PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit radang sinus dengan prevalensi
salah
satu
dari
penyakit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila
2.2. Definisi
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan
sinus paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena
keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri
pathogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi
jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi akibat fraktur dan tumor (Benninger dan
Gottschall, 2008; Soetjipto dkk, 2006).
Rinosinusitis merupakan peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal,
yang selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal oleh
infeksi, obstruksi mekanik atau alergi (Hwang dkk, 2009). Rinosinusitis adalah
peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kronis apabila
berlangsung paling sedikit 12 minggu (CDK, 2010).
Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang organ
sinus paranasal dan kavitas nasal. Sejak pertengahan tahun 1990, kata sinusitis
telah diganti menjadi istilah rinosinusitis, dimana jarang ditemukan kasus sinusitis
tanpa rhinitis dan juga penyakit rhinitis yang selalu disertai dengan sinusitis. (Lee,
2008).
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik
didefinisikan sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus
paranasalis dan pada mukosa hidung yang telah mengalami perubahan reversibel
maupun irreversible dengan berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan 1,2,3
berlangsung lebih dari 12 minggu RSK masih merupakan tantangan dan masalah
dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi serta
penanganannya yang kompleks (Harowi dkk, 2011).
2.3. Klasifikasi
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis ditinjau
dari lima aksis, yaitu:
1.
a.
b.
Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu
c.
2.
3.
4.
5.
rinosinusitis menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi
dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Rinosinusitis infeksi biasanya
didahului dengan infeksi saluran nafas atas akut yang disebabkan virus, biasanya
infeksi bakteri merupakan lanjutan dari infeksi virus. Infeksi virus biasanya akan
membaik tanpa terapi setelah 2 minggu. Virus yang biasa menjadi penyebab adalah
virus influenza, corona virus dan rinovirus. Infeksi virus sering diikuti infeksi bakteri
terutama kokkus (streptococcus pneumonia dan staphilococcus aureus) dan
haemophilus influenza. Rinosinusitis kronik noninfeksi Bisa disebabkan alergi, faktor
4
lingkungan (misalnya polutan) dan penyebab fisiologik atau yang berkaitan dengan
usia (misalnya rinitis vasomotor dan perubahan hormonal).
Pembagian berdasarkan derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis
untuk menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah
banyak dilakukan di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut sistem
Lund MacKay didasarkan pada pengukuran obyektif kelainan masing-masing sinus
dengan skor 0 bila tidak ditemukan kelainan, skor 1 bila ditemukan opasitas parsial,
skor 2 bila ditemukan opasitas total sinus, dan penilaian patensi osteomeatal komplek.
Sistem ini banyak dipakai karena mampu mengukur kelainan masing-masing sinus
secara obyektif, dapat dipakai untuk kasus individual, dan mempertimbangkan
kondisi komplek osteomeatal (Zeinreich, 2004).
2.4. Etiologi
1.
Faktor Host
a.
b.
c.
Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan
yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula
oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila.
d.
Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan
bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan
pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi adalah
suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell & Comb) yang
diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama.
Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal.
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti bodi
menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus yang
membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase sehingga
menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya menghancurkan epitel
permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus dapat menyebabkan
rinosinusitis kronis.
e.
Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam
kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga
lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.
f.
Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
kronik. Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip hidung
sehingga mengganggu aliran mukus.
g.
h.
Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik
dapatmengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener
atau sindrom silia immortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,
pneumonia,
catarrhalis, Streptococcus
pyogenes,
Haemophillus
Staphylococcus
gram
influenza,
aureus,
(-).
Moraxella
Bacteroides,
Selain
bakteri,
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu
polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran
hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia.
Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik.
Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus
membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam
sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut
2.5. Patofisiologi
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi
silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi
Pathway
Pathway Rinosinusitis
1.
a.
b.
c.
d.
e.
Gejala Mayor :
Hidung tersumbat
Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
Sakit kepala
Nyeri / rasa tekan pada wajah
Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)
2.
Gejala Minor :
a. Demam, halitosis
b. Pada anak; batuk, iritabilitas
c. Sakit gigi
d. Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.
Gejala dan Tanda Klinis : (Setiadi 2009)
1.
a.
Gejala Subjektif
Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak.
Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari
lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh
mukosa, karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigigigi ini
b.
Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis.
Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya
kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit kepala
bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda khas dari peradangan
atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka
biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus
sakit kepala lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya. Sakit kepala yang
bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika
badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat
istirahat ataupun saat berada dikamar gelap.
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan
10
pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam
rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.
c.
d.
Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang
tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya
penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius
didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung
terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu. Pada kasus kronis,
hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius,
meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah
infeksi hilang.
2.
a.
Gejala Objektif
b.
Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif,
sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan
adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan
tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena
sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius.
2.7. Komplikasi
11
2.
Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).
Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi
yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
3.
Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.
4.
Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul
asma bronkial
2.8. Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah
sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi
posterior.
2.
Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai
untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan
radiologik tidak tersedia.
3.
a.
Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen sinus paranasal
12
4.
Nasoendoskopi
13
Medikamentosa
Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup -laktamase seperti pada
terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin
sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan
antibiotik diteruskan mencukupi 10 14 atau lebih jika diperlukan.
14
ada
jenis
kortikosteroid,
yaitu kortikosteroid
15
Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat
dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) dapat dilaksanakan.
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan
drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami.
Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka
berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi CaldwelLuc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan
normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga
drainase dapat sembuh kembali.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat
dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan
konservatif yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan
yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci
adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus.
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan
ostium sinus yang tersumbat diperlebar.
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap
berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.
16
BAB III
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Rinosinusitis kronis adalah penyakit yang menantang untuk dikelola karena
pengetahuan yang tidak lengkap tentang banyak faktor yang berinteraksi yang
berkontribusi terhadap pengembangan dan persistensinya. Selain itu, uji klinis
yang tepat yang menilai efikasi dan keamanan terapi pada jenis RSK yang
berbeda masih kurang. Meskipun terdapat tantangan ini, dokter keluarga
memainkan peran penting dalam membantu pasien dengan RSK dengan secara
proaktif mengelola penyakit dan eksaserbasi akut. Pemahaman yang meningkat
dari proses penyakit yang mendasari telah menyebabkan evolusi dalam
pengobatan RSK.
Pencatatan yang rinci dari gejala klinis dan temuan fisik, diikuti dengan
endoskopi hidung diagnostik (DNE) dan CT scan SPN memainkan peran penting
dalam diagnosis, prognosis dan tindak lanjut pasien RSK.
Terapi medis sudah mulai bergeser dari antibiotik dan dekongestan menjadi
kombinasi steroid topikal, steroid sistemik, dekongestan, antihistamin dan
antibiotik. Pengobatan bedah CRS, masih merupakan komponen penting dari
rencana perawatan keseluruhan, telah bergeser dari radikal menjadi pendekatan
yang lebih konservatif namun lengkap. Meskipun penting, pembedahan saja tidak
mengarah ke keadaan bebas penyakit jangka panjang.
17
DAFTAR PUSTAKA
Surg 2009;38(2):286-93.
Macdonald KI, McNally JD, Massoud E. The health and resource
utilization of Canadians with chronic rhinosinusitis. Laryngoscope
6.
18
11. Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 20052006. Jakarta: Prima Medika
12. Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R.
2006. Functional endoscopic sinus surgery di Indonesia pada panel ahli
THT Indonesia. Jakarta: Yanmedic-Depkes
19