Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit radang sinus dengan prevalensi

yang dilaporkan 5% di Kanada (Macdonald KI dkk, 2008). Prevalensi tersebut


meningkat sesuai usia dan lebih sering terjadi pada wanita, individu dengan asma,
individu dengan penyakit paru obstruktif kronik, dan individu dengan riwayat
alergi. Penyakit ini memiliki efek yang besar terhadap kualitas hidup pasien,
dimana sebuah penelitian melaporkan bahwa status kesehatan adalah serupa
antara pasien dengan RSK dan orang-orang dengan kanker, asma atau artritis
(Macdonald KI dkk, 2008). Penelitian lain melaporkan bahwa fungsi sosial lebih
buruk dan nyeri tubuh yang lebih parah pada pasien RSK dibandingkan dengan
mereka yang angina, nyeri punggung, penyakit paru obstruktif kronik atau gagal
jantung kongestif. Tidak mengherankan, RSK menghabiskan sumber dana
pengobatan kesehatan yang besar. Pada tahun 2008, 12,5 juta kunjungan tugas
dibuat untuk RSK di Amerika Serikat (National Ambulatory Medical Care Survey,
2008).
Meskipun RSK adalah penyakit yang berbeda dengan rinosinusitis bakteri
akut (ABRS), data rekomendasi dari Kanada mengungkapkan bahwa kebiasaan
pemberian resep dengan antibiotik sebanding antara kedua jenis penyakit ini.
Terbitan terbaru Pedoman Kanada, (Desrosiers M dkk, 2011 dan Desrosiers M
(Suppl 2), 2011) untuk mendiagnosa dan mengobati RSK membantu menjelaskan
tentang perkembangan pemahaman dan strategi pengobatan RSK. Karena sifat
kronis dari RSK, pasien dengan penyakit ini harus secara aktif dikelola dan
mendapat tindak lanjut secara teratur (Alan Kaplan, 2013).
Rinosinusitis kronis (RSK) adalah suatu kondisi umum dengan implikasi
sosial yang signifikan yang disebabkan oleh karena hilangnya jam kerja.
Denominator patofisiologis umum untuk hampir semua bentuk RSK adalah
peradangan, yang farmakoterapinya luas tersedia. Sayangnya, tidak semua pasien
sembuh atau mencapai kontrol dari gejalanya bahkan dengan manajemen medis

yang maksimal. Dalam kasus tersebut, bedah sinus endoskopi fungsional


(Functional Endoscopic Sinus Surgery/ FESS) diperlukan. Modalitas manajemen,
meskipun bervariasi, dapat bermanfaat pada pasien yang patuh. Namun, adanya
variabilitas yang signifikan dan kurangnya standarisasi pedoman sehubungan
dengan modalitas tersebut. Artikel ini mencoba untuk memberi pembaca sebuah
gambaran tentang metodologi pemeriksaan dan pengobatan masalah THT yang
ada di mana-mana ini (N.V Deepthi dkk, 2012).
Rinosinusitis kronis (RSK) adalah

