Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
+
Bila diternukan 1 atau lebih dari :
(-1
1
Gambar 1. Evaluasi pemeriksaan hematuria mikroskopik
Vaskular
Gangguan koagulasi
Kelebihan obat anti koagulan
Trombosis atau emboli arterial
Malforrnasi arteri-vena
Fistula arteri-vena
Nutcracker syndrome
Trombosis vena renalis
Glomerular
Nefropati IgA
Alport sindrom
Glomerulonefritisprimer dan sekunder
lnterstisial
lnterstisial nefritis alergi
Nefropati analgesik
Penyakit ginjal polikistik
Pielonefritis akut
Tuberkulosis
Rejeksi ginjal alograf
Uroepltellum
Keganasan ginjal dan saluran kemih
Latihan yang berlebihan
Trauma
Nekrosis papillaris
Sistitisluretritislprostatitis(biasanya disebabkan infeksi)
Penyakit parasit (misalnya skistosomiasis)
Nefrolitiasisatau batu vesika urinaria
Penyebab Lalnnya
Hiperkalsiuria
Hiperurikosuria
Sickle cell diseaselpenyakit sel sabit
200-1.000
-< 200 mglg
hereditary nepk
Hereditary nept
small vessels (r
Cystic kidney d
neoplasms or u
other than kidn~
Tubulointerstiti~
Urinary tract les
disease
May be present
disease, but mc
tubular necrosi:
kidney disease
failure)
200-1.000
mglg
Non-inflammatc
disease, non-in
tubulonterstitial
affecting mediu
+ risiko linggi I
I Pasien dengan
I fi
AA
Sitologi
Posilif
Ne atif
Evaluasi urologl
L
Gambar 2. Evaluasi urologi pada hematuria asimtomatik mikroskopik
evaluasi
PROTEINURIA
Lucky Aziza Bawazier
PENDAHULUAN
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia
yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24
jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam
keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah
tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan
yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap
fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mglhari pada
dewasa (pada anak-anak 140 mg/m2),tetapi ada juga yang
menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mghari.
Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin
rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal
dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius.
Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya
proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat
sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang
tidak progresif. Lagipula protein dikeluarkan urin dalamjumlah
yang bemariasi sedikit dan secara langsung bertanggung
jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di
dalarn urin sangadah penting, dan memerlukan penelitian lebih
lanjut untuk menentukan penyebablpenyakit dasarnya.
Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat
pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 33%.
Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan
ginjal.
Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila
kadarnya d i atas 200 mglhari pada beberapa kali
pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang
mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah
menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya
hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria
masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mghari
dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin.
Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah
protein yang cukup besar atau beberapa gram protein
PATOFISIOLOGI PROTEINURIA
Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari
ke-4 jalan di bawah ini:
1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti
peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama
albumin.
2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil
protein yang normal difiltrasi.
3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low
Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah
melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.
4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel
clan sekresi IgA (Irnunoglobulin A) dalam respons untuk
inflamasi.
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin
tergantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat
hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal
melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin.
Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah
transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat
molekul besar lainnya untuk menembus dinding
glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalarn urin (proteinuria glomerulus). Protein
yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi
diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu
normal ekskresi kurang dari 150 mghari dari protein total
dan albumin hanya sekitar 30 mghari; sisa protein pada
urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall,
'
'
PROTElNURlA FlSlOLOGlS
Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan
kelainanlpenyakitginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada
individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada
keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan
yang jumlahnya kurang dari 200 mglhari dan bersifat
sementara. Misalnya: pada keadaan demam tinggi, gagal
jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat
mencapai lebih dari 1 gramlhari), pasien dalam keadaan
transfusi darahlplasma atau pasien yang kedinginan,
pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang
sebabnya bukan karena kebocoran protein dari
glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit
yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif
palsu proteinuria masif). Proteinuria fisiologis dapat pula
terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien yang lordotik
(ortostatik proteinuria).
PROTEINURIA PATOLOGIS
Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan
proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik,
penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat
analgesik dan kelainan kongenital kista dan sebagainya,
sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian,
proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan
merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada
penyakit ginjal diabetes maupun penyakit ginjal non
diabetes, sejak dahulu protenuria dianggap sebagai faktor
prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat
secara bermakna dengan adanya proteinuria. Di dalam
kepustakaan, banyak definisi diberikan untuk menyatakan
berapa jumlah protein sebenarnya dalam urin yang
dianggap patologis. Ada kepustakaan yang menyatakan,
protein di dalam urin tidak boleh melebihi 150 mgl24jam,
tetapi ada pula yang menyebutkan protein urin di bawah
200 mglhari.
Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif,
terutama pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalarn urin
yang mengandung lebih dari 3 gram124 jam pada dewasa
atau 40 mglm2/jampada anak-anak, biasanya berhubungan
secara bermakna dengan lesilkebocoran glomerulus.
Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi
3,5 gram124jam.
Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti
keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan
retinopati, dan penyakit-glomerulus. Terdapat 3 jenis
proteinuria patologis: 1). Proteinuria glomerulus, misalnya:
mikroalbuminuria, proteinuria klinis; 2). Proteinuria
tubular; 3). Overj-low proteinuria.
PROTElNURlA GLOMERULUS
Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit
ginjal di mana albumin adalah jenis protein yang paling
dominan (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein
dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah
kecil saja.
Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi
glomerulus protein plasma meningkat: 1). Ketika barier
filtrasi diubah oleh penyakit yang mempengaruhi
glomerulus. Protein plasma, terutama albumin, dapat
melalui glomerulus. Pada penyakit glomerulus dikenal
penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan
kegagalan selularitas yang berubah. Pada penyakit ginjal
yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati
membranosa, terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor
hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler
glomeruluslfraksi filtrasi mungkin juga menyebabkan
proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang meningkat
tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik
PROTEINURIA TUBULAR
Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah
antara 100-150 mg perhari, terdiri atas P-2 mikroglobulin
dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang
biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal
tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni,
pielonefritis kronis, dan akibat cangkok ginjal.
OVERFLOW PROTEINURIA
Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel )
berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai
pendeklprotein berat molekul rendah (kurang dari 40000
dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yang tidak
dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstiklyang
umumnya mendeteksi albuminlpemeriksaan rutin biasa,
tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut
protein Bence Jones. Penyakit lain yang sering
menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan
makroglobulinemia. Protein berat molekul rendahlrantai
ringan ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh
glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal.
Presipitat asam sulfosalisilat tidaklah terdeteksi dengan
dipstik, hanya memperkirakan rantai terang (protein Bence
Jones) dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk
presipitat, karena protein Bence Jones mengendap pada
suhu 45" dan larut kembali pada suhu 95- 100". Gagal ginjal
dari kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme
obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan deposit rantai
pendek.
PROTEINURIA TERlSOLASl
Proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang
ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang
tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit
sistemik. Proteinuria ini hampir selalu ditemukan secara
kebetulan dapat menetaplpersisten, dapat pula hanya
sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik
tubuh pasien. Biasanya sedimen urin normal. Dengan
pemeriksaan pencitraan ginjal tidak ditemukan gangguan
abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat
gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi
protein urin kurang dari 2 glhari. Data insidens dan
prevalensi terisolasi isolated proteinuria ini pada grup usia
berapa dan populasi yang mana, belum ada.Yang jelas pada
berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,610,7%.
Proteinul-ia terisolasi dibagi dalam 2 kategori: 1). Jinak,
termasuk yang fungsional, idiopatik, transienltidak
menetap, ortostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius
lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara
persisten.
Proteinuria Fungsional
Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering
terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena
berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan
demam tinggi, latihan sternosus, terpapar dengan
dinginlkedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif,
sindrom obstruksi sleep apnea, dan penyakit akut
lainnya. Sebagai contoh: ekskresi protein meningkat 23 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali
setelah istirahat. Sebenarnya, kunci keadaan ini
proteinuria tidak tampak dengan segera. Proteinuria
tersebut adalah jenisltipe glomerulus yang diyakini
disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang
meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma.
Penyakit ginjal yang progresif tidak timbul pada pasien
ini.
Proteinuria Transien ldiopatik
Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anakanak dan dewasa muda, yang ditandai oleh proteinuria
yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat
tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan
kembali. Pasien tidak mempunyai gejala, proteinuria selalu
ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau
selama pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan
pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya merupakan
fenomena fisiologis pada orang muda. Sebenamya, jika
contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat
muda kadang-kadang akan menimbulkan hasil proteinuria
kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan
keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi
lebih lanjut.
Proteinuria Intermiten
Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien
yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria.
Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk
abnormalitas ginjal yang berhubungan dengan keadaan
ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi minor
pada glomeruluslinterstitium, tidak ditemukan kelainan
pada biopsi ginjal. Prognosis pada kebanyakan pasien
adaiah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang
setelah beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun
jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan risiko
untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada
populasi umum. Keadaan ini biasany a tidak berbahay a
pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada
pasien yang lebih tua, lebih jarang, biasanya harus
dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan
fungsi ginjalnya.
Proteinuria
(Deteksl dengan dipstick)
TlDAK ADA
Prote~nuna
ortostatiklpostural
Protelnuna
U l a n g urin
kwantitatif2-3x
30-300 mghari
atau
30-350 mglg
>3500 mglhari
atau
> 3500 mglg
300-3500 mglg
Keteranaan aambar:
Mikroalbuminuria
Silinder eritrosit I
sel-sel darah merah
oada urinalisis
hematuria
-Amiloidosis
m:
Glomerulonefritis)
/\
Horsfall I
1 - p mikrobulin
1
~ , 7 A q * l
(temtamaalbumin)
lrnenaaambarkan berberbaaa~sebab
- Penyaki lesi
kmtk-protein
~i~erte&i
'minimal
plasma)
- Gagal ginjal kronik
- FSGS
I- Diabetes
I
I
1I
I1-
rantai pendek
(Ka t y A )
'
MPGN
2004:66:(suppl.92):S67-S78.
Sukandar E. Nefrologi klinik. 2nd ed. Bandung: Penerbit ITB; 1997.
Verhave JC, Gansevoort RT. An elevated urinary albumin excretion
predicts de ilovo development of renal function impairment in
the general population. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S18S21.
Warnock DG. Inclusion of albumin as a target in therapy guidelines:
guidelines for chronic kidney disease. Kidney Int.
2004:66:(supp1.92): S 12143.
SINDROM POLIURIA
Shofa Chasani
Tujuan
1. Mampu menerangkan definisi poliuria
2. Mampu menerangkan tentang regulasi cairan tubuh oleh
ginjal dan pengaruh hormon ADH terhadap tubulus
ginjal.
3. Mampu menerangkan mekanisme terjadinya poliuri baik
karena faktor osmotik rnaupun faktor hormonal.
4. Mampu menerangkan penyebab poliuria, gambaran
klinik serta diagnosis banding dan gejala ikutannya.
5. Mampu menerangkan mekanisme penanganan
poliuria.
SINDROM POLIURIA
DIABETES INSIPIDUS
eDefisit air
f Perrneabilitas H20
Tubulus distal dan
tubulus koligenitas
f Reabsorbsi H20
Cortex
ETlOLOGl CDI
PREGNANCY
PATOFlSlOLOGlOSMORECEPTORDYSFUNCTION
E'I'IOLOGI NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS
Congenital (X-linked recessive, AVP V2Receptor gene
mutations, autosomal recessive or dominant, aquaporin2 water channel gene mutations).
Drugs induced (demeclocycline, lithium, cisplatin,
mrthoxyflurane)
Hypercalcemia.
Hypokalemia.
Infiltrating lesions (sarcoidosis, amyloidosis).
Vascular (sickle cell anemia).
Mechanical (polycystic kidney disease, bilateral
ureteral obstruction)
Solute dieresis (glucose, mannitol, sodium,
radiocontrast dyes)
Idiophatic.
PATOFlSlOLOGl CDI
Pada umumnya basal AVP hams turun kurang dari 10 -20%
dari normal sebelum oamolality urine basal turun kurang
dari 300mOsm/kg H 2 0 dan aliran urin naik ke level
sirnptomatik (>50 mllKgBW1day). Hasil dari hilangnya air
akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang
rasa haus, sehingga tejadi polidipsi.
