Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Luka merupakan suatu ketidak-sinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan


yang dapat dibedakan menjadi luka akibat trauma mekanik, trauma fisik dan trauma
kimiawi. Luka bakar merupakan cedera terhadap jaringan yang disebabkan oleh
kontak dengan panas kering (api), panas lembab (uap dan cairan panas), kimiawi
(bahan-bahan korosif), barang-barang elektrik (aliran listrik atau lampu), friksi atau
energi. Luka bakar merupakan salah satu kondisi yang memiliki pengaruh yang
katastropik terhadap penderita dalam hal penderitaannya, kehidupan sosialnya,
keterbatasan yang ditimbulkan dan dari segi keuangan yang dikeluarkan dalam proses
pengobatan. Seorang korban luka bakar dapat mengalami berbagai macam
komplikasi diantaranya kondisi syok, infeksi, ketidakseimbangan elektrolit dan
distress pernafasan serta distress emosional yang berat akibat luka dan bekas luka
bakar yang ditimbulkan.1,2
Berdasarkan Journal of Burn Care and Rehabilitation 1992, diperkirakan
terdapat 2,4 juta kasus luka bakar dalam setahun di Amerika Serikat. Antara 8.000
dan 12.000 pasien dengan luka bakar meninggal, dan sekitar 1 juta akan mengalami
cacat substansial atau permanen yang diakibatkan oleh luka bakar yang dialami.
Penelitian yang menggunakan subyek penderita luka bakar rawat inap di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Januari 1998 sampai Mei 2001 menyebutkan
bahwa dari 156 penderita terdapat angka mortalitas sebesar 27,6% dimana penderita

terbanyak usia 19 tahun dimana laki-laki lebih banyak dari perempuan. Penyebab
terkena api (55,1%) dan terjadi di rumah (72,4%). 3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Luka Bakar


Luka bakar merupakan kerusakan atau kehilangan jaringan yang diakibatkan
oleh kontak dengan panas kering (api), panas lembab (uap dan cairan panas), kimiawi
(bahan-bahan korosif), barang-barang elektrik (aliran listrik atau lampu), friksi atau
energi. Luka bakar adalah luka yang terjadi bila sumber panas bersentuhan dengan
tubuh atau jaringan dan besarnya luka ditentukan oleh tingkat suhu dan durasi
kontak.1,2
2.2 Etiologi
Penyebab luka bakar berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi trauma
termal, trauma listrik, trauma petir, trauma benda kimia, trauma radiasi, dan trauma
suhu sangat rendah. Trauma termal merupakan penyebab paling sering dari sumber
panas kepada tubuh (lidah api, permukaan yang panas, logam yang panas, dan
lelehan-lelehan yang panas. Suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya heat
exhaustion primer. Temperatur kulit yang tinggi dan pelepasan panas yang rendah
menimbulkan kolaps pada seseorang karena ketidakseimbangan antara darah sirkulasi
dengan lumen pembuluh darah. Hal ini sering terjadi pada paparan panas, aktivitas
berlebihan dan pakaian yang terlalu tebal. Heat exhaustion sekunder terjadi akibat
dehidrasi. Heat stroke terjadi akibat kegagalan kerja pusat pengatur suhu karena
temperatur pusat tubuh terlalu tinggi. Kekerasan oleh benda bersuhu tinggi akan
dapat menimbulkan luka bakar yang cirinya amat tergantung dari jenis
bendanya, ketinggian suhunya serta lamanya kontak dengan kulit. Api, benda
3

padat panas atau membara dapat mengakibatkan luka bakar derajat I, II, III, atau IV.
Zat cair panas dapat mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, atau III. Gas panas dapat
mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, III, atau IV. 1,2,4
Kekerasan oleh hawa bersuhu dingin biasanya dialami oleh bagian tubuh
yang terbuka; seperti misalnya tangan, kaki, telinga atau hidung. Mula-mula
pada daerah tersebut akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah superfisial sehingga
terlihat pucat. Selanjutnya akan terjadi paralise dari vasomotor kontrol yang
mengakibatkan daerah tersebut menjadi kemerahan. Pada keadaan yang berat dapat
terjadi gangren.
Sengatan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar sebagai
akibat berubahnya energi listrik menjadi panas. Besarnya pengaruh listrik pada
jaringan tubuh tersebut tergantung dari besarnya tegangan (voltase), kuatnya arus
(amper), besarnya tahanan (keadaan kulit kering atau basah), lamanya kontak serta
luasnya daerah terkena kontak. Bentuk

