari natrium:
setidaknya sebagian hingga lebih dari second messenger cyclic GMP (guanosin monofosfat)
oleh enzim phosphodiesterase . Pada hewan model dengan sindrom nefrotik, infus inhibitor
phosphodiesterase dapat sebagian besar membalikkan cacat ini dan mengembalikan respon
penyakit pembuluh darah akut - Hipertensi juga sering terjadi pada penyakit pembuluh darah
akut, seperti vaskulitis atau krisis ginjal scleroderma. Dalam kasus ini, elevasi tekanan darah
merupakan hasil dari aktivasi sistem renin-angiotensin yang diinduksi oleh iskemia , daripada
ekspansi volume . Perbedaan antara penyakit glomerulus dan pembuluh darah dalam mekanisme
ini mungkin penting dalam hal diagnosis . Sebagai contoh, seorang pasien datang dengan acute
kidney injury, hipertensi, dan sel darah merah dan sel darah merah silinder di sedimen urin
hampir pasti menglami glomerulonefritis atau vaskulitis. Tidak adanya edema dalam pengaturan
ini akan mengarah dengan kuat ke penyakit vaskular primer.
penyakit ginjal kronis - Hipertensi diderita oleh sekitar 80 hingga 85 persen pasien dengan
penyakit ginjal kronis (CKD) . Prevalensi hipertensi meningkat pada pasien dengan kerusakan
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |48
ginjal dan laju filtrasi glomerulus normal, dan terus meningkat sejalan dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus . Data dari Modification of Diet in Renal Desease Study, misalnya,
menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat secara progresif dari 65 hingga 95 persen
saat laju filtrasi glomerulus turun 85-15 mL / menit per 1,73 m2 . Sama seperti pada pasien tanpa
penyakit ginjal, prevalensi hipertensi juga lebih tinggi pada pasien dengan berat badan yang
lebih tinggi dan pada orang kulit hitam. (Lihat "Obesity and Weight Reduction in hypertension",
bagian tentang 'Patogenesis hipertensi' dan "komplikasi hipertensi pada orang kulit hitam".)
Berbagai faktor dapat berkontribusi pada peningkatan prevalensi hipertensi pada pasien dengan
CKD:
iskemia regional yang disebabkan oleh jaringan parut juga mungkin memainkan peran.
Hipertensi bisa menjadi penyebab (misalnya, nephrosclerosis hipertensi) atau faktor
nefrektomi bilateral.
hiperparatiroidisme sekunder menimbulkan konsentrasi kalsium intraseluler, yang dapat
menyebabkan vasokonstriksi dan hipertensi . Penurunan sekresi hormon paratiroid oleh
administrasi kronis dari analog vitamin D aktif dapat mengurangi baik kalsium intraseluler
maupun tekanan darah sistemik. (Lihat "Patogenesis osteodistrofi ginjal", bagian tentang
Selain faktor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan arteri rata-rata, dua faktor lain mungkin
penting:
Pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir lebih mungkin untuk memiliki peningkatan
pada tekanan nadi sentral dan hipertensi sistolik terisolasi . Mengapa ini terjadi adalah tidak
sepenuhnya dipahami namun peningkatan kekakuan aorta mungkin memainkan peran
penting.
Pasien dengan penyakit ginjal kronis mungkin tidak menunjukkan penurunan nokturnal
tekanan darah yang normal (disebut "nondippers"), faktor risiko yang mungkin untuk
komplikasi hipertensi . (Lihat "tekanan darah pemantauan Ambulatory dan hipertensi jas
putih pada orang dewasa", bagian tentang 'tekanan darah Nocturnal dan nondippers'.)
