Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.1.1 Perkembangan Arsitektur di Indonesia: Kemajuan yang Terdegradasi
Perkembangan peradaban arsitektur Indonesia seiring dengan berjalannya
waktu memang dapat dikatakan sebagai sebuah kemajuan dari kecerdasan para
pembangun bangsa. Akan tetapi produk-produk arsitektur Indonesia kini lebih
didominasi oleh karya arsitektur yang berorientasi pada bisnis arsitektur. Arsitektur
bukan lagi diciptakan untuk menghasilkan ruang sebagai wadah penghuni di
dalam maupun di luarnya serta sebagai sebuah komponen yang juga berperan
merangkul alam, sehingga menghasilkan karya arsitektur yang tidak tepat dalam
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. Menurut
M. Ridwan Kamil, dosen muda di Jurusan Arsitektur dan staf di Pusat Studi Urban
Desain ITB, saat ini beragam strategi dan reposisi profesi arsitek di negara maju
telah banyak dilakukan dalam menyikapi gelombang ekonomi baru yang lazim
disebut kapitalisme global dan cepat atau lambat sistem ekonomi dengan
pendekatan pasar bebasnya ini akan menjadi ancaman serius bagi bidang arsitektur
di Indonesia.
Pada zaman kolonial ditemukan sebuah perkembangan arsitektur di Indonesia,
yaitu pergerakan arsitektur yang mengadopsi teknik arsitektur modern sambil
mencoba untuk menyesuaikan dengan konteks lokal dalam usaha mencari arsitektur
sebuah Hindia. Akan tetapi, adaptasi tersebut tidak cukup hanya dengan
memperhatikan iklim tropis di Indonesia, (Widyarta, 2007). Hal ini menunjukkan
bahwa arsitektur memiliki ruh yang juga muncul dari watak masyarakat di
dalamnya. Menurut Budihardjo (1997), jati diri arsitektur Indonesia akan muncul
dengan sendirinya bila si perancang tidak terpasung pada persepsi visual saja,
melainkan juga memasukkan pertimbangan budaya, perilaku masyarakat, iklim dan
seni karya setempat yang khas.
Perkotaan di Indonesia kini semakin dipadati oleh bangunan-bangunan yang
tidak memperhatikan lingkungan alam sebagai aspek hayati yang melingkupi
bangunan

itu

sendiri.

Perkembangan

arsitektur

modern

dengan

gaya

internasionalnya telah menciptakan ketunggal-rupaan wajah lingkungan pada


1

berbagai wajah kota di seluruh dunia. Bangunan-bangunan tinggi dengan fungsi


apartemen, hotel, perkantoran serta bangunan komersial lainnya yang semakin
meningkat jumlahnya di Indonesia saat ini didominasi oleh bangunan dengan
konsep yang kurang ramah lingkungan dan menomorsatukan estetika serta nilai
ekonomis bangunan tersebut. Kenyataan tersebut memang menunjukkan gejala
semakin lunturnya jati diri akibat bermunculannya karya-karya arsitektur modern
yang memang efisien, rasional, fungsional, dan cerdas, namun seringkali lepas
tercabut dari akarnya, tidak kontekstual, dan kurang menyuguhkan karakter
lokalnya, (Budihardjo, 1997).
Menurut Mintorogo (1999), karya bangunan/arsitektur yang didesain para
arsitek dengan latar belakang ilmu sains bangunan dan sains lingkungan yang tinggi
akan menghasilkan ciri-ciri bentuk arsitektur yang

reality, technology,

fungsional dan served. Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pameran 4D arsitektur
2008, peringatan empat dekade arsitektur Indonesia di Galeri Nasional Jakarta, juga
menuturkan bahwa desain arsitektur Indonesia di masa yang akan datang
semestinya sudah mampu menjawab tantangan ke depan yang menuntut agar
bangunan lebih hemat lahan, hemat energi sekaligus ramah lingkungan,
(http://www.inilah.com/berita/properti/2008/03/19/18557/wapres-minta-arsitekjawab-tantangan-zaman/). Jika kita melihat tingkat konsumsi energi di seluruh dunia
saat ini, penggunaan energi diprediksikan akan meningkat sebesar 70 persen antara
tahun 2000 sampai 2030, (Sutrisna, 2008). Hal ini dapat dimulai dengan
memikirkan pola arsitektur Indonesia, tentunya yang diperhatikan adalah faktor
efisiensi dalam rancang bangun. Selain itu seharusnya kita tidak hanya
mengapresiasi karya besar yang sudah ada, tapi juga menciptakan karya-karya baru
yang selain memberikan ciri khas Indonesia sekaligus memenuhi berbagai
persyaratan tersebut.

