Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ANESTESIOLOGI, PERAWATAN INTENSIF

DAN MANAJEMEN NYERI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT II
NOVEMBER 2012

PENATALAKSANAAN PERIOPERATIF PASIEN


DENGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA)

OLEH:
dr. LA ODE ABDUL SYUKUR
KONSULEN :
dr. ABDUL WAHAB, Sp.An

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1
BIDANG STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
1

MANAJEMEN PERIOPERATIF PASIEN DENGAN


OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA
PENDAHULUAN
Tidur merupakan suatu proses fisiologi komplek yang terdiri dari stage 14
disebut nonrapid eye movement sleep (NREM) dan stage 5 disebut rapid eye
movement sleep (REM). Lebih dari separuh tidur total adalah stage NREM
sedangkan 2035% adalah stage REM. Beberapa tahun terakhir banyak penelitian
yang mempelajari fisiologi tidur dan gangguan gangguan tidur, seperti obstructive
sleep apnea (OSA) dan central sleep apnea (CSA). Ternyata 95% gangguan napas
saat tidur adalah obstruksi saluran napas atas dan 5% adalah gangguan sistem
saraf pusat. 1
Gangguan pernapasan saat tidur dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Di Amerika sekitar 12 juta orang usia 3060 tahun menderita OSA dan
setiap tahun 38.000 meninggal karena penyakit kardiovaskuler yang berhubungan
dengan gangguan pernapasan saat tidur. Sekitar 4050% penderita gagal jantung
kongestif menderita OSA atau pernapasan cheynestokes dengan CSA. Gangguan
ini menyebabkan progresifitas gagal jantung dan prognosis yang buruk.1,2
Obstructive sleep apnea merupakan bentuk umum sleep-disordered
breathing (SDB) yang telah dikenal secara umum dan berhubungan dengan
berbagai masalah medis serta mempunyai dampak pada angka kesakitan dan
kematian sehingga menjadi beban dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Young
dkk

menyatakan bahwa pada orang dewasa perkiraan prevalens OSA pada

populasi dewasa usia pertengahan di Amerika Serikat sangat bervariasi, yaitu 24%
pada laki laki dan 9% pada perempuan, apabila terdapat obesitas dengan Body
Mass Index (BMI) 25-28 (moderately overweight) diperkirakan 1 dari 5 laki-laki
mengalami OSA derajad berat, sedangkan OSA derajat sedang adalah 1 dari 15
laki-laki berdasarkan beberapa studi kohort.2
Berbagai penelitian epidemiologik telah dilakukan terutama di negara maju,
mendapatkan kejadian OSA yang seringkali berhubungan dengan berbagai
penyakit atau keadaan tertentu sebagai faktor predisposisinya. 2,3
2

Adanya OSA merupakan suatu tantangan bagi seorang ahli anestesi.


Hubungan OSA dengan obesitas telah lama diketahui tetapi deskripsi manifestasi
episode diurnal dan nokturnal dari sindrom Pickwickiain secara mendetail
pertama kali diberikan oleh Gastaut dkk tahun 1966. Sekarang masalah ini
nampaknya lebih sering pada populasi sekarang, dan ini telah dikonfirmasi oleh
beberapa penelitian epidemiologi. 1,2
Terdapat implikasi anestesi pada evaluasi dan pengobatan prabedah,
penatalaksanaan intraoperatif, perawatan pascabedah dan manajemen nyeri pada
pasien dengan OSA. Pasien ini mungkin mempunyai sejumlah comorbid yang
penting bagi seorang ahli anestesi. Pasien mungkin juga tanpa keluhan
sebelumnya. Efek obat-obat sedasi, analgesik dan anestetik dapat memperburuk
OSA melalui beberapa mekanisme dan ada peningkatan resiko terhadap obat
anestetik dan komplikasi pascabedah. 1
Pada tinjauan pustaka ini akan membahas definisi, insidens dan
penatalaksanaan perioperatif pada psien dengan OSA
DEFINISI
Saat ini belum ada konsensus yang jelas tentang definisi OSA. OSA
didefinisikan sebagai terhentinya aliran udara selama lebih dari 10 detik terlepas
dari upaya ventilasi berkelanjutan, 5 kali atau lebih setiap jam selama tidur dan
biasanya berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen arterial (SaO2) lebih
dari 4%. Obstructive sleep hypopnea (OSH) didefinisikan sebagai penurunan
aliran udara lebih dari 50% selama lebih dari 10 detik, 15 kali atau lebih setiap
jam tidur dan biasanya berhubungan dengan snoring dan mungkin berhubungan
dengan penurunan SaO2 lebih dari 4%. OSA dan OSH mengganggu tidur secara
berulang disebabkan terbangun yang diinduced usaha ventilasi yang meningkat
yang pada gilirannya menyebabkan rasa ngantuk sepanjang hari dan merubah
fungsi kardiopulmoner. 2
Pedoman praktis terbaru dari American Society of Anesthesiologists (ASA)
mendefinisikan OSA sebagai kumpulan gejala yang ditandai dengan obstruksi
jalan napas atas selama tidur yang berlangsung periodik, parsial atau komplit. 3,4

