Lengkap
Lengkap
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang
berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara
sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf)
peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik,
sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya
muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo, 2006).
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi otak
secara periodik yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan listrik secara
berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba, sehingga
penerimaan dan pengiriman impuls antara bagian otak dan dari otak ke bagian
lain tubuh terganggu. Menurut Gibbs, epilepsi ialah suatu paroxysmal cerebral
dysrhytmia, dengan gejala-gejala klinis seperti di atas. Dasar disritmia ini ialah
elektrobiokimiawi (Maramis, 2005). Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami
epilepsi. Setiap orang memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing
apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu
penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan, stroke, infeksi,
infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi
1-2% dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi
menunjukan pola bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usia
lanjut.
Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang terdapat di seluruh dunia.
Insiden epilepsi di dunia berkisar antara 33-198 tiap 100.000 penduduk tiap
tahunnya. (WHO, 2006) Insiden ini tinggi pada negara-negara berkembang karena
faktor risiko untuk terkena kondisi maupun penyakit yang akan mengarahkan
pada cedera otak adalah lebih tinggi dibanding negara industri (WHO, 2006).
Prevalensi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5-2% (Paryono dkk,
2003). Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit
epilepsi (Depkes, 2006). Pengobatan Epilepsi diantaranya bertujuan untuk
membuat penderita terbebas dari serangan, khususnya serangan kejang,
sedini/seawal mungkin tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat dan
penderita dapat melakukan tugas tanpa bantuan. Terapi meliputi terapi kausal,
terapi dengan menghindari faktor pencetus, dan memakai obat antikonvulsi
(Utama dan Gan, 2012).
Salah satu obat yang berperan sebagai antiepilepsi dan antikonvulsi adalah
fenobarbital. Fenobarbital adalah obat golongan barbiturat yang bekerja pada
sistem saraf pusat yang dapat menekan letupan pada fokus epilepsi sehingga
meredakan konvulsi yang terjadi. Beberapa sediaan fenobarbital dijumpai dalam
bentuk tablet yang merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi dengan tekstur
yang padat.
Dalam setiap sediaan terdapat ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi,
begitu pula dengan sediaan tablet yang terdapat syarat mutlak yang harus
disesuaikan. Farmakope Indonesia adalah pedoman yang telah distandarisasi bagi
seluruh petugas kesehatan, khususnya farmasi, seperti bahan baku obat serta
sediaan jadinya, sediaan produk biologis, alat kesehatan, metode analisis,
prosedur beserta instrumennya dan lain sebagainya.
Untuk tercapainya efek terapi yang diinginkan, setiap pasien seharusnya
mendapatkan terapi pengobatan yang rasional, salah satunya dari segi ketepatan
dosis yang diberikan. Dengan melakukan penetapan kadar fenobarbital pada
sediaan tablet, maka akan dapat diketahui sekaligus dapat membandingkan kadar
fenobarbital yang terdapat pada sediaan tablet yang diujikan dengan ketentuan
kadar yang seharusnya dalam Farmakope Indonesia sebagai literatur.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka identifikasi
masalah dalam praktikum ini yaitu :
1. Epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi otak
secara periodik.
2. Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang terdapat di seluruh dunia.
3. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara 33-198 tiap 100.000 penduduk tiap
tahunnya.
4. Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit
epilepsi.
5. Salah satu obat yang berperan sebagai antiepilepsi dan antikonvulsi adalah
fenobarbital.
6. Dalam setiap sediaan terdapat ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi,
begitu pula dengan sediaan tablet yang terdapat syarat mutlak yang harus
disesuaikan.
7. Untuk tercapainya efek terapi yang diinginkan, setiap pasien seharusnya
mendapatkan terapi pengobatan yang rasional, salah satunya dari segi
ketepatan dosis yang diberikan.
C. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :,
1. Sampel fenobarbital yang diujikan adalah sediaan tablet.
2. Penatapan kadar tablet fenobarbital menggunakan metode bromometri.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi serta batasan masalah yang telah dikemukakan,
maka rumusan masalah dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana prinsip-prinsip dasar metode bromometri ?
2. Berapa kadar fenobarbital yang terkandung pada sampel tablet fenobarbital
apabila menggunakan metode bromometri ?
E. Tujuan Praktikum
Tujuan dari percobaan ini adalah :
1. Mengetahui prinsip-prinsip dasar metode bromometri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Antiepileptika
Epilepsi (Yunani, serangan) atau sawan atau penyakit ayan adalah suatu
gangguan saraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala, biasanya dengan
perubahan kesadaran (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015). Bangkitan ini
biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik
atau psikis dan selalu disertai gambaran letupan EEG (abnormal dan eksesif).