1.1.2 Wadah Sejarah Perkembangan Karya Arsitektur di Indonesia


Semakin hari bangsa ini juga semakin melupakan dan kurang memiliki
kepedulian terhadap pelestarian karya-karya arsitektur Indonesia. Guru besar Teknik
Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Ir. Totok Roesmanto, M.Sc.
mengungkapkan bahwa dulu masih bisa kita temui arsitek yang menolak merancang
bangunan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, tetapi sekarang hal ini sudah
tidak ada lagi idealisme seperti itu. Bahkan Indonesia malas menggali potensi lokal

dalam mengembangkan arsitekturnya serta memiliki kelemahan dalam upaya


publikasi, dan yang paling mengherankan bangsa ini juga kurang memiliki
kepedulian untuk merawat warisan momumental karya sendiri, seperti taman di
Gedung Batu Semarang merupakan yang terbaik pada tahun 1950-an, namun saat
ini

sudah

tidak

bisa

ditemui

lagi.

(http://www.kapanlagi.com/h/0000170073_print.html)
Melihat perkembangan arsitektur Indonesia yang semakin mengarah pada bisnis
arsitektur serta terjadinya penurunan terhadap penciptaan dan pelestarian karyakarya arsitektur Indonesia tersebut, menunjukkan pentingnya suatu upaya dalam
melestarikan arsitektur Indonesia dalam suatu wadah yang mampu mengedukasi
bangsa ini dalam mengembangkan arsitekturnya seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pelestarian karya arsitektur di Indonesia saat ini masih
didominasi dengan media pustaka dan digitalisme dunia maya dengan
kemudahannya dalam mendapatkan informasi secara searah. Taman Mini Indonesia
Indah adalah salah satu wadah yang secara apik mampu menjadi media pelestarian
arsitektur Indonesia, khususnya arsitektur tradisional di Indonesia dalam bentuk
miniatur berskala besar. Akan tetapi semua itu belum cukup untuk dapat
merangkum sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia mulai terbentuknya
Indonesia secara geografis dengan bermulanya kehidupan manusia di atasnya.
Wadah pelestarian sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia tersebut dapat
secara optimal bila diaplikasikan dalam sebuah Museum Arsitektur Indonesia yang
memuat pengetahuan mengenai karya-karya arsitektur Indonesia mulai dari sejarah
dan perkembangannya, yang belum terpenuhi di Indonesia secara menyeluruh
ataupun mewakili runutan perkembangan zamannya.

1.1.3 Museum di Indonesia: Media Pelestarian Kebudayaan Bangsa yang


Sedikit Terlupakan
Museum di Indonesia didirikan dengan tujuan untuk menciptakan kelembagaan
yang melakukan pelestarian warisan budaya bangsa yang tidak hanya melestarikan
fisik benda-benda warisan budaya saja melainkan juga melestarikan makna yang
terkandung di dalam benda-benda tersebut dalam sistem nilai dan norma budaya
bangsa. Hal ini bertujuan agar warisan budaya yang diciptakan pada masa lampau
tidak terlupakan, dan dapat memperkenalkan akar kebudayaan nasional yang
digunakan dalam menyusun kebudayaan nasional. (Direktorat Museum, 2007)

Museum sebagai wadah pelestarian budaya bangsa juga memiliki fungsi


penting yaitu sebagai sebuah institusi pendidikan. Museum dan pendidikan sama
dengan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, (Hutomo, 2008). Kedua
fungsi utama museum tersebut tentunya sangat menggambarkan wadah yang
dibutuhkan bangsa kita saat ini yaitu pusat pelestarian dan pendidikan arsitektur
Indonesia dalam bentuk Museum Arsitektur Indonesia tersebut.
Museum merupakan suatu wadah yang berfungsi sebagai tempat peninggalan
benda bersejarah, sekaligus sebagai tempat rekreasi dan studi. Akan tetapi lambat
laun, terjadi fenomena menurunnya jumlah pengunjung museum yang salah satunya
disebabkan karena kurangnya daya tarik dari bangunan tersebut. Berdasarkan tabel
jumlah pengunjung museum di Indonesia tahun 2002-2007 di bawah, terlihat bahwa
terdapat penurunan jumlah pengunjung museum yang terjadi pada beberapa
museum.