luka

pada

daerah

kontak

(tempat

masuknya arus) berupa kerusakan lapisan kulit dengan tepi agak menonjol dan di
sekitarnya terdapat daerah pucat, dikelilingi daerah hyperemis. Sering ditemukan
adanya metalisasi. Pada tempat keluarnya arus dari tubuh juga sering ditemukan luka.
Bahkan kadang-kadang bagian dari baju atau sepatu yang dilalui oleh arus listrik
ketika meninggalkan tubuh juga ikut terbakar. Tegangan arus kurang dari 65
volt biasanya tidak membahayakan, tetapi tegangan antara 65-1000 volt dapat
mematikan. Sedangkan kuat arus (amper) yang dapat mematikan adalah 100 mA.
Kematian tersebut terjadi akibat fibrilasi ventrikel, kelumpuhan otot pernafasan atau
pusat pernafasan. Sedangkan faktor yang sering mempengaruhi kefatalan adalah
4

kesadaran seseorang akan adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya. Bagi
orang-orang tidak menyadari adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya
biasanya pengaruhnya lebih berat dibanding orang-orang yang pekerjaannya setiap
hari berhubungan dengan listrik.
Petir

terjadi

karena

adanya

loncatan

arus

listrik

di

awan

yang

tegangannya dapat mencapai 10 mega volt dengan kuat arus sekitar 100.000 A
ke tanah. Luka-luka karena sambaran petir pada dasarnya merupakan luka-luka
gabungan akibat listrik, panas dan ledakan udara. Luka akibat panas berupa luka
bakar dan luka akibat ledakan udara berupa luka-luka yang mirip dengan luka
akibat persentuhan dengan benda tumpul. Dapat terjadi kematian akibat efek arus
listrik yang melumpuhkan susunan saraf pusat, menyebabkan fibrilasi ventrikel.
Kematian juga dapat terjadi karena efek ledakan ataun efek dari gas panas
yang ditimbulkannya. Pada korban mati sering ditemukan adanya arborescent mark
(percabangan pembuluh darah terlihat seperti percabangan pohon), metalisasi bendabenda dari logam yang dipakai. Pakaian korban terbakar atau robek-robek.
Zat-zat kimia korosif dapat menimbulkan luka-luka apabila mengenai tubuh
manusia. Ciri-ciri lukanya amat tergantung dari golongan zat kimia tersebut, yaitu
dibagi menjadi bahan kimia golongan asam dan bahan kimia golongan basa.
Termasuk zat kimia korosif golongan asam antara lain: asam mineral, yaitu: H2SO4,
HCL, NO3; asam organik, yaitu: asam oksalat, asam formiat dan asam asetat; garam
mineral, yaitu: AgNO3, dan zinc chlorida; halogen, yaitu: F, Cl, Ba dan J. Cara kerja
zat kimia korosif dari golongan ini sehingga mengakibatkan luka ialah mengekstraksi
air dari jaringan, mengkoagulasi protein menjadsi albuminat, dan mengubah
5

