MKPB Massal1
MKPB Massal1
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwayang disebabkan oleh alam
atau manusiayang mengakibatkan korban danpenderitaan manusia, kerugian harta
benda,kerusakan lingkungan, kerusakan saranadan prasarana umum serta
menimbulkangangguan terhadap tata kehidupan danpenghidupan masyarakat dan
pembangunan nasional yang memerlukanbantuan dan pertolongan secara khus
Peristiwa atau rangkaian peristiwayang disebabkan oleh alam atau manusiayang
mengakibatkan korban danpenderitaan manusia, kerugian harta benda,kerusakan
lingkungan, kerusakan saranadan prasarana umum serta menimbulkangangguan terhadap
tata kehidupan danpenghidupan masyarakat danpembangunan nasional yang
memerlukanbantuan dan pertolongan secara khusus
Korban akibat kejadian dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebabyang sama
dan perlu mendapatkanpertolongan kesehatan segera denganmenggunakan sarana,
fasilitas dan tenagayang lebih dari yang tersedia sehari-hari.
2.2 Penyebab
1. Alam : seperti : banjir, gempa bumi,tsunami dan lain sebagainya.
2. Teknologi : seperti : tabrakan kereta api,rubuhnya gedung dan lainsebagainya.
3. Konflik : seperti : konflik antar etnis,terorisme dan lain sebagainya
2.3 Siklus manajemen penanggulangan bencana
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kesiapsiagaan
Tanggap darurat
Mitigasi
Pemulihan
Pencegahan
Pembangunan
KSR/PMR
Polisi
Firefighter
Hansip
SatPam
Awak Pesawat/kend.umum
Sukarelawan
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera)
untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau
penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan
proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial
harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus
dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi
memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera,
usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang
mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera
neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita
sebelumnya. Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan
dalam satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih
dibanding amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat
bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk
menilai dan menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai
hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana
memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini
berakibat pasien cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis
distabilkan. Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik. Saat
ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa
secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START
(Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi
saat bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
1. Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase
untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
2. Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
a. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak
mungkin diresusitasi.
b. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat
serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau
perdarahan berat, luka bakar berat).
c. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera
yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam
waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas
(misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi,
fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat,
serta luka bakar ringan).
d. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi
ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat
darurat
psikologis).
h. Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan Utama dimana korban
kelompok merah dan kuning yang menunggu transport dikumpulkan untuk lebih
mengefisienkan persedian dan tenaga medis dalam resusitasi-stabilisasi.
salah menempatkan atau memindahkan pasien secara tidak aman tanpa izin. Faktor lain
yang mempengaruhi kemantapan Zona Panas antaranya lontaran material, api, jalur
listrik, bangunan atau kendaraan yang tidak stabil atau berbahaya.
2.13 Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua
kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan
berbahaya dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa
membunuh penolong atau korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah
operasi untuk mecegah risiko lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan
efektif dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk
menyelamatkan hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.
2.14 Penilaian awal.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasistabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai.
Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang
diketakui pada awal proses. Bila tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkahlangkah survei primer. Kondisi pengancam jiwa diutamakan.
2.15 Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing,
circulation and hemorrhage control, disability, exposure/environment). Jalan nafas
merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak terhambat.
Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan akibat
penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas hingga intubasi
atau krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan
kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea,
10
perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada
atau adanya defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen
hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik. Nilai sirkulasi dengan
mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan eksternal.
Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha
bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau hilang
serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi
intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia
menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan pemberian
metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila usaha inspirasi
terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera
Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai
tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan
memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei
primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut.
Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa
nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan
lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis
skrotum / labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk
menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi.
Resusitasi dan penilaian komprehensif
1. Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi,
lanjutkan sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan
prosedur resusitatif serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk
kedalamnya monitoring tanda vital, merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan dan
oksigenasi bila perlu, serta memberikan resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam
untuk mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta
keluaran urin. Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan
yang tidak terkontrol dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik
11
capai resusitasi adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran
urin normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter
(kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa membantu.
12
2.17
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat
dalam pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando
Bencana dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis
baik dalam keadaan bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada dan
memiliki pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya
dalam usaha penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua
petugas harus berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan
bencana agar lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.
3.2
Saran
Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian
dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material.
Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus
dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran,
tepat manfaat, dan terjadi efisiensi. Dengan demikian diharapkan pelaksanaan
manajemen logistik dan peralatan dapat berjalan secara efektif dan efisien dan
terkoordinasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
14
Dirjen Bina Yanmed Depkes RI. 2006. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Jakarta : EGC.
Efendi,Ferry. 2009. Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Mepsa,Putra.2012. Peran Mahasiswa Kesehatan Dalam Tanggap Bencana. Jakarta:EGC.
Kholid, Ahmad. Prosedur Tetap Pelayanan Medik Penanggulangan Bencana.Jakarta:EGC.
15