Tabel 1.1 Jumlah Pengunjung Museum di Indonesia Tahun 2002-2007

Sumber:www.budpar.go.id/filedata/2474_1149-bukusaku2007indonesia.pdf -

"Selama ini fungsi museum hanya sebagai penyimpan benda purbakala.


Akibatnya, daya tarik bagi masyarakat tidak ada," ujar pakar kebudayaan Yuwono
Sri Suwito saat Seminar Pendirian Museum Pendidikan di Universitas Negeri
Yogyakarta. Hal ini membuktikan bahwa daya tarik desain bangunan museum
merupakan salah satu aspek yang cukup menentukan keberlangsungan museum
tersebut untuk terus dikunjungi. Menurut Khornifiya, 2009, dalam www.museumindonesia.net/index.php?option=com_content&task=view7id=325&Itemid=9,

kita

terpaksa harus mengakui bahwa selama ini museum Indonesia masih belum
mempunyai citra yang positif karena jumlah kunjungan ke museum masih belum
maksimal. Ini memperlihatkan bahwa pandangan luas tentang museum di Indonesia
hingga kini. Museum masih dianggap sekedar tempat penyimpanan benda-benda
purbakala, sejarah, dan budaya.

1.1.4 Penilaian Terhadap Museum di Indonesia


Menurut Widagdo (2006), desain selalu mengacu pada estetika dan tidak
semata berkenaan dengan persepsi visual-fisikal saja, namun juga mencakup konsep
yang abstrak, yakni: yang benar, teratur, dan berguna. Estetika dalam arsitektur
adalah nilai yang menyenangkan mata dan pikiran yang berupa nilai bentuk dan
ekspresi. Keindahan bentuk memiliki dasar tertentu, yang disebut dengan prinsip
estetika seperti keterpaduan, keseimbangan, proporsi, dan skala. Keindahan ekspresi
timbul dari pengalaman dan dalam arsitektur pengalaman yang dimaksud adalah
pengalaman melihat atau mengamati. Karena yang dapat dilihat adalah bentuk,
maka media yang digunakan dalam arsitektur untuk mendapatkan keindahan
ekspresi adalah bentuk arsitektur. Kedudukan estetika sangat menentukan dalam
ekspresi arsitektur. Menurut Ching (2000), bentuk adalah ciri utama yang
menunjukkan ruang. Kehadiran ruang secara visual menjadi semakin terasa bila
elemen pembatasnya makin jelas terwujud, dan untuk mengamati batas-batas
tersebut diperlukan hadirnya cahaya. Disini dapat kita lihat bahwa cahaya
merupakan aspek yang sangat penting dalam menunjang kehadiran suatu bentuk,
warna dan tekstur. Museum yang merupakan tempat mendisplay obyek-obyek untuk
dapat diamati secara visual, tentunya membutuhkan tata cahaya yang lebih
eksploratif untuk dapat memperkuat visualisasi obyek yang dipamerkan.
Untuk itu, bangunan museum pada umumnya membutuhkan tingkat
pencahayaan yang lebih dalam mendisplay obyek koleksi di dalamnya.

Pencahayaan buatan yang umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan


museum tersebut tentunya bersumber dari energi listrik. Disini terlihat pentingnya
menggunakan konsep bangunan yang hemat energi pada bangunan museum untuk
optimalisasi bangunan museum yang ramah lingkungan.
Selain itu, sepatutnya bangunan museum didesain hingga mampu menarik
pengunjung untuk dapat mengoptimalkan fungsi museum sebagai sebuah media
edukasi yang rekreatif dan atraktif. Untuk itu dibutuhkan konsep penciptaan
bangunan museum yang menarik baik dari ekspresi bentuk bangunan yang
merupakan wujud awal yang ditangkap pertama kali secara visual oleh pengunjung,
kemudian bagaimana tata ruang dan teknik display koleksi di dalamnya yang
rekreatif dan atraktif untuk memudahkan penangkapan esensi dari koleksi yang
dipamerkan sebagai media edukasi.
Museum Arsitektur Indonesia sebagai wadah pelestarian karya-karya arsitektur
di Indonesia, tentunya patut menggambarkan visi masa depan arsitektur Indonesia
yang mampu menjawab tantangan zaman dengan mengoptimalkan perkembangan
teknologi, serta mampu menjawab tantangan alam dan iklim.
Di hadapkan pada era globalisasi dengan gaya konsumerisnya, maka museum
haruslah memiliki citra yang dinamis, menarik, inovatif, dan inspiratif. Museum
perlu dipublikasikan sebagai tempat tujuan wisata dan rekreasi sebagai alternatif
dari

mall

pembelanjaan.