hemoglobin menjadi acid hematin. Ciri-ciri dari luka yang terjadi akibat zat-zat asam
korosif adalah luka terlihat kering, berwarna coklat kehitaman, kecuali yang
disebabkan oleh nitric acid berwarna kuning kehijauan, perabaan keras dan kasar.
Zat-zat kimia korosif yang termasuk golongan basa antara lain KOH, NaOH, dan
NH4OH. Cara kerja dari zat-zat tersebut sehingga menimbulkan luka ialah
mengadakan ikatan dengan protoplasma sehingga membentuk alkaline albumin dan
sabun, dan mengubah hemoglobin menjadi alkaline hematin. Ciri-ciri luka yang
terjadi sebagai akibat persentuhan dengan zat-zat ini adalah luka terlihat basah dan
edematous, berwarna merah kecoklatan, dan perabaan lunak dan licin.
2.3 Klasifikasi Luka Bakar
Derajat keparahan luka bakar ditentukan berdasarkan etiologi, kedalaman dan
luas luka.
2.3.1 Luka Bakar Berdasarkan Etiologi
Berdasarkan etiologinya dapat dibagi menjadi 3, yaitu termal, luka bakar listrik, dan
luka bakar kimiawi.
a. Termal
Luka bakar akibat panas, umumnya terjadi akibat meningkatnya suhu yang
mengakibatkan kematian sel. Pada keadaan ini dapat menyebabkan luka lepuh
akibat terpapar zat panas.
b. Luka bakar listrik
Luka bakar listrik umumnya terjadi akibat aliran listrik yang menjalar ke
tubuh.
c. Luka bakar kimiawi
Luka bakar ini terjadi akibat paparan zat yang bersifat asam maupun basa.
Karakteristik keduanya memiliki perbedaan dalam hal kedalaman luka bakar
yang terjadi. Luka bakar akibat paparan zat yang bersifat basa umumnya
mengakibatkan luka yang lebih dalam dibandingkan akibat zat asam. Hal ini

disebabkan zat basa akan menyatu dengan jaringan lemak di kulit sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih progresif, sedangkan luka bakar
akibat asam akan menyebabkan koagulasi protein.4
2.3.2 Luka Bakar Berdasarkan Kedalaman
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu yang menyebabkan
cedera, lamanya paparan dan ketebalan kulit. Berdasarkan dalamnya jaringan yang
rusak akibat luka bakar tersebut, luka bakar dapat diklasifikasikan menjadi derajat I,
II, III dan IV. Pada luka bakar derajat 1 (superficial burn), kerusakan hanya terjadi di
permukaan kulit. Kulit akan tampak kemerahan, tidak ada bulla, sedikit oedem dan
nyeri, dan tidak akan menimbulkan jaringan parut setelah sembuh. Luka bakar derajat
2 (partial thickness burn) mengenai sebagian dari ketebalan kulit yang melibatkan
semua epidermis dan sebagian dermis. Pada kulit akan ada bulla, sedikit oedem, dan
nyeri berat. Pada luka bakar derajat 3 (full thickness burn), kerusakan terjadi pada
semua lapisan kulit dan ada nekrosis. Lesi tampak putih dan kulit kehilangan sensasi
rasa, dan akan menimbulkan jaringan parut setelah luka sembuh. Luka bakar derajat 4
disebut charring injury. Pada luka bakar ini kulit tampak hitam seperti arang karena
terbakarnya jaringan. Terjadi kerusakan seluruh kulit dan jaringan subkutan begitu
juga pada tulang akan gosong.2

Gambar 1. Klasifikasi Luka Bakar Berdasarkan Kedalamannya.4


2.3.3 Luka Bakar Berdasarkan Luas
Penilaian luasnya luka bakar memilki peranan yang sangat penting dalam
menentukan luasnya luka bakar yang terjadi yang berpengaruh terhadap banyaknya
terapi cairan yang diberikan. Luas luka bakar ditentukan berdasarkan total body
surface area (TBSA). Metode yang seringkali dipakai untuk menentukan luas luka
bakar adalah mengacu pada rule of nine untuk dewasa. Sedangkan pada anak
digunakan lund browder chart. Perhitungan luas luka bakar berdasarkan Rule Of
Nine oleh Polaski dan Tennison dari WALLACE adalah sebagai berikut:3,4
1.

Kepala dan leher : 9%

2.

Ekstremitas atas : 2 x 9% (kiri dan kanan)

3.

Paha dan betis-kaki : 4 x 9% (kiri dan kanan)

4.

Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9%

5.

