OLEH:
dr. LA ODE ABDUL SYUKUR
KONSULEN :
dr. ABDUL WAHAB, Sp.An
populasi dewasa usia pertengahan di Amerika Serikat sangat bervariasi, yaitu 24%
pada laki laki dan 9% pada perempuan, apabila terdapat obesitas dengan Body
Mass Index (BMI) 25-28 (moderately overweight) diperkirakan 1 dari 5 laki-laki
mengalami OSA derajad berat, sedangkan OSA derajat sedang adalah 1 dari 15
laki-laki berdasarkan beberapa studi kohort.2
Berbagai penelitian epidemiologik telah dilakukan terutama di negara maju,
mendapatkan kejadian OSA yang seringkali berhubungan dengan berbagai
penyakit atau keadaan tertentu sebagai faktor predisposisinya. 2,3
2
INSIDENS
Insidensi OSA diperkirakan 14% populasi umum. Penderita OSA dengan
kebiasaan mendengkur lebih banyak terjadi apnea, hipopnea dan penurunan
saturasi oksihemoglobin sewaktu tidur dibandingkan tanpa mendengkur. Enam
puluh persen pasien OSA adalah kelebihan berat badan (berat badan lebih dari 20
persen diatas ideal). Ukuran leher, area distal faring dan indeks masa tubuh
berhubungan dengan frekuensi apnea. 1,4
OSA umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 4050
tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anakanak dan remaja. Mayoritas pasien
OSA adalah kelebihan berat badan, tidak semua obesitas meskipun demikian
peningkatan berat badan mempengaruhi peningkatan frekuensi apnea/hypopnea
dan penurunan berat badan mempengaruhi penurunan apnea/hypopnea index
(AHI).1
Evaluasi anatomi jalan nafas atas merupakan bagian dari pemeriksaan fisis
penderita OSA. Inspeksi terdapatnya abnormaliti struktur atau sempitnya saluran
napas atas sering terjadi pada pasien OSA. Obstructive sleep apnea sydrome
berhubungan dengan beberapa penyakit paru seperti PPOK, penyakit paru
restriktif, penyakit neuromuskular.1
Data epidemiologi menunjukkan prevalensi OSA kira-kira 5% pada
populasi di Negara Barat dan 1-9% pada pasien bedah. Delapan puluh sampai
90% pasien mungkin masih tak terdiagnosa. Insidens lebih tinggi pada laki-laki,
pasien obese dan pada pasien dengan keganasan jalan napas atas. Pada survey
terbaru dari ahli anestesi Kanada, 67% memberikan perawatan perioperatif pada
1-5 pasien OSA setiap bulan. 3
PATOFISIOLOGI
Pada OSA terjadi pendorongan lidah dan palatum ke belakang sehingga
aposisi dengan dinding faring posterior yang menyebabkan oklusi nasofaring dan
orofaring. Sewaktu tidur oklusi saluran napas menyebabkan berhentinya aliran
udara meskipun pernapasan masih berlangsung sehingga timbul apnea, asfiksia
sampai proses terbangun yang singkat dari tidur dan terjadi perbaikan patensi
saluran napas atas sehingga aliran udara dapat diteruskan kembali. Dengan
perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai kejadian berikutnya terulang
kembali. Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi
melebihi kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas.