Untuk penyakit epilepsi, gambaran EEG bersifat diagnostik. Berdasarkan
gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan disritmia serebral yang bersifat
paraoksismal (Utama dan Gan, 2012).
Dikenal sejumlah jenis epilepsi dan yang paling lazim adalah bentuk
serangan luas (grand mal, petit mal, absence) pada sebagian besar otak terlibat
dan serangan parsial pada pelepasan muatan listrik hanya terbatas sampai
sebagian otak (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015) :
1. Grand mal (Perancis, penyakit besar) atau serangan tonis-klonis generalized
(Yunani, tonis = kontraksi otot otonom yang bertahan lama, klonos =
kontraksi ritmis). Bercirikan kejang kaku bersamaan dengan kejutan-kejutan
ritmis dari anggota badan dan hilangnya untuk sementara kesadaran dan
tonus. Pada umumnya serangan demikian diawali oleh suatu perasaan alamat
khusus (aura). Hilangnya tonus menyebabkan penderita terjatuh, berkejang
hebat dan otot-ototnya menjadi kaku.
2. Petit mal (Perancis, penyakit kecil) atau abscencea (Perancis, tak hadir).
Bercirikan serangan yang hanya singkat sekali, antara beberapa detik sampai
setengah menit dengan penurunan kesadaran ringan tanpa kejang-kejang.
Seperti grand mal, petit mal juga bersifat serangan luas diseluruh bagian otak.
Gejalanya berupa keadaan termangu-mangu (pikiran kosong; kehilangan
respon sesaat), muka pucat, pembicaraan terpotong-potong atau mendadak
diberikan
sehari
sekaligus.
Sekitar
50%
dipecah
menjadi
p-
hidroksifenobarbital yang dieksresi lewat urin dan hanya 10-30% dalam keadaan
utuh (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015).
Efek samping berkaitan dengan efek sedasinya yaitu pusing, mengantuk,
ataksia, dan pada anak-anak mudah terangsang. Efek samping ini dapat dikurangi
dengan penambahan obat-obat lain (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015).
Selain itu, efek samping ini dapat diatasi dengan pemberian stimulant sentral
tanpa mengurangi efek antikonvulsinya (Utama dan Gan, 2012).
Fenobarbital bersifat menginduksi enzim dan antara lain mempercepat
penguraian kalsiferol (Vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis
(penyakit Inggris) pada anak kecil. Penggunaan bersama valproate harus hati-hati,
karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan. Dilain pihak, kadar darah
fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital (Tan
Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015).
D. Bromometri
Bromometri merupakan salah satu metode penetapan kadar suatu zat
dengan prinsip reaksi reduksi-oksidasi. Oksidasi adalah suatu proses yang
mengakibatkan hilangnya aatu elektron atau lebih dari dalam zat (atom, ion atau
molekul). Bila suatu unsur dioksidasi, keadaan oksidasinya berubah ke harga
yang lebih positif. Suatu zat pengoksidasi adalah zat yang memperoleh elektron
dan dalam proses itu zat tersebut direduksi (Rivai, 1995).
Bromometri merupakan penentuan kadar senyawa berdasarkan reaksi
reduksi-oksidasi dimana proses titrasi (reaksi antara reduktor dan bromin berjalan
lambat), sehingga dilakukan titrasi secara tidak langsung dengan menambahkan
bromin berlebih (Susanti, 1997).
Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi
kenaikan bilangan oksidasi, sedangkan reduksi memperoleh elektron. Oksidator
adalah senyawa dimana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan
oksidasi. Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan
bilangan oksidasi (Khopkar, 2003).
Reduksi adalah suatu proses yang mengakibatkan diperoleh satu elektron
atau lebih oleh zat (atom, ion atau molekul). Bila suatu unsur direduksi, keadaan
oksidasi berubah menjadi lebih negatif (kurang positif), jadi suatu zat pereduksi
adalah zat yang kehilangan elektron, dalam proses itu zat ini dioksidasi (Rivai,
1995).
Oksidasi dan reduksi selalu berlangsung dengan serempak. Ini sangat jelas
karena elektron yang dilepaskan oleh sebuah zat harus diambil oleh zat yang
lain.jika orang membicarakan oksidasi suatu zat, ia harus ingat bahwa pada saat
yang sama reduksi dari suatu zat juga berlangsung (Underwood dan Day, 2002).