Kemampuan kompensasi dari polidipsi terbatas, pada
keadaan mencapai ambang batas maka perlu bantuan
suplementasi AVP.
Karena konservasi ginjal terhadap natrium tidak terganggu
maka adanya kekurangan AVP ini tidak disertai kekurangan
natrium. Pada kasus dimana AVP sama sekali tidak
disekresi (complete DI) pasien akan tergantung seluruhnya
pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh.
Diabetes Insipidus Sentral ada 2 macam yaitu:
1. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan
familial) diduga karena autoimun.
DIAGNOSIS KLlNlK
POLlDlPSl PRIMER
Tes Genetik
Gen-gen yang ditemukan sarnpai sekarang adalah AVPV2
dan AQP2. AVPV2 merupakan satu-satunya gen yang
berhubungan dengan x linked NDI. AQP2 merupakan satusatunya gen yang berhubungan dengan NDI autosomal
resesif dan autosomal dominan.
Tes Penunjang
Tes ini berguna untuk menentukan penyebab DI antara
lain laboratorium klinik dan pemeriksaan radiologi.
TERAPI
Untuk . :semua jenis diabetes insipidus secara umum
adalah:
1. Koreksi setiap defisit air.
2 Mengurangi kehilangan air yang berlebihan lewat urin.
Terapi spesifik tergantung jenis poliurinya dan
tergantung keadaan klinik dari masing-masing diabetes
insipidus.
Koreksi Air
Untuk mengurangi kerusakan susunan syaraf pusat dari
pemaparan hiperosmolality pada kebanyakan kasus DI
maka secepatnya osmolality plasma hams diturunkan
dalam 24 jam pertarna ,hingga 320-330 mOsm/Kg H20 atau
mendekati 50%.
Arginin Vasopressin (Pitressin)
Merupakan sintetis dari AVP manusia, kemasan 20 Unitlrnl
aqua.
Mempunyai short-half life relative (2-4 jam lamanya
efek antidiuretik) dianjurkan tidak diberikan bolus intra
vena kecuali dalam keadan akut mis: postoperative DI,
dilakukan titrasi dosis sampai efek diuresisnya terkontrol.
Efek samping: meningkatkan tekanan darah.
Desmopressin
DDAVP adalah agonist reptor AVPV2, banyak
dikembangkan untuk terapi DI karena mempunyai halflife yang panjang (8-20 jam efek lamanya antidiuretik)dqn
tanpa adanya aktivasi AVP V 1.
Merupakan obat pilihan baik untuk akut maupun
kronis CDI.
Kemasan dalam bentuk intranasal 100 mglml aqua,
nasal spray 10 mg dalam 0,1 ml. atau dosis oral 0,1 atau 0,2
mg.
Dalam keadaan emergensi bisa diberikan intavena atau
Chlorpropamid (Diabenese)
Merupakan obat anti oral diabetes dari golongan
sulfoniurea yang memiliki efek osmotic dari AVP di ginjal.
Dikatakan bahwa chlorpropamid mengurangi polyuria
hingga 25-75% pada pasien dengan CDI.
Titik kerjanya sebagian besar di tubulus ginjal yang
berpotensiasi dengan hidroosmotik dari AVP dalam
sirkulasi, disamping terbukti meningkatkan sekresiAVP di
pitutari.
Dosisnya antara 250-500 mglhari dengan efek
antidiuretika 1-2hari dan maksimum 4 hari.
Sebaiknya tidak diberikan pada penderita hamil dan
anak-anak, serta bukan untuk kasus akut.
Prostaglandin Synthese Inhibitors
Mempunyai efek baik pada otak maupun ginjal, efeknya
masih kurang diketahui. Di otak mempunyai efek
merangsang sekresi AVP sedangkan di ginjal merangsang
efekAVP, dengan demikian bisa digunakan untuk CDI dan
NDI.
Natriuretic Agents
Tiazid merupakan diuretik yang mempunyai efek
paradox antidiuretik pada pasien dengan CDI walaupun
terapi utamanya untuk NDI.
Dosis 50-lOOmgIhari, biasanya dapat mengurangi
diuresis hingga 50% kombinasi dengan DDAVP sering
digunakan pada penderita NDI.
OAINS
Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti
endometasin dapat memacu pemekatan air kemih dan
mengurangi pengeluaran air kemih. Obat ini dapat dipakai
sendiri ataupun kombinasi dengan diuretik tiazid.
Penggunaan OAINS perlu perhatian karena nefrotoksik
maupun kelainan sekresi asam lambung.
Mengingat efek samping indometasin (penghambat
siklooksigenase-l1Cox- 1), maka penggunaan penghambat
Cox-2 diharapkan bisa sebagai penggantinya walaupun
belum ada penelitiannya.
PENGOBATAN PADA KEADAAN TER'TENTU
1. Pengobatan darurat pada dehidrasi.
2 Pengobatan pada keadaan khusus sewaktu tindakan
bedah.
3. Penanganan kelainan ginjal misal hidronefrosis,
hidroureter dan megakistik.
I
Langkah 1:
bagalmena osomolaliis urin?
DIABETES INSIPIDUS
-1 POLIDIPSI
Langkah 3a:
Respon terhedap Vasapresin?
, 1
DIABE;E;ZPIDUS~
TlDAK
1 ,
Lengkah 3b:
Pen'ksaosmoles
di urin dan
tentukan sumbemya
Lnngkah4:
Respon temadap DDAVP
VASOPRESIN
DIABETES INSIPIDUS
NEFROGENIK
Glukosa
Urea
Moniiol
-
REFERENSI
Edoute,Y, Davids,M.R, J0hnston.C. Halperin,M.L. An integrative
physiological approach to polyuria and hypematremia: a dobletake' on diagnosis and therapy in a .patient with schizophrenia.
Q J 'Med.2003. 96: 53 1-40.
Guyton A.C and Hall J,E, Textbook of Medical Physiology, Ninth
Ed, WB Saunders Company, 1996, 349 - 65.
Halperin,M,L. Davids M,R, and Kame1,K.S. Interpretation of urin
electrolyte and Acid-Base Parameter io Branner,B,M & Rector's,
The Kidney, Seventt Edit, Vol2. Chapter 25. WB Saundm.UX)4:
1151- 81.
Johnson ,T,M, Miller,M, Pillon D,J, and Ouslander,J,G, Arginine
vasopressin ang nocturnal polyuria in older adults with frequent
night-time voiding. The Joumal of
Urology, copyright 2003: vol. 170: 480 4.
Knoers, N. Nephrogenic Diabetes Insipidus, Gene Reviews,
www.genetes.org. January. 2005 . 1-19.
GLOMERULONEFRITIS
Wiguno Prodjosudjadi
PENDAHULUAN
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit yang sering
dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari dan merupakan
penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, GN dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila
penyakit dasamya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit
sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES),mieloma multipel, atau arniloidosis.
Di Indonesia GN masih mempakan penyebab utama
PGTA yang menjalani terapi pengganti dialisis walaupun
data US Renal Data System menunjukkan bahwa diabetes
merupakan penyebab PGTA yang tersering. Manifestasi
klinik GN sangat bemariasi mulai dari kelainan urin seperti
proteinuria atau hematuri saja sampai dengan GN progresif
cepat.
Selectins
E-selectin
1-selectin
P- selectin
19-like family
ICAM-1
ICAM-2
VCAM-1
lntegrins
p1 -integrins
VLA-4
fl-integrins
LFA-I
Mac-I
~150.95
VLA-4: very late antigen-4; LFA-1: lymphocyte-function
associated antigen-1
ICAM-1: intercellular adhesion molecule-I ; ICAM-2; VCAM1:vascular cell adhesion molecule-1
a subfamily
ENA-78
GCP-2
IL-8 (NAP-1)
YIP-10
NAP-2, NAP-4
PF-4
SDF-la, SDF-1P
flsubfamily
MCP-1 (MCAF)
MCP-2, MCP-3
MIP-la, MIP-1P
RANTES
KOMPLEMENPADA KERUSAKANGLOMERULUS
Keterlibatan komplemen terbukti dengan ditemukannya
endapan pada pemeriksaan rnikroskop imunofluoresen (IF)
biopsi ginjal pasien GN. Kadar serum komplemen yang
rendah pada nefritis lupus dan GN pasca infeksi streptococcus akut memperkuat kaitan antara komplemen dan GN.
Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai
mekanisme pertahanan humoral. Pada GN komplemen
berfungsi mencegah masuknya Ag, tetapi dapat pula
menginduksi reaksi inflamasi. Dua jalur aktivasi sistem
komplemen yaitu klasik dan altematif. Kompleks imun yang
Jalur
Klasik
Properdin
Jalur
AlternaUl
GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Klasifikasi GN primer secara histopatologik sangat
bewariasi tetapi secara umum dapat dibagi menjadi GN
proliferatif dan non-proliferatif. Termasuk GN nonproliferatif adalah GN lesi minimal, glomerulosklerosisfokal
dan segmental, serta GN membranosa.
GLOMERULOSKLEROSISFOKAL DANSEGMENTAL
(GSFS)
Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik
dengan gejala proteinuria masif, hipertensi, hematuri, dan
sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan
mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis glomerulus
yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi
GLOMERULONEFRITISMEMBRANOSA (GNMN)
Glomerulonefritismembranosa atau nefropati membranosa
sering merupakan penyebab sindrom nefrotik. Pada
sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui
sedangkan yang lain dikaitkan dengan LES, infeksi
hepatitis virus B atau C, tumor ganas, atau akibat obat
misalnya preparat emas, penisilinamin, obat anti inflamasi
non-steroid. Pemeriksaan mikroskop cahaya tidak
menunjukkan kelainan berarti sedangkan pada
pemeriksaan mikroskop IF ditemukan deposit IgG dan
komplemen C3 berbentuk granular pada dinding kapiler
glomerulus.Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi
spike-like pada MBG. Gambaran histopatologi pada
mikroskop cahaya, IF dan mikroskop elektron sangat
tergantung pada stadium penyakitnya.
GLOMERULONEFRI'I'IS PROLIFERATIF
Tergantung lokasi keterlibatan dan gambaran histopatologi
dapat dibedakan menjadi GN membranoproliferatif
(GNMP), GN mesangioproliferatif (GNMsP), dan GN
kresentik. Nefropati IgA dan nefropati IgM juga
dikelompokkan dalam GN proliferatif. Pemeriksaan
mikroskop cahaya GNMP memperlihatkan proliferasi sel
mesangial dan infiltrasi leukosit serta akumulasi matrik
ekstraselular.Infiltrasi makrofag ditemukan pada glomerulus dan terjadi penebalan MBG serta double contour. Pada
mikroskop IF ditemukan endapan IgG, IgM, dan C3 pada
dinding kapiler yang berbentuk granular.
PENGOBATAN
Pengobatan spesifik pada GN ditujukan terhadap penyebab
sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas
penyakit. Pemantauan klinik yang reguler, kontrol tekanan
darah dan proteinuria dengan penghambat enzim konversi
angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors,
ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin I1 (angiotensin
I1 receptor antagonists, AIIRA) terbukti bermanfaat.
Pengaturan asupan protein dan kontrol kadar lemak darah
dapat membantu menghambat progresivitas GN.
Efektivitas penggunaan obat imunosupresif GN masih
belum seragam. Diagnosis GN, faktor pasien, efek samping
dan faktor prognostik merupakan pertimbangan terapi
imunosupresif. Kortikosteroid efektif pada beberapa tipe
Ira dan sTNF-a. Produksi oksigen radikal, IL- l a dan ILI p, IL-8, TNF-a oleh makrofag dapat pula diharnbat dengan
pemberian IL- 13.
Terapi genetik merupakan salah satu upaya pengobatan
GN dan penyakit ginjal lain masa &pan. Dengan melakukan
transfer genetik ke dalam sel somatik diharapkan dapat
memperbaiki kelainan genetik. Sel glomerulus merupakan
target utama transfer gen untuk memodifikasi proses
inflamasi. Transfer gen in vivo ke &lam glomerulus dapat
dilakukan dengan perantaraan virus atau liposom. Pada
model GN anti-Thy. 1, transfer ODN antisens dapat
mencegah efek prosklerotik TGF-P dan terjadinya
glomerulosklerosis. Transfer gen pada tubulus lebih sulit
karena setiap segmen tubulus mempunyai fungsi dan jenis
sel yang berbeda.