salah

satu

dari

penyakit

otorinolaringologik yang paling sering ditemui dalam praktek sehari-hari. Dengan


demikian penyakit ini adalah kondisi medis yang cukup umum, tetapi merupakan
salah satu penyakit dimana diagnosis dan prognosisnya tergantung pada gejala,
tanda-tanda, penilaian klinis dan evaluasi radiologis. Hal ini sering tidak sangat
mudah; banyak peneliti telah berusaha untuk mengkarakterisasi kondisi ini
berdasarkan pada berbagai faktor. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Skor gejala, skor Computed Tomography, temuan endoskopi, temuan bedah, hasil
kultur dan hasil Histopatologi (N.V Deepthi dkk, 2012).
RSK adalah sekelompok gangguan yang ditandai dengan peradangan pada
mukosa hidung dan sinus paranasal dengan durasi minimal 12 minggu berturutturut. Selain itu, osteitis pada tulang didasarnya dapat pula terjadi. Beberapa
faktor, baik intrinsik dan ekstrinsik berkontribusi pada perkembangan RSK (N.V
Deepthi dkk, 2012).
Pendekatan manajemen untuk pasien yang menunjukkan RSK yaitu dengan
membentuk tahapan yang logis dengan tujuan memaksimalkan manajemen medis
dan meringankan gejalanya. Pada keadaan kegagalan manajemen medis, bedah
sinus endoskopi fungsional merupakan modalitas bedah yang diterima secara luas
saat ini (N.V Deepthi dkk, 2012).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila
2.2. Definisi
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan
sinus paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena
keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri
pathogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi
jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi akibat fraktur dan tumor (Benninger dan
Gottschall, 2008; Soetjipto dkk, 2006).
Rinosinusitis merupakan peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal,
yang selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal oleh
infeksi, obstruksi mekanik atau alergi (Hwang dkk, 2009). Rinosinusitis adalah
peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kronis apabila
berlangsung paling sedikit 12 minggu (CDK, 2010).
Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang organ
sinus paranasal dan kavitas nasal. Sejak pertengahan tahun 1990, kata sinusitis
telah diganti menjadi istilah rinosinusitis, dimana jarang ditemukan kasus sinusitis
tanpa rhinitis dan juga penyakit rhinitis yang selalu disertai dengan sinusitis. (Lee,
2008).
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik
didefinisikan sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus
paranasalis dan pada mukosa hidung yang telah mengalami perubahan reversibel
maupun irreversible dengan berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan 1,2,3

berlangsung lebih dari 12 minggu RSK masih merupakan tantangan dan masalah
dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi serta
penanganannya yang kompleks (Harowi dkk, 2011).

2.3. Klasifikasi
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis ditinjau
dari lima aksis, yaitu:
1.

Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)


Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto & Wardani (2007)
membagi rinosinusitis menjadi:

a.

Akut dengan batas sampai 4 minggu

b.

Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu

c.

Kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu


Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus
paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut
berulang pertahun yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari.

2.

Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan sphenoidalis)

3.

Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur.

4.

Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)

5.

Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)


Klasifikasi lain didasarkan ditemukan ada tidaknya alergi, membagi

rinosinusitis menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi
dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Rinosinusitis infeksi biasanya
didahului dengan infeksi saluran nafas atas akut yang disebabkan virus, biasanya
infeksi bakteri merupakan lanjutan dari infeksi virus. Infeksi virus biasanya akan
membaik tanpa terapi setelah 2 minggu. Virus yang biasa menjadi penyebab adalah
virus influenza, corona virus dan rinovirus. Infeksi virus sering diikuti infeksi bakteri
terutama kokkus (streptococcus pneumonia dan staphilococcus aureus) dan
haemophilus influenza. Rinosinusitis kronik noninfeksi Bisa disebabkan alergi, faktor
4

lingkungan (misalnya polutan) dan penyebab fisiologik atau yang berkaitan dengan
usia (misalnya rinitis vasomotor dan perubahan hormonal).
Pembagian berdasarkan derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis
untuk menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah
banyak dilakukan di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut sistem
Lund MacKay didasarkan pada pengukuran obyektif kelainan masing-masing sinus
dengan skor 0 bila tidak ditemukan kelainan, skor 1 bila ditemukan opasitas parsial,
skor 2 bila ditemukan opasitas total sinus, dan penilaian patensi osteomeatal komplek.
Sistem ini banyak dipakai karena mampu mengukur kelainan masing-masing sinus
secara obyektif, dapat dipakai untuk kasus individual, dan mempertimbangkan
kondisi komplek osteomeatal (Zeinreich, 2004).
2.4. Etiologi
1.

Faktor Host

a.

Umur, Jenis Kelamin dan Ras


Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua
kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.

b.

Riwayat Rinosinusitis Akut


Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran
pernafasan atas seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat
menyebabkan edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas
mukosiliar. Rinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya
terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.

c.

Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan
yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula
oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila.

d.

Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan
bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan
pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi adalah
suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell & Comb) yang
diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama.
Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal.
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti bodi
menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus yang
membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase sehingga
menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya menghancurkan epitel
permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus dapat menyebabkan
rinosinusitis kronis.

e.

Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam
kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga
lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.

f.

Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
kronik. Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip hidung
sehingga mengganggu aliran mukus.

g.

Kelainan anatomi hidung


Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar,
hipertrofi atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi
aliran ostium sinus, menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan
menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis.

h.

Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik
dapatmengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener
atau sindrom silia immortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,

dimana terjadi kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan


terjadinya gangguan pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari
denyut silia. Gangguan pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia
menyebabkan infeksi kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan
rinosinusitis. Pada fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang
menghasilkan mukus yang kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal
ini menimbulkan stase mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman dan
timbul infeksi.
2. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
seperti Streptococcus

pneumonia,

catarrhalis, Streptococcus

pyogenes,

Haemophillus
Staphylococcus

Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil

gram

influenza,
aureus,
(-).

Moraxella
Bacteroides,

Selain

bakteri,

rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus,


parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3.

Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu

polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran
hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia.
Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik.
Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus
membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam
sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut

2.5. Patofisiologi
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi
silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi

faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan


transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil
proses radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks
ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.
Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang
baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi
toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang
memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi
sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi
mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung,
polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi
seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan
defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan
kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.

Pathway

Pathway Rinosinusitis

2.6. Manifestasi Klinik


Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1
gejala mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan
nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN

1.
a.
b.
c.
d.
e.

Gejala Mayor :

Hidung tersumbat
Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
Sakit kepala
Nyeri / rasa tekan pada wajah
Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)
2.

Gejala Minor :

a. Demam, halitosis
b. Pada anak; batuk, iritabilitas
c. Sakit gigi
d. Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.
Gejala dan Tanda Klinis : (Setiadi 2009)
1.
a.

Gejala Subjektif

Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak.
Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari
lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh
mukosa, karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigigigi ini

b.

Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis.
Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya
kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit kepala
bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda khas dari peradangan
atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka
biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus
sakit kepala lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya. Sakit kepala yang
bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika
badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat
istirahat ataupun saat berada dikamar gelap.
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan

10

pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam
rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.
c.

Nyeri pada penekanan


Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada
penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah

d.

Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang
tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya
penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius
didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung
terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu. Pada kasus kronis,
hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius,
meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah
infeksi hilang.
2.

a.

Gejala Objektif

Pembengkakan dan udem


Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.

b.

Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif,
sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan
adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan
tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena
sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius.

2.7. Komplikasi

11

Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan


antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
1.

Osteomielitis dan abses subperiostal


Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.

2.

Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).
Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi
yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.

3.

Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.

4.

Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal

disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul
asma bronkial
2.8. Pemeriksaan Penunjang
1.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah
sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi
posterior.

2.

Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai
untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan
radiologik tidak tersedia.

3.
a.

Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen sinus paranasal

12

Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan


Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika
ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa.
Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas
yang paralel dengan dinding sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus
alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi
atau daerah periodontal.
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya
batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
b.

CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal


Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CTScan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal,
rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita,
lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek
osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan
sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk
digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT
scan. Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi
Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid,
Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 :
Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit.

4.

Nasoendoskopi

13

Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan


karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan
faktor lokal penyebab sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi,
meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau
tumor.
2.9. Diagnosis
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of
Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah
rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau
lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009).
2.10. Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak,
polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan (Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah
bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
1.
a.

Medikamentosa

Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup -laktamase seperti pada
terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin
sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan
antibiotik diteruskan mencukupi 10 14 atau lebih jika diperlukan.

14

Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti


siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada
bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole.
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi
kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan.
b.