Beberapa penderita dengan penyempitan saluran napas akibat mikrognatia,
retrognatia, hipertropi adenotosilar, magroglossia atau akromegali. Reduksi
ukuran orofaring menyebabkan compliance saluran napas atas meningkat
sehingga cenderung kolaps jika ada tekanan negatif . 5
Obesitas juga berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan yang
berlebihan pada dinding dada dan disfungsi diafragma mengganggu upaya
ventilasi saat tidur dan jaringan lemak pada leher dan lidah menurunkan diameter
saluran napas yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan prematur saat
jaringan otot relaksasi waktu tidur. 2,5,6
Jalan napas atas yang sempit dan kaku merupakan dasar terjadi OSA. Tidur
terutama tidur dengan pergerakan mata yang cepat membuat jalan napas lebih
kaku dan lebih sempit disebabkan relaksasi otot, mengakibatkan obstruksi parsial
atau komplit. Setiap siklus diikuti oleh bangun, dan pada kasus yang berat
berulang hingga serartus kali setiap malam. Siklus hipoksemia dan hiperkarbia
berulang ini menyebabkan beberapa gangguan seperti hipertensi pulmoner,
hipertensi sistemik, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kanan, refluks gastroesofageal, hipertensi intrakranial, polisitemia, yang kesemuanya merupakan
masalah penting bagi anestesi. 6,7
Gambaran klinis
Manifestasi klinis dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dominan
neuropsikiatri dan perilaku dan kelompok dominan kardiorespirasi. Manifestasi
klinis tersering adalah neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering rasa
mengantuk berat di siang hari. Gejala malam yang tersering adalah suara
dengkuran keras yang disebabkan jalan napas yang sempit. Akhir tiap episode
apnea biasanya ditandai dengan hembusan napas dengkuran keras yang diikuti
gerakan tubuh, penderita tidak menyadari tetapi dikeluhkan oleh teman tidurnya.
Kadang penderita terbangun dan tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak
nyenyak, disorientasi dan sakit kepala di pagi hari. Gejala klinis yang umum
terjadi pada OSA tampak pada tabel 1. 1,5,8
Tabel 1. Gejala klinis pada OSA
Gejala klinis
Suara dengkur
Mengantuk
Restless Sleep
Mental Abnormal
Perubahan Kepribadian
Impotensi
Sakit Kepala Siang Hari
Nokturia
Enuresis
Nocturnal Choking
Insidensi (%)
95
75
99
58
48
40
35
30
tidak diketahui
tidak diketahui
DIAGNOSIS
Ciri khas penderita OSA adalah usia pertengahan, lakilaki atau perempuan
dengan kelebihan berat badan ringan sampai berat dan hipertensi dengan riwayat
mendengkur. Tidur tidak nyenyak, tersedak di malam hari atau sesak napas dan
mengantuk berat di siang hari. Keadaan ini kurang terjadi pada wanita
premenstruasi, anak-anak, lakilaki muda dan tidak obesitas. 4,8
Standar baku untuk diagnosis
pada
polysomnogram
adalah
electroencephalography
(EEG),
electrocardiography (EKG),
bagi pasien yang akan melakukan pemeriksaan polisomnografi, akan tetapi alat ini
mempunyai keterbatasan.
Penelitian menunjukan bahwa perempuan pasca menopause mempunyai
kecenderungan 2,6 kali mempunyai 5 atau lebih apnea atau hipopnea perjam dan
3,5 kali mempunyai 15 atau lebih apnea atau hipopnea perjam dibandingkan
perempuan premenopause dan tidak meningkat pada perempuan perimenopause.
Sedangkan pemberian hormon pengganti pada perempuan pasca menopause dapat
mencegah atau mengurangi gangguan napas saat tidur.5,7,10
Banyak penderita OSA dengan obesitas, ukuran leher lebih dari 17 inchi
merupakan faktor risiko, pengukuran body mass index (BMI) dan pengukuran
tekanan darah karena prevalensi hipertensi tinggi pada populasi ini. Pemeriksaan
fisis pada lokasi obstruksi di kepala dan leher, pemeriksaan tonsil dan posisi
rahang dan hyoid. 8
Diagnosis
pasti
penderita
OSA
dan
CSA
dengan
pemeriksaan
polisomnografi. Pada OSA untuk melihat episode berhentinya aliran udara yang
berulang diikuti dengan upaya respirasi kontinue sedangkan pada CSA untuk
melihat episode apnea berulang diikuti dengan hilangnya upaya ventilasi, gerakan
napas terhenti karena hilangnya pergerakan iga dan abdomen juga aktivitas
elektromiografi diafragma. 8,10
MANAJEMEN PERIOPERATIF
Evaluasi Prabedah
Evaluasi prabedah pasien untuk identifikasi OSA meliputi :
1.