Med. 19b,8;339:888-99.
Imai E. Isaka Y. Strategies of gene transfer to the kidney. Perspective in basic science. Kidney Int. 1998;53:264-72.
Johnson RJ, Lovett D, Lehrer RI, Couser WG, Klebanoff SJ. Role of
oxidants and proteases in glomerulus injury. Kidney Int.
1994;45:352-9.
Johnson RJ, Rennke H, Feehally J. Introduction to glomerulus disease. Pathogenesis and classifications. In: Johnson RJ, Feehally
J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition.
Edinburgh: Mosby; 2003. p. 243.
Khlar S, Levey AS, Beck GJ, et al. The efffects of dietary protein
restriction and blood pressure control on the progression of
chronic renal disease: Modification of diet in renal disease study
group. N Engl J Med. 1994;330:877-84.
Kluth DC, Rees A. New approaches to modify glomerulus inflammation. J Nephrol. 1999;12:66-75.
Muirhead N. Management of idiopathic membranous nephropathy:
evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl
7O):S47-S55.
Nakao N, Yoshimura A. Morita H, et al. Combination treatment of
angiotensin-I1 receptor blocker and angiotensin converting
enzyme inhibitor in non-diabetic renal (COORPORATE): a
randomized controlled trial. Lancet. 2003;361:117-24.
Phil Mason. Minimal change disease and primary focal segemental
glomerulosclerosis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition. Edinburg: Mosby;
2003. p. 271.
AMILOIDOSIS GINJAL
M. Rachmat Soelaeman
PENDAHULUAN
SEJARAH
Klasifikasi
r::p:F:
Distribusi:
sistemik (S),
lokal (L)
. .
Penyakit dasar
AL
lmunoglobulin
rantai ringan
S,L
Mielorna rnultipel,
diskrasia plasma
sel plasma,
arniloidosis, AL
primer.
AA
Arniloid serum
A
AP2M
MikroglobulinP2.
S, L
AP
PP AP
AlTR
Transtiretin
Apr P
Protein Prion
L
L
Penyakit Alzheirner
sporadis, penuaan,
sindrom
Down
FAP (tipe Portugis)
Amiloidosis
kardiovaskular senil
CJD sporadis
(iatrogenik)
CJD familial, FFI
AApoAl
Apolipoprotein
Al
S
L
Amiloidosis sisternik
Arteriosklerosis
AApo All
Apolipoprotein
All
Arniloidosis ginjal
herediter
Agel
Gelsolin
Alys
Lisozim
Acys
Sistatin C
Amiloidosis AA
sekunder; infeksi
kronik (malaria, TB)
atau inflamasi (AR,
spondilitis
ankilosing);
keganasan
(limfoma Hodgkin
dan
gastrointestinal,
karsinoma, GU)
Hemodialisis; deposit
primer di sendi.
Afib, or Aa Fibrinogen
rantai a
Al APP
Polipeptida
amil&d
pankreas
Peptida
natriuretik
atrial
Prolaktin
L
L
lnsulinoma
langerhans pankreas
Fibrilasi atrial
Pituitari
L
L
latrogenik
Kornea
A (tbn)
Insulin
Keratoepitelin
tbn
Atau
Protein Tau
Tumor-tumor
Pindborg
Otak
AANF
Apro
Ains
Aker
DIAGNOSIS
PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) telah mengumurnkan
bahwa prevalensi'diabetes melitus (DM) akan meningkat
di seluruh dunia pada milenium ketiga ini, termasuk negara
di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagianbesar
dari penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40% dari pasien
DM terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami
bahwa masalah penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan
mengalami peningkatan di era awal abad 2 1ini. Pada dekade
ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai
komponen terbanyak dari pasien baru yang menjalani terapi
pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah mulai juga
kelihatan di Indonesia.
Pada pasien DM, berbagai gangguan pada ginjal dapat
terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi
saluran kemih, pielonefritis akut maupun kronik, dan juga
berbagai bentuk glomerulonefritis, yang selalu disebut
sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien
diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara
patogenesis dengan diabetesnya adalah PGD, yang secara
klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl-Wilson
pada tahun 1936, berupa glomerulosklerosis yang noduler
dan difus.
ClNJAL HIPERTENSI
Kumpulan
Kumpulan
Kategori
urin
24 jam
(mg124hr)
urin
sewaktu
(pglmin)
Urin
sewaktu
(pglmg
creat)
Normal
Mikroalbuminuria
Albuminuria
klinis
~ 3 0
30-299
->300
<20
20-199
->200
<30
30-299
>300
-
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 36 bulan. Hati-hati terhadap proteinuria yang timbul pada
latihan fisik dalam 24 jam terakhir, infeksi, demam, payah
jantung, hiperglikemia yang berat, tekanan darah yang
sangat tinggi, piuria dan hematuria. (Dikutip dari ADA, 2004)
Penanganan Multifaktorial
Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Centre di
Copenhagen mendapatkan bahwa penanganan intensif
secara multifaktorial pada pasien DM tipe 2 dengan
mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor risiko
yang jauh melebihi pananganan sesuai panduan umum
penanggulangan diabetes nasional mereka. Juga
ditunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat
bermakna pada kejadian kardiovaskular, termasuk strok
yang fatal dan non-fatal. Demikian pula kejadian spesifik
seperti nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih
rendah. Yang dimaksud dengan intensif adalah terapi yang
dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan darah, kadar
gula darah, lemak darah, dan miroalbuminuria serta juga
disertai pencegahan penyakit kardiovaskular dengan
pemberian aspirin. Dalam kenyataannya pasien dengan
terapi intensif lebih banyak mendapat obat golongan ACEI dan ARB. Demikian juga dengan obat hipoglikernik oral
dan insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak
mendapat statin.
Bagi pasien yang sudah berada pada tahap 5, gagal
ginjal, terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu
dijalankan, seperti pemberian diet rendah protein,
pemberian obat pengikat fosfat dalam makanan,
pencegahan dan pengobatan anemia dengan pemberian
eritropoietin, dan lain-lain.
NEFRITIS LUPUS
Lucky Aziza Bawazier, Dharmeizar, H.M.S. Markum
PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit
jaringan ikat, etiologinya tidak jelas diketahui dan termasuk
soluble immune complexes disease, di mana gambaran
klinisnya cukup luas dapat melibatkan banyak organ tubuh,
serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan
eksaserbasi.
Walaupun etiologinya tidak diketahui dengan pasti,
tetapi diduga mempunyai hubungan dengan beberapa
faktor perdisposisi seperti kelainan genetika, infeksi
virus, maupun kelainan hormonal. LES merupakan soluble
immune complexes disease, ditandai lesi autoimun disertai
pembentukan antibodi ganda terhadap berbagai jaringan
organ seperti sendi, paru, otot, dan ginjal.
Keterlibatan ginjal sebagai salah satu manifestasi LES
telah diketahui sejak lebih dari '/z abad yang lalu. Sedangkan
gambaran lengkap keterlibatan komplikasi ginjal tersebut
baru sejak 2 dekade yang lalu. Kriteria klasifikasi pasien
dengan LES berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium, pertama kali tahun 1971 oleh American
Rheumatisms Association (ARA) yang kemudian direvisi
tahun 1982. Menurut kriteria ini bila terdapat 4 dari 11
rnanifestasi tersebut, sudah dapat di katagorikan sebagai LES.
Sebelas kriteria ARA yang telah direvisi tersebut
adalah: 1). Malar rash, 2). Discoid rash, 3). Photosensitivity, 4). Oral ulcers (ulserasi mulut), 5). Arthritis non erosif,
6). Serositis (pleuritislperikarditis), 7). Gangguan ginjal
(proteinuria >500 mgthari atau silinder sellcellular cast,
8). Gangguan neurologis (kejang atau psikosis) kelainan
gangguan saraf pusat, 9). Gangguan hematologi (seperti
anemi hemolitik, lekopeni, limfositopeni atau
trombositopeni), 10). Kelainan imunologis (hasil tes sel
lupus eritematosus, terdapat antibodi anti DNA, antibodi
anti sel lupus atau hasil test serologi false positif untuk
sifilis, antibodi anti fosfolipid), 11). Hasil tes positif antibodi
lnfeksi Virus
Percobaan binatang dengan strain tikus New Zealand
infeksi virus concorna (intra uterin) dapat menyebabkan
,
1
Kerusakan n e f r b
lmmune complex
yang rnernpengaruhi
(1)
Podosit
t (2)
I
C5b6 + ~ 7 . 9
Sintesis kolagen
aktivasi
proliferasi dan pelepasar
PGE dan TNF
PGE
PGE
Trornbosit
1
Tx82
Gambar 2.
Kelas
(Katagori
WHO)
Gambaran
Mikroskop
Cahaya
Normal (I)
Normal
Glomerulonefri
tis
mesangial
proliperatif
(11)
Glomerulonefri
tis fokal
segmental
proliferatif
(111)
Normal atau
pelebaran
mesangial
difus dan
hiperselular
Hiperselular
mesangial
difus dengan
fokal dan
segmental,
segmehtal
nekrosis d?n
trombin
hialin
Hiperselular
difus,
interposisi
mesangial,
deposit
subendotel,
nekrosis
segmental,
trombus
hialin, badan
hematoksilin,
infiltrasi sel,
dan
crescents
Hiperselular
mesangial
ringan
deposit
epimembran
a, tonjolantonjolan
Fokal
superimpose
d dan
segmental
atau
sklerosis
pada
kategori IVN
Tubulointerstisi
al akut dan
kronis
Glomerulonefri
tis difus
proliferatif
(W)
Glomerulonefri
tis membran
lupus (V)
Glomerulonefri
tis sklerosis
lanjut
Nefritis
interstisial
Gambaran
Mlkroskop
Elektron
(Deposit
Elektron)
Gambaran
Miroskopls
lmunofluorescenc
(Deposlt lglC
Mes : ++
SE : +
Epi : 0
Mes : ++
CW : +
SE : +
Epi : 0
Mes : +++
SE : +
Epi : 0
Mes : ++
CW : +
SE : +
Epi : 0
Mes : +++
SE : +++
Epi : +++
Mes
CW
SE
Epi
&
.
: +++
:++
: +++
: ++++
deposit
tubulointerstisial
ekstraglomerular
Mes : +++
SE : +
Epi : +++
Mes : +++
CW : +
SE : +
Mes : +
CW : +
Membran
tubulus
basement
Mes : ++++
CW : +
Membran tubulus
basement
++ Variabel
glomerulus
de~osit
++ Lariabel
glomerulus deposi.
GEJALA KLlNlS
Kelainan ginjal ditemukan pada 50-60% dari semua pasien
LES, dan tidak jarang merupakan gambaran klinis pertama
dan satu-satunya yang akan mengikuti periode rernisi dan
eksarsebasi sesuaidengan LESnya. Manifestasinya klinis
NL bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan
dan ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam
Kelas
Deskripsi
II
Ill
IV
VI
lndeks kronisitasl
lesi kronis
lndeks aktivitasllesi
aktif
Glomerulus
Tubulo
interstitial
Proliferasi
endokapiler
lnfiltrasi lekosit
Deposit hialin
subendotel
Nekrosis fibrinoidl
karioreksis
lnflamasi interstitial
Sklerosis glomerulus
(glomerulosclerosis)
Bentuk crescent
fibrosis (fibrosis
crescent)
GAMBARAN KLlNlS NL
Glomerulopatilnefropati asimplomatik. Kelainan
urinalisis: proteinuria didapatkan pada semua pasien,
hematuri mikroskopis pada 80% pasien, sedimen urin
(silinder eritrosit, silinder lekosit).
Sindrom nefritik akut (SNA). SNA pada lupus sulit
dibedakan dengan GN pasca infeksi streptokokus,
gangguan tubular pada 60-80% pasien.