INSIDENS
Insidensi OSA diperkirakan 14% populasi umum. Penderita OSA dengan
kebiasaan mendengkur lebih banyak terjadi apnea, hipopnea dan penurunan
saturasi oksihemoglobin sewaktu tidur dibandingkan tanpa mendengkur. Enam
puluh persen pasien OSA adalah kelebihan berat badan (berat badan lebih dari 20
persen diatas ideal). Ukuran leher, area distal faring dan indeks masa tubuh
berhubungan dengan frekuensi apnea. 1,4
OSA umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 4050
tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anakanak dan remaja. Mayoritas pasien
OSA adalah kelebihan berat badan, tidak semua obesitas meskipun demikian
peningkatan berat badan mempengaruhi peningkatan frekuensi apnea/hypopnea
dan penurunan berat badan mempengaruhi penurunan apnea/hypopnea index
(AHI).1
Evaluasi anatomi jalan nafas atas merupakan bagian dari pemeriksaan fisis
penderita OSA. Inspeksi terdapatnya abnormaliti struktur atau sempitnya saluran
napas atas sering terjadi pada pasien OSA. Obstructive sleep apnea sydrome
berhubungan dengan beberapa penyakit paru seperti PPOK, penyakit paru
restriktif, penyakit neuromuskular.1
Data epidemiologi menunjukkan prevalensi OSA kira-kira 5% pada
populasi di Negara Barat dan 1-9% pada pasien bedah. Delapan puluh sampai
90% pasien mungkin masih tak terdiagnosa. Insidens lebih tinggi pada laki-laki,
pasien obese dan pada pasien dengan keganasan jalan napas atas. Pada survey
terbaru dari ahli anestesi Kanada, 67% memberikan perawatan perioperatif pada
1-5 pasien OSA setiap bulan. 3
PATOFISIOLOGI
Pada OSA terjadi pendorongan lidah dan palatum ke belakang sehingga
aposisi dengan dinding faring posterior yang menyebabkan oklusi nasofaring dan
orofaring. Sewaktu tidur oklusi saluran napas menyebabkan berhentinya aliran
udara meskipun pernapasan masih berlangsung sehingga timbul apnea, asfiksia

sampai proses terbangun yang singkat dari tidur dan terjadi perbaikan patensi
saluran napas atas sehingga aliran udara dapat diteruskan kembali. Dengan
perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai kejadian berikutnya terulang
kembali. Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi
melebihi kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas.
Beberapa penderita dengan penyempitan saluran napas akibat mikrognatia,
retrognatia, hipertropi adenotosilar, magroglossia atau akromegali. Reduksi
ukuran orofaring menyebabkan compliance saluran napas atas meningkat
sehingga cenderung kolaps jika ada tekanan negatif . 5
Obesitas juga berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan yang
berlebihan pada dinding dada dan disfungsi diafragma mengganggu upaya
ventilasi saat tidur dan jaringan lemak pada leher dan lidah menurunkan diameter
saluran napas yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan prematur saat
jaringan otot relaksasi waktu tidur. 2,5,6
Jalan napas atas yang sempit dan kaku merupakan dasar terjadi OSA. Tidur
terutama tidur dengan pergerakan mata yang cepat membuat jalan napas lebih
kaku dan lebih sempit disebabkan relaksasi otot, mengakibatkan obstruksi parsial
atau komplit. Setiap siklus diikuti oleh bangun, dan pada kasus yang berat
berulang hingga serartus kali setiap malam. Siklus hipoksemia dan hiperkarbia
berulang ini menyebabkan beberapa gangguan seperti hipertensi pulmoner,
hipertensi sistemik, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kanan, refluks gastroesofageal, hipertensi intrakranial, polisitemia, yang kesemuanya merupakan
masalah penting bagi anestesi. 6,7

