Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang
berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara
sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf)
peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik,
sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya
muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo, 2006).
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi otak
secara periodik yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan listrik secara
berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba, sehingga
penerimaan dan pengiriman impuls antara bagian otak dan dari otak ke bagian
lain tubuh terganggu. Menurut Gibbs, epilepsi ialah suatu paroxysmal cerebral
dysrhytmia, dengan gejala-gejala klinis seperti di atas. Dasar disritmia ini ialah
elektrobiokimiawi (Maramis, 2005). Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami
epilepsi. Setiap orang memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing
apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu
penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan, stroke, infeksi,
infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi
1-2% dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi
menunjukan pola bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usia
lanjut.
Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang terdapat di seluruh dunia.
Insiden epilepsi di dunia berkisar antara 33-198 tiap 100.000 penduduk tiap
tahunnya. (WHO, 2006) Insiden ini tinggi pada negara-negara berkembang karena

faktor risiko untuk terkena kondisi maupun penyakit yang akan mengarahkan
pada cedera otak adalah lebih tinggi dibanding negara industri (WHO, 2006).
Prevalensi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5-2% (Paryono dkk,
2003). Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit
epilepsi (Depkes, 2006). Pengobatan Epilepsi diantaranya bertujuan untuk
membuat penderita terbebas dari serangan, khususnya serangan kejang,
sedini/seawal mungkin tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat dan
penderita dapat melakukan tugas tanpa bantuan. Terapi meliputi terapi kausal,
terapi dengan menghindari faktor pencetus, dan memakai obat antikonvulsi
(Utama dan Gan, 2012).
Salah satu obat yang berperan sebagai antiepilepsi dan antikonvulsi adalah
fenobarbital. Fenobarbital adalah obat golongan barbiturat yang bekerja pada
sistem saraf pusat yang dapat menekan letupan pada fokus epilepsi sehingga
meredakan konvulsi yang terjadi. Beberapa sediaan fenobarbital dijumpai dalam
bentuk tablet yang merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi dengan tekstur
yang padat.
Dalam setiap sediaan terdapat ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi,
begitu pula dengan sediaan tablet yang terdapat syarat mutlak yang harus
disesuaikan. Farmakope Indonesia adalah pedoman yang telah distandarisasi bagi
seluruh petugas kesehatan, khususnya farmasi, seperti bahan baku obat serta
sediaan jadinya, sediaan produk biologis, alat kesehatan, metode analisis,
prosedur beserta instrumennya dan lain sebagainya.
Untuk tercapainya efek terapi yang diinginkan, setiap pasien seharusnya
mendapatkan terapi pengobatan yang rasional, salah satunya dari segi ketepatan
dosis yang diberikan. Dengan melakukan penetapan kadar fenobarbital pada
sediaan tablet, maka akan dapat diketahui sekaligus dapat membandingkan kadar
fenobarbital yang terdapat pada sediaan tablet yang diujikan dengan ketentuan
kadar yang seharusnya dalam Farmakope Indonesia sebagai literatur.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka identifikasi
masalah dalam praktikum ini yaitu :
1. Epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi otak
secara periodik.
2. Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang terdapat di seluruh dunia.
3. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara 33-198 tiap 100.000 penduduk tiap
tahunnya.
4. Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit
epilepsi.
5. Salah satu obat yang berperan sebagai antiepilepsi dan antikonvulsi adalah
fenobarbital.
6. Dalam setiap sediaan terdapat ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi,
begitu pula dengan sediaan tablet yang terdapat syarat mutlak yang harus
disesuaikan.
7. Untuk tercapainya efek terapi yang diinginkan, setiap pasien seharusnya
mendapatkan terapi pengobatan yang rasional, salah satunya dari segi
ketepatan dosis yang diberikan.
C. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :,
1. Sampel fenobarbital yang diujikan adalah sediaan tablet.
2. Penatapan kadar tablet fenobarbital menggunakan metode bromometri.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi serta batasan masalah yang telah dikemukakan,
maka rumusan masalah dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana prinsip-prinsip dasar metode bromometri ?
2. Berapa kadar fenobarbital yang terkandung pada sampel tablet fenobarbital
apabila menggunakan metode bromometri ?