Bromometri
reaksi dari ion bromat (BrO3). Oksidasi potensiometri yang relatif tinggi dari
sistem ini menunjukkan bahwa kalium bromat adalah oksidator kuat. Hanya saja
kecepatan reaksinya tidak cukup tinggi. Untuk menaikkan kecepatan ini titrasi
dilakukan dalam keadaan panas dan dalam lingkungan asam kuat. Adanya sedikit
kelebihan kalium bromat dalam larutan akan menyebabkan ion bromida bereaksi
dengan ion bromat, dan bromin yang dibebaskan akan merubah larutan menjadi
warna kuning pucat, warna ini sangat lemah sehingga tidak mudah untuk
menetapkan titik akhir (Wunas dan Said, 1986).
Brom dapat digunakan sebagai oksidator seperti iodium. Brom akan
direduksi oleh zat-zat organik dengan terbentuknya senyawa hasil subtitusi yang
tidak larut dalam air. Selain bromnya sendiri, brom dapat juga diperoleh dari hasil
pencampuran kalium bromat dan kalium bromida dalam lingkungan asam kuat.
Beberapa senyawa yang dapat ditetapkan kadarnya dengan larutan baku brom
dalam Farmakope Indonesia Edisi IV : klorokresol, fenol, fenol cair, fenileprin
HCl, resorsinol, dan timol (Gandjar, 2007).
Bromin yang dibebaskan ini tidak stabil, karena mempunyai tekanan uap
yang tinggi dan mudah menguap, karena itu penetapan harus dilakukan pada suhu
terendah mungkin, serta labu yang dipakai untuk titrasi harus ditutup. Metode
bromometri ini terutama digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa organik
aromatis dengan membentuk tribrom substitusi. Metode ini dapat juga digunakan
untuk menetapkan senyawa arsen dan stibium dalam bentuk trivalent walaupun
tercampur dengan stanum valensi empat (Wunas dan Said, 1986).
10
11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
12
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Data Penimbangan
Sampel yang digunakan adalah tablet fenobarbital dengan kandungan
fenobarbital 30 mg setiap tabletnya dan percobaan dilakukan dengan 2 kali
pengulangan.
Tabel 1. Data Penimbangan
No
1
2
3
Bobot
Fenobarbital
KBr
KI
Percobaan I
0,1052 gr
1,0002 gr
1,0008 gr
Percobaan II
0,1031 gr
1,0005 gr
1,0006 gr
2. Data Pengamatan
Percobaan dalam penetapan kadar tablet fenobarbital ini dilakukan
dengan 2 kali pengulangan. Berikut merupakan hasil pengamatan yang
disajikan dalam bentuk tabel pengamatan :
Tabel 2. Hasil Pengamatan
Percobaan Ke-
Perlakuan
Menimbang 105,2 mg sampel
Hasil Pengamatan
Serbuk berwarna
putih
Larutan bening
+ 10 mL larutan KBrO3 1 N
Larutan bening
Larutan berwarna
+ 1,0002 gr KBr
bening
Larutan berwarna
+ 5 mL H2SO4 1 N
orange
Larutan berwarna
cokelat pekat
Larutan berwarna
cokelat dengan 4,2
mL Na2S2O3 1 N
Larutan berwarna
cokelat
Larutan berwarna
biru kehitaman
Larutan berwarna
bening dengan 6,2
mL larutan Na2S2O3
1N
Serbuk berwarna
putih
+ 10 mL larutan KBrO3 1 N
Larutan berwarna
bening
+ 1,0002 gr KBr
Larutan berwarna
bening
+ 5 mL H2SO4 1 N
Larutan berwarna
orange
Larutan berwarna
cokelat pekat
14
15
Kadar C12H12N2O3
1.368,7148%
II
1.802,0562%
Rata-rata kadar
1.585,3855%
B. Pembahasan
Fenobarbital merupakan obat golongan barbiturat yang berkhasiat sebagai
hipnotik sedatif yang berefek utama depresif susunan saraf pusat (SSP).
Hipnotika adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan guna
meningkatkan keinginan tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur.
Lazimnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bilamana zat-zat ini diberikan
pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka
dinamakan sedatif (obat-obat pereda). Hipnotika-sedativa termasuk dalam
kelompok psikoepileptika yang mencakup obat-obat yang menekan atau
menghambat fungsi-fungsi susunan saraf pusat.
