(18): 94-103
PENDAHULUAN
Kalimantan Selatan memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, terutama
adalah batubara. Salah satu wilayah di Kalimantan Selatan yang pernah menjadi
daerah penambangan batubara adalah Kecamatan Cempaka (Akbar, 2002). Kegiatan
penambangan di daerah tersebut dilakukan pada sekitar tahun 1990 oleh penambang
liar, yang mengakibatkan daerah tersebut menjadi lahan kritis. Tim Reklamasi Kota
Banjarbaru (2001 dalam Akbar, 2002) menyatakan bahwa kerusakan lahan di
Kecamatan Cempaka akibat kegiatan penambangan batubara mencapai + 10 hektar.
Penambangan batubara memang memberikan pendapatan daerah yang sangat
besar, namun di sisi lain kegiatan tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan yang
parah yaitu berupa terbukanya penutupan vegetasi pada proses land clearing.
Selanjutnya, proses penggalian menyebabkan hilangnya hara dan kandungan bahan
organik tanah, perubahan topografi dan bentang alam serta pencemaran air dan tanah
(Sudiana, 2002; Septiana et al., 2003).
Secara umum, penambangan batubara di Kalimantan Selatan dilakukan
dengan teknik penambangan terbuka, yaitu dengan membuka lahan (land clearing),
mengupas tanah pucuk (stripping top soil), pengupasan dan penimbunan tanah
penutup (over burden stripping), pembersihan batubara dan penambangan batubara
(Akbar, 2002). Metode ini menyebabkan terbentuknya lubang galian yang sangat luas
dan dalam. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan kondisi fisik, kimia, dan
biologis tanah (Septiana et al., 2003).
Metode pengelolaan air asam tambang secara biologi dapat dilakukan dengan
menggunakan tanaman air, metode ini disebut dengan biofilter. Biofilter digunakan
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Edisi Maret 2006
94
untuk memindahkan logam berat dan bahan polusi lainnya sehingga lingkungan
terkendali (Qaisar et al. 2005). Tanaman air mempunyai kemampuan untuk menyerap
nutrisi dan polutan dari air limbah. Menurut Pramukanto (2004) penggunaan tanaman
air sebagai biofilter sudah banyak dikembangkan di berbagai negara dengan
menggunakan teknik pulau apung buatan (ingkongbudo). Ingkongbudo dibentuk oleh
sekumpulan tanaman air yang disatukan oleh suatu wahana yang mudah mengapung
dan sekaligus menjadi tempat tumbuhnya.
Salah satu tanaman air yang berpotensi sebagai biofilter adalah eceng gondok
(Eichornia crassipes Mart Solms). Eceng gondok merupakan tanaman air yang
mengapung (floating plants). Mereka termasuk dalam famili Pontederiaceae. Pada
umumnya famili ini mempunyai ciri-ciri hidup di rawa, perenial, akarnya mengapung.
Daun dengan helaian yang lebar, ibu jari daun melengkung dan rapat, serta
membentuk roset (Tjitrosoepomo, 2002)
Tanaman ini mampu tumbuh pada kondisi nutrisi, pH, temperatur, dan bahan
beracun (Tan, 2001). Percobaan yang dilakukan oleh Madkar dan Kurniadie (2003)
menunjukkan bahwa eceng gondok yang tumbuh pada media air limbah tahu
mempunyai biomassa yang lebih tinggi dibandingkan dengan eceng gondok yang
tumbuh pada air limbah tekstil dan air biasa setelah 4-6 minggu masa tanam.
Biomassa yang tinggi pada air limbah tahu disebabkan karena media tersebut
mengandung unsur hara yang cocok untuk pertumbuhannya. Dari penelitian di atas
menjadi dasar untuk melakukan penelitian terhadap pertumbuhan tanaman eceng
gondok yang tumbuh pada air bekas tambang batubara.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah air bekas tambang
batubara berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman eceng gondok (Eichornia
crassipes Mart Solms). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
air tambang batubara terhadap pertumbuhan tanaman eceng gondok (Eichornia
crassipes Mart Solms). Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah
mengenai pertumbuhan tanaman eceng gondok yang ditumbuhkan pada air bekas
tambang batubara yang nantinya dapat diaplikasikan sebagai biofilter pada air bekas
tambang batubara.
METODE PENELITIAN
95
dan kemudian dibawa ke laboratorium dan ditempatkan pada bak-bak yang berisi air
bersih untuk adaptasi.
Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman eceng gondok yaitu berat basah
dilakukan setiap 1 minggu sekali dan berat kering tanaman dilakukan setelah tanaman
tumbuh selama 5 minggu. Pengamatan tersebut meliputi berat basah tanaman diukur
tiap minggu dengan cara menimbang seluruh bagian tanaman, berat kering tanaman
diukur pada akhir penelitian dengan cara mengeringkanterlebih dahulu, rasio pucukakar dan keadaan morfologis
tanaman. Pengukuran data pendukung berupa
kandungan nitrat, fosfat dan besi dilakukan pada awal dan akhir percobaan terhadap
media pertumbuhan.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal yang
terdiri dari 5 perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali sehingga
akan terdapat 20 satuan percobaan. Perlakuan yang digunakan adalah perbandingan
volume air bekas tambang batubara dengan air biasa. Perlakuan tersebut terdiri dari :
P0 : air bekas tambang batubara : air
biasa (0 : 4)
P1 : air bekas tambang batubara : air
biasa (1 : 3)
P2 : air bekas tambang batubara : air
biasa (2 : 2)
P3 : air bekas tambang batubara : air
biasa (3 : 1)
P4 : air bekas tambang batubara : air
biasa (4 : 0 )
Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman eceng gondok yaitu berat basah
dilakukan setiap 1 minggu sekali dan berat kering tanaman dilakukan setelah tanaman
tumbuh selama 5 minggu. Pengamatan tersebut meliputi berat basah tanaman diukur
tiap minggu dengan cara menimbang seluruh bagian tanaman, berat kering tanaman
diukur pada akhir penelitian dengan cara mengeringkan terlebih dahulu, rasio pucukakar dan keadaan morfologis
tanaman. Pengukuran data pendukung berupa
kandungan nitrat, fosfat dan besi dilakukan pada awal dan akhir percobaan terhadap
media pertumbuhan.
Sebelum data diolah terlebih dahulu data diuji kenormalannya dengan
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan untuk uji kehomogen ragamnya dilakukan
dengan uji Bartlett. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan analisis
keragaman (Anava) yang akan dilanjutkan uji Duncan bila ada pengaruh perlakuan
(Hanafiah, 2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berat Basah Tanaman
Hasil rerata pertambahan berat basah tanaman untuk tiap perlakuan pada akhir
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1. Rerata pertambahan berat basah terbesar
terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 79,58 sedangkan rerata pertambahan berat
basah terendah terdapat pada perlakuan P4 yaitu 31,99 g. Berdasarkan analisis
keragaman diperoleh hasil bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata
berdasarkan nilai F hitung > F tabel 0,05 yaitu 4,49. Sedangkan pada uji lanjutan
yaitu uji Duncan dapat dilihat bahwa perlakuan P0, P1, dan P3 tidak berbeda nyata
sedangkan pada perlakuan P4 dan P2 adalah berbeda nyata.
Perlakuan P0, P1, dan P3 tidak berbeda nyata tetapi berbeda dengan
perlakuan P4 dan P2. Hal tersebut diduga karena ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu
96
120
79,6 a
100
Basah (g)
faktor eksternal yang berupa iklim dan edafik. Sedangkan faktor lain yaitu faktor
internal yaitu pengaruh gen.
Media tempat tumbuh tanaman dalam hal ini merupakan faktor edafik
mempengaruhi terhadap pertumbuhan tanaman. Media tempat tumbuh tanaman
mempunyai pH yang berkisar antara 5,50 7,00 sehingga unsur hara yang diperlukan
oleh tanaman eceng gondok ini lebih tersedia. Menurut Madkar dan Kurniadie (2003)
pH optimum untuk pertumbuhan tanaman eceng gondok adalah pada kisaran 5 8,
meskipun eceng gondok dapat tumbuh pada media dengan pH 4 8 dan tumbuh
optimal pada pH 6-7. Pertumbuhan tanaman eceng gondok juga dipengaruhi oleh
suhu. Suhu yang diperoleh dari hasil penelitian yaitu sebesar 27o C. Hal ini sesuai
dengan Gopal dan Sharma dalam Iman (2002) bahwa suhu optimum pertumbuhan
tanaman eceng gondok adalah 25 30o C. Pertumbuhannya akan terganggu bila suhu
perairan di bawah 10o C atau di atas 40o C dan akan mati bila suhu perairan 45o C.
Tanaman eceng gondok memerlukan unsur hara untuk pertumbuhanya yang
berasal dari dalam air. Unsur hara yang diperlukan adalah nitrat, fosfat, dan Fe .