Gambar 1. Mekanisme terjadinya OSA

Gambar 2. Patogenesis terjadinya OSA


6

Gambaran klinis
Manifestasi klinis dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dominan
neuropsikiatri dan perilaku dan kelompok dominan kardiorespirasi. Manifestasi
klinis tersering adalah neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering rasa
mengantuk berat di siang hari. Gejala malam yang tersering adalah suara
dengkuran keras yang disebabkan jalan napas yang sempit. Akhir tiap episode
apnea biasanya ditandai dengan hembusan napas dengkuran keras yang diikuti
gerakan tubuh, penderita tidak menyadari tetapi dikeluhkan oleh teman tidurnya.
Kadang penderita terbangun dan tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak
nyenyak, disorientasi dan sakit kepala di pagi hari. Gejala klinis yang umum
terjadi pada OSA tampak pada tabel 1. 1,5,8
Tabel 1. Gejala klinis pada OSA
Gejala klinis
Suara dengkur
Mengantuk
Restless Sleep
Mental Abnormal
Perubahan Kepribadian
Impotensi
Sakit Kepala Siang Hari
Nokturia
Enuresis
Nocturnal Choking

Insidensi (%)
95
75
99
58
48
40
35
30
tidak diketahui
tidak diketahui

DIAGNOSIS
Ciri khas penderita OSA adalah usia pertengahan, lakilaki atau perempuan
dengan kelebihan berat badan ringan sampai berat dan hipertensi dengan riwayat
mendengkur. Tidur tidak nyenyak, tersedak di malam hari atau sesak napas dan
mengantuk berat di siang hari. Keadaan ini kurang terjadi pada wanita
premenstruasi, anak-anak, lakilaki muda dan tidak obesitas. 4,8
Standar baku untuk diagnosis

OSAadalah melalui pemeriksaan tidur

semalam dengan alat polysomnography (PSG). Parameter-parameter yang


direkam

pada

polysomnogram

adalah

electroencephalography

(EEG),

electrooculography (pergerakan bola mata),

electrocardiography (EKG),

electromyography (pergerakan rahang bawah dan kaki), posisi tidur, aktivitas


pernapasan dan saturasi oksigen. Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG
adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari
jalan napas atas (kadang-kadang pada kasus yang berat terjadi beberapa ratus kali)
yang disertai dengan 50% penurunan amplitudo pernapasan, peningkatan usaha
pernapasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan
terjadi desaturasi oksigen. 6,9
Sebelum dilakukan PSG, pasien akan diminta kesediaannya untuk mengisi
kuesioner Berlin, bertujuan untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi
terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama berisi
tentang apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah
sampai mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah
tidur, seberapa sering merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat berkendaraan.
Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur,
jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan berisiko tinggi
OSAbila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini mempunyai
validitas yang tinggi.8,9
Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat :7,9
1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena
sebab lain.
2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa kali
ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang
hari dan gangguan konsentrasi.
3. Hasil PSG menunjukkan 5 jumlah total apnea ditambah terjadi hipopnea perjam selama tidur (AHI 5).
4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.
Saat ini sudah banyak terdapat alat polisomnografi yang sifatnya portable
atau bergerak, kemudahan alat ini mampu mengurangi biaya serta mempermudah

bagi pasien yang akan melakukan pemeriksaan polisomnografi, akan tetapi alat ini
mempunyai keterbatasan.
Penelitian menunjukan bahwa perempuan pasca menopause mempunyai
kecenderungan 2,6 kali mempunyai 5 atau lebih apnea atau hipopnea perjam dan
3,5 kali mempunyai 15 atau lebih apnea atau hipopnea perjam dibandingkan
perempuan premenopause dan tidak meningkat pada perempuan perimenopause.
Sedangkan pemberian hormon pengganti pada perempuan pasca menopause dapat
mencegah atau mengurangi gangguan napas saat tidur.5,7,10
Banyak penderita OSA dengan obesitas, ukuran leher lebih dari 17 inchi
merupakan faktor risiko, pengukuran body mass index (BMI) dan pengukuran
tekanan darah karena prevalensi hipertensi tinggi pada populasi ini. Pemeriksaan
fisis pada lokasi obstruksi di kepala dan leher, pemeriksaan tonsil dan posisi
rahang dan hyoid. 8
Diagnosis

pasti

penderita

OSA

dan

CSA

dengan

pemeriksaan

polisomnografi. Pada OSA untuk melihat episode berhentinya aliran udara yang
berulang diikuti dengan upaya respirasi kontinue sedangkan pada CSA untuk
melihat episode apnea berulang diikuti dengan hilangnya upaya ventilasi, gerakan
napas terhenti karena hilangnya pergerakan iga dan abdomen juga aktivitas
elektromiografi diafragma. 8,10
MANAJEMEN PERIOPERATIF
Evaluasi Prabedah
Evaluasi prabedah pasien untuk identifikasi OSA meliputi :
1.
2.
3.
4.