E. Tujuan Praktikum
Tujuan dari percobaan ini adalah :
1. Mengetahui prinsip-prinsip dasar metode bromometri.

2. Menetapkan kadar tablet fenobarbital dengan metode bromometri.


F. Manfaat Praktikum
Manfaat yang ingin dihadirkan dalam praktikum ini adalah agar
mahasiswa dapat mengetahui prinsip-prinsip dasar metode bromometri sekaligus
dapat melakukan penetapan kadar tablet fenobarbital menggunakan metode
bromometri tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Antiepileptika
Epilepsi (Yunani, serangan) atau sawan atau penyakit ayan adalah suatu
gangguan saraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala, biasanya dengan
perubahan kesadaran (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015). Bangkitan ini
biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik
atau psikis dan selalu disertai gambaran letupan EEG (abnormal dan eksesif).
Untuk penyakit epilepsi, gambaran EEG bersifat diagnostik. Berdasarkan
gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan disritmia serebral yang bersifat
paraoksismal (Utama dan Gan, 2012).
Dikenal sejumlah jenis epilepsi dan yang paling lazim adalah bentuk
serangan luas (grand mal, petit mal, absence) pada sebagian besar otak terlibat
dan serangan parsial pada pelepasan muatan listrik hanya terbatas sampai
sebagian otak (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015) :
1. Grand mal (Perancis, penyakit besar) atau serangan tonis-klonis generalized
(Yunani, tonis = kontraksi otot otonom yang bertahan lama, klonos =
kontraksi ritmis). Bercirikan kejang kaku bersamaan dengan kejutan-kejutan
ritmis dari anggota badan dan hilangnya untuk sementara kesadaran dan
tonus. Pada umumnya serangan demikian diawali oleh suatu perasaan alamat
khusus (aura). Hilangnya tonus menyebabkan penderita terjatuh, berkejang
hebat dan otot-ototnya menjadi kaku.
2. Petit mal (Perancis, penyakit kecil) atau abscencea (Perancis, tak hadir).
Bercirikan serangan yang hanya singkat sekali, antara beberapa detik sampai
setengah menit dengan penurunan kesadaran ringan tanpa kejang-kejang.
Seperti grand mal, petit mal juga bersifat serangan luas diseluruh bagian otak.
Gejalanya berupa keadaan termangu-mangu (pikiran kosong; kehilangan
respon sesaat), muka pucat, pembicaraan terpotong-potong atau mendadak

berhenti bergerak, terutama anak-anak. Setelah serangan, anak kemudian


melanjutkan aktivitasnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
3. Parsial (epilepsi psikomotor). Bentuk serangan parsial pada umumnya
berlangsung dengan kesadaran hanya menurun untuk sebagian tanpa
hilangnya ingatan. Penderita memperlihatkan kelakuan otomatis tertentu
seperti gerakan mengunyam dan/atau menelan atau berjalan dalam lingkaran.
Ini dapat disebabkan oleh berbagai hal: pengaruh pada pompa Na +, K+
akibat defisiensi energi (misalnya akibat hipoglikemia, hipoksia, inhibitor enzim),
turunannya potensial membrane akibat gangguan elektrolit, depolarisasi membran
sel akibat naiknya konsentrasi neurotransmitter eksitasi atau turunnya konsentrasi
neurotransmitter inhibisi, atau gagalnya sinapsis inhibitorik. Sekelompok neuron
yang mudah terangsang (neuron epileptik) membentuk suatu fokus (pengatur
langkah, satuan epileptik fungsional). Keistimewaan fokus semacam ini adalah,
bahwa neuron-neuronnya pada kondisi tertentu (misalnya dengan naiknya pH)
akan dimuati bersama-sama (sinkron). Sinkronisasi ini merupakan syarat
terjadinya serangan epilepsi. Manifestasi secara klinis akan terjadi jika aktivitas
(hipersinkron) ini menyebar ke bagian lain system saraf, artinya rangsangan
menyerang bagian otak lainnya (Mutschler, 1991).
B. Barbiturat
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai
hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang
spesifik, barbiturat telah banyak digantikan oleh benzodiazepin yang lebih aman.
Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat
(2,4,6-trioksoheksahidropirirmidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara
urea dengan asam malonat. Asam barbiturat sendiri tidak menyebabkan depresi
SSP, efek hipnotik dan sedatif serta efek lainnya ditimbulkan bila pada posisi 5
ada gugusan alkil atau aril (Ganiswara, 1995).
Sebagai antiepilepsi, barbiturat menekan letupan di fokus epilepsi.
Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi
pembentukan fosfat berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu untuk sintesis