Kini, hanya beberapa barbiturat yang masih digunakan untuk indikasiindikasi tertentu seperti fenobarbital yang memiliki sifat antikonvulsif. Indikasi
utama untuk antiepileptika dari golongan barbiturat ialah epilepsi mayor, terutama
apa yang dinamakan epilepsi bangun tidur (serangan grand mal pada atau setelah
bangun tidur) serta grand mal difus (serangan yang terjadi tanpa ada hubungan
dengan ritme tidur-bangun). Disamping itu, fenobarbital digunakan pada status
epileptikus yang resisten terhadap terapi lainnya (Mutschler, 1991). Overdosis
barbital dapat menyebabkan depresi sentral dengan penghambatan pernapasan
berbahaya, koma, hingga kematian.
Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang demam
pada anak. Dosis dewasa yang biasa digunakan adalah 2 kali 120 mg-250 mg
sehari. Sedangkan dosis anak ialah 30-100 mg sehari. Untuk kejang demam yang
berulang pada anak dapat diberikan dosis mua (loading dose) 6-8 mg/kgBB dan
ditambah dengan dosis pemeliharaan 3-4 mg/kgBB. Untuk mengendalikan
epilepsi disarankan kadar plasma optimal, berkisar antara 40g/mL sering disertai
16
17
Baik sebelum maupun sesudah penambahan KBrO3 1 N dan KBr, larutan tidak
mengalami perubahan warna dan tetap dalam keadaan bening. Tujuan
ditambahkannya larutan KBrO3 dan KBr yaitu untuk membentuk endapan Br 2.
Oleh karena itu, titrasi ini disebut titrasi bromometri. Kemudian, larutan tersebut
ditambahkan 5 mL H2SO4 1 N dan dihomogenkan sehingga larutan mengalami
perubahan warna menjadi kuning pekat. Penambahan H2SO4 dilakukan karena
titrasi ini berlangsung dengan menggunakan titran Na 2S2O3 yang hanya boleh
dilaksanakan dalam suasana asam atau hampir netral. Hal ini disebabkan karena
apabila tanpa penambahan asam dikhawatirkan akan terjadi disproporsionasi iod
menjadi hipoiodit dan iodida, maka hipoiodit yang terbentuk akan mengoksidasi
tiosulfat menjadi sulfat, sehingga dianggap penting dengan adanya H2SO4 untuk
membuat suasana asam. Selanjutnya, larutan tersebut ditambahkan 1,0008 gr KI
sehingga larutan mengalami perubahan warna menjadi cokelat pekat dan larutan
tersebut segera didiamkan di tempat yang gelap selama 15 menit. Sisa endapan
Br2 yang sudah terbentuk tadi akan bereaksi dengan KI. Jadi, tujuan penambahan
KI yaitu untuk membebaskan I2. Adapun tujuan ditempatkan di tempat gelap yaitu
untuk menghasilkan iod yang baik karena iod mudah terpolarisasi oleh cahaya,
sehingga nantinya tidak banyak iod yang terionisasi, berikut persamaan reaksi
antara Br2 yang terbentuk dengan KI :
2KI + Br2
2KBr + I2
18
dengan Na2S2O3 1 N hingga kembali menjadi bening dengan volume total Na2S2O3
yang digunakan adalah 6,2 mL. Pada percobaan ini, I 2 bereaksi dengan Na2S2O3
dengan persamaan sebagai berikut :
I2 + 2Na2S2O3
2NaI + Na2S4O3
Pada percobaan kedua, 103,1 mg sampel yang telah digerus halus
diberikan perlakuan yang sama seperti pada percobaan pertama yaitu dilarutkan
dalam 5 mL kloroform, ditambahkan 10 mL larutan KBrO 3 1 N dan 1,0005 gr
KBr tanpa adanya perubahan warna larutan sehingga tetap dalam keadaan bening.
Kemudian larutan sampel ditambahkan 5 mL H 2SO4 1 N sehingga larutan
berwarna kuning pekat dan 1,0006 gr KI sehingga larutan berwarna cokelat pekat
serta disimpan selama 15 menit di tempat yang gelap agar iod yang terkandung
dapat terionisasi sempurna. Setelah penyimpanan, dilakukan proses titrasi
menggunakan larutan Na2S2O3 1 N sehingga larutan berwarna cokelat dengan
volume larutan Na2S2O3 1 N yang digunakan sebanyak 4 mL. Kemudian, larutan
sampel ditambahkan 3 tetes indikator kanji 1% dan 50 tetes larutan iodium 0,1 N
namun tidak ada perubahan warna yang terjadi. Selanjutnya larutan sampel
dititrasi kembali dengan menggunakan larutan Na2S2O3 1 N sehingga larutan
kembali menajdi bening dengan volume larutan Na 2S2O3 1 N yang digunakan
adalah sebanyak 8 mL.