Pemenriksaan rekam medik


Anamnesis pasien atau keluarganya
Pemeriksaan fisik
X-ray prabedah untuk mengukur cephalometrik pada kasus tertentu
Meskipun beberapa literatur tidak cukup kuat menilai dampak identifikasi

status OSA prabedah, banyak literatur menunjukkan bahwa OSA berhubungan


dengan karateristik jalan napas yang merupakan predisposisi pasien untuk
mengalami kesulitan manajemen airway perioperatif. Literatur mengidentifikasi
karakteristik pasien tertentu yang berhubungan dengan OSA. Karakteristik
9

tersebut meliputi gambaran seperti body mass index (BMI) yang tinggi, hipertensi
dan pengukuran cephalometrik yang abnormal. Meskipun tidak cukup kuat
menurut analisis statistik, literatur menunjukkan bahwa hubungan yang ada antara
OSA dan lingkar leher yang besar, riwayat mendengkur, saturasi oksigen yang
rendah selama tidur, gambaran klinik manajemen airway yang sulit dan kondisi
kongenital tertentu (misalnya Down syndrome, abnormalitas kraniofasial, distrofi
otot) atau penyakit tertentu (misalnya DM, cerebral palsy). 3
Sejumlah pasien akan menjalani pembedahan memerlukan diagnosis OSA.
Oleh karena itu, seorang ahli anestesi harus mengidentifikasi pasien dengan OSA
pada keadaan perioperatif. Ini dapat diperoleh dengan melakukan penilaian
skrining, seperti kuesioner Berlin, kuesioner Flemons, checklist ASA, kuesioner
STOP dan modifikasi STOP-BANG. Sebagian besar penilaian tersebut meliputi
snoring, episode tersedak, episode apnea, terbangun dari tidur, somnolen
sepanjang hari dan adanya hipertensi. Terdapat juga variasi berdasarkan
karateristik fisik seperti jenis kelamin, BMI, lingkar leher, anomali airway dan
umur. 7,9

Tabel 2. Kuesioner STOP-BANG

10

Rekomendasi ASA juga menyatakan bahwa continuous positive airway


pressure (CPAP) prabedah sebaiknya dipertimbangkan pada OSA berat dan pada
pasien yang tidak berespon terhadap CPAP, non invasive positive pressure
ventilation (NIPPV) mungkin berguna. 8,11
Pasien yang mempunyai riwayat pembedahan sebelumnya seperti
uvulopalatopharyngoplasty sebaiknya masih dianggap beresiko tinggi hingga pola
tidur normal sudah didapat. Penurunan berat badan sebaiknya dipertimbangkan
jika memungkinkan.9
Persiapan Prabedah
Sedasi prabedah dengan benzodiazepine untuk ansietas dapat menyebabkan
relaksasi otot-otot jalan napas atas. Ini menyebabkan penurunan ruang faringeal
yang dapat menyebabkan peningkatan resiko fase hipopnea prabedah dan
selanjutnya hipoksia dan hiperkapnia. Saturasi oksigen perlu dimonitor selama
periode prabedah dan pasien selalu diawasi. Pada pasien dengan CPAP tidak ada
kontraindikasi premedikasi sepanjang CPAP dapat digunakan jika pasien tertidur
dan oksigen dapat ditambah jika diperlukan. 7,10

11

Beberapa pasien dengan OSA adalah morbid obese. Ini menempatkan


mereka pada peningkatan resiko aspirasi cairan lambung pada saat induksi
anestesi. Pasien ini sebaiknya mendapatkan pengobatan untuk menekan produksi
asam lambung, netralisasi asam atau untuk mempercepat pengosongan lambung.
Karena opioid mempunyai efek depresi respirasi yang sangat kuat dari
semua obat-obat anestetik, penggunaan remifentanyl yang dimetabolisme cepat
dalam darah relatif lebih disukai dibanding obat-obat opioid kerja singkat yang
lain. Dexmedetomidin yang mempunyai narkotik sparing efek menyebabkan
depresi respirasi yang minimal dan dapat digunakan sebagai obat anestetik
tambahan yang bermanfaat.8,12
Manajemen Intraoperatif
Perawatan anestesi pada pasien dengan OSA merupakan tantangan karena
obat-obat anestetik sangat mempengaruhi kontrol pada sistem respirasi yang
terganggu, dan adanya co-morbid yang bermakna. Hipertensi dan penyakit
kardiovaskuler lebih sering dibanding pasien yang lain. 6,9
Hampir semua obat anestesi intravena dan volatile bekerja mendepresi
pernapasan. Oleh karena itu, dianjurkan untuk meminimalkan penggunaan obatobat tersebut sepanjang parameter praktek anestesi yang aman. Teknik anestesi
sebaiknya mencegah pasien terbangun intraoperatif, mempertahankan stabilitas
hemodinamik dan memberikan lapangan operasi yang cukup serta kontrol nyeri
yang optimal disamping memastikan dosis obat anestetik kumulatif sedikit
mungkin. 9,12
Jika teknik anestesi umum dilakukan pada prosedur pembedahan elektif,
pilihan yang ada bahwa dapat mengurangi sejumlah masalah pascabedah dari
residu obat-obat anestetik.
Penggunaan anestesi regional jika mungkin, baik sebagai anestesi utama
maupun sebagai teknik anestesi tambahan, dapat menurunkan insidens komplikasi
respiratori