neurotransmitor misalnya ACh, dan untuk repolarisasi membran sel neuron


setelah depolarisasi (Utama dan Gan, 2012).
Barbiturat bekerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak
sama kuatnya. Dosis nonanestesi teruatama menekan respons pasca sinaps.
Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek
yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator. Barbiturat
memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi
sinaptik. Kapasitas barbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja
benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi bersifat sebagai aganis
GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi
SSP yang berat (Ganiswara, 1995).
Barbital-barbital semuanya bersifat lipofil, sukar larut dalam air tetapi
mudah larut dalam pelarut-pelarut non polar seperti minyak, kloroform dan
sebagainya. Sifat lipofil ini dimiliki oleh kebanyakan obat yang mampu menekan
SSP. Dengan meningkatnya sifat lipofil ini, misalnya dengan mengganti atom
oksigen pada atom C2 menjadi atom belerang, maka efek dan lama kerjanya
dipercepat, dan seringkali daya hipnotiknya diperkuat pula (Tadjuddin, 2001).
C. Fenobarbital
Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil barbiturat merupakan senyawa organik
pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi (Utama dan Gan, 2012).
Senyawa hipnotik ini (1912) terutama digunakan pada serangan grand mal dan
status epileptikus berdasarkan sifatnya yang dapat memblokir pelepasan muatan
listrik di otak. Untuk mengatasi efek hipnotiknya, obat ini dapat dikombinasi
dengan kofein. Tidak boleh diberikan pada absences karena justru dapat
memperburuknya (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015).
Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan
ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi pilihan kaena
cukup efektif dan murah (Utama dan Gan, 2012). Absorbsi di usus baik (70-90%)
dan 50% terikat pada protein; plasma-t 1/2 panjang, 3-4 hari, maka dosisnya
dapat

diberikan

sehari

sekaligus.

Sekitar

50%

dipecah

menjadi

p-

hidroksifenobarbital yang dieksresi lewat urin dan hanya 10-30% dalam keadaan
utuh (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015).
Efek samping berkaitan dengan efek sedasinya yaitu pusing, mengantuk,
ataksia, dan pada anak-anak mudah terangsang. Efek samping ini dapat dikurangi
dengan penambahan obat-obat lain (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015).
Selain itu, efek samping ini dapat diatasi dengan pemberian stimulant sentral
tanpa mengurangi efek antikonvulsinya (Utama dan Gan, 2012).
Fenobarbital bersifat menginduksi enzim dan antara lain mempercepat
penguraian kalsiferol (Vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis
(penyakit Inggris) pada anak kecil. Penggunaan bersama valproate harus hati-hati,
karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan. Dilain pihak, kadar darah
fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital (Tan
Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2015).
D. Bromometri
Bromometri merupakan salah satu metode penetapan kadar suatu zat
dengan prinsip reaksi reduksi-oksidasi. Oksidasi adalah suatu proses yang
mengakibatkan hilangnya aatu elektron atau lebih dari dalam zat (atom, ion atau
molekul). Bila suatu unsur dioksidasi, keadaan oksidasinya berubah ke harga
yang lebih positif. Suatu zat pengoksidasi adalah zat yang memperoleh elektron
dan dalam proses itu zat tersebut direduksi (Rivai, 1995).
Bromometri merupakan penentuan kadar senyawa berdasarkan reaksi
reduksi-oksidasi dimana proses titrasi (reaksi antara reduktor dan bromin berjalan
lambat), sehingga dilakukan titrasi secara tidak langsung dengan menambahkan
bromin berlebih (Susanti, 1997).
Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi
kenaikan bilangan oksidasi, sedangkan reduksi memperoleh elektron. Oksidator
adalah senyawa dimana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan
oksidasi. Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan
bilangan oksidasi (Khopkar, 2003).
Reduksi adalah suatu proses yang mengakibatkan diperoleh satu elektron
atau lebih oleh zat (atom, ion atau molekul). Bila suatu unsur direduksi, keadaan

oksidasi berubah menjadi lebih negatif (kurang positif), jadi suatu zat pereduksi
adalah zat yang kehilangan elektron, dalam proses itu zat ini dioksidasi (Rivai,
1995).
Oksidasi dan reduksi selalu berlangsung dengan serempak. Ini sangat jelas
karena elektron yang dilepaskan oleh sebuah zat harus diambil oleh zat yang
lain.jika orang membicarakan oksidasi suatu zat, ia harus ingat bahwa pada saat
yang sama reduksi dari suatu zat juga berlangsung (Underwood dan Day, 2002).
Bromometri