Kandungan nitrat pada percobaan yaitu sebesar 0,69 2,33 ppm. Kandungan fosfat
pada percobaan yaitu sebesar 0,042 0,53 ppm, sedangkan kandungan besi (Fe)
pada percobaan berkisar 0,33 0,96 ppm (Lampiran 1)
Kandungan nitrat dan fosfat tersebut adalah sesuai untuk pertumbuhan
tanaman eceng gondok. Hal ini sesuai dengan Iman (2002) yang menyatakan bahwa
pertumbuhan optimum eceng gondok terjadi pada kandungan N sebesar 25 ppm dan
kandungan P sebesar 20 ppm. Sedangkan kadar kritis N untuk mendukung
pertumbuhan eceng gondok sebesar 0,03 ppm dan kadar kritis P untuk mendukung
pertumbuhaan eceng gondok sebesar 0,1 ppm. Besi merupakan unsur hara mikro
yang diserap dalam bentuk ion feri (Fe3+) atau fero (Fe2+). Menurut Moenandir dan
Murgito (2006) pertumbuhan optimum eceng gondok bila kadar Fe 21 24 ppm.
80
58,9 a
50,1 b
68,3 a
60
32,0 b
40
20
0
P0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
97
8,8825 g sedangkan rerata berat kering terendah terdapat pada perlakuan P4 sebesar
4,0825 g. Berdasarkan analisis keragaman diperoleh hasil bahwa perlakuan yang
diberikan berpengaruh nyata dengan F hitung > F tabel yaitu 4,211. Sedangkan pada
uji lanjutan yaitu uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P0, P1, P2, dan P3 tidak
berbeda nyata sedangkan pada perlakuan P4 adalah berbeda nyata.
Perlakuan P0, P1, P2 dan P3 tidak berbeda nyata tetapi berbeda dengan
perlakuan P4 hal ini mungkin disebabkan tanaman mampu menyerap unsur-unsur
yang terkandung dalam media. Berat kering tanaman berhubungan erat dengan unsur
hara yang dapat diserap oleh tanaman. Penyerapan unsur yang tidak optimum akan
mempengaruhi pertumbuhan dan berat kering tanaman. Ada beberapa hal penyebab
terjadinya peningkatan berat yaitu karakteristik dari tiap spesies tanaman untuk
menyerap unsur unsur tertentu dan kecepatan penyerapan air, status hara dalam
tanaman serta umur tanaman (Rosmarkam & Yuwono, 2002). Menurut Madkar dan
Kurniadie (2003) tanaman air eceng gondok mampu menghasilkan produksi biomassa
yang tinggi dan menyerap unsur N sekitar 1 3 g/m2/hari dan unsur P sebesar 0,2
0,5 g/m2/hari.
Umumnya unsur N diperlukan untuk pembelahan sel dan pembesaran sel,
sehingga apabila kekurangan unsur N akan mengakibatkan tanaman menjadi kerdil
dan menguning. Sedangkan unsur P diperlukan untuk mendorong pertumbuhan akar,
untuk sistem informasi genetik, membran sel dan fosfoprotein sehingga kekurangan
unsur P akan mengakibatkan daun berwarna lebih gelap (Rosmarkam & Yuwono,
2002).
Pada perlakuan P4 rerata berat kering tanaman berbeda dan rendah. Hal
tersebut disebabkan karena akar tanaman eceng gondok pada perlakuan ini menjadi
pendek dan menggumpal sehingga tanaman tersebut berkurang kemampuannya
untuk menyerap unsur atau mengubah unsur menjadi tersedia untuk tanaman.
Penyerapan unsur oleh tanaman dipengaruhi oleh pH. Pada pH netral unsur hara
makro dan mikro hampir semuanya tersedianya optimum. Karena air tambang
batubara bersifat asam dan dari hasil penelitian pH yang didapat rendah yaitu sebesar
3,60 maka penyerapan unsur tidak optimum. Hal ini berakibat terhadap pertumbuhan
dan berat kering tanaman.
Kandungan P yang rendah pada media perlakuan P4 yaitu sebesar 0,042
berakibat kurang optimumnya pertumbuhan akar tanaman, karena fungsi P adalah
mendorong pertumbuhan akar tanaman. Makin panjang dan banyak akar rambut,
maka makin besar pula kemampuan tanaman untuk menyerap unsur atau mengubah
unsur menjadi tersedia untuk tanaman (Rosmarkam & Yuwono, 2002).
Berat basah yang tinggi tidak selalu diikuti dengan berat kering yang tinggi.
Berat kering tanaman menunjukkan bahan yang dibentuk yaitu berupa polisakarida
dan lignin pada dinding sel ditambah komponen sitoplasma seperti protein, lipid, dan
asam amino (Salisbury dan Ross, 1991). Sedangkan berat basah sangat dipengaruhi
ketersediaan air pada media serta kondisi suhu dan kelembaban udara.