pascabedah

pada

pasien

dengan

OSA dan

sebaiknyasangat

dipertimbangkan. Jika infiltrasi anestetik local memungkinkan, terutama pada

12

awal prosedur pembedahan, masalah obat anestestik secara signifikan dapat


dikurangi. 8,10
Jika anestesi umum merupakan satu-satunya pilihan, ventilasi kontrol
dengan intubasi sebaiknya merupakan pilihan. Terdapat bukti pada literatur
bahwa pasien OSA yang obese pada umumnya lebih sulit diintubasi dibanding
orang normal. Obesitas, leher pendek dan deposit jaringan faringeal yang
berlebihan pada dinding faring lateral merupakan faktor penyebab kesulitan
intubasi. Benumof merekomendasikan bahwa semua pasien yang sulit diintubasi
sebaiknya dianggap mempunyai OSA hingga dikecualikan dengan gambaran
klinik. 4,8,12
Peralatan untuk manajemen kesulitan airway sebaiknya disiapkan sebelum
induksi anestesi umum. ETT berbagai ukuran, bugie elastic, juga laringoskopi
McCoy dan Laryngeal Mask Airway (LMA) juga disiapkan. Peralatan fiberoptik
mungkin membantu tetapi tidak bermakna pada keadaan emergensi akut. Strategi
atau algoritma untuk menjaga jalan napas yang aman sebaiknya dilakukan.
Dengan peningkatan indeks prediksi kesulitan intubasi pada pasien dengan OSA,
keputusan untuk melakukan intubasi trakeal dengan pasien sadar atau di bawah
anestesi umum harus berdasarkan evaluasi airway prabedah menyeluruh. Jika
didapatkan prediksi kesulitan ventilasi atau intubasi, menurut algoritma Kesulitan
Airway ASA, intubasi dan ekstubasi sebaiknya dilakukan pada saat pasien

sadar.

8,13

Jika intubasi trakea dilakukan pada saat pasien sadar dengan menggunakan
fiberskop fleksibel, penting bahwa pasien dipersiapkan dengan benar dengan
anestesi topikal dan blok saraf pada jalan napas atas.10,11
Jika intubasi dilakukan pada saat pasien tidur, pasien sebaiknya
dipreoksigenasi penuh karena pasien obese dengan functional residual capacity
(FRC) yang relatif kecil dan konsumsi oksigen yang tinggi desaturasi sangat cepat
selama apnea obstruktif dibanding pasien normal. Preoksigenasi efektif dicapai
dengan memberikan FiO2 100% selama lebih dari 3 menit dengan face mask
ukuran yang sesuai. Insuflasi oksigen ke dalam faring melalui kateter nasofaring