merupakan salah satu metode oksidimetri dengan dasar

reaksi dari ion bromat (BrO3). Oksidasi potensiometri yang relatif tinggi dari
sistem ini menunjukkan bahwa kalium bromat adalah oksidator kuat. Hanya saja
kecepatan reaksinya tidak cukup tinggi. Untuk menaikkan kecepatan ini titrasi
dilakukan dalam keadaan panas dan dalam lingkungan asam kuat. Adanya sedikit
kelebihan kalium bromat dalam larutan akan menyebabkan ion bromida bereaksi
dengan ion bromat, dan bromin yang dibebaskan akan merubah larutan menjadi
warna kuning pucat, warna ini sangat lemah sehingga tidak mudah untuk
menetapkan titik akhir (Wunas dan Said, 1986).
Brom dapat digunakan sebagai oksidator seperti iodium. Brom akan
direduksi oleh zat-zat organik dengan terbentuknya senyawa hasil subtitusi yang
tidak larut dalam air. Selain bromnya sendiri, brom dapat juga diperoleh dari hasil
pencampuran kalium bromat dan kalium bromida dalam lingkungan asam kuat.
Beberapa senyawa yang dapat ditetapkan kadarnya dengan larutan baku brom
dalam Farmakope Indonesia Edisi IV : klorokresol, fenol, fenol cair, fenileprin
HCl, resorsinol, dan timol (Gandjar, 2007).
Bromin yang dibebaskan ini tidak stabil, karena mempunyai tekanan uap
yang tinggi dan mudah menguap, karena itu penetapan harus dilakukan pada suhu
terendah mungkin, serta labu yang dipakai untuk titrasi harus ditutup. Metode
bromometri ini terutama digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa organik
aromatis dengan membentuk tribrom substitusi. Metode ini dapat juga digunakan
untuk menetapkan senyawa arsen dan stibium dalam bentuk trivalent walaupun
tercampur dengan stanum valensi empat (Wunas dan Said, 1986).

10

11

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Praktikum


Waktu dan tempat pelaksaan praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 3
November 2016, dilaksanakan di Laboratorium Biologi dan Laboratorium Kimia
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya.
B. Metode Praktikum
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah penelitian eksperimen
dengan metode bromometri yaitu titrasi tidak langsung dengan penambahan
bromin berlebih.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi praktikum ini adalah sediaan tablet dengan kandungan
fenobarbital.
2. Sampel
Sampel yang digunakan untuk penetapan kadar fenobarbital dalam
sediaan tablet adalah tablet fenobarbital yang telah tersedia di laboratorium
dengan kandungan fenobarbital 30 mg/tablet.
D. Instrumen Praktikum
1. Alat
a) Gelas arloji
b) Gelas beaker 50 mL
c) Gelas beaker 500 mL
d) Gelas ukur 50 mL
e) Erlenmeyer 250 mL
f) Batang pengaduk
g) Buret dan statif
h) Corong
i) Mortir dan stamper
j) Pipet ukur 5 mL
k) Pipet ukur 10 mL
l) Pipet tetes
m) Hotplate
n) Alumunium foil
2. Bahan
a) Kloroform
b) Larutan KBrO31 N

12

c) Kalium bromida (KBr)


d) Kalium Iodida (KI)
e) Larutan iodium (I2) 0,1 N
f) Larutan asam sulfat (H2SO4) 1 N
g) Indikator kanji 1%
h) Larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) 1 N
i) Sampel tablet fenobarbital
E. Prosedur Kerja
Timbang 100 mg sampel
Larutkan dalam 5 mL kloroform
+ 10 mL KBrO331 N
+ 1 gr KBr
+ 5 mL H22SO44 1 N
+ 1 gr KI, simpan di tempat gelap selama 15 menit
Titrasi dengan Na22S22O33 1 N hingga berwarna cokelat
+ 3 tetes indikator kanji 1%
+ Beberapa tetes larutan iodium 0,1 N hingga berwarna biru kehitaman
Titrasi dengan larutan Na22S22O33 1 N hingga berwarna bening

13

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Data Penimbangan
Sampel yang digunakan adalah tablet fenobarbital dengan kandungan
fenobarbital 30 mg setiap tabletnya dan percobaan dilakukan dengan 2 kali
pengulangan.
Tabel 1. Data Penimbangan
No
1
2
3

Bobot
Fenobarbital
KBr
KI

Percobaan I
0,1052 gr
1,0002 gr
1,0008 gr

Percobaan II
0,1031 gr
1,0005 gr
1,0006 gr

2. Data Pengamatan
Percobaan dalam penetapan kadar tablet fenobarbital ini dilakukan
dengan 2 kali pengulangan. Berikut merupakan hasil pengamatan yang
disajikan dalam bentuk tabel pengamatan :
Tabel 2. Hasil Pengamatan