S i d r o m RPGN (Rapidlyprogressiveglomemlonephritis).
Ini sulit dibedakan dengan sindrom nefritik akut, gejalagejala khusus RPGN:
1. Onsetnya cepat
2. Penurunan LFG progresif dalam beberapa minggul
bulan lalu mencapai gagal ginjal terminal
3. Hipertensi sistemik yang cukup mencolok
4. Proteinuria 1-3 gram perhari disertai kelainan sedimen
aktif.
Penjelasan
Derajat
1.
2.
LFG (mVmnt/1,73mz) =
LFG (mllmn11.73m2)
2 90
60 - 89
30 - 59
15-29
< 15 atau dialisis
Klasiflkasl
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua ha1
Epldemlologl
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan
insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus
perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi
18juta, diperkirakan terdapat 1800kasus baru gagal ginjal
Penyakit
Penyakit ginjal
diabetes
Penyakit ginjal
non diabetes
Penyakit glomerular
(penyakit otoimun, infeksi
sisternik,obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pernbuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikstik)
Penyakit pada
transplantasi
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporinl takrolirnus)
Penyakit recurrent (glornerular)
Transplant glomerulopathy
Penvebab
lnsiden
Diabetes rnellitus
- tipe 1 (7%)
- tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pernbuluh darah besar
Glomerulonefritis
Nefritis interstitialis
Kista dan penyakit bawaan lain
Penyakit sisternik (rnisal, lupus dan vaskulitis)
Neoplasrna
Tidak diketahui
Penyakit lain
Penyebab
lnsiden
Glornerulonefritis
Diabetes Melitus
Obstruksi dan infeksi
Hipertensi
Sebab lain
46,39%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%
PENDEKATAN DlAGNOSTlK
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a).
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes
nielitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritolnatosus Sistemik
(ZES), dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri
dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overloud), neuropati
perifer, pruritus, uremicfrost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain,
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang
dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan u ~ i t ~ ~ l i
memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin: peningkatan kadm
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. asidosis
metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria,
hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b). Pielogdl intravenajarang dikerjakan, karena kontrds sering
tidak bisa melewati filter glomemlus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengamh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau
retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi
ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks y,ang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal
atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan
pada pasien dengan ukuran ginjal yang lnasih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi
ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana
ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney),
ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
(comorbid condition)
memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.
Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal
kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 6.
Derajat
LFG
(m11mnt/1,73m~)
Rencana tatalaksana
> 90
60 - 89
- rnengharnbat pernburukan
30 - 59
15-29
< 15
ginjal
LFG
mllmenit
> 60
25 - 60
Nefropati
4
Hipertensi
sistemik
L ~~~~~~~~~~~~~i~
-4
-
Angiotensin II
Kebocoran Protein
lewat glomerulus
- 25
< 60
(sindrom
nefrotik)
0.35 grlkglhr
Fosfat
glkglhari
Tidak
dibatasi
5 log
5 log
C 9g
Penjelasan
Kerusakan ginjal
dengan LFG
normal
Kerusakan ginjal
dengan penurunan
LFG ringan
LFG
(mllmnt)
Komplikasl
2 90
60 - 89
Penurunan LFG
sedang
30 - 59
Penurunan LFG
berat
15 - 29
Gagal ginjal
< 15
Hiperfosfatemia
Hipokalcemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomasistinemia
Malnutrisi
Asidosis Metabolik
Cendrung
hiperkalernia
Dislipidemia
Gagal jantung
Uremia
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90%pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan
oleh drtisiensi eritropoitin. Hal-ha1 lain yang ikut berperan
dal:uii trrjaciinyn anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan
darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hernolisis,
defisiensi asam folat, penekanan slimsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin
Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan kornplikasi penyakit ginjal
kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat
pada Gambar 2.
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan
dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pernberian
hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorbsi fosfat di saluran cema. Dialisis yang dilakukan
pada pasien dengan gaga1 ginjal juga ikut berperan dalarn
mengatasi hiperfosfatemia.
Hiperfoslalemla
Asidosis metabolik
---
Gambar 2.
GINJAL HIPERTENSI
Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat
sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik
secara urnum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan
rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung
dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor.
Asupan fosfat dibatasi 600-800 mgkari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk
menghindari terjadinya malnutrisi.
b. ~emberianpengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak
dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida,
gararn magnesium. Garam-garam ini diberikan secara
oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kalsiurn yang banyak dipakai
adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate.
Tabel 9 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat,
efikasi dan efek sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium inemetik (calcium mimetic
ctgerzr).Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang
dapat ~nenghambatreseptor Ca pada kelenjar paratiroid,
dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut
juga calciun~.
rnimetic agent, dan dilaporkan mempunyai
efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang
minimal.
Malnutrisi
lntoksikasi Al
Hipercalcemia
Mual, muntah
lntoksikasi Mg
PENDAHULUAN
Gangguan Ginjal Akut Berat (GGA-Acute Kidney Injury AKI) yang rnernerlukan dialisis, rnernpunyai rnortalitas
tinggi rnelebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi apabila disertai
kegagalan rnulti organ. Walaupun terdapat perbaikan yang
nyata pada terapi penunjang, angka rnortalitas belum
banyak berkurang karena penyakit dasar yang berat
seperti trauma, sepsis, usia pasien rnak'in tua dan pasien
tersebut juga rnenderita penyakit kronik lainnya.
Dengan mortalitas yang tinggi rnaka diperlukan
pengertian yang lebih baik mengenai GGA. GGA telah
dikenal oleh William Heberden pada tahun 1802 dan diberi
istilah ischuria renalis. Walaupun beberapa peneliti
terkenal yaitu Bowman, Charcot dan William membuat
beberapa sumbangan pemikiran untuk kondisi ini namun
sindrom ini dilupakan orang. Perhatian terhadap sindrom
ini berkembang kembali saat perang dunia pertama dan
terutama sglama perang dunia ke dua.
Laporan lengkap yang pertama rnengenai GGA ditulis
oleh Hackradt seorang ahli patologi Jerman pada tahun
1917, yang rnenjelaskan keadaan' seorang tentara yang
mengalami luka trauma berat. Laporan ini dilupakan orang
sarnpai terjadinya perang dunia ke-2, pada saat London
mendapat serangan Jerrnan, didapatkan banyak pasien
crush kidney syndroine, yaitu pasien-pasien dengan
trauma berat akibat tertirnpa bangunan kernudian
meninggal akibat GGA. Tonggak yang amat penting adalah
dengan dimulai tindakan hemodialisis pada awal tahun
1950-an yang amat rnengurangi kematian karena korban
trauma akibat peperangan.Perkembangan penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwaGGA yang dapat pulih kembali
ini terjadi juga pada pasien dengan transfusi darah yang
tidak cocok, abortus, gangguan hemodinamik
kardiovaskular, sepsis dan berbagai akibat efek zat
nefrotoksik.
Kenaikan
Kreatinin serum
(m~ldL)
Multivariable OR
(95% CI)
Area under
ROC curve
Kenalkan
biaya total
Kategori
RIFLE
Kriteria UO
Irmvesibk?AKI or persislent
(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the
definition and classification of AKI (i.e. RIFLE criteria)
<0.5 mUkg1jam
Risk
Kenaikan kreatinin serum
for 2 61 jam
-> I .5x nilai dasar atau
penurunan GFR 225%
Injury
1
AKIeadesl Ume
point for
pmviskn
of RRT
M I=
weeks
-I
ESRD
ESRD >3monlhs
<0.5 mUkgljam
atau 21 21jam
Failure
AKIN
<0.3 mLlkg1jam
->24 jam
Kriteria UO
pritmria
Kriteria produksi
urin
Tahap
Kenaikan kreatinin serum > 200% 300% (> 2 - 3 kali lipal) dari
kenaikan nilai dasar kreatinin serum
200% - 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari
nilai dasar
Kenaikan kreatinin serum > 300%
(> 3 kali lipat) dari nilai dasar (or
serum creatinine of more than or
equal to 4.0 mgldl 354 pmoll~)
with an acute increase of at least
0.5 mgldl [44 umollll)
Definisi GGA
Penurunan mendadak fad ginjal dalam 48 jam yaitu berupa
kenaikan kadar kreatinin serum 20.3 rng/dl(> 26.4pmoUI),
presentasi kenaikan kreatinin serum 250% (1.5 x kenaikan
dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria
yang tercatat 5 0.5 mVkg/jam dalam waktu lebih dari 6jam).
Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun
nilai persentasi dari perdbahan kreatinine untuk
menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender,
indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk
pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya
diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air
seni diasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif
dan mudah diukur. Kriteria diatas harus memperhatikan
adanya obstruksi saluran kernih dan sebab-sebab oliguria
lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan
dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan
yang cukup.
Perjalanan GGA dapat :
1. Sembuh sempuma
100
B
C-
2
2
4
5
a
~-AUJTE-~~CMWNIC
KIWYlnsms
TIME
Garnbar 2. Natural history of AKI. Patients who develop AKI may
experience (1) complete recovery of renal function, (2)
development of progressive chronic kidney disease (CKD), (3)
exacerbation of the rate of progression of preexisting CKD; or
(4) irreversible loss of kidney function and evolve into ESRD.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk
membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA postrenal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut
Etiologi
Prerenal
Sedirnen
Torak hialin
lskemia
Nefritis interstitial
akut
GN Akut
Postrenal
Lysis tumor
Arterial Ivenous
thrombosis
Ethylene glycol
FENA+
Fe-urea
<1
<35
>2
>50
>1
<1 early
<l
'early
--zlL&e-
Proteinuria
Tidak ada atau
samar
Samar ringan
Ringan - sedang
Sedang - baik
Eritrosit
Sarnar - Rinnan
Prosedur
Anamnesis dan
pemeriksaanfisik
Mikroskopik urin
Pemeriksaan
biokimia darah
Pemeriksaan
biokimia urin
Darah ferifer
lengkap
USG Ginjal
Bila diperlukan :
CT Scan abdomen
Pemindaian
radionuklir
Pielogram
Biopsi ginjal
Cell death
GAMBARAN KLI.N!S:
; + GANG:@J!W,G!y
.
.- JAL
. .:
< - , AKUT
..
. .
. .. . ,
3
. . . ;, . . p. :.:<,:
,:,
P :; . ?
.
,;:
<
.'
.
:
'
., .
,;,:
..
.,
,,.:.:..:
;<.'-.:;.
:..,*
-:.': ..<>.
.: ,,..
...
Vasokontriksi
renal
Dopamin
dosis rendah
Kerusakan
r e m i
Anti ICAM-1 mAb
Obst~ksi
tubuler
Furosemid
Reseptw
anatognist
endotelin
Anti-CDlB mAb
Manitol
Peptide
natriuretik
atrial
Antagonis
kakium
Peng~kat radikal
bebas
Dopamin
dosis
rendah
Anlagonis
reseplw
leukotrien
Regerensi
tubuler
FaktM
perturnbuhan
epidermal dan
hepatosit
Faktor
pertambahan
hepalosit
insulin-like
growth factor
Penghambat
prostease aMSH
Membran
biikmpatibel ,
PENGELOLMN
Tujuan pengelolaan adalah meencegah terjadinya
kerusakan ginjal, mempertahankan komestasis, melakukan
resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya
sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai
dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai
tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA,
mempertahankan homeostasis, mempertahankan
eopolemia, keseimbangancairan dan elektrolit, mencegah
komplikasi metabolik seperti hiperkalemia, asidosis,
hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian
mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang
dipakai.
PENCEGAHAN
GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya
penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan
nefropati kontras. Pencegahan nefmpati akibat zat kontras
adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetyl
cystein serta pemakaian purosemid pada penyakit tropik
perlu di waspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis
akut, malaria dan demam berdarah.
Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi
asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan GGA. Pada
tabel ini dapat dilihat beberapa upaya pencegahan GGA.
CANGGUANGINJAL AKUT
Komplikasi
Pennobatan
-
FASE PERBAIKAN
Pada tahap ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga
perlu dijaga keseimbangan carian. Asupan cairan
Kelebihan
volume
intravaskular
Hipobatremia
Hiperkalemia
Asidosis
metabolik
Hiperfosfatemia
Hipokalemia
Nutrisi
KESIMPULAN
Istilah gangguan ginjal akutlacute kidney injury
sebaiknya menggantikan istilah gagal ginjal akut/ARF.
Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang
lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnya kriteria
RIFLEYAKIN.
Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir ban!
dalam memahami GGA, pentahapan dari GGA, standardisasi
dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam
Hemodialsis intermitten
Keuntungan
theranv
perdarahan
Lebih banyak waktu untuk
rnencari diagnosis dan
intervensi I terapi.
- Lebih cocok untuk hiperkalernia
berat
- Biaya murah
Kerugian
Ketersediaan perawat HD
Lebih sulit kontrol hemodinamik
Dosis dialisis tidak mencukupi
Kurang kontrol cairan
Nutrisi kurang
Tidak cocok untuk pasien
dengan hipertensi intrakranial
Tidak ada pernbuangan sitokin
Potensial terjadi aktivasi
kornplemen oleh membrane
yang non kornpatibel (tidak
sesuai)
Hernodialiser
Hernodialiser
Hernofilter
lnterrniten
Hernodialiser
Sequential ultrafiltration
& clearance
Continuous
arteriovenous
hernodialysis (CAVHD)
Continuous venovenous
hernodialysis (CWHD)
Dialisis peritoneal
Berkesinarnbungan
Prinsip kerja
Hernodialiser
Slow continuos
ultrafiltration (SCUF)
Dialiser
Hernofilter
Peritoneum
Peritoneum
GANCCUAN GlNJALAKUT
Tahap katabolisme
Ringan
Sedang
Keadaan klinis
Toksik karena
obat
Pembedahan
+ infeksi
lnjuri berat 1
sepsis
Mortalitas
Dialisis I
hemofiltrasi
Pernberian
makanan
Rekomendasi
Energi
(kkallkgBBlh)
Subtrat energi
20%
60%
> 80%
Jarang
Apabila perlu
Sering
Oral
Enterall
parenteral
Enterall
parenteral
25
25 - 30
25 - 35
Glukosa
Glukosa +
lemak
Glukosa + lemak
Glukosa glkg
Lemak glkg
Asam amino I
protein
Nutrien oral I
enteral
Parenteral
3-5
0.5 - 1
0.6 - 0.8 EAA
3-5
0.8- 1.5
0.8 - 1.2 EAA
+ NEAA
3 - 5 (maks 7)
(+NEAA)
Makanan
Formula
Berat
NEAA
Formula
Glukosa 50 -
Glukosa 50 70%
70%
+ emulsi lemak 10 - 20% EAA +
NEAA (biasa atau khusus untuk
ginjal) + multivitamin + multitrace
element
HEMODIALISIS
Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono
PENDAHULUAN
Tahapan gaga1 ginjal kronik dapat dibagi menurut
beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal
ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih
tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha
pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan
minum, obat-obatan, dan lain-Iain tidak memberi
pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut
diberi nama penyakit ginjal kronik (PGK). Pada
stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah
yang dapat membahayakan kelangsungan hidup
pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa,
yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih
dari 5 mL/menit/l,73 m2. Pasien PGK, apa pun etiologi
penyakit ginjal nya, memerlukan pengobatan khusus
yang disebut pengobatan atau terapi pengganti
(TP). Setelah menetapkan bahwa T P dibutuhkan,
perlu pemantauan yang 'ketat sehingga dapat
ditentukan dengan tepat kapan T P tersebut dapat
dimulai.
TERAPI PENGGANTI
Seperti diketahui faal ginjal dapat dibagi menjadi faal
ekskresi dan faal endokrin. Pada PGK. kedua golongan
faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional.
TP yang ideal adalah yang dapat menggantikan fungsi
kedua faal ini. Transplantasi ginjal yang berhasil akan
mengganti keseluruhan faal ginjal yang sakit, sedangkan
dialisis mengganti sebagian faal ekskresi. Pada Tabel 1
tertulis beberapa TP yang dapat dilaksanakan dewasa
ini. Di samping TP tersebut ada juga TP yang hanya
dilakukan dalam keadaan yaag sangat khusus atau pada
penelitian.
Dialisis
A. Dialisis Peritoneal (DP)
- DP intermiten (DP)
- DP mandiri berkesinambungan (DPMB)
- DP dialirkan berkesinambungan (DPDB)
- DP nokturnal (DPN)
B. Hernodialisis (HD)
II
pJ-;ps;
Selaput Semipermeabel
Kompartemen 1
Kompartemen 2
Pembuangan
Dialisat dialirkan pompa
Garnbar 2. Bagan hemodialisis
REFERENSI
Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications during hemodialysis. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis,
edisi 2, Little Brown am Company: 1994. 149-68.
Daugirdas JT. Chronic hemodilysis prescription: a urel kinetic approach. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2. Little Brown am Company; 1994.92-120.
Dialysis Therapy, Ed. Nissenson AA, Fine AN Philadelphia: Hanley
& Belfus; 1986.
Kaaono SD, Darmarini F, Aahimy A. Penyusunan diet pada gagal
ginjal kronik dengan dialisis. Dalam: Sidabutar AP, Suhardjono
(ed). Gizi pada gagal ginja kronik. Beberapa aspek
penatalaksanaan. PERNEFRI 1992.60-74.
DIALISIS PERITONEAL
Imam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A. Roesli
PENDAHULUAN
Dialisis peritoneal (DP) sudah lama dikenal. Sarjana pertama
yang melakukan DP di klinik pada seorang pasien uremia
karena obstruksi ureter akibat kanker kandungan adalah
Ganter ( 1923).Perkembangan selanjutnya memakan waktu
cukup lama dan baru Maxwell (1959) mengajukan teknik
dialisis intermiten yang merupakan modifikasi dari teknik
yang diajukan Grollman, dkk (195 1 ). Sampai saat ini teknik
ini masih tetap terpakai. Perkembangan selanjutnya
ditunjang dengan tersedianya antibiotik serta cairan
dialisat komersial.
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis
untuk membantu penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal
Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan
membran peritoneum yang bersifat semipermeabel.Melalui
membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan
Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan
hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman
serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus,
sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat
ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting
untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit
besar dan modern.
Cairan Dialisat
Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan
kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi
elektrolit cairan dialisat bervariasi. namun prinsipnya
kurang lebih seperti terlihat pada Tabel 1.Pada umumnya
cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya
untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena
terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien
dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah
terjadinya hipokalemia. dalam cairan dialisat dapat
ditambahkan kalium 33-4,5 mEq1 liter cairan dialisat.
Elektrolit
MEqlL
Tek. Osmosis
lmOsmlLl
Mg++
CILaktatGlukosa
1,5
102,O
43.5
03
102,O
83,3
291,O rnEq/L
15,O gr/L
371,6 rnOsrn/L
=w
P
Cp : Peritoneal Cleamrzce
U : Konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat
y ang kel~lardari kavum peritoneum (mg%).
p : Konsentrasi zat tersebut dalam darah atau
plasma (mg%)
V : Volume cairan dialisat tiap menit (mL)
Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah
besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell tirne = lamanya cairan dialisat berada
dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan
osmosis cairan dialisat, pe~meabilitasperitoneum, dan aliran
darah dalam kapiler peritoneum.
a. Komplikasi mekanis
Perforasi organ abdomen (vsus, aorta, kandung
kencing, atau hati).
Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat
kateter .
Gangguan drainasr (aliran cairan dialisat)
Bocornya cairan dialisat
Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut.
b. Komplikasi metabolik
Gangguan keseimbangan cairan, elek- tronit dan
asam basa.
Gangguan metabolisme karbohidrat perlu
diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa
hiperglikemia tak terkendali d m kemungkinan dapat
juga terjadi hipoglikemia post dialisis.
Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan
dialisat.
Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas
kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala,
muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan
tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat
menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini
dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum
tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi
terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien
dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum
diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang
banyak dianut adalah karena lambatnya koreksil
penurunan ureum dalam otak d a n cairan
serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal
ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan
tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori
lain: teori hipoglikemia, perubahan p C 0 2 dan pH.
pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan
perbandingan WCa serum.
c. Komplikasi radang
Infeksi alat pernapasan. biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta.
Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan
infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia
atau pielonefritis.
Peritonitis.
DlAUSIS PERITONEAL
Prosedur
CAPD adalah suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi
rendah sehingga bila tidak dilakukan 24 jam per hari dan
7 hari per minggu tidak adekuat untuk mempertahankan
pasien GGK stadium akhir. Kebanyakan pasien
memerlukan rata-rata 4 kali pergantian per hari. Saat
pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak
bagi pasien dengan sarat dwell time tidak boleh kurang
dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi
keseimbangan kadar ureurn antara plasma darah dan
cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk
mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan
cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2.000 mL
dapat dicapai dengan 2 kali per- gantian dengan cairan
dialisat 4,25%. Bila ultrafiltrasi kita lakukan terlalu cepat
dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi
ortostatik.
Cairan Dialisat
Cairan dialisat yang ada pada saat ini di Indonesia terdiri
atas 3 macam cairan yaitu dengan kadar dekstrosa 1,5%,
2 3 % dan 4,25% dalarn kantong plastik 2 liter. Susunan
cairan dialisat sama dengan susunan elektrolit plasma
darah normal tanpa kalium dengan osmolalitas lebih tinggi
dari plasma 1Osmolalitasplasma 280 mOsm/L) dan ditambah
laktat (Tabel 1).Bila pasien normokalernia atau hipokalemia,
perlu penambahan: 1 KC1 sampai konsentrasi 4 m E q L
untuk mencegah hipokalemia berat.
Heparin perlu ditambahkan bila ada peritonitis atau
cairan dialisat mengandung fibrin atau protein terlalu
banyak untuk mencegah tersumbatnya kateter dengan
dosis 1.000 -2.000 USP units per liter cairan dialisat.
KONTRAlNDlKASl CAPD
Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis,
hipertrigl (seridemia familial, hernia pada dinding
abdomen (perlu perbaikan dulu) dan pasien yang tidak
bisa bekerjasama. Hati- hati melakukan CAPD bila ada
perlengketan yang luas, distensi usus, kelainan abdomen
yang belum terdiagnosis, luka bakar, dll.
Konsentrasi Osmolalitas
dekstrosa
(mOsMIL)
Per
hari
Air (mL)
Natrium (mEq)
Kalium (mEq)
Kreatinin (mg)
Protein (g)
Calcium (mg)
Fosfor (mg)
Magnesium (mg)
,,,,
Na
Ca
Mg
CI
Laktat
Per kantong
Dekstrosa
03%
1,5%
4,25%
734
129
20
803
7,1
23
313
37
1101
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan
laboratorium guna mernantau perubahan dalam hematologi,
ginjal dan hati, yang dapat mempengaruhi prognosis pasien
dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan
untuk memantau pasien hipertensi pada kehamilan adalah
Hb atau Ht untuk melihat kemungkinan hemokonsentrasi
yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Hitung
trombosit yang amat rendah terdapat pada sindrom HELLP
( hemolysis, elevated liver enzyme levels and low platelet
count). Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk
mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui
adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein dalam urin
24jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui fungsi
ginjal, yang pada keharnilan umumnya kreatinin serum
menurun. Asarn urat perlu diperiksa karena kenaikkan asam
urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya preeklampsia.
Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik, seperti
juga pada kehamilan tanpa hipertensi diperlukan
pemeriksaan gula darah, dan kultur urin.
Obat-obat Antihipertensi
Ada 2 macam obat hipertensi, pada keadaan yang akut
atau darurat biasanya diperlukan pengobatan parenteral
atau oral. Qbat-obat injeksi antara lain; injeksi intra venal
abetalol, hidralazin, dan antagonis kalsium. Obat
antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat
dilihat pada Tabel 1.
Vasodilator
1102
tak mempunyai efek penghambat alfa, berkaitan dengan
penurunan aliran darah plasenta dan janin pada kelahiran
apabila dibe~ikanniulai dari awal kehamilan. Labetalol yang
mempunyai efek pengharnbat alfa dan beta dapat
mempertahankan aliran darah utero-plasenta dalam
keadaan yang maksimal.