13

kecil selama laringoskopi pasien obese mungkin memperlambat onset desaturasi


oksigen arterial. 11,12
Pasien sebaiknya diletakkan pada sniffing position sebelum induksi anestesi
umum. Penggunaan manipulasi laringial eksternal yang optimal selama
laringoskopi dapat memperbaiki gambaran laryngeal. Ventilasi masker mungkin
membutuhkan dua pelaksana anestesi. Masker sebaiknya diatur sebagai salah satu
cara untuk memberikan CPAP (5-15 cmH2O). 7,12
Pada keadaan kesulitan airway, kita sebaiknya siap terhadap situasi tidak
dapat menventilasi, tidak dapat mengintubasi. Peralatan (set krikotirotomi, jet
ventilator) dan dokter bedah THT dalam menghadapi situasi ini sebaiknya segera
ada. 7
Pada artikel terbaru, Freid menyimpulkan bahwa rapid sequence induction
(RSI) tetap penting pada pasien obese dan sleep apnea syndrome dengan gejala
refluks gastro esofageal atau kondisi predisposisi yang lain seperti diabetes
mellitus, kehamilan, pembedahan emergensi dan gangguan gastro intestinal. Pada
kasus pembedahan elektif dimana pasien dipuasakan tanpa faktor risiko yang lain
selain obesitas atau sleep apnea syndrome, kebutuhan RSI masih diperdebatkan.
Penekanan krikoid mungkin efektif tetapi tidak dapat mencegah aspirasi cairan
lambung. Pelaksana anestesi sebaiknya waspada kemungkinan bahwa penekanan
krikoid akan mengganggu ventilasi masker dan laringoskopi dan dipersiapkan
untuk melepaskan tekanan jika ventilasi masker atau intubasi menjadi
bermasalah. 8,12
Penggunaan obat-obat sedatif, induksi dan inhalasi kerja singkat dapat
membantu. Akan tetapi, seorang praktisi harus mengingat bahwa akhir kerja klinis
dari obat-obat seperti midazolam, fentanyl, propofol maupun sevofluran
didasarkan pada redistribusi obat dari jaringan dengan perfusi cepat dibandingkan
oleh metabolism obat tersebut. 7,13
Ada bukti bahwa beberapa obat anestesi menyebabkan respon yang
berlebihan pada pasien dengan sleep apnea. Obat-obat seperti thiopental, propofol,
opioid, benzodiazephin dan nitro oksida dapat menurunkan tonus otot-otot
varingeal yang bekerja untuk mempertahankan potensi airway. 7,14

14

Pilihan obat induksi dan maintenans anestesi mungkin tidak penting


meskipun nampaknya lebih baik untuk menghindari dosis besar obat-obat yang
kerja panjang, terutama obat pelumpuh otot. Teknik anestesi menggunakan obatobat kerja singkat lebih baik karena diharapkan pemulihan fungsi pernafasan yang
lebih cepat. Opioid sebaiknya digunakan secara hati-hati meskipun adanya CPAP
akan meniadakan kesulitan pasca bedah terutama jika pasien telah familiar dengan
hal tersebut. 7,13
Jika pelumpuh otot digunakan, harus dipastikan bahwa pelumpuh otot telah
direverse pada akhir pembedahan atau sebelum ekstubasi. Perawatan hati-hati
harus diberikan pada ekstubasi pasien dengan OSA untuk menjamin bahwa reflex
jalan napas kembali dengan tidal volume yang cukup, laju napas yang normal dan
end tidal CO2 yang normal. 8,12
Tidak ada bukti yang menunjukan bahwa pasien dengan OSA membutuhkan
monitoring intra operatif yang lebih agresif, intensif atau invasive dibanding
pasien normal. Intensitas monitoring sebaiknya ditentukan oleh jenis pembedahan
dan oleh adanya comorbid yang lain. Jika pasien dengan sleep apnea adalah
morbid obese, kateter intra arterial mungkin diperlukan jika monitoring tekanan
darah non invasif tidak dapat dipercaya atau tidak dapat dilakukan karena alasan
teknis. 9,12
Tergantung pada prosedur pembedahan, kondisi pasien dan adanya trauma
pada jalan napas atas disebabkan manipulasi airway, membiarkan pasien
terintubasi untuk periode singkat ventilasi mekanik pasca bedah sebaiknya
dipertimbangkan. 3,8
Kapan saja pasien diekstubasi (baik itu ruang operasi atau ruang pemulihan
atau ICU), pasiennya sebaiknya sadar penuh. Pemulihan penuh dari pelumpuh
otot sebaiknya dibuktikan dengan monitor blok neuromuscular, menahan
mengangkat kepala selama 5 detik dan, di ICU, dengan vital capacity dan peak
inspiratory pressure yang adekuat. Pasien sebaiknya tidak mempunyai kadar
opioid yang tinggi dalam darah yang ditandai dengan laju napas kurang dari 12-14
x/menit sementara ETT masih terpasang. 8,12

15

Ekstubasi pada posisi reverse Trendelenburg atau semi upright meminimalkan


penekanan diafragma.
Manajemen Pascabedah
Tantangan utama selama periode pasca bedah adalah balans antara kontrol
pain dan respirasi yang adekuat. Penggunaan awal dari opioid IV kerja singkat
untuk kontrol nyeri yang cepat dan selanjutnya menggunakan opioid kerja lama.
Jika pasien dapat segera keluar dari rumah sakit, kontrol pain dengan oral
sebaiknya dilakukan. 8,14
Selama titrasi kontrol nyeri, staf PACU sebaiknya mengobservasi pasien akan
adanya masalah respirasi seperti bradipneu, apnea, desaturasi oksigen,
ketidakmampuan lepas dari suplementasi oksigen. Beberapa pasien mungkin
memerlukan terapi positif pressure ventilasi di PACU untuk mencapai status
respirasi yang optimal. 6,14
Data klinik yang adekuat memperlihatkan bahwa masalah respirasi di PACU
merupakan prediksi terjadi masalah respirasi pascabedah. Pedoman ASA terhadap
OSA merekomendasikan observasi PACU 3-7 jam pada pasien tanpa atau dengan
masalah respirasi. 14,15
Jika masalah respirasi tidak terjadi atau jika terjadi tetapi berkurang selama
periode observasi, pasien dapat dipertimbangkan untuk dipindahkan ke ruangan.
Keputusan sebaiknya dibuat dengan perhatian terhadap jenis anestesi, jenis
pembedahan, level nyeri pascabedah yang diharapkan, jenis opioid yang
digunakan. 8,14