Percobaan Ke-

Perlakuan
Menimbang 105,2 mg sampel

Hasil Pengamatan
Serbuk berwarna
putih

Dilarutkan dalam 5 mL kloroform


I

Larutan bening

+ 10 mL larutan KBrO3 1 N
Larutan bening
Larutan berwarna
+ 1,0002 gr KBr

bening
Larutan berwarna

+ 5 mL H2SO4 1 N

orange
Larutan berwarna

+ 1,0008 gr KI, simpan 15 menit


di tempat yang gelap
Titrasi dengan larutan Na2S2O3

+ 3 tetes indikator kanji 1%

cokelat pekat
Larutan berwarna
cokelat dengan 4,2
mL Na2S2O3 1 N
Larutan berwarna
cokelat
Larutan berwarna
biru kehitaman

+ 50 tetes larutan iodium 0,1 N

Larutan berwarna
bening dengan 6,2

Titrasi kembali dengan larutan


Na2S2O3 1 N
Menimbang 103,1 mg sampel

mL larutan Na2S2O3
1N
Serbuk berwarna
putih

Dilarutkan dalam 5 mL kloroform Larutan berwarna


bening
II

+ 10 mL larutan KBrO3 1 N

Larutan berwarna
bening

+ 1,0002 gr KBr

Larutan berwarna
bening

+ 5 mL H2SO4 1 N

Larutan berwarna
orange

+ 1,0008 gr KI, simpan 15 menit


di tempat yang gelap

Larutan berwarna
cokelat pekat

14

15

Tabel 3. Kadar C12H12N2O3


Percobaan Ke-

Kadar C12H12N2O3

1.368,7148%

II

1.802,0562%

Rata-rata kadar

1.585,3855%

B. Pembahasan
Fenobarbital merupakan obat golongan barbiturat yang berkhasiat sebagai
hipnotik sedatif yang berefek utama depresif susunan saraf pusat (SSP).
Hipnotika adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan guna
meningkatkan keinginan tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur.
Lazimnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bilamana zat-zat ini diberikan
pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka
dinamakan sedatif (obat-obat pereda). Hipnotika-sedativa termasuk dalam
kelompok psikoepileptika yang mencakup obat-obat yang menekan atau
menghambat fungsi-fungsi susunan saraf pusat.
Kini, hanya beberapa barbiturat yang masih digunakan untuk indikasiindikasi tertentu seperti fenobarbital yang memiliki sifat antikonvulsif. Indikasi
utama untuk antiepileptika dari golongan barbiturat ialah epilepsi mayor, terutama
apa yang dinamakan epilepsi bangun tidur (serangan grand mal pada atau setelah
bangun tidur) serta grand mal difus (serangan yang terjadi tanpa ada hubungan
dengan ritme tidur-bangun). Disamping itu, fenobarbital digunakan pada status
epileptikus yang resisten terhadap terapi lainnya (Mutschler, 1991). Overdosis
barbital dapat menyebabkan depresi sentral dengan penghambatan pernapasan
berbahaya, koma, hingga kematian.
Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang demam
pada anak. Dosis dewasa yang biasa digunakan adalah 2 kali 120 mg-250 mg
sehari. Sedangkan dosis anak ialah 30-100 mg sehari. Untuk kejang demam yang
berulang pada anak dapat diberikan dosis mua (loading dose) 6-8 mg/kgBB dan
ditambah dengan dosis pemeliharaan 3-4 mg/kgBB. Untuk mengendalikan
epilepsi disarankan kadar plasma optimal, berkisar antara 40g/mL sering disertai