(Khornifiya,

2009,

dalam

www.museum-

indonesia.net/index.php?option=com_content&task=view7id=325&Itemid=9)

1.1.5 Eksplorasi Tata Ruang dan Bentuk sebagai Upaya Peningkatan Daya
Tarik Bangunan Museum
Kurangnya daya tarik bangunan museum sebagai salah satu penyebab
penurunan jumlah pengunjung museum setiap kurun waktunya khususnya di
Indonesia, merupakan salah satu aspek yang sangat perlu untuk diperhatikan dalam
upaya peningkatan jumlah pengunjung museum dengan peningkatan daya tarik
bangunan melalui aspek desain dan manajemennya.
Berdasarkan ICOM (2004), aspek yang penting untuk diperhatikan dalam upaya
meningkatkan daya tarik pengunjung adalah penyediaan servis dalam aspek
penglihgatan dan pengalaman. Penglihatan dan pengalaman disini merupakan hal
utama yang didapatkan pengunjung dalam mengapresiasi sebuah museum. Untuk itu
dibutuhkan suatu peningkatan daya tarik bangunan melalui eksplorasi desain yang

lebih dalam menciptakan ekspresi visual dan pengalaman yang akan didapatkan oleh
pengunjung museum. Ekspresi visual dan pengalaman tersebut pertama kali akan
ditangkap oleh pengunjung melalui bentuk dan tampilan eksterior bangunan
sebelum memasuki bangunan museum. Kemudian pengunjung akan lebih lanjut
mendapatkan pengalaman dan menangkap secara visual di dalam ruang-ruang dalam
museum setelah memasuki bangunan museum tersebut.
Menurut Arg (1986), dari sudut pandang eksterior, bentuk-bentuk ruang yang
ditempatkan pada perimeter susunan perencanaan, akan memiliki suatu ekspresi
visual yang lebih besar secara proporsional daripada ruang-ruang internal yang lebih
tersembunyi, hanya sekilas, atau lebih tegas dengan menaikkan ruang tersebut di
atas dan di bawah ruang perimeter. Sebaliknya adalah keadaan dari sudut pandang
interior apabila mempertimbangkan ruang-ruang internal dan eksternal yang
terpisah. Bentuk ruang dapat diklasifikasikan secara visual sebagai hubungan
dengan sistem kerangka yang dapat menunjang bentuk ruang.
Disini terlihat pentingnya suatu eksplorasi daya tarik bangunan sebagai
penangkapan visual dan pengalaman pertama bagi pengunjung melalui bentuk serta
tampilan eksterior bangunan, dan kemudian dilanjutkan dengan tata ruang di dalam
bangunan museum tersebut, yang menunjang display benda-benda koleksi di
dalamnya. Menurut Arg (1986), pengamat adalah pangkal dari suatu pengalaman,
dan dari segi gerakan, pengamat merasakan ruang-ruang pertama kalinya di depan
dirinya sendiri, kemudian dalam segala arah, dan selalu menyebar keluar. Untuk itu
dibutuhkan suatu upaya pengendalian pengamat dalam upaya mendapatkan
pengalaman dalam bentuk dan ruang. Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan
desain tata ruang dan bentuk yang mengalir dalam upaya meningkatkan daya tarik
bangunan museum dalam aspek pengamatan visual dan pengalaman yang ditangkap
oleh pengunjung.

1.1.6 Surabaya sebagai Lokasi Museum Arsitektur Indonesia


Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Ibukota kita DKI
Jakarta yang telah mengalami perkembangan arsitektur dengan begitu cepatnya.
Data statistik BPS menyebutkan bahwa terjadi peningkatan nilai konstruksi tahun
2002-2006 di Propinsi Jawa Timur dengan nilai konstruksi yang menduduki
peringkat ketiga di Indonesia, setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Tidak hanya itu,

peningkatan pembangunan di Surabaya juga merupakan akibat dari peningkatan


kepadatan penduduk dan jumlah migrasi yang terus meningkat.
Perkembangan tersebut secara kasat mata sangat nampak pada jumlah bangunan
tinggi yang semakin meningkat, mengingat lahan yang semakin sempit, dengan gaya
arsitekturnya yang semakin modern. Kini karya arsitektur di Surabaya semakin
bervariasi mulai dari bangunan bersejarah yang semakin sedikit jumlahnya, hingga
bangunan

pencakar

langit

modern

yang

semakin

banyak

bermunculan.