2.
3.
4.
tersebut meliputi gambaran seperti body mass index (BMI) yang tinggi, hipertensi
dan pengukuran cephalometrik yang abnormal. Meskipun tidak cukup kuat
menurut analisis statistik, literatur menunjukkan bahwa hubungan yang ada antara
OSA dan lingkar leher yang besar, riwayat mendengkur, saturasi oksigen yang
rendah selama tidur, gambaran klinik manajemen airway yang sulit dan kondisi
kongenital tertentu (misalnya Down syndrome, abnormalitas kraniofasial, distrofi
otot) atau penyakit tertentu (misalnya DM, cerebral palsy). 3
Sejumlah pasien akan menjalani pembedahan memerlukan diagnosis OSA.
Oleh karena itu, seorang ahli anestesi harus mengidentifikasi pasien dengan OSA
pada keadaan perioperatif. Ini dapat diperoleh dengan melakukan penilaian
skrining, seperti kuesioner Berlin, kuesioner Flemons, checklist ASA, kuesioner
STOP dan modifikasi STOP-BANG. Sebagian besar penilaian tersebut meliputi
snoring, episode tersedak, episode apnea, terbangun dari tidur, somnolen
sepanjang hari dan adanya hipertensi. Terdapat juga variasi berdasarkan
karateristik fisik seperti jenis kelamin, BMI, lingkar leher, anomali airway dan
umur. 7,9
10
11
pascabedah
pada
pasien
dengan
OSA dan
sebaiknyasangat
12
sadar.
8,13
Jika intubasi trakea dilakukan pada saat pasien sadar dengan menggunakan
fiberskop fleksibel, penting bahwa pasien dipersiapkan dengan benar dengan
anestesi topikal dan blok saraf pada jalan napas atas.10,11
Jika intubasi dilakukan pada saat pasien tidur, pasien sebaiknya
dipreoksigenasi penuh karena pasien obese dengan functional residual capacity
(FRC) yang relatif kecil dan konsumsi oksigen yang tinggi desaturasi sangat cepat
selama apnea obstruktif dibanding pasien normal. Preoksigenasi efektif dicapai
dengan memberikan FiO2 100% selama lebih dari 3 menit dengan face mask
ukuran yang sesuai. Insuflasi oksigen ke dalam faring melalui kateter nasofaring
13
14
15
16
17
pada
pasien
OSA.
Berdasarkan
penelitian
tersebut,
direkomendasikan pada pasien OSA yang berada pada resiko rendah dapat
dipindahkan ke perawatan tanpa masuk ke ICU. Beberapa penelitian
menganjurkan bahwa pembedahan jalan napas atas aman dilakukan pada pasien
ambulatory dan dapat pulang ke rumah pada hari yang sama. Keterbatasan
penelitian ini adalah tidak adanya follow up pascabedah, apakah komplikasi
respirasi terjadi selama berada di rumah. Penting diingat bahwa pasien OSA yang
diskrining dengan hati-hati sebelum pembedahan meningkatkan kesuksesan
perawatan pascabedah. 8,12
Positive airway pressure (PAP) diketahui merupakan terapi standar untuk
OSA. Bentuk umum dari
(CPAP). Alat ini dapat digunakan melalui masker nasal, masker oral atau variasi-
18
variasi lain. Sullivan dkk melaporkan penggunaan nasal CPAP sebagai terapi
OSA. Konsep CPAP antara lain bekerja melalui tekanan positif di jalan napas atas
pada tingkat yang konstan atau berfungsi untuk menjaga jalan napas atas tetap
paten/terbuka selama tidur dan mempertahankan volume paru sehingga membantu
faring tetap paten. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya apnea dan dapat
mengeliminasi kejadian mendengkur. Terapi menggunakan
CPAP akan
meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan tekanan darah. Terapi ini dianggap
efektif untuk pasien OSA sehingga merupakan terapi lini pertama dan pilihan
utama serta merupakan terapi seumur hidup karena jika pasien menghentikan
pemakaian CPAP maka gejala-gejala OSA akan terulang kembali. 12,15