Tekanan darah tinggi yang normal - Pengamatan sebelumnya berlaku untuk pasien dengan
hipertensi yang jelas. Namun, peningkatan tekanan darah dalam kisaran normal juga terjadi pada
pasien dengan penyakit glomerular kronis dan mungkin signifikan secara klinis. Satu laporan
mengevaluas 19 pasien dengan nefropati IgA kronis yang "normotensif" sebagaimana ditentukan
oleh penentuan tekanan darah kasual . Bila dibandingkan dengan kontrol sehat yang sama, pasien
dengan glomerulonefritis kronik memiliki tekanan darah ambulatory tinggi yang masih dalam
kisaran normal. Para pasien juga mengalami peningkatan relatif dalam ketebalan ventrikel kiri
pada ekokardiografi (lagi dalam kisaran normal), menunjukkan bahwa peningkatan tekanan
darah ycukup untuk menyebabkan kerusakan end-organ awal.
PENGOBATAN HIPERTENSI PADA GLOMERULUS ATAU PENYAKIT VASKULAR AKUT
Mengingat perbedaan patogenesis, mekanisme dan pengobatan hipertensi bervariasi pada pasien
dengan glomerular akut dan penyakit pembuluh darah.
Kami lebih memilih terapi awal dengan diuretik (terutama diuretik loop pada pasien dengan
mengurangi tingkat filtrasi glomerulus) untuk mengobati hipertensi pada pasien dengan penyakit
glomerulus akut dan edema, karena diuretik juga akan mengobati hypervolemia dan edema
terkait. Jika hipertensi berlanjut, angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor mungkin
efektif, bahkan di hipertensi dengan kadar renin rendah sering dikaitkan dengan
glomerulonefritis akut . Tanggapan ini mungkin mencerminkan aktivasi sistem renin-angiotensin
jaringan, seperti yang terjadi di ginjal, endotelium pembuluh darah, dan kelenjar adrenal. (Lihat
"inhibisi sistem Renin-angiotensin dalam pengobatan hipertensi".)
Dibandingkan dengan glomerulonefritis akut, kita lebih suka inhibitor ACE sebagai terapi
antihipertensi awal pada pasien dengan penyakit pembuluh darah akut, karena iskemia ginjal
menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Data yang kuat mendukung pendekatan ini pada
pasien dengan krisis ginjal skleroderma dan kita lebih suka penghambatan angiotensin di
poliarteritis nodosa dan vaskulitid lain juga. (Lihat "krisis Scleroderma ginjal", bagian tentang
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |50
'Pengobatan' dan "Pengobatan dan prognosis dari poliarteritis nodosa", bagian tentang
'Hipertensi'.)
PENGOBATAN HIPERTENSI pada PENYAKIT GINJAL KRONIK
- Pengobatan bahkan hipertensi yang ringan adalah penting pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis (CKD) untuk melindungi terhadap kedua progresif hilangnya fungsi ginjal dan penyakit
kardiovaskular, kejadian yang meningkat dengan ringan CKD sampai sedang. (Lihat "terapi anti
hipertensi dan perkembangan penyakit ginjal kronis nondiabetes" dan "penyakit ginjal kronis dan
penyakit
jantung
koroner",
bagian
tentang
'kontrol
tekanan
darah'.)
Tekanan darah Goal - Kami setuju dengan 2.011 KDIGO klinis praktek pedoman pengelolaan
tekanan darah pada penyakit ginjal kronis yang tekanan darah tujuan tergantung pada derajat
proteinuria:
Pada pasien dengan CKD proteinuric, biasanya didefinisikan sebagai lebih besar dari atau
sama dengan 500 mg / hari atau lebih tinggi, tekanan darah harus diturunkan menjadi kurang
Bukti yang mendukung rekomendasi kami untuk tekanan darah gol pada pasien dengan CKD
diabetes dan nondiabetes disajikan secara rinci di tempat lain. (Lihat "terapi anti hipertensi dan
perkembangan penyakit ginjal kronis nondiabetes", bagian tentang 'Proteinuria dan
perkembangan penyakit ginjal kronis' dan "terapi anti hipertensi dan perkembangan penyakit
ginjal kronis nondiabetes", bagian tentang 'tujuan Tekanan darah' dan "Pengobatan hipertensi
pada pasien dengan diabetes mellitus ", bagian tentang 'tekanan darah Goal'.)