Obat penghambat beta untuk pengobatan hipertensi
ringan ~neningkatkanrisiko ~nendapatkanbayi yang lebih
kecil (dengan risiko relatif 1,36, pada interval kepercayaan
95% ( I -02- 1,82), ~isikoyang tidak lebih besar dibanding
obat hipertensi yang lain.
Semakin banyak pengalaman yang didapat dari
golongan obat antagonis kalsii~myang terbukti cukup
aman dipakai pada kehamilan. Nifedipin kerja panjang (dosis
maksimum 120 mghari) dan golongan noiidihidropiridin
verapamil dapat diberikan. FDA tidak n~eneriinanifedipin
kerja cepat sebagai pengobatan hipertens1 darurat dan
pemberian sub lingual karena terbukti nienumnkan tekanan
darah berlebihan.
Dari penelitian mengenai pengobatan hipertensi pada
kehamilan didapat kesinipulan bahwa pemilihan
antihipertensi seharusnya tergantung dari pengalaman
dan pengetahuan dari dokter yang mengobati, dalam ha1
efek obat terhadap ibu dan janinnya.
GINJAL HIPERTENSI
KRISIS HIPERTENSI
Jose Roesma
PENBAHULUAN
Krisis Hipertensi rnerupakan suatu keadaan klinis yang
ditandai o l e h tekanan darah yang sangat tinggi dengan
kemungkinan akan tirnbulnya atau telah teqadi kelainan
organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada
pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat
antihipertensi.
Krisis hipertensi rneliputi dua kelornpok yaitu:
Hipertensi darurat (emergency hypertension): di rnana
selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainanl
kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga
tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalarn
rnenit sampai jam) agar dapat rnencegahlmembatasi
kerusakan target organ yang terjadi.
Hipertensi mendesak (urgency hypertension): di rnana
terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak
disertai kelainanlkerusakan organ target yang progresif,
sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan
lebih larnbat (dalarn hitungan jam sampai hari).
Pada umumnya krisis hipertensi diternukan di poliklinik
gawat darurat rumah sakit dan kadang-kadang rnerupakan
jurnlah yang cukup menyolok pada poliklinik gawat darurat
di bagian penyakit dalarn, walaupun keluhan utarnanya
berbeda-beda.
darah
Funduskopi
>220/140 perdarahan
mm Hg
eksudat
edema
papilla
Nt:&i
GEJALA
Hipertensi krjsis urnumnya adalah gejalaorgan target yang
terganggu, hi antarany a nyeri dada dan sesak napas pada
gangguan jantung dan diseksi aorta; rnata kabur pada
edema papila mata; sakit kepala hebat, gangguan
kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gaga1
ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala
dan nyeri tengkuk pada kenaikkan tekanan darah pada
umurnnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya
tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan organ
target.
Selain pemeriksaan fisik, data laboratoriurn ikut
rnernbantu diagnosis dan perencanaan. Urin dapat
rnenunjukkan proteinuria, hernaturi dan silinder. Hal ini
terjadi karena tingginya tekanan darah juga menandakan
keterlibatan ginjal apalagi bila ureurn dan kreatinin
rneningkat.Gangguan elektrolit bisa terjadi pada
hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan
aritrnia.
Jantung
Ginjal
sakit kepala,
kacau
denyut jelas,
uremia
gangguan
kesadaran,
kejang,
lateralisasi
rnernbesar
dekompensasi
oliguria
proteinuria
Gastrointestinal
mual, muntah
PENGOBATAN
Pengobatan hipertensi mendesak cukup dengan obat oral
yang bekerja cepat sehingga menurunkan tekanan darah
dalam beberapa jam.
Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 2.
Pengobatan hipertensi darurat memerlukan obat yang
segera menurunkan tekanan darah dalam menit-.jam
sehingga umunlnya bersifat parenteral. Di Indonesia
banyak dipakai seperti pada Tabel 3. Untuk memudahkan
penilaian dan tindakan dibuat bagan seperti yang
tercantum pada Tabel 4.
R'",:
Obat
Dosis
Efek
Nifedipin
5-10 mg
Kaptopril
12.5-25
mg
Klonidin
75-150 ug
diulang
15 menit
diulangl
112 jam
5-15
menit
4-6 jam
gangguan koroner
15-30
menit
6-8 jam
stenosis a.renalis
diulangl
jam
30-60
menit
8-16 jam
Mulut kering,
ngantuk
Propanolol
10-40 rng
diulangl
112 jam
15-30
menit
3-6jam
Bronkokonstriksi,
Blok jantung
Perhatian Khusus
ye;
Obat
Dosis
Klonidin IV
150 ug
6 amp per
250 cc
Glukosa 5%
mikrodrip
30-60
menit
24 jam
Nitrogliserin
IV
10-50ug
100uglcc per
500 cc
0,5 - 6
uglkglrnenit
2-5 menit
5-10
menit
1-5 menit
15-30
rnenit
Diltiazem lV
5-15
uglkglmenit
lalu sama
1-5 uglkgl
menit
sama
Nitroprusid
IV
0,25
uplkglmenit
Langsung
Nikardipin
IV
2-3
menit
Perhatian
khusus
ensefalopati
dengan
gangguan
koroner
selang infus
lapis perak
Kelom~ok
Tekanan
darah
Biasa
~1801110
Mendesak
Darurat
~1801110
Gejala
tidak ada,
kadangkadang sakit
kepala gelisah
sakit kepala
hebat,
sesak napas
sesak napas,
nyeri dada,
kacau,
gangguan
kesadaran
Pem Fisik
gangguan
organ target
ensefalofati,
edema paru.
gangguan
fungsi ginjal,
CVA, iskemia
jantung
Pengobatan
Rencana
periksa ulang
dalam 3 hari
Periksa ulang
dalam 24 jam
pasang jalur
intravena,
periksa
laboratorium
standar, terapi
obat intravena
rawat
ruanganflCU
Soebandiri
BATASAN
Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana
diketahui, darah terbagi atas:
Bagian yang Berbentuk (formed elements). Terdiri atas
sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit)
dan keping-keping darah (trombosit; platelet) yang
hentuknya dapat dilihat dengan mikroskop.
Bagian yang Tidak Berbentuk. Plasma yang terdiri atas
molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat,
vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut
dalam plasma.
Yang dibicarakan dalam bab ini hanyalah proses
pembentukan sel-sel darah (bagian ke-1 yaitu formed
elements).Akan dibahas 3 komponen (kompartemen) yang
berperan penting pada hemopoesis, yaitu :
Kompartemen sel-sel darah
Kompartemen lingkungan-mikro
Kompartemen zat-zat pemiculperangsang (stimulator)
hemopoesis
KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESIS
Hemopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang
melibatkan banyak komponen-komponen yang saling
terkait antara lain:
1. Komponen atau Kompartemen yang terdiri atas sel-sel
darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur.
2. Komponen atau Kompartemen yang disebut stroma
atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau
hemopoetic-micro-environment.
Komponen 1 dapat dianggap sebagai benih sedangkan
komponen 2 dapat dianggap sebagai tanah di mana
benih itu tumbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendirisendiri tetapi berbaur.
I.1.SIP
1.2.s~l-l-
I
I
I
CFU-G+MY
CFU-reg
I
I
BFU~
I
CFU-E 1
B
--
I
I
CqU-GEMM
I
I
+ ProMY-b MY+
.
v
I
I
I
I
Mo b + ProMo
PMo
I
I
I
I
-..-----,
M P ~
' bTr
~ e g - ~ .
Poli Kromato-
MetaMy
j DARAH TEPllORGAN
Ii
Eo
- I
I
petic
I
ERY
zat yang dapat menstirnulasi pertumbuhan sel-sel induk, selsel bakal, dan sel-sel darah yang lain. Zat-zat ini dinamakan
colony stimulating factors (CSF) atau juga Hemopoetic
Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang
pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony
stimukztingfactor (G-CSF), sedangkan yang monosit dan
makrofag disebut Monocyte/Macrophage Colony
Stimulating Factors (M-CSF). Zat-zat ini akan dibahas
lebih lengkap di bagian berikutnya dari bab ini.
Stroma yang terdiri atas fibroblas, monosit, makrofag,
endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai
lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH
ini seakan-&an merupakan tanah yang menghidupi selsel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih
di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau
defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu
(hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah
melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang
diproduksi oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel
matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan
berfungsi seperti yang sudah direncanakan.
Jenls Sel
LMH
Fibroblast
Endotil
Adiposit
Matriks Ekstra
Selular (ECM)
GGSF
GM-CSF
FGF
++
+++
+
+++
++
+
++
+++
+
+
VWF
H-CAM
Selektin
Cadherin
+++
++
++
+++
.+++
+++
+++
PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering
dijumpai di klinik di seluruh dunia, di sarnping sebagai
masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas
kronik (chronic d e b i l i ~ yang
)
mempunyai dampak besar
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan
fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering,
anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat
perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai
penurunanjumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling
lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan
tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan
dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan
akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah
berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit
paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin
dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis
tertentu seperti misalnya kehamilan.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri
(disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam
penyakit dasar (underlyingdisease). Oleh karena itu dalam
diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada
label anemia tetapi hams dapat ditetapkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena
seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga
apabila ha1 ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi
KRlTERlA ANEMIA
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan
penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin,
disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya
ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi
masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang
dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat
bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis
kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut offpoint)
di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di
Negara Barat kadw hemoglobin paling rendah untuk lakilaki adalah 14 gldl dan 12 gldl pada perempuan dewasa
pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang
berbedq yaitu 12 gldl (hematokrit 38%) untuk perempuan
dewasa, 11gldl (hematokrit 36%)untuk perempuan hamil,
dan 13 gldl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off
point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti
terlihat pada Tabel 1.
Kelom~ok
Laki-laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita hamil
< 13 gldl
< 12 gldl
< Ilaldl
A.
PREVALENSIANEMIA
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering diju~npai
baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari
30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik.
De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di
dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada Tabel 2.
B.
C.
--
Lokasi
Negara rnaju
~egara
berkernbang
Dunia
Anak
0-4th
Anak
5-12 th
Laki
dewasa
Wanita
15-49 th
Wanita
hamil
12%
51%
7%
46%
3%
26%
14%
59%
11%
47%
43%
37%
18%
51%
35%
D.
I.
II.
Ill.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan
penyakit (diseuse erztity), yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit dasar (urzderlying diseuse). Hal ini
penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak
cukup hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat
mungkin kita hams dapat menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam
diagnosis anemia adalah:
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang
akan mempengaruhi hasil pengobatan
)\g3
QENDEKATANTERAPI
Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam pemberian
terapi pada pasien anemia ialah: 1). Pengobatan hendaknya
diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu; 2). Pemberian hematinik tanpa
indikasi yang jelas tidak dianjurkan; 3). Pengobatan
anemia dapat berupa: a). Terapi untuk keadaan darurat
seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia
pasca perdarahan akut yang disertai gangguan
hemodinamik, b). rerapi suportif, c). Terapi yang khas
untuk masing-masing anemia, d). Terapi kausal untuk
mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut; 4). Dalam keadaan di mana diagnosis definitif
tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi
~
Di sini harus dilakukan
percobaan (terapi e .juvantivus).
pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan
perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
&
Anemia hipokromik
mikrositer
Anemia norrnokromik
normositer
Anemia
makrositer
Lihat Garnbar 2
+I
&/I
ri
Feritin normal
FeritinU
Feritin NIT
ANEMIA
NORMOKROMIK NORMOSITER
I
I Normallmenurun I
4
Sumsum
tulanq
I
Tes Coomb
+
Negatif
CI
t
Positif
Riwayat
keluarga
positif
Hemoglobinopati
Anemia
PENDEKATANTEluIADAP PASIENANEMIA
KESIMPULAN
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk
penelitian lapangan umumnya dipakai kriteria anemia
menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai
kriteria Hb < 10 gldl atau hematokrit < 30%. Anemia dapat
diklasifikasikan menurut etiopatogenesisnya ataupun
berdasarkan morfologi eritrosit. Gabungan kedua klasifikasi
ini sangat bermanfaat untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan
anemia diperlukan pemeriksaan klinis &an pemeriksaan
laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring,
pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang:
pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat
dilakukan secara klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan
gabungan pendekatan klinis dan laboratorik. Pengobatan
anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas.