16

Tabel 4. Rekomendasi Pascabedah menurut pedoman ASA

17

Jika masalah respirasi tidak berkurang atau jika pasien membutuhkan


bantuan untuk mempertahankan status respirasi, pasien sebaiknya dimonitor
secara ketat terhadap SaCO2 dan etCO2 secara berkelanjutan. 12.14
Pasien dengan gejala OSA berada pada peningkatan resiko hipertensi.
Fluktuasi yang besar pada tekanan sistolik dan diastolik dapat terjadi selama
periode apnea pada periode pascabedah. Jika CPAP tidak ada, suplementasi
oksigen sebaiknya digunakan dengan perhatian. Hipoksia merupakan salah satu
faktor kunci yang menyebabkan pasien terbangun selama periode apnea. CPAP
nasal dapat meniadakan resiko hipoksemia pasca bedah, yang selanjutnya
memungkinkan penggunaan analgesik oral atau parenteral yang adekuat. 13,15
Strategi pascabedah yang lain untuk menurunkan resiko pascabedah seperti
pengaruh posisi tidur pada pasien OSA. Posisi lateral dilaporkan memperbaiki
tekanan jalan napas faring pada pasien dengan OSA. Posisi lateral memperbaiki
stabilitas jalan napas atas selama tidur yang memungkinkan pengurangan terapi
CPAP. Penelitian penzel dkk juga mendukung penggunaan CPAP rendah pada
posisi non supine dibanding posisi supine. Akan tetapi, rekomendasi ASA
menyebutkan posisi semi upright untuk ekstubasi dan pemulihan di ruang PACU.
Akan tetapi posisi ini tidak memungkinkan pada pasien ortopedi. 10,15
Beberapa penelitian follow up menunjukkan bahwa efek keadaan
pembedahan

pada

pasien

OSA.

Berdasarkan

penelitian

tersebut,

direkomendasikan pada pasien OSA yang berada pada resiko rendah dapat
dipindahkan ke perawatan tanpa masuk ke ICU. Beberapa penelitian
menganjurkan bahwa pembedahan jalan napas atas aman dilakukan pada pasien
ambulatory dan dapat pulang ke rumah pada hari yang sama. Keterbatasan
penelitian ini adalah tidak adanya follow up pascabedah, apakah komplikasi
respirasi terjadi selama berada di rumah. Penting diingat bahwa pasien OSA yang
diskrining dengan hati-hati sebelum pembedahan meningkatkan kesuksesan
perawatan pascabedah. 8,12
Positive airway pressure (PAP) diketahui merupakan terapi standar untuk
OSA. Bentuk umum dari

PAP adalah continuous positive airway pressure

(CPAP). Alat ini dapat digunakan melalui masker nasal, masker oral atau variasi-

18

variasi lain. Sullivan dkk melaporkan penggunaan nasal CPAP sebagai terapi
OSA. Konsep CPAP antara lain bekerja melalui tekanan positif di jalan napas atas
pada tingkat yang konstan atau berfungsi untuk menjaga jalan napas atas tetap
paten/terbuka selama tidur dan mempertahankan volume paru sehingga membantu
faring tetap paten. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya apnea dan dapat
mengeliminasi kejadian mendengkur. Terapi menggunakan

CPAP akan

meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan tekanan darah. Terapi ini dianggap
efektif untuk pasien OSA sehingga merupakan terapi lini pertama dan pilihan
utama serta merupakan terapi seumur hidup karena jika pasien menghentikan
pemakaian CPAP maka gejala-gejala OSA akan terulang kembali. 12,15
Tanda keberhasilan terapi OSA adalah pasien OSA dapat tidur lebih baik,
merasa lebih segar pada waktu bangun tidur dan terjadi penurunan tekanan darah
serta menghilangkan gejala-gejala OSA. Pasien-pasien OSA yang mendapatkan
terapi OSA merasakan peningkatan dalam hal : vitalitas dan motivasi, kinerja
dalam bekerja, mood, kendali dan

tindakan yang berkenaan dengan seks,

kewaspadaan saat mengendarai kendaraan dan kualitas hidup. 10.15


Keberhasilan dari terapi ini sangat bergantung pada kepatuhan pasien untuk
menggunakan alat tersebut, sehingga alat ini menjadi kurang efektif jika tidak
digunakan secara teratur. Variabel-variabel seperti umur, jenis kelamin, tingkat
keadaan mengantuk pada siang hari dan tingkah laku yang berhubungan dengan
penggunaan