Terapi Medik Tambahan


Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor -adrenergik
dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan
sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine.
Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus
dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap
sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian
jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada
lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan,
demikian juga kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik
yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine,
fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid,

ada

jenis

kortikosteroid,

yaitu kortikosteroid

topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal


terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya
merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan
non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal,
keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius
hilang.

15

Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus.


Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa
keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat
membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot
merata.
2.

Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat

dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) dapat dilaksanakan.
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan
drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami.
Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka
berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi CaldwelLuc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan
normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga
drainase dapat sembuh kembali.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat
dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan
konservatif yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan
yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci
adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus.
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan
ostium sinus yang tersumbat diperlebar.
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap
berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.

16

BAB III
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Rinosinusitis kronis adalah penyakit yang menantang untuk dikelola karena
pengetahuan yang tidak lengkap tentang banyak faktor yang berinteraksi yang
berkontribusi terhadap pengembangan dan persistensinya. Selain itu, uji klinis
yang tepat yang menilai efikasi dan keamanan terapi pada jenis RSK yang
berbeda masih kurang. Meskipun terdapat tantangan ini, dokter keluarga
memainkan peran penting dalam membantu pasien dengan RSK dengan secara
proaktif mengelola penyakit dan eksaserbasi akut. Pemahaman yang meningkat
dari proses penyakit yang mendasari telah menyebabkan evolusi dalam
pengobatan RSK.
Pencatatan yang rinci dari gejala klinis dan temuan fisik, diikuti dengan
endoskopi hidung diagnostik (DNE) dan CT scan SPN memainkan peran penting
dalam diagnosis, prognosis dan tindak lanjut pasien RSK.
Terapi medis sudah mulai bergeser dari antibiotik dan dekongestan menjadi
kombinasi steroid topikal, steroid sistemik, dekongestan, antihistamin dan
antibiotik. Pengobatan bedah CRS, masih merupakan komponen penting dari
rencana perawatan keseluruhan, telah bergeser dari radikal menjadi pendekatan
yang lebih konservatif namun lengkap. Meskipun penting, pembedahan saja tidak
mengarah ke keadaan bebas penyakit jangka panjang.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Alan Kaplan. Canadian guidelines for chronic rhinosinusitis. Can Fam


Physician 2013;59:1275-81
2. Macdonald KI, McNally JD, Massoud E. Quality of life and impact of
surgery on patients with chronic rhinosinusitis. J Otolaryngol Head Neck
3.

Surg 2009;38(2):286-93.
Macdonald KI, McNally JD, Massoud E. The health and resource
utilization of Canadians with chronic rhinosinusitis. Laryngoscope

2009;119(1):184-9. Epub 2008 Dec 31.


4. National Ambulatory Medical Care Survey: 2008 summary tables.
Hyattsville, MD: National Center for Health Statistics; 2008. Available
from:
www.cdc.gov/nchs/data/ahcd/namcs_summary/2008_namcs_web_tables.p
5.

df. Accessed 2013 Oct 29


Deepthi N.V, Menon U.K, Madhumita K. Review Article : Chronic

6.

Rhinosinusitis An Overview. Amrita Journal Of Medicine. 2012: 1-44


Desrosiers M, Evans GA, Keith PK, Wright ED, Kaplan A, Bouchard J, et
al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic

rhinosinusitis. J Otolaryngol Head Neck Surg 2011;40(Suppl 2):S99-193


7. Benninger MS, Gottschall J. 2006. Rhinosinusitis: clinical presentation
and diagnosis. In: Itzhak Brook, ed. Sinusitis from microbiology to
management. New York: Taylor and Francis Group
8. Harowi MR dkk. 2011. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik
Pasca-bedah. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada/RSUP Dr. Sardjito
9. Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
10. Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI

18

11. Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 20052006. Jakarta: Prima Medika
12. Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R.
2006. Functional endoscopic sinus surgery di Indonesia pada panel ahli
THT Indonesia. Jakarta: Yanmedic-Depkes

19

Anda mungkin juga menyukai