Perkembangan pesat ke arah kapitalisme global dalam Arsitektur Surabaya sebagai


kota terbesar kedua di Indonesia tersebut mencerminkan perkembangan arsitektur
Indonesia saat ini, yang didominasi oleh tujuan pembangunan sebagai bisnis
arsitektur. Di samping itu, Surabaya juga merupakan kota yang dekat dengan situssitus sejarah yang di Indonesia berpusat di Pulau Jawa. Kemudian di kota ini juga
terdapat dan dekat dengan pusat-pusat pendidikan, khususnya pendidikan arsitektur
yang terdapat di perguruan-perguraun tinggi di Jawa Timur, seperti Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Universitas Pembangunan Nasional
Surabaya, Universitas Kristen PETRA Surabaya, Universitas Ciputra, Universitas
Merdeka Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, Institur Teknologi Nasional
Malang, dan masih banyak lagi.
Hal ini menunjukkan bahwa Surabaya merupakan sebuah kota yang cukup
tepat, untuk menjadi lokasi wadah yang berfungsi sebagai tempat melestarikan
arsitektur Indonesia, melalui Museum Arsitektur Indonesia dalam upaya
mengedukasi bangsa Indonesia dalam berarsitektur, bagaimana membangun
arsitektur Indonesia yang secara tepat guna dapat memanfaatkan potensi lokal dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan norma bangsa, dengan
tetap memprioritaskan aspek fungsional, estetika, dan ramah lingkungan.

1.2 Identifikasi Masalah


Berbagai isu dalam hal arsitektur, pelestarian sejarah dan karya arsitektur
Indonesia, serta museum yang telah dipaparkan di atas dapat dikerucutkan menjadi
beberapa permasalahan utama yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini, antara lain:
1. Beberapa penciptaan karya-karya arsitektur ke arah bisnis arsitektur akibat
kapitalisme global.
2. Kurangnya kepedulian masyarakat Indonesia terhadap pelestarian karya-karya
arsitektur Indonesia.

3. Belum tersedianya fasilitas atau wadah pelestarian karya arsitektur di Indonesia,


khususnya dalam bentuk museum, yang dapat merefleksikan perjalanan
arsitektur di Indonesia.
4. Penurunan jumlah pengunjung museum di Indonesia setiap kurun waktunya,
akibat kurangnya daya tarik bangunan museum, terutama pada aspek tata ruang
dan bentuk bangunan sebagai aspek utama yang ditangkap secara visual dan
memberikan pengalaman bagi pengunjung.

1.3 Rumusan Masalah


Permasalahan yang hendak diselesaikan dalam penulisan skripsi ini adalah
bagaimana tata ruang dan bentuk bangunan Museum Arsitektur Indonesia di Surabaya
yang mengalir, merefleksikan perjalanan arsitektur di Indonesia.

1.4 Pembatasan Masalah


Penulisan skripsi dengan judul Museum Arsitektur Indonesia di Surabaya ini
memiliki batasan-batasan dalam proses penyelesaian masalah sebagai berikut:
1. Melakukan perencanaan Museum Arsitektur Indonesia dengan lokasi tapak
terpilih di Kota Surabaya.
2. Melakukan penekanan pada pendekatan desain tata ruang dan bentuk bangunan
yang mengalir, sebagai aspek utama dalam penangkapan visual dan
pengalaman pengunjung, dalam upaya meningkatkan jumlah pengunjung
museum melalui peningkatan daya tarik bangunannya.
3. Perjalanan arsitektur di Indonesia yang dimaksud disini adalah perkembangan
karya arsitektur di Indonesia (secara geografis) yang didasarkan pada
periodesasi waktu, yaitu pada jenis koleksi dan tema ruang pamer/galeri yang
mewadahi koleksi tersebut.
4. Mewadahi koleksi karya arsitektur yang berkembang di Indonesia yang dapat
mewakili perkembangan karya arsitektur di Indonesia pada zamannya, dalam
bentuk dua,tiga dimensi, dan secara audio-visual.
5. Mencakup ruang pamer dan koleksi permanen maupun non permanen yang
memungkinkan dilakukan pengembangan dan pembaharuan koleksi.