16

gejala toksik yang nyata. Penghentian pemberian fenobarbital harus secara


bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi bangkitan
kembali, atau justru bangkitan status epileptikus (Utama dan Gan, 2012).
Mekanisme kerja fenobarbital adalah dengan memperkuat efek GABA
(gamma-aminobutiric acid) yang merupakan neurotransmitter pada otak. Apabila
aktivitas GABA ditingkatkan, maka konvulsi yang terjadi dapat diturunkan atau
diringankan. Selain itu, fenobarbital juga mencegah timbulnya pelepasan muatan
listrik abnormal pada otak (focus) SSP sehingga meminimalisir terjadinya
serangan yang dapat menimbulkan konvulsi dan epilepsi.
Pada percobaan ini dilakukan penetapan kadar fenobarbital yang
terkandung pada sediaan tablet yang telah tersedia di laboratorium dengan
menggunakan metode bromometri. Tablet fenobarbital adalah sediaan padat yang
mengandung fenobarbital sebagai salah satu atau zat tunggal aktif. Bromometri
merupakan penentuan kadar senyawa berdasarkan reaksi reduksi-oksidasi yaitu
proses titrasi (reaksi antara reduktor dan bromin berjalan lambat) sehingga
dilakukan titrasi secara tidak langsung dengan menambahkan bromin berlebih.
Bromin yang dilepaskan akan merubah larutan menjadi warna kuning pucat.
Warna ini sangat lemah sehingga tidak mudah untuk menetapkan titik akhir.
Bromin yang dilepaskan tidak stabil karena mempunyai tekanan uap yang tinggi
dan mudah menguap. Karena itu penetapan harus dilakukan pada suhu serendah
mungkin, serta labu yang dipakai harus ditutup. Reaksi antara bromin dan zat
yang akan ditetapkan kadarnya berjalan lambat, maka dilakukan titrasi secara
tidak langsung, yaitu dengan menambahkan bromin dan dilakukan penetapan
dengan dititrasi larutan natrium tiosulfat.
Sebelum dilakukan penimbangan, baik pada percobaan pertama maupun
kedua, sampel digerus masing-masing menggunakan mortir dan stamper hingga
halus. Pada percobaan pertama digunakan 105,2 mg sampel yang kemudian
dilarutkan dengan 5 mL CHCl3 (kloroform). Penggunaan kloroform untuk
melarutkan fenobarbital karena menurut Farmakope Indonesia edisi V (2014),
fenobarbital sukar larut dalam air dan dapat larut dalam etanol, eter serta
kloroform. Selanjutnya ditambahkan 10 ml KBrO3 dan 1,0002 gr kalium bromida.

17

Baik sebelum maupun sesudah penambahan KBrO3 1 N dan KBr, larutan tidak
mengalami perubahan warna dan tetap dalam keadaan bening. Tujuan
ditambahkannya larutan KBrO3 dan KBr yaitu untuk membentuk endapan Br 2.
Oleh karena itu, titrasi ini disebut titrasi bromometri. Kemudian, larutan tersebut
ditambahkan 5 mL H2SO4 1 N dan dihomogenkan sehingga larutan mengalami
perubahan warna menjadi kuning pekat. Penambahan H2SO4 dilakukan karena
titrasi ini berlangsung dengan menggunakan titran Na 2S2O3 yang hanya boleh
dilaksanakan dalam suasana asam atau hampir netral. Hal ini disebabkan karena
apabila tanpa penambahan asam dikhawatirkan akan terjadi disproporsionasi iod
menjadi hipoiodit dan iodida, maka hipoiodit yang terbentuk akan mengoksidasi
tiosulfat menjadi sulfat, sehingga dianggap penting dengan adanya H2SO4 untuk
membuat suasana asam. Selanjutnya, larutan tersebut ditambahkan 1,0008 gr KI
sehingga larutan mengalami perubahan warna menjadi cokelat pekat dan larutan
tersebut segera didiamkan di tempat yang gelap selama 15 menit. Sisa endapan
Br2 yang sudah terbentuk tadi akan bereaksi dengan KI. Jadi, tujuan penambahan
KI yaitu untuk membebaskan I2. Adapun tujuan ditempatkan di tempat gelap yaitu
untuk menghasilkan iod yang baik karena iod mudah terpolarisasi oleh cahaya,
sehingga nantinya tidak banyak iod yang terionisasi, berikut persamaan reaksi
antara Br2 yang terbentuk dengan KI :
2KI + Br2

2KBr + I2

Setelah didiamkan, larutan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat


(Na2S2O3) 1 N hingga larutan berubah warna menjadi cokelat. Volume larutan
Na2S2O3 yang digunakan adalah 4,2 mL. Kemudian, larutan sampel ditambahkan
3 tetes indikator kanji 1% dengan tujuan untuk mempertegas perubahan warna
yang seharusnya terjadi pada perlakuan berikutnya. Selanjutnya larutan sampel
ditambahkan 50 tetes larutan iodium 0,1 N dengan tujuan memberikan warna biru
pada larutan, tetapi perubahan warna tersebut tidak dijumpai, selain itu pemberian
larutan iodium 0,1 N juga dimaksudkan untuk memberikan kembali iod karena
kemungkinan iod yang terkandung sudah terionisasi sempurna yang disebabkan
karena titrasi yang berlebihan. Setelah itu, larutan tersebut kembali dititrasi