Berdasarkan hasil percobaan ini dengan titik akhir titrasi saat larutan
kembali bening, maka diperoleh kadar C12H12N2O3 pada percobaan pertama yaitu
1.368,7148% sedangkan pada percobaan kedua kadar C12H12N2O3 yaitu
1.802,0562% sehingga rata-rata dari keduanya adalah 1.585,3855%. Hal ini tidak
sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Farmakope Indonesia edisi V (2014)
yang menyatakan bahwa fenobarbital mengandung tidak kurang dari 98,0% dan
tidak lebih dari 101,0% C12H12N2O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Adanya ketidaksesuaian ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya yaitu kurangnya penambahan KBr, hal ini disesuaikan dengan
persamaan reaksi berikut :
H2SO4 + 2KBr
2HBr + K2SO4
Dari persamaan tersebut, 1 mol H2SO4 bereaksi dengan 2 mol KBr yang
artinya untuk memperoleh suatu reaksi kimia, 5 ml H2SO4 harus ditambahkan 10
19
gr (2 kali) KBr. Selanjutnya, konsentrasi titran yang digunakan (Na 2S2O3) terlalu
pekat yaitu 1 N sedangkan berdasarkan persamaan reaksi antara I 2 dan Na2S2O3, 1
mol I2 memerlukan 2 mol Na2S2O3 sehingga seharusnya Na2S2O3 yang digunakan
adalah 0,2 N (2 kali normalitas I2).
I2 + 2Na2S2O3
2NaI + Na2S4O3
20
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bromometri merupakan penentuan kadar senyawa berdasarkan reaksi
reduksi-oksidasi yaitu proses titrasi (reaksi antara reduktor dan bromin berjalan
lambat) sehingga dilakukan titrasi secara tidak langsung dengan menambahkan
bromin berlebih. Reaksi antara bromin dan zat yang akan ditetapkan kadarnya
berjalan lambat, maka dilakukan titrasi secara tidak langsung, yaitu dengan
menambahkan bromin dan dilakukan penetapan dengan dititrasi larutan natrium
tiosulfat.
Berdasarkan hasil percobaan ini dengan titik akhir titrasi saat larutan
kembali bening, maka diperoleh kadar C12H12N2O3 pada percobaan pertama yaitu
1.368,7148% sedangkan pada percobaan kedua kadar C12H12N2O3 yaitu
1.802,0562% sehingga rata-rata dari keduanya adalah 1.585,3855%. Hal ini tidak
sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Farmakope Indonesia edisi V (2014)
yang menyatakan bahwa fenobarbital mengandung tidak kurang dari 98,0% dan
tidak lebih dari 101,0% C12H12N2O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Adanya ketidaksesuaian ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu kurangnya penambahan KBr yang seharusnya diberikan 2 kali
asam sulfat yang direaksikan. Selain itu konsentrasi titran yang digunakan
(Na2S2O3) terlalu pekat yaitu 1 N dan seharusnya memiliki konsentrasi 0,2 N (2
kali normalitas I2).
B. Saran
1. Perlu ketelitian bagi praktikan dalam pengerjaan prosedur kerja agar
tercapainya akurasi hasil pengamatan.
2. Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut terhadap sediaan tablet fenobarbital
lainnya dengan menggunakan metode atau instrumen lain.
21
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
23
24
Setelah penambahan KI
Proses titrasi
25
26
27
=1N
V Na2S2O3
= 6,2 ml
BE C12H12N2O3
= 232,24 mg
Bobot Sampel
= Bobot Sampel
= 105,2 mg
Ditanya :
Kadar C6H8O6 (I) ?
Penyelesaian :
Kadar C 6 H 8 O6 (I )=
N Na2 S2 O3 VI 2 BE C6 H 8 O6
100
Bobot Sampel
1 N 6,2 ml 232,24 mg
100
105,2 mg
1.439,888
100
105,2 mg
Kadar C 6 H 8 O6 (I )=1.368,7148
=1N
V Na2S2O3
= 8 mL
BE C12H12N2O3
= 232,24 mg
Bobot Sampel
= Bobot Sampel
= 103,1 mg
Ditanya :
28
Kadar C 6 H 8 O6 (II )=
N Na2 S2 O3 VI 2 BE C 6 H 8 O6
100
Bobot Sampel
1 N 8 ml 232,24 mg
100
103,1 mg
1.857,92
100
103,1 mg
= 1.368,7148%
= 1.802,0562%
Ditanya :
Rata-rata kadar C12H12N2O3 ?
Penyelesaian
Rataratakadar C 12 H 12 N 2 O 3 =
1.368,7148 + 1.802,0562
2
3.170,771
2