Selain kontrol tekanan darah, tujuan spesifik yang berkaitan dengan pengurangan ekskresi
protein urin telah dirumuskan untuk memperlambat laju perkembangan CKD proteinuric:
Bukti yang mendukung rekomendasi kami untuk pengurangan proteinuria pada pasien dengan
CKD diabetes dan nondiabetes dibahas secara terpisah. (Lihat "terapi anti hipertensi dan
perkembangan penyakit ginjal kronis nondiabetes", bagian tentang 'tekanan dan proteinuria
tujuan Blood' dan "Pengobatan nefropati diabetik", bagian tentang 'Rekomendasi'.)
Teknik pengukuran tekanan darah - Hampir setiap persidangan yang dievaluasi tujuan tekanan
darah atau terapi antihipertensi tertentu pada pasien dengan CKD bekerja kantor berbasis,
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |51
sebagai lawan ambulatory atau rumah, pengukuran tekanan darah. Dengan demikian, kita
menggunakan pengukuran berbasis kantor untuk menentukan apakah atau tidak pasien telah
mencapai tekanan darah gol. Teknik yang tepat untuk mengukur tekanan darah di kantor dibahas
di tempat lain. (Lihat "Teknik pengukuran tekanan darah dalam diagnosis hipertensi".)
Namun, beberapa penelitian observasional telah menemukan bahwa 24 jam tekanan darah
ambulatory adalah prediktor kuat penyakit ginjal tahap akhir (End Stage Renal Desease ),
penyakit kardiovaskular, dan kematian dari kantor berbasis pengukuran . Pada 436 pasien dengan
CKD yang menjalani kedua pengukuran tekanan darah ambulatory dan kantor berbasis,
misalnya, siang ambulatory tekanan sistolik lebih besar dari 145 mmHg dikaitkan dengan tiga
kali lipat peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan risiko hampir dua kali lipat
peningkatan ESRD atau kematian dibandingkan dengan pasien yang tekanan sistolik siang hari
adalah 126-135 mmHg. Nilai prognostik tekanan darah ambulatory malam bahkan lebih kuat.
Sebaliknya, rata-rata enam kantor berbasis pengukuran yang dilakukan selama dua hari tidak
berhubungan dengan baik penyakit kardiovaskular, ESRD, atau kematian.
Manfaat restriksi natrium - pembatasan Sodium meningkatkan efek dari banyak obat
antihipertensi. (Lihat "asupan garam, pembatasan garam, dan hipertensi esensial", bagian
"Respon terhadap obat antihipertensi '.) Hal ini juga berlaku pada pasien dengan CKD
kebanyakan, seperti dibahas di bawah, diperlakukan dengan inhibitor angiotensin untuk
memperlambat perkembangan penyakit. Potensi manfaat pembatasan natrium yang ditunjukkan
di crossover percobaan 52 pasien dengan CKD proteinuric (berarti ekskresi protein 1,6 g / hari
dan berarti kreatinin dari 70 mL / menit), yang semuanya mengambil lisinopril [18]. Empat
perlakuan diberi secara acak, masing-masing selama enam minggu: diet rendah sodium dengan
plasebo; diet rendah sodium dengan valsartan; natrium diet biasa dengan plasebo; dan natrium
diet biasa dengan valsartan. Dibandingkan dengan natrium diet biasa (berarti urin ekskresi
natrium 184 mmol / hari), diet rendah sodium (berarti 106 mmol / hari) penurunan tekanan darah
ke tingkat yang lebih besar daripada penambahan valsartan (11 vs 3 mmHg). Selain dari
valsartan memiliki efek minimal tambahan (2 mmHg) pada tekanan darah di atas diet rendah
sodium.
Penggunaan diuretik dan tujuan terapi - Karena penurunan fungsi ginjal, dosis yang lebih tinggi
dari diuretik biasanya diperlukan pada pasien dengan CKD yang biasanya volume yang diperluas
bahkan tanpa adanya edema. Diuretik thiazide menjadi kurang efektif bila laju filtrasi glomerulus
kurang dari 30 mL / menit [19]. Pada pasien tersebut, diuretik loop lebih disukai sebagai terapi
awal. Torsemide, yang memiliki durasi panjang tindakan, mungkin lebih disukai. (Lihat
"Pengobatan hipertensi resisten", bagian tentang 'Diuretik'.)