Perineum dan genitalia : 1%

Gambar 2.Penilaian Luas Luka Bakar.4


Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya
yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau
persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan
mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.3,4
Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association
ialah:3,4,5
1. Luka bakar ringan
a. Luka bakar derajat II < 15% pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III < 2%
2. Luka bakar sedang
a. Luka bakar derajat II 15% 25% pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II 10% 20% pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III < 10%
3. Luka bakar berat
a. Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III 10% atau lebih

d. Luka bakar mengenai wajah, telinga, mata, dan genitalia/perineum


e. Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain
2.4 Patofisiologi Luka Bakar
Luka bakar disebabkan oleh peralihan energi dari suatu sumber panas kepada
tubuh dan panas dapat dipindahkan melalui hantaran atau radiasi elektromagnetik.
Luka bakar pun menghasilkan respon bermacam respon meliputi: respon pada kulit,
respon sistemik, kardiovaskular, efek pada cairan elektrolit dan volume darah,
pulmoner, dan respon sistemik lainnya.
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar
tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller
burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri.
Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan
tubuh atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan
sesuai dengan luasnya injuri.
Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama
awal periode syok luka bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ
yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase
hiperdinamik serta hipermetabolik. Insiden, intensitas dan durasi perubahan
patofisiologik pada luka bakar sebanding dengan luasnya luka bakar yang terlihat
pada seberapa luas permukaan tubuh yang terkena. Kejadian sistemik awal sesudah
luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamik akibat hilangnya integritas
kapiler dan kemudian terjadinya perpindahan cairan, natrium, serta protein dari ruang
intravaskular kedalam ruang interstisial.

10

Segera setelah luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (katekolamin,


histamin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalami
injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler
sehingga plasma merembes kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara
langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri
yang langsung mengenai membran sel menyebabkan sodium masuk dan potasium
keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik
yang menyebabkan meningkatnya cairan intraseluler dan interstitial dan yang dalam
keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka
bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami
luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan
sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon
terhadap pelepasan katekolamin dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali
turunnya

curah

jantung.

Kadar

hematokrit

meningkat

yang

menunjukan

hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran


cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal.
Sedangkan pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa dengan suhu tubuh
normal perhari adalah 350 ml. Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada
perfusi organ. Jika ruang intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena
maka syok hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas
dapat terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun,
tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Curah
11

jantung kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan


hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada curah
jantung ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal.
Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah
normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan
kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan
edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.
Volume darah yang beredar akan menurun secara dramatis pada saat terjadi
syok luka bakar. Disamping itu, kehilangan cairan akibat evaporasi lewat luka bakar
dapat mencapai 3 sampai dengan 5 liter atau lebih selama periode 24 jam sebelum
permukaan kulit yang terbakar ditutup. Selama syok luka bakar, biasanya korban
mengalami hiponatremia, hiperkalemia, dan atau hipokalemia. Pada saat luka bakar,
sebagian besar sel darah merah dihancurkan dan sebagian yang lainnya mengalami
kerusakan sehingga terjadi anemia. Walaupun demikian, nilai hematokrit korban
dapat meninggi akibat kehilangan plasma.
Pada korban yang mengalami luka bakar biasanya disertai dengan kerusakan
pulmoner, yang ditandai dengan cedera inhalasi, berikut adalah klasifikasinya: cedera
saluran napas atas, cedera inhalasi dibawah glotis, yang mencakup keracunan karbon
monoksida dan defek restriktif. Cedera saluran napas atas terjadi akibat panas
langsung atau edema, bentuknya obstruksi-mekanis saluran atas yang menyerang
faring dan laring. Cedera inhalasi dibawah glotis terjadi akibat menghirup produk
pembakaran yang tidak sempurna atau gas berbahaya, cedera ini menyebabkan
hilangnya fungsi silia, hipersekresi, edema mukosa yang berat, dan kemungkinan
12