18

dengan Na2S2O3 1 N hingga kembali menjadi bening dengan volume total Na2S2O3
yang digunakan adalah 6,2 mL. Pada percobaan ini, I 2 bereaksi dengan Na2S2O3
dengan persamaan sebagai berikut :
I2 + 2Na2S2O3
2NaI + Na2S4O3
Pada percobaan kedua, 103,1 mg sampel yang telah digerus halus
diberikan perlakuan yang sama seperti pada percobaan pertama yaitu dilarutkan
dalam 5 mL kloroform, ditambahkan 10 mL larutan KBrO 3 1 N dan 1,0005 gr
KBr tanpa adanya perubahan warna larutan sehingga tetap dalam keadaan bening.
Kemudian larutan sampel ditambahkan 5 mL H 2SO4 1 N sehingga larutan
berwarna kuning pekat dan 1,0006 gr KI sehingga larutan berwarna cokelat pekat
serta disimpan selama 15 menit di tempat yang gelap agar iod yang terkandung
dapat terionisasi sempurna. Setelah penyimpanan, dilakukan proses titrasi
menggunakan larutan Na2S2O3 1 N sehingga larutan berwarna cokelat dengan
volume larutan Na2S2O3 1 N yang digunakan sebanyak 4 mL. Kemudian, larutan
sampel ditambahkan 3 tetes indikator kanji 1% dan 50 tetes larutan iodium 0,1 N
namun tidak ada perubahan warna yang terjadi. Selanjutnya larutan sampel
dititrasi kembali dengan menggunakan larutan Na2S2O3 1 N sehingga larutan
kembali menajdi bening dengan volume larutan Na 2S2O3 1 N yang digunakan
adalah sebanyak 8 mL.
Berdasarkan hasil percobaan ini dengan titik akhir titrasi saat larutan
kembali bening, maka diperoleh kadar C12H12N2O3 pada percobaan pertama yaitu
1.368,7148% sedangkan pada percobaan kedua kadar C12H12N2O3 yaitu
1.802,0562% sehingga rata-rata dari keduanya adalah 1.585,3855%. Hal ini tidak
sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Farmakope Indonesia edisi V (2014)
yang menyatakan bahwa fenobarbital mengandung tidak kurang dari 98,0% dan
tidak lebih dari 101,0% C12H12N2O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Adanya ketidaksesuaian ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya yaitu kurangnya penambahan KBr, hal ini disesuaikan dengan
persamaan reaksi berikut :
H2SO4 + 2KBr
2HBr + K2SO4
Dari persamaan tersebut, 1 mol H2SO4 bereaksi dengan 2 mol KBr yang
artinya untuk memperoleh suatu reaksi kimia, 5 ml H2SO4 harus ditambahkan 10

19

gr (2 kali) KBr. Selanjutnya, konsentrasi titran yang digunakan (Na 2S2O3) terlalu
pekat yaitu 1 N sedangkan berdasarkan persamaan reaksi antara I 2 dan Na2S2O3, 1
mol I2 memerlukan 2 mol Na2S2O3 sehingga seharusnya Na2S2O3 yang digunakan
adalah 0,2 N (2 kali normalitas I2).
I2 + 2Na2S2O3

2NaI + Na2S4O3

20

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bromometri merupakan penentuan kadar senyawa berdasarkan reaksi
reduksi-oksidasi yaitu proses titrasi (reaksi antara reduktor dan bromin berjalan
lambat) sehingga dilakukan titrasi secara tidak langsung dengan menambahkan
bromin berlebih. Reaksi antara bromin dan zat yang akan ditetapkan kadarnya
berjalan lambat, maka dilakukan titrasi secara tidak langsung, yaitu dengan
menambahkan bromin dan dilakukan penetapan dengan dititrasi larutan natrium
tiosulfat.
Berdasarkan hasil percobaan ini dengan titik akhir titrasi saat larutan
kembali bening, maka diperoleh kadar C12H12N2O3 pada percobaan pertama yaitu
1.368,7148% sedangkan pada percobaan kedua kadar C12H12N2O3 yaitu
1.802,0562% sehingga rata-rata dari keduanya adalah 1.585,3855%. Hal ini tidak
sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Farmakope Indonesia edisi V (2014)
yang menyatakan bahwa fenobarbital mengandung tidak kurang dari 98,0% dan
tidak lebih dari 101,0% C12H12N2O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Adanya ketidaksesuaian ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu kurangnya penambahan KBr yang seharusnya diberikan 2 kali
asam sulfat yang direaksikan. Selain itu konsentrasi titran yang digunakan
(Na2S2O3) terlalu pekat yaitu 1 N dan seharusnya memiliki konsentrasi 0,2 N (2
kali normalitas I2).
B. Saran
1. Perlu ketelitian bagi praktikan dalam pengerjaan prosedur kerja agar
tercapainya akurasi hasil pengamatan.
2. Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut terhadap sediaan tablet fenobarbital
lainnya dengan menggunakan metode atau instrumen lain.