98
10
Tanaman (g)
12
7,49 a
8,83 a
8,33 a
7,66 a
8
6
7,08 b
4
2
0
P0
P1
P2
P3
P4
Pe rlakuan
99
Pucuk (g)
Akar (g)
Rasio
Pucuk:Akar
Rasio
Pucuk:Akar
5,41
5,75
5,75
5,08
3,08
2,08
3,08
2,58
2,58
4,00
5,41:2,08
5,75:3,08
5,75:2,58
5,08:2,58
3,08:4,00
2,60:1
1,86:1
2,22:1
1,96:1
0,77:1
Pembulatan
Rasio
Pucuk:Akar
3:1
2:1
2:1
2:1
1:1
100
Perlakuan P0
Perlakuan P1
Perlakuan P2
Perlakuan P3
Perlakuan P4
Gambar 3. Keadaan Morfologis Tanaman Pada Akhir Penelitian
PENUTUP
Kesimpulan
Air bekas tambang batubara mempengaruhi pertumbuhan tanaman eceng
gondok berdasarkan berat basah, berat kering dan rasio pucuk akar.
Eceng gondok dapat diaplikasikan di lapangan sebagai biofilter pada air bekas
penambangan batubara namun setelah 5 minggu perlu diganti dengan tanaman baru.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kemampuan tanaman eceng
gondok sebagai penyerap logam berat (sebagai biofilter) pada air bekas tambang
batubara di lapangan.
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Edisi Maret 2006
101
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, A. 2002. Revegetasi yang Tepat Pada Lahan Bekas Tambang Batubara.
Prosiding
Seminar Ilmiah Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian dan
Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Departemen
Kehutanan. Balai Penelitian Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Banjarmasin.
Akbar, A., Manaon, & E. Priyanto. 2002. Laporan Hasil Penelitian Teknik Reklamasi
Hutan Bekas Tambang Batubara. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tanaman Indonesia Bagian Timur, Banjarbaru.
Fitter, A.H dan R. K. M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta
Gardner, F.P; R. B Pearce; dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Universitas Indonesia. Jakarta
Hanafiah, K. A. 2000. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. PT
Raja Grafindo Persada. Jakarta
Hidayati, H. 2004. Pertambangan di Indonesia
http://www.walhi.or.id/kampanye/tambang/tam_indo_info/
Iman, F.R. 2002. Pengamatan Perubahan parameter Fisika Kimia Air Akibat
Penutupan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) Dalam Bak Semen. Jurnal
Central Kalimantan Fisheries. 3(2) : 59-64
Madkar, O.R dan D. Kurniadie. 2003. Identifikasi Dan Pertumbuhan Berbagai Gulma
Air Sebagai Bahan Biofilter Penyaring Air Limbah. Jurnal Bionatura. 5(2):79-87
Moenandir, J. dan A. Murgito. 2006. Kemampuan Penyerapan Logam Berat Oleh
Eceng Gondok. Jurnal Agrivita. 17(2): 61-64
http://digilib.brawijaya.ac.id/virtual_library/mlg_warintek/Pdf/AGRIVITA
Vol.17%20July%2020Desember%201994%20No.2/kemampuan%20penyerapan%20logam.pdf
Pramukanto, Q. 2004. Ingkongbudo Pengendali Pencemaran Air Secara Biologis.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/16/ilpeng/1442188.htm
Qaisar, M; Zheng Ping; Siddiqi, M.R; Islam Ejaz Ul; Azim, M.R; Hayat Yousaf. 2005.
Anatomical Studies On Water Hyacinth (Eichornia crassipes (Mart.) Solms) Under
The Influence Of Textile Wastewater.
http://www.zju.edu.cn/jzus/2005/B0510/B051006.pdf
Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta
Salisbury, B. F. dan C. W. Ross. 1991. Fisiologi Tumbuhan Jilid I. ITB. Bandung
Septiana, M., Jamulya & T. Yunianto. 2003. Sifat-Sifat Tanah di Bawah Naungan
Sengon (Paraserianthes falcataria) Pada Lahan Reklamasi Tambang Batubara di
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Edisi Maret 2006
102
Lampiran 1 : Sifat Fisik dan Kimia Media Air Pada Bak Perlakuan
Perlakuan
P0
P1
P2
P3
P4
Kadar Nitrat
(ppm)
Kadar Fosfat
(ppm)
Fe (ppm)
2,33
1,92
1,51
1,10
0,69
0,53
0,41
0,29
0,16
0,042
0,96
0,80
0,64
0,49
0,33
pH
Suhu
rata-rata
7,00
6,50
6,00
5,50
3,60
27oC
27oC
27oC
27oC
27oC
103