bronkospasme. Keracunan karbon monoksida akan mengakibatkan seseorang tidak


mampu memenuhi kebutuhan oksigen yang adekuat kepada jaringan, hal ini karena
afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida 200 kali lebih besar daripada
afinitasnya terhadap oksigen. Sedangkan defek restriktif terjadi jika timbul edema
dibawah luka bakar full thickness yang melingkar pada leher dan toraks.
Fungsi sistem imun mengalami depresi. Depresi pada aktivitas limfosit, suatu
penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas komplemen dan
perubahan/gangguan pada fungsi neutrofil dan makrofag dapat terjadi pada korban
yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup korban.
Fungsi renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume darah,
destruksi sel-sel darah merah pada lokasi cedera akan menghasilkan hemoglobin
bebas dalam urin. Jika terjadi kerusakan di otot (akibat luka bakar listrik), myoglobin
akan dilepaskan dari sel-sel otot dan diekskresikan melalui ginjal, bila aliran darah
yang melewati tubulus renal tidak cukup maka hemoglobin dan myoglobin akan
menyumbatnya sehingga timbul komplikasi nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal.
Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar, kehilangan integritas
kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, hal ini
membuat seseorang yang menderita luka bakar berisiko tinggi mengalami sepsis.
Selain itu, hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk
mengatur suhu, sehingga seorang yang menderita luka bakar dapat memperlihatkan
suhu tubuh yang rendah dalam beberapa jam pertama pasca-luka bakar, namun
kemudian akan mengalami hipertermia sekalipun tidak disertai infeksi karena
13

hipermetabolisme menyetel kembali suhu tubuh inti.

Ada dua komplikasi

gastrointestinal yang potensial yaitu: ileus paralitik (tidak adanya peristalsis usus) dan
ulkus curling, berkurangnya peristalsis dan bising usus merupakan manifestasi ileus
paralitik yang terjadi akibat luka bakar.
2.5 Penatalaksaan Luka Bakar
Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah
mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung
sirkulasi sistemik (airway, breathing, circulation/ABC). Intubasi endotrakea
dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas
inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah
terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak.
Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada
trakeostomi.12,16,17
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal
yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada
pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas tersembunyi. Oleh karena
itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan
menata laksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa.
Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan
adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi
juga penting dalam evaluasi awal.16,17,18

14

Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan


radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu
mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.17
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas
dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer
pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari
eskar yang mengkonstriksi.18

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R., de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC;
2004.
2. Saraf S, Parihar S. Burns Management: A Compendium. Journal of
Clinical and Diagnostic Research 2007; 5: 426-436.
3. WHO. [online]. 2015. [cited at July 15th 2016]. Available from: URL:
http://www.who.int/violence_injury_prevention/other_injury/burns/en/
4. Deirdre, C., Elsayed, S., Reid, O., Winston, B., Lindsay, R. Burn Wound
Infection. Clin Microbiol Rev. 2006; 19(2): 403434.
5. Di Maio, V.J.M. & Dana, S.E. Fire and Thermal Injuries, in: Di Maio, V.J.M.
& Dana, S.E.(eds) Hand Book of Forensic Pathology. USA: Landes
Bioscience; 1998.
6. Moenajat, Yefta. Luka Bakar : Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003
7. Moore, Keith L. Agur, Anne M.R. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Laksaman, H
15

8. Kamolz LP. Luminta DB. Dermal replacements in general, burn, and plastic
9.

surgery. Austria: Springer. 2013


Grace PA. Borley NR. At a glance Ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga

Medical series. 2007


10. Townsend. Sabiston Textbook of Surgery. 18th edition. New York: Saunders
Elsevier. 2007
11. Brunicardi C. Schwartzs Principle of Surgery. 8th edition. USA:
McGrawHill. 2007
12. Cuschieri A. Grace PA. Clinical Surgery. 2 nd edition. USA: Blackwell
science. 2003
13. Sheridan RL. Initial Evaluation and Management of the burn patient.
[online]. 2015. [cited at July 15th 2016]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/435402-overview#a3
14. Hoediyanto. Haryadi. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya:
Fk Unair. 2012
15. Puteri AM, Sukasah CL. 2009. Presentasi Kasus:

Luka Bakar. Jakarta:

Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


16. Mostafa G. Cathey L. Review of Surgery. USA: Springer. 2006
17. Mulholland MW. Lillemoe KD. Greenfields Surgery. 4th edition. USA:
lippincolt Williams. 2006
18. Garden OJ. Bradburry AW. Principles Practice Surgery. 6 th edition. New
York: ElSevier. 2012
19. William NS. Bailey and Loves Short Practice of Surgery. 26 th edition.
France: Taylor and Francis group, CRC. 2013
20. Doherty GM. Current Diagnosis and Treatment Surgery. USA: Lange, The
McGrawHill Companies. 2010

16

Anda mungkin juga menyukai