Tanda keberhasilan terapi OSA adalah pasien OSA dapat tidur lebih baik,
merasa lebih segar pada waktu bangun tidur dan terjadi penurunan tekanan darah
serta menghilangkan gejala-gejala OSA. Pasien-pasien OSA yang mendapatkan
terapi OSA merasakan peningkatan dalam hal : vitalitas dan motivasi, kinerja
dalam bekerja, mood, kendali dan
jika
terjadi
kegagalan
pada
penggunaan
CPAP
akan
meningkatkan salah satu risiko yang berkaitan dengan OSAyang tidak diobati,
yaitu: hipertensi (OSA meningkatkan risiko sebanyak 5 kali untuk terjadi
hipertensi), stroke dan penyakit jantung kongestif. 15
KESIMPULAN
OSA merupakan salah satu tantangan dalam bidang anestesi dimana pasien
yang akan menjalani pembedahan berada pada peningkatan resiko komplikasi
perioperatif. OSA dapat terinduce, tak bergejala atau tereksaserbasi oleh efek
19
obat-obat sedatif, analgesik dan anestetik. Sekali OSA terjadi, pasien tersebut
berada pada resiko tinggi terjadi komplikasi yang mengancam jiwa. Peranan OSA
sebagai salah satu resiko untuk terjadinya komplikasi pascabedah memerlukan
perhatian. Persiapan prabedah, kontrol jalan napas, titrasi obat sedatif dan
analgesik dan monitoring yang ketat dapat menghindari komplikasi yang tidak
diinginkan selama setelah pembedahan. Pada pasien dengan OSA, nasal CPAP
sebaiknya digunakan selama 48-72 jam setelah pembedahan.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Antariksa B. Patogenesis, diagnostik dan skrining OSA (Obstructive Sleep
Apnea). J Respir Indones.2010;30:1-9
2. Benumof JL. Obstructive sleep apnea in the adult obese patient :
implications for airway management. Anesthesiology Clin N Am.
2002;20:789-811.
3. Gross JB, Bachenberg KL, Benumof JL et all. Practice guidelines for the
perioperative management of patients with obstructive sleep apnea : a report
by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Perioperative
Management of patients with obstructive sleep apnea. Anesthesiology.2006;
104:1081-93.
4. Chung SA, Yuan H, Chung F. A systemic review of obstructive sleep apnea
and its implications for anesthesiologists. Anesth Analg;2008;107:1543-63
5. Chung F, Elsaid H. Screening for obstructive sleep apnea before surgery:
why is it important?. Curr Opin Anaesthesiol.2009;22:405-11.
6. Siyam MA, Benhamou D. Difficult endotracheal intubation in patients with
sleep apnea syndrome. Anesth Analg.2002;95:1098-102.
7. Jain SS, Dhand R. Perioperative treatment of patients with obstructive sleep
apnea. Curr Opin Pulm Med. 2004;10:482-8.
8. Loadsman JA, Hillman DR. Anaesthesia and sleep apnoea. Br J
Anaesth.2001;86:254-66
9. Shafazand S. Perioperative management os obstructive sleep apnea : ready
for prime time. Cleveland Clin J Med.2009;76:98-103
10. Flemons WW. Obstructive sleep apnea. New Engl J Med.2002;347:498-504
11. Gupta RM, Parvizi J, Hanssen AD, Gay PC. Postoperative Complications in
Patients With Obstructive Sleep Apnea Syndrome Undergoing Hip or Knee
Replacement: A Case-Control Study. Mayo Clin Proc.2001;76:897-905
12. Isono S. Obstructive sleep of obese adult : pathophysiology and
perioperative airway management. Anesthesiology. 2009;110;908-21.
13. Young T, Skatrud J, Peppard PE. Risk factors for obstructive sleep apnea in
adults. JAMA.2004;291:2013-6
14. Gali B, Whalen FX, Schroeder DR, Gay PC, Plevak DJ. Identification of
patients at risk for postoperative respiratory complications using a
21
22