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |52
Jika edema berlanjut, thiazide diuretik dapat ditambahkan ke loop diuretik. Alasan untuk terapi
gabungan adalah bahwa sebagian besar cairan meninggalkan lengkung Henle, bahkan setelah
pemberian loop diuretik, diserap di tubulus distal, lokasi aksi diuretik thiazide. Dengan
demikian, tiazid memiliki efek diuretik ditingkatkan pada pasien yang diobati dengan loop
diuretik. (Lihat "Pengobatan edema refrakter pada orang dewasa", bagian tentang 'thiazide
ditambah diuretik loop'.)
Kemanjuran terapi diuretik gabungan telah diilustrasikan dalam sebuah laporan dari lima pasien
dengan (kreatinin serum 2,3-4,9 mg / dL [203-433 mikromol / L]) CKD yang memiliki respon
yang tidak memadai untuk 160-240 mg / hari furosemide di dosis terbagi [20]. Meningkatkan
dosis furosemide hanya keberhasilan yang terbatas. Sebaliknya, penambahan 25 sampai 50 mg
dua kali sehari dari hydrochlorothiazide menghasilkan diuresis ditandai. Chlorthalidone
umumnya lebih disukai untuk hydrochlorothiazide karena lebih kuat dan memiliki durasi yang
lebih lama dari tindakan [21]. (Lihat "Pengobatan hipertensi resisten", bagian tentang 'Diuretik'.)
Pada pasien edema dengan CKD, tujuan awal adalah penghapusan edema. Namun, jika
hipertensi menetap setelah edema telah dihapus, ekspansi volume plasma masih dapat hadir dan
memberikan kontribusi untuk hipertensi. Jadi, ketika diuretik digunakan untuk mengobati
hipertensi pada pasien dengan CKD tanpa edema yang jelas, dosis dan / atau frekuensi diuretik
harus ditingkatkan ketika respon antihipertensi tidak memadai.
terapi diuretik harus ditingkatkan sampai salah satu dari dua titik akhir tercapai: tujuan tekanan
darah dicapai; atau pasien telah mencapai "berat kering" yang, di hadapan hipertensi persisten,
didefinisikan sebagai berat di mana kehilangan cairan lebih lanjut mengarah ke gejala (kram,
kelelahan, hipotensi ortostatik) atau penurunan perfusi jaringan yang dibuktikan dengan tidak
jelas penyebabnya elevasi dalam konsentrasi kreatinin serum.
Pilihan terapi antihipertensi - Pencapaian tekanan darah gol pada pasien dengan CKD biasanya
membutuhkan terapi multidrug [22]. Seperti tekanan darah tujuan dibahas di atas, pilihan agen
tergantung sebagian pada apakah atau tidak pasien memiliki proteinuria.
Urutan terapi antihipertensi di CKD proteinuric - Pada pasien dengan CKD yang memiliki
proteinuria, didefinisikan sebagai ekskresi protein lebih besar dari atau sama dengan 500 mg /
hari, kami sarankan inhibitor angiotensin sebagai terapi lini pertama. Kami menyarankan diuretik
dan non-dihydropyridine calcium channel blockers (misalnya, diltiazem, verapamil) sebagai lini
kedua dan ketiga-line agen, meskipun diuretik loop akan menjadi terapi lini pertama dengan
inhibitor angiotensin pada pasien dengan edema. Bila menggunakan inhibitor angiotensin dan
diuretik dalam kombinasi sebagai terapi lini pertama, kami titrasi dosis obat kedua perlahan
untuk menghindari hipotensi sejak diuretik meningkatkan efek antihipertensi inhibitor
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |53
'respon
anti
hipertensi'.)