10

1.5 Tujuan
Tujuan dari penulisan skripsi dengan judul Museum Arsitektur Indonesia di
Surabaya ini adalah mendesain tata ruang dan bentuk bangunan Museum Arsitektur
Indonesia di Surabaya yang mengalir, merefleksikan perjalanan arsitektur di
Indonesia, dalam upaya mewadahi dan merangkum sejarah perkembangan arsitektur di
Indonesia dalam fungsi museum, seraya meningkatkan daya tarik museum tersubut
melalui desain tata ruang dan bentuk bangunan.

1.6 Manfaat
Manfaat yang dapat diberikan dari penulisan skripsi dengan gagasan Museum
Arsitektur Indonesia di Surabaya ini antara lain :
1. Bagi Dunia Arsitektur
Dengan adanya Museum Arsitektur Indonesia di Surabaya, karya-karya
arsitektur yang berkembang di Indonesia dapat diupayakan kelestariannya dengan
mewadahi sejarah dan perkembangannya.
2. Bagi Dunia Pendidikan
Bagi dunia pendidikan, Museum Arsitektur Indonesia di Surabaya dapat
menjadi fasilitas edukasi di bidang arsitektur serta membantu penelitian di bidang
arsitektur dan budaya di Indonesia. Selain itu, Museum Arsitektur Indonesia di
Surabaya juga dapat menunjang institusi pendidikan arsitektur yang telah tersedia
di Indonesia.
3. Bagi Pemerintah
Bagi pemerintah, Museum Arsitektur Indonesia di Surabaya dapat
meningkatkan fasilitas pendidikan di bidang arsitektur di Indonesia, serta
meningkatkan potensi pariwisata dan daya tarik Kota Surabaya pada khususnya,
dan Indonesia pada umumnya.
4. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, Museum Arsitektur Indonesia di Surabaya dapat
meningkatkan ilmu dan pengetahuan masyarakat Indonesia dalam bidang
arsitektur, yang sebenarnya merupakan aspek terdekat dengan manusia dalam
kehidupan sehari-hari, serta meningkatkan kebanggaan masyarakat Indonesia
akan kebudayaan arsitektur yang dimiliki bangsa Indonesia.

11

Beberapa penciptaan karya


arsitektur Indonesia mengarah
pada bisnis arsitektur akibat
kapitalisme global.

Kurangnya kepedulian
masyarakat Indonesia
terhadap pelestarian karyakarya arsitektur Indonesia.

Belum tersedianya fasilitas


atau wadah pelestarian
karya arsitektur di
Indonesia, khususnya
dalam bentuk museum.

Penglihatan dan
pengalaman
merupakan aspek
utama yang perlu
diperhatikan dalam
desain museum untuk
meningkatkan daya
tarik bangunannya.
(Arg, 1986)
Media yang digunakan
untuk mendapatkan
keindahan ekspresi
adalah bentuk
arsitektur. (Widagdo,
2006)
Menurut Ching (1979),
bentuk adalah ciri
utama yang
menunjukkan ruang.

Penurunan jumlah pengunjung


museum di Indonesia setiap
kurun waktunya, akibat
kurangnya daya tarik
bangunan museum.

Tuntutan:
Wadah pelestarian karya
arsitektur Indonesia dalam
bentuk Museum Arsitektur
Indonesia yang merangkum
sejarah perkembangan arsitektur
di Indonesia, sekaligus mampu
menarik pengunjung untuk
dapat mengoptimalkan fungsi
museum sebagai media edukasi,
dengan meningkatkan daya tarik
museum melalui desain tata
ruang dan bentuk bangunan.

Lokasi:
Strategis
Memiliki potensi pendukung di
berbagai aspek.
Mengalami perkembangan
arsitektur yang pesat.
Kota Surabaya

Museum di Indonesia
didirikan dengan tujuan
untuk pelestarian
warisan budaya bangsa
yang baik secara fisik
maupun makna yang
terkandung di
dalamnya. (Direktorat
Museum, 2008).

Pengendalian
pengamat dapat
dilakukan melalui
penggunaan bentuk
dan gerakan pengamat
dalam ruang internal
maupun eksternal.
(Arg, 1986)

Museum Arsitektur Indonesia di Surabaya

Rumusan Masalah:
Bagaimana tata ruang dan bentuk bangunan Museum Arsitektur Indonesia di Surabaya
yang mengalir, merefleksikan perjalanan arsitektur di Indonesia?
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Anda mungkin juga menyukai