CPAP merupakan faktor-faktor penentu terhadap kepatuhan

menggunakan CPAP. 12,15


Sebaliknya,

jika

terjadi

kegagalan

pada

penggunaan

CPAP

akan

meningkatkan salah satu risiko yang berkaitan dengan OSAyang tidak diobati,
yaitu: hipertensi (OSA meningkatkan risiko sebanyak 5 kali untuk terjadi
hipertensi), stroke dan penyakit jantung kongestif. 15
KESIMPULAN
OSA merupakan salah satu tantangan dalam bidang anestesi dimana pasien
yang akan menjalani pembedahan berada pada peningkatan resiko komplikasi
perioperatif. OSA dapat terinduce, tak bergejala atau tereksaserbasi oleh efek

19

obat-obat sedatif, analgesik dan anestetik. Sekali OSA terjadi, pasien tersebut
berada pada resiko tinggi terjadi komplikasi yang mengancam jiwa. Peranan OSA
sebagai salah satu resiko untuk terjadinya komplikasi pascabedah memerlukan
perhatian. Persiapan prabedah, kontrol jalan napas, titrasi obat sedatif dan
analgesik dan monitoring yang ketat dapat menghindari komplikasi yang tidak
diinginkan selama setelah pembedahan. Pada pasien dengan OSA, nasal CPAP
sebaiknya digunakan selama 48-72 jam setelah pembedahan.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Antariksa B. Patogenesis, diagnostik dan skrining OSA (Obstructive Sleep
Apnea). J Respir Indones.2010;30:1-9
2. Benumof JL. Obstructive sleep apnea in the adult obese patient :
implications for airway management. Anesthesiology Clin N Am.
2002;20:789-811.
3. Gross JB, Bachenberg KL, Benumof JL et all. Practice guidelines for the
perioperative management of patients with obstructive sleep apnea : a report
by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Perioperative
Management of patients with obstructive sleep apnea. Anesthesiology.2006;
104:1081-93.
4. Chung SA, Yuan H, Chung F. A systemic review of obstructive sleep apnea
and its implications for anesthesiologists. Anesth Analg;2008;107:1543-63
5. Chung F, Elsaid H. Screening for obstructive sleep apnea before surgery:
why is it important?. Curr Opin Anaesthesiol.2009;22:405-11.
6. Siyam MA, Benhamou D. Difficult endotracheal intubation in patients with
sleep apnea syndrome. Anesth Analg.2002;95:1098-102.
7. Jain SS, Dhand R. Perioperative treatment of patients with obstructive sleep
apnea. Curr Opin Pulm Med. 2004;10:482-8.
8. Loadsman JA, Hillman DR. Anaesthesia and sleep apnoea. Br J
Anaesth.2001;86:254-66
9. Shafazand S. Perioperative management os obstructive sleep apnea : ready
for prime time. Cleveland Clin J Med.2009;76:98-103
10. Flemons WW. Obstructive sleep apnea. New Engl J Med.2002;347:498-504
11. Gupta RM, Parvizi J, Hanssen AD, Gay PC. Postoperative Complications in
Patients With Obstructive Sleep Apnea Syndrome Undergoing Hip or Knee
Replacement: A Case-Control Study. Mayo Clin Proc.2001;76:897-905
12. Isono S. Obstructive sleep of obese adult : pathophysiology and
perioperative airway management. Anesthesiology. 2009;110;908-21.
13. Young T, Skatrud J, Peppard PE. Risk factors for obstructive sleep apnea in
adults. JAMA.2004;291:2013-6
14. Gali B, Whalen FX, Schroeder DR, Gay PC, Plevak DJ. Identification of
patients at risk for postoperative respiratory complications using a

21

preoperative obstructive sleep apnea screening tool and postanesthesia care


assessment. Anesthesiology.2009;110:869-77.
15. Meoli AL, Rosen CL, Kristo D, Kohrman M, Gooneratna N, Aguilard RN et
al. Clinical practice review committee : American Academy of Sleep
Medicine : Upper airway management of the adult patient with obstructive
sleep apnea in the perioperative period : Avoiding complications.
Sleep.2003;26:1060-5.

22

Anda mungkin juga menyukai