terapi lini pertama di CKD proteinuric - Bukti kuat nikmat penggunaan ACE inhibitor atau
angiotensin II receptor blocker (ARB) sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan CKD
proteinuric (yaitu, ekskresi protein lebih besar dari 500 mg / hari) karena, di Selain menurunkan
tekanan darah, obat ini memperlambat laju perkembangan CKD. Data yang mendukung
disajikan di tempat lain. (Lihat "terapi anti hipertensi dan perkembangan penyakit ginjal kronis
nondiabetes", bagian tentang 'Choice terapi' dan "Pengobatan hipertensi pada penderita diabetes
mellitus", bagian tentang 'Choice agen antihipertensi'.)
Efek samping yang umum dari penghambatan angiotensin, termasuk pengurangan akut pada laju
filtrasi glomerulus dan hiperkalemia yang lebih mungkin terjadi pada pasien dengan CKD,
dibahas secara rinci secara terpisah. (Lihat "efek samping utama dari angiotensin converting
enzyme inhibitor dan angiotensin II receptor blockers".)
Penggunaan inhibitor ACE atau ARB untuk mengelola hipertensi pada anak dengan CKD
dibahas secara rinci di tempat lain. (Lihat "Sekilas pengelolaan penyakit ginjal kronis pada anakanak", bagian tentang 'Hipertensi'.)
Kedua dan ketiga-line therapy di CKD proteinuric - saran kami untuk kedua dan ketiga-line
terapi antihipertensi pada pasien dengan CKD proteinuric tergantung pada apakah overload
volume terang-terangan hadir:
Pada pasien dengan CKD yang memiliki proteinuria dan edema, terapi awal biasanya terdiri
dari kedua inhibitor angiotensin untuk perlindungan ginjal dan diuretik loop untuk edema,
yang, dengan meningkatkan pelepasan renin, juga dapat meningkatkan efek antihipertensi
dari inhibitor angiotensin. Penggunaan diuretik juga dapat mengembalikan efek
antiproteinuric terapi inhibitor ACE pada pasien tanpa respon antiproteinuric memadai,
karena ekspansi volume mengurangi angiotensin rilis II dan membuat tekanan darah kurang
tergantung pada angiotensin II [23,24]. (Lihat "inhibisi Renin-angiotensin system dalam
pengobatan hipertensi", bagian tentang 'respon anti hipertensi'.)
Jika terapi antihipertensi lebih lanjut diperlukan, kami menyarankan non-dihydropyridine
calcium channel blocker (misalnya, diltiazem atau verapamil) karena obat ini juga
proteinuria lebih rendah. Sebaliknya, dihydropyridines (misalnya, amlodipine) memiliki
sedikit atau tidak berpengaruh pada ekskresi protein [25]. (Lihat "terapi anti hipertensi dan
perkembangan penyakit ginjal kronis nondiabetes", bagian tentang 'Calcium channel
blocker'.)
Pada pasien dengan CKD yang memiliki proteinuria tapi tidak edema, kami sarankan baik
diuretik atau saluran kalsium blocker non-dihidropiridin sebagai lini kedua dan kemudian
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |54
terapi lini ketiga. ekspansi volume, bahkan tanpa adanya edema, sering memainkan peran
utama dalam hipertensi terkait dengan CKD. (Lihat 'Penggunaan diuretik dan tujuan terapi'
di atas.)
Isu yang terkait dengan penggunaan diuretik dan tujuan dan keterbatasan terapi diuretik yang
dibahas
di
atas.
(Lihat
'Penggunaan
diuretik
dan
tujuan
terapi'
di
atas.)
Urutan terapi antihipertensi di CKD nonproteinuric - Berbeda dengan efek renoprotektif mereka
di CKD proteinuric, inhibitor angiotensin tidak muncul untuk menjadi lebih menguntungkan
daripada obat antihipertensi lain pada pasien dengan CKD nonproteinuric [26]. Data-data ini
dibahas secara rinci di tempat lain. (Lihat "terapi anti hipertensi dan perkembangan penyakit
ginjal kronis nondiabetes", bagian tentang 'Proteinuria dan perkembangan penyakit ginjal
kronis'.)