21

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM.2014.Farmakope Indonesia Edisi V.Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.
Gandjar, Ibnu G., dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Ganiswarna, Sulistia G.1995.Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Khopkar.2003.Konsep Dasar Kimia Analitik.Jakarta:Universitas Indonesia Press.
Maramis, W.F. 2005.Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Surabaya: Airlangga University
Press.
Mutschler, Ernst.1991.Dinamika Obat Edisi Kelima.Bandung: Penerbit ITB.
R. A. Day, JR dan A. L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi ke Enam.
Jakarta: Erlangga.
Rivai, H.1995. Asas Pemeriksaan Kimia.Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Susanti, S., dan Jeanny Wunas. 1997. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif.Makassar:
Universitas Hasanudin Press.
Tadjuddin, Naid.2001.Analisa Farmasi.Makassar: Universitas Hasanudin Press.
Tjay, Tan Hoan., dan Kirana Rahardja.2015.Obat-Obat Penting.Jakarta: Penerbit PT
Elex Media Komputindo.
Utama, Hendra., dan Vincent H.S. Gan.2012.Farmakologi dan Terapi Edisi 5
Antiepilepsi dan Antikonvulsi. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
WHO. 2006. Epilepsy: Epidemiology, Etiology, And Prognosis. WHO Fact Sheet.
Wibowo, S., dan Ahmad Gofir. 2006. Obat Antiepilepsi. Yogyakarta :Pustaka
Cendekia Press.
Wunas, J., dan Said, S.1986. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif. Makassar :
Universitas Hasanudin Press.

22

LAMPIRAN

Lampiran 1. Gambar Sampel

23

Lampiran 2. Gambar Perlakuan Pada Sampel


Sampel dalam 5 mL kloroform

Larutan sampel dengan 10 mL KBrO3 dan KBr

24

Setelah penambahan 5 mL H2SO4

Setelah penambahan KI

Proses titrasi

25

Setelah penambahan indikator kanji 1% dan larutan iodium 0,1 N

26

Lampiran 3. Gambar Hasil Titrasi

Titrasi pertama hingga berwarna cokelat

Titrasi kedua hingga kembali menjadi bening

27

Lampiran 4. Perhitungan Kadar C12H12N2O3


a. Percobaan pertama dengan sampel pertama
Diketahui :
N Na2S2O3

= Normalitas Natrium Tiosulfat

=1N

V Na2S2O3

= Volume Natrium Tiosulfat

= 6,2 ml

BE C12H12N2O3

= Bobot Equivalen C12H12N2O3

= 232,24 mg

Bobot Sampel

= Bobot Sampel

= 105,2 mg

Ditanya :
Kadar C6H8O6 (I) ?
Penyelesaian :
Kadar C 6 H 8 O6 (I )=

N Na2 S2 O3 VI 2 BE C6 H 8 O6
100
Bobot Sampel

1 N 6,2 ml 232,24 mg
100
105,2 mg

1.439,888
100
105,2 mg

Kadar C 6 H 8 O6 (I )=1.368,7148

b. Percobaan kedua dengan sampel kedua


Diketahui :
N Na2S2O3

= Normalitas Natrium Tiosulfat

=1N

V Na2S2O3

= Volume Natrium Tiosulfat

= 8 mL

BE C12H12N2O3

= Bobot Equivalen C12H12N2O3

= 232,24 mg

Bobot Sampel

= Bobot Sampel

= 103,1 mg

Ditanya :

28

Kadar C6H8O6 (II) ?


Penyelesaian

Kadar C 6 H 8 O6 (II )=

N Na2 S2 O3 VI 2 BE C 6 H 8 O6
100
Bobot Sampel

1 N 8 ml 232,24 mg
100
103,1 mg

1.857,92
100
103,1 mg

Kadar C 6 H 8 O6 (II )=1.802,0562

c. Perhitungan Rata-Rata Kadar C12H12N2O3


Diketahui :
Kadar C12H12N2O3 (I)

= 1.368,7148%

Kadar C12H12N2O3 (II)

= 1.802,0562%

Ditanya :
Rata-rata kadar C12H12N2O3 ?
Penyelesaian

Rataratakadar C 12 H 12 N 2 O 3 =

Kadar C12 H 12 N 2 O 3 ( I ) + Kadar C 12 H 12 N 2 O 3 ( II)


2

1.368,7148 + 1.802,0562
2

3.170,771
2

Ratarata kadar C 12 H 12 N 2 O3 =1.585,3855

Anda mungkin juga menyukai