Pada pasien dengan CKD nonproteinuric, kami sarankan urutan berikut, yang tergantung pada
ada tidaknya edema:
Pada pasien dengan edema, kita lebih suka terapi awal dengan loop diuretik. Setelah edema
dikendalikan, inhibitor angiotensin atau saluran kalsium dihidropiridin blocker (misalnya,
Lini terapi keempat dengan agen lain - obat antihipertensi lainnya dapat digunakan sebagai
diperlukan pada pasien dengan CKD yang memiliki hipertensi resisten. Antagonis aldosteron
(spironolakton dan eplerenone) adalah agen keempat-line yang efektif untuk pengobatan
hipertensi resisten pada umumnya dan pada pasien dengan CKD. Selain mengurangi tekanan
darah, antagonis aldosteron juga memiliki sifat antiproteinuric yang mungkin terkait dengan
penurunan lambat dalam fungsi ginjal. Namun, uji coba dengan hasil pasien-penting tidak
tersedia. (Lihat "Pengobatan hipertensi resisten".)
Khasiat antagonis aldosteron dievaluasi dalam studi dari 46 pasien dengan rata-rata perkiraan
laju filtrasi glomerulus (eGFR) dari 57 mL / menit per 1,73 m2 dan hipertensi yang tidak
terkontrol dengan tiga obat mekanis pelengkap, termasuk diuretik dan angiotensin inhibitor .
penurunan tekanan sistolik rerata ( mean systolic pressure ) yang disebabkan oleh antagonis
Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 |55
aldosteron adalah 14,7 mmHg. (Lihat "Pengobatan hipertensi resisten", bagian tentang
'Aldosteron antagonis'.)
Efek samping utama antagonis aldosteron pada pasien dengan CKD adalah penurunan fungsi
ginjal dan hiperkalemia. Dalam studi di atas, 39 persen memiliki penurunan laju filtrasi
glomerulus (eGFR) dari 30 persen atau lebih ketika tekanan darah tujuan dicapai dan 17 persen
Andri
10 risiko hiperkalemia termasuk dasar
hiperkalemia dikembangkan terjadi di 17 persen [27].
Faktor
tahun laki-
Pengendapan di
subendotel glomerulus
Aktivasi komplemen
C3
GFR
- Hematuria
Proteinuria
Oliguria
Hipoperfusi
Aktivasi Sistem
RAA
Retensi Na
Ag II
Vasokontrik
si Perifer
Hipertensi
Aldostero
n
Retensi Air
Edema
VIII. KESIMPULAN
Andri, anak laki-laki usia 10 tahun, menderita sindroma nefritik akut (GNAPS) e.c pasca infeksi
streptococcus beta hemolyticus group A tipe 12.
DAFTAR PUSTAKA
1.
David T. Selewski, Jordan M. Symons. Acute Kidney Injury. Pediatrics in Review, Volume
35/ Issue 1. January, 2014.
(Situs: http://pedsinreview.aappublications.org/content/35/1/30)
2.
Dr. Gusti Ayu Putu Nilawati, SpA. Kejadian Acute Kidney Injury dengan Kriteria pRIFLE
pada Unit Perawatan Intensif Anak Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Sari Pediatri, Vol. 14, No.
3, Oktober 2012.
(Situs: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/14-3-4.pdf)
3.
Dr. Sondang Maniur Lumbanbatu. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus pada Anak. Sari
Pediatri, Vol. 5, No. 2, September 2003: 58 63
(http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-2-4.pdf)
4.
Dr. Sudung O. Pardede, SpA (K). Gangguan Ginjal Akut. Kapita Selekta, (Nefrologi Anak).
ed.IV, Vol. I. 2014
5.
6.
7.
8.
9.
Ajar Nefrologi Anak. 2nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Sudoyo AW dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. V . Jakarta: Pusat
Unpad_Gangguan_-Ginjal_-Akut.pdf.pdf)