Terapi dapat diberikan dalam bentuk terapi darurat, terapi
suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia
dan terapi kausal.
ANEMIA APLASTIK
Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder
PENDAHULUAN
EPlDEMlOLOGl
Klasifikasi
Anemia aplastik berat
Selulantas sumsum
tulang
* Sitopenia sedikitnya
dua dari tiga seri sel
da rah
Anemia aplastik sangat
berat
Anemia aplastik tidak
berat
Kriteria
PATOFlSlOLOGlDAN PATOGENESIS
Dahulu, anemia aplastik dihubungkan e 9 t dengan paparan
terhadap bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia
aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahanbahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau
senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan,
hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang
pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien
digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian besar
kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi
anemia aplastik tercantum dalam Tabel 2.
Anemia aplastik terkait obat terjadi karena
hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat
yang banyak-menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering
Toksisitas langsung
= latrogenik
= Radiasi
Kemoterapi
Benzena
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Penyebab yang diperantarai imun
latrogenik: transfusion-associatedgraft-versus-host
disease
= Fasciitis eosinofilik
= Penyakit terkait hepatitis
Kehamilan
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Anemia aplastik idiopatik
Kegagalan Hematopoietik
Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas
kosongnya sumsum tuang yang tampak jelas pada
pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen
core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan
magnetic resonance imaging vertebra memperlihatkan
digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata.
Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietik yang imatur dapat
dihitung dengan flow cytometry. Sel-sel tersebut
mengekspresikan protein cytoadhesive, yang disebut
CD34. Pada pemeriksaanflow cytometry, antigen sel CD34
dideteksi secwa fluoresens satu persatu, sehingga jumlah
sel-sel CD34' dapat dihitung dengan tepat. Pada aneinia
aplastik, sel-sel CD34'j'uga hampir tidak ada yang berarti
bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid,
dan megakatyositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain
untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan
"tenang" (quiescent), yang sangat mirip jika tidak dapat
dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperllhatkan
penunman. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin
telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk
sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut
mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerrninkan oleh
pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia
aplastik.
Destruksi lmun
Banyak data laboratorium yangmenyokong hipotesis
bahwa pad& pasien anemia aplastik didapat, limfosit
bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel
hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa
limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini
memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui
adalah interferon-y. Adanya aktivasi respons sel T helper1 (Th,) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan
produksi interferon, tumor necrosisfactor, dan interleukin2 yang berlebihan. Deteksi interferon-y intraselular pada
sampel pasien secaraflow cytometry mungkin berkorelasi
dengan respons terapi imunosupresif dan dapat
memprediksi relaps.
Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+dan sel-sel induk
(progenitor) hemopoietik sangat sedikitjumlahnya. Narnun,
meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan
megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,
defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit
umurnnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula
fungsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemopoiesis
yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif
yang efektif. Jadi, sel-sel asal hemopoietik tampaknya masih
ada pada sebagian besar pasien anemia aplastik.
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi,
khususnya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas,
dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan
penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel-sel T dari
pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik dengan
perilaku (manner) yang HLA-DR-restricted melalui ligan
Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling prirnitif tidak
atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan
ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-sel
asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya
bejumlah h a n g dari 10% sel-sel CD34' total, relatif tidak
terganggu oleh sel-sel T autoreaktif; di lain pihak, sel-sel
Jenis keluhan
Pucat
Perdarahan
Kulit
= Gusi
Retina
Hidung
. Saluran cerna
Vagina
Dernarn
Hepatomegali
S~lenorneaali
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom normositer.
Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau
leukosit rnuda dalam darah tepi menandakan bukan
anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan
rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75%
kasus.
Perdarahan
Badan lemah
Pusing
Jantung berdebar
Dernam
Nafsu rnakan berkurang
Pucat
Sesak napas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung
PEMERIKSAAN FlSlS
Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun
sangat bervariasi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pucat
ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui
luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan
tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum
tulang berselular.
Radionuclide Bone Marrow lmaging (Bone
Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh
scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif
technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum
tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada
transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat
ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh
sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel
induk.
DIAGNOSIS BANDING
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi
menunjukkan aplasia; namun hiposelularitas sumsum
dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji
diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis
banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum
tulang (Gambar 3). Perbedaan antara anemia aplastik
didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay
spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu
yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya
muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis
pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau
urogenital.
Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk
diagnosis anemia aplastik. Narnun, aspirat kadang-kadang
secara mengejutkan tampak selular meskipun secara
keseluruhan sumsum tulang hiposelular, sebab sebagian
besar pasien masih mempunyai sarang-sarang
hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy
1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas.
Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia
aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki
populasi sel-sel hemoglobinuria nokturnal paroksismal
kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah kecil selsel blas myeloid, atau gambaran displastik sen myeloid
atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom
myelodisplatik hipoplastik.
Myelodisplasia Hiposelular
Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik
hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada
pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak
Agranulositosis
Aplasia sel
darah rnerah
mum1
Trombos~topen~a
amegakalyos~ttk
myelogenous akut
Anemia aplastikhemoglobinuria
nokturnal paraksismal
PENATALAKSANAAN
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi
atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor
seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok
(matched sibling donor), dan faktor-faktor risiko seperti
infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan
untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat
'
TERAPI KONSERVATIF
Terapi lmunosupresif
Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi
terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik.
Obat-obatan yang termasuk dalam terapi irnunosupresif
Gambar 4. Algontme
adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme
kerjaATG atau ALG pada kegagalan surnsurn tulang tidak
diketahui dan mungkin rnelalui:
Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated
pada sel asal,
Stimulasi langasung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.
Regimen irnunosupresi yang paling sering dipakai
adalah ATG dari kuda (ATGam dosis 20 rngkg per hari
selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5
rngkg per hari selama 5 hari) plus CsA (12-15 m a g , bid)
umumnya selama 6 bulan. Berdasarkanhail penelitian pada
pasien yang tidak berespons terhadap ATG kuda, ATG
kelinci tampaknya sama efektif dengan ATG kuda. Angka
respons terhadap ATG kuda bervariasi dari 70-80% dengan
kelangsungan hidup 5 tahun 80-90%. ATG lebih unggul
dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA
mernberikan hasil lebih baik dibandingkan ATG atau CsA
saja.
Penarnbahan granulocyte colony-stimulatingfactor
(G-CSF) dapat memulihkan neutropenia tetapi tidak
menambah kelangsungan hidup. Namun respons awal
terhadap G-CSF setelah terapi ATG merupakan faktor
prognostik yang baik untuk respons secara keseluruhan.
Secara urnum, pasien yang berespons terhadap kombinasi
ATG1 CsA mempunyai kelangsungan hidup yang sangat
,
Relaps
Secara konseptual, analog dengan terapi penyakit
keganasan, terapi imunusupresif intensif dengan ATG
dapat dipandang sebagai terapi induksi, yang mungkin
membutuhkan periode pemeliharaan lami dengan CsA atau
bahkan re-induksi. Angka relaps stelah terapi
imunusupresif adalah 35% dalam 7 tahun. Secara umpm,
relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan
hidup pasien tidak memendek. Pasien dengan hitung darah
yang turun dapat menerima CsA, dan jika tidak berhasil,
harus diberikan ATG ulang. Angka respons dapat
dibandingkan dengan yang tampak pada ATG inisial. Pada
beberapa contoh, ATG kelinci dapat dipakai ketimbang
ATG kuda. Siklofosfarnid dosis tinggi telah disarankan
untuk*imunusupresiyang mencegah relaps. Namun, ha1
ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan
siklofosfamid memberikan lama respons lebih dari 1 tahun.
Sebaliknya, 75% respons terhadap ATG adalah dalam 3
bulan pertama, dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun
setelah terapi ATG.
Penyebab
Kelelahan cadangan sel
asal
lmunosupresi tidak cukup
Salah diagnosis
Kegagalan sumsum
tulang herediter
Patogenesis non-imun
1124
HEMAMLOC~
<
.;
"
Kriteria Respons
Kelompok European Bone Marrow Transplantation
. 1 - ?
+"
Hariman H. Soeroso L. Succesful marrow recovery after eHuGMCSF treatment in a patient with idiophatic aplastic anemia.
KONAS VII Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah
Indonesia & International scientific meeting of Haematologist
from Southeast Asian Coutries, Medan, Desember 1993.
Maciejewski JP, Risitano AM. Aplastic anemia: management of adult
patients. Hematology. 2005: 110-17.
Rosenfeld S. Follmann D, Nunez 0 , Young NS. Antithymocyte globulin and cyclosporine for severe aplastic anemia. Association
between hematologic response and long-term outcome. JAMA.
2003;289(9): 1 130-5.
Salonder H. Gambaran klinik anemia aplastik dan kriteria ramalan
pasien berumur pendek. Skripsi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1983.
Thompson LH. Unraveling the Fanconi anemia-DNA repair connection. Nat Genet. 2005;37:921-2.
Yamaguchi H, Calado RT, Ly H, Kajigaya S, Baerlocher GM, Chanock
SJ. et al. Mutation in TERT, the gene for telomerase reverse
transcriptase, in aplastic anemia. N Engl J Med.
2005;352(14):1413-24.
Young NS. The pathophysiology of acquired aplastic anemia. N
Engl J Med. 1997;336(19):1365-72.
Young NS. Acquired aplastic anemia. Ann Intern Med. 2002;136:5346.
PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul
akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis,
karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromikmilcrositer
dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi
kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat
penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem
retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi
masih normal. Pada anemia sideroblastikpenyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang karena gangguan
mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke dalam
heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini
digolongkan sebagai anemia dengan gangguan
metabolisme besi.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling
sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau
negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat
dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih
dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak
kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial
yang cukup serius.
METABOLISME BESl
Besi merupakan trace element vital yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin,
mioglobin dan berbagai enzirn. Besi di darn terdapat dalam
jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat
penyerapan besi dalam usus, maka sejak awal manusia
dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber
hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana
B
C
Hemoglobin
Mioglobin
Enzim-enzim
Transferin
Feritin
Hemosiderin
2300 rng
320 mg
80 mg
3 mg
700 mg
300 mg
3803 mg
Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu:
Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tingkat
absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat
sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi.
Besi hon-heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan,
tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan
pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya
rendah.
Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorbsi besi
adalah "meat factors" dan vitamin C, sedangkan yang
tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat
dan serat (fibre).Dalam lambung karena pengaruh asam
lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan
senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk
feri ke fero yang siap untuk diserap.
Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa
duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi
secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan
terkendali (carefully regulated).Besi dipertahankan dalam
keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Sel absorptif
terletak pada puncak dari vili usus (apical cell). Pada brush
border dari sel absortif, besi feri dikonversi menjadi besi
fero oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh
protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor
melalui membran difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT 1, disebut juga sebagai Nramp
2). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan
dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui
basolateral transporter (ferroprotin disebut juga sebagai
IREG 1) ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi reduksi
dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh
hephaestin, yang identik dengan seruloplasmin pada
I
I
Permukaan Apikal
Permukaan Basolateral
I
1
1129
ANEMIA DEFISIENSIBESI
FASE KORPOREAL
Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati
bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian
dalarn darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin.
Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui
proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat
maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada
transferin (Fez-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin
(transferrin receptors = Tfr) yang terdapat pada
permukaan sel, terutama sel normoblas. Kompleks Fez-TfTfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi
oleh klatrin (clathrin-coatedpit), cekungan ini mengalami
invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa
proton menurunkan pH dalam endosom, menyebabkan
perubahan konformasional dalam protein sehingga
melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam
endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan
DMT1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor
transferin mengalarni siklus kembali ke permukaan sel dan
dapat dipergunakan kembali.
o-[
darah
--
PREVALENSI
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang
paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat.
ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di
negara berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan
sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia
defisiensi besi seperti tertera pada Tabel 2.
Laki dewasa
Wanita tak
harnil
Wanita harnil
Afrika
Arnerika Latin
Indonesia
6%
20%
3%
17-21%
16 - 50%
25 - 48%
60%
39 - 46%
46 92%
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi hams
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti
disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan
adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
hematokrit. Cut oflpoint anemia tergantung kriteria yang
dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap
kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,
sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari
defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis
anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat
dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi
dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokromik rnikrositer pada hapusan darah tepi,
atau MCV <80 fl dan MCHC <3 1% dengan salah satu dari
a, b, c, atau d.
-. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
- Besi serum <50 mg/dl
- TIBC >350 mgldl
- Saturasi transferin: <15%, atau
Feritin serum <20 mg~l,atau
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's
stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir
hemosiderin) negatif, atau
Dengan pemberian sulfas {erosus 3 x 200 mglhari (atau
preparat besi lain yang setara) selarna4 minggu disertai
kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang
menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering
merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai
jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangat
penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan
yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang
baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.
Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari
sumber perdarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi
DIAGNOSIS DIEFERENSIAL
Anemia
Defisiensi Besi
Derajat
anemia
MCV
MCH
Besi serum
Ringan sampai
berat
Menurun
Menurun
Menurun
< 30
Meningkat >360
Menurun < 15%
Anemia Akibat
Penyakit Kronik
Trait
Thalassemia
MenurunlN
MenurunlN
Menurun < 50
Menurun
Menurun
Normal1 t
Menurun ~ 3 0 0
MenurunlN 10-20%
Negatif
Positif
Normal / d,
Meningkat
> 20%
Positif kuat
Meningkat
Meningkat
Normal
Feritin serum
Elektrofoesis
Hb.
Meningkat >50
IJClIl
Hb. A2
meningkat
Saturasi
transferin
Besi sumsum
tulang
Protoporfirin
eritrosit
Anemia
Sideroblastik
Ringan
sampai berat
MenurunIN
MenurunlN
Normal,! ?
Normal! d
Meningkat
>20%
Positif dgn ring
sideroblast
Normal
Meningkat
>50 ygll
N
ANJBUA DEFISIENSIBESI
= (15-Hbsekarang) x BB x
atau 1000 mg
2,4
+ 500
PENCEGAHAN
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di
masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan
yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat
berupa:
Pendidikan kesehatan:
- kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian
jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya
pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah
penyakit cacing tambang
- penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi
makanan yang membantu absorbsi besi
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber
perdarahan kronik paling yang sering dijumpai di daerah
tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat
dilakukan dengan pengobatan masal dengan
anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada
segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan
anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan
harnil dan anak balita memakai pi1 besi dan folat.
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu
mencampurkan besi pada bahan makan. Di negara Barat
dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau
bubuk susu dengan besi.
Adamson JW. Iron Deficiency and others Hypoproliverative Anemias. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL (editors). Harrison's Principle of Internal Medicine. 15Ih edition. ~ e York:
w
McGraw Hill, 2001. p. 491-762.
Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. In: Greer GM,
Paraskevas F, Glader B (editors). Wintrobe's Clinical Hematology. Illh edition. Philadelphia: Lippincot, Williams, Wilkins,
2004. p 947-1009.
Andrews NC. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med
1999;341:1986-1995.
Baker WF. Iron Deficiency in Pregnancy, Obstetrics, and
Gynecology. Hematol/Oncol Clin N Amer 2000;14(2).
Bakta IM. Hematologi Ringkas. Denpasar : UPT Penerbit
Universitas Udayana, 2001.
Bakta IM. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya
sebagai salah satu Penyebab Anemia Defisiensi Besi: studi
imunoepidemiologik di desa Jagapati, Bali (Disertasi).
Surabaya:Universitas Airlangga, 1993.
Bakta IM. Lila IN. Widjana DP & Sutisna P. Anemia dan anemia
defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan Bali. Yogyakarta : Naskah Lengkap
KOPAPDI VIII, 1990.
Bakta IM. Aspek epidemiologi anemia defisiensi besi. Acta Medica
Indonesiana 1993;XXV:1054-1073.
Bakta IM. Anemia defisiensi besi pada penduduk dewasa desa Jagapati,
Bali. Acta Medica Indonesiana 1993;XXV: 123 1-1244.
Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah
Kedokteran Indonesia 1989; 39: 504-506.
Bakta IM. Anemia Defisiensi Besi pada Praktek Swasta seorang
Spesialis Penyakit Dalam di Denpasar. Majalah Kedokteran
Udayana 1996;27: 112-1 18.
Bakta IM, Budhianto FX. Hookworm anemia in the adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop
PENDAHULUAN
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau
inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya
ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan
berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis.
Cartwright dan Wintrobe melaporkan bahwa pada tahun
1842, peneliti-peneliti di Perancis telah menemukan adanya
massa eritrosit yang lebih rendah pada penderita tifoid
dan cacar dibandingkan dengan orang normal. Diketahui
di kemudian hari bahwa penyakit infeksi seperti
pneumonia, sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain
seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker
sering disertai anemia dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis.
Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai
oleh kadar Hb berkisar 7- 11 gtdL, kadar Fe serum menurun
disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di
jaringan serta produksi sel darah merah berkurang.
c. Produksi Eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah
meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya
gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal
ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh
penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Penelitian
akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin
lebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis
anemia tersebut (Tabel 1).
Fe plasma (rng/~)
TlBC
Persen saturasi
Kandungan Fe di
makrofag
Feritin serum
Reseptor
transferin serum
Normal
Anemia
Defisiensi
Fe
Anemia
Penyakit
Kronis
70-90
250-400
30
30
>450
7
30
<ZOO
15
20-200
8-28
10
228
150
8-28
++
+++
GAMBARAN KLlNlS
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan
sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit
dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-1 1 gr/dL umumnya
asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau
debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas
transport 0 2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya
atau memperberat keluhan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai
konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari
anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari
hasil pemeriksaan laboratorium.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer,
meskipun banyak pasien mempunyai garnbaran hipokrom
dengan MCHC <31 g/dL dan beberapa mempunyai sel
mikrositer dengan MCV <80 fL.Nilai retikulosit absolut
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan
pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung
dari penyakit dasarnya.
Penurunan Fe serum (hipoferemia)merupakan kondisi
sine qua non untuk diagnosis anemia penyakit kronis.
Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau
inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi
protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan
saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi
besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi
dengan meningkatkan transfer Ee dari suatu persediaan
yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid
imatur.
'
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Soenarto
PENDAHULUAN
Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh
sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi gizi
menurut WHO 1972 sebagai berikut:
Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada
ketinggian permukaan laut lebih rendah dari nilai pada
golongan umur yang ada yaitu :
Anak umur 6 bulan - 6 tahun : 11 g/100 ml
: 12g/100ml
6 tahun - 14 tahun
: 13 grJ100 ml
Pria dewasa
Perempuan dewasa tak hamil : 12gr/100 ml
: 11gr1100ml
Perempuan dewasa hamil
Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur
kadar besi, asam Folat dan vitamin B 12.
Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb
dan hematokrit (Ht) adakalanya palsu. Keadaan yang dapat
meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma darah,
combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi.
Kadar rendah palsu contohnya pada keadaan hamil atau
dekompensasi jantung.
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang
disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel
yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif
mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel
a4al hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan
sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik
normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi
besar dengan peningkatan rasio dari RNA terhadap DNA.
$el-sel awaVpendahulu eritroid megaloblastik cenderung
dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian
selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi
produksi sel darah merah berkurang, dan keadaan
abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesisyang tidak
efektif (ineffective erythropoiesis).
megaloblastik.
Penyakit seperti anemia hemolitik dapat pula jadi rumit
oleh komplikasi defisiensi folat yang dapat terjadi. Obatobat yang menghambat dihidrofolat reduktase (antara lain
metotreksat, trimetopriin) atau yang dapat mengganggu
absorbsi dan penyimpanan folat dalam jaringan tubuh
(antikonvulsan tertentu, kontraseptif oral) mampu
mengakibatkan penurunan kadar folat dalam plasma, dan
bersamaan waktunya dapat menjadi penyebab anemia
megaloblastik. Hal ini karena adanya gangguan maturasi
yang disebabkan oleh defek inti sel. Jadi gangguan
maturasi yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah
karena defisiensi asam folat atau vitamin B 12 disebabkan
karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda
dalam sumsum tulang.
Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk
dari N5-rnetiltetrahidrofolat, suatu monoglutamat, yang
ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang
khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di
dalam sel, gugus N5-metil dilepas ke dalam reaksi
kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah
menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada
polyglutamate mungkin berguna untuk penyimpanan folat
di dalam sel.
Ikatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu,
dan cairan tubuh lain. Fungsi ikatan folat dan ikatan
dengan membran perintisnya hingga kini belum diketahui.
Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya
dengan pengangkutan tetrahidrofolat.
Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1karbon moieties" seperti gugus-gugus metil dan formil ke
berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon moieties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan
tetrahidrofolat menghasilkan glisin dan N5-10metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah asam
formiminoglutamat, suatu lanjutan dalam katabolisme
histidin, yang menyarnpaikan gugus formimino
tetrahidrofolat dan asam glutamat. Derivat-derivat tersebut
menyediakan tempat masuk ke dalam kelompok pemberi
dan mudah saling menukar yang terdiri dari derivat-derivat
tetrahidrofolat pembawa macam-macam "1-carbon
moieties".
Unsur-unsur pokok dari kelompok tersebut dapat
memberikan "1 -karbon moieties" mereka kepada senyawasenyawapenerima yang sesuai, guna membentuk lanjutan
metabolik dengan tujuan akhir mengubah pembentukan
blok-blok yang digunakan untuk sintesis makromolekulmakromolekul. Yang sangat penting dalam pembentukan
blok-blok tersebut adalah:
Purin-purin,di mana atom-atom C-2 dan C-8 dirnasukkan
dalam reaksi ketergantungan pada folat;
Deoksitimidilatmonofosfat (dTMP), disintesis dari N5- 10
metilentetrahidrofolat dan deoksiuridilat monofosfat
(dUMP); dan
ANEMIA MECAL.OBLASTIK
Vitamin Bi2
NS - metil THF
CH2CH2CONH2
S~ntase
dTTP
Dihidrofolat
Reduktase
IL
Homosistein
Metil THF
Folat
FmM
Lumen
Ep~thelium
Ileum terminal
cbl&
Darah
Sel jaringan
GANGGUAN KLlNlS
Sebagaimanatertera dalam klasifikasi anemia rnegaloblastik,
kausa dari anemia rnegaloblastik sangat bervariasi
tergantung dari keadaan wilayah di dunia ini. Di wilayah
dengan udara dingin, defisiensi folat sering terjadi pada
pecandu alkohol, sedangkan defisiensi kobalarnin
disebabkan karena anemia pernisiosa atau aklorhidria
rnerupakan tipe yang sering dari anemia rnegaloblastik.
Di wilayah tropis, sprue adalah endernik yang
merupakan penyebab penting tirnbulnya anemia
rnegaloblastik, sedangkan di Skandinavia, adanya cacing .
pita dalam &an yaitu Difilobotriurnlatumi, rnungkin sebagai
penyebabnya. Tentang infestasi cacing pita di rnasyarakat
Bali perlu rnendapat perhatian.
Defisiensi kobalarnin kebanyakan selalu berkaitan
dengan rnalabsorbsi. Asupan harian kobalamin lebih dari
cukup untuk keperluan tubuh, kecuali pada vegetarian.
Berbeda dengan asupan harian asam folat adalah kecil di
banyak wilayah di dunia. Lebih lanjut, karena sirnpanan
asam folat dalam tubuh relatif rendah, rnaka defisiensi asam
folat dapat tirnbul rnendadak selama periode berkurangnya
asupan atau rneningkatnya keperluan rnetabolik. Dan
terakhir, defisiensi asarn folat dapat disebabkan oleh
rnalabsorbsi. Sering pula dua atau lebih faktor yang
berdampingan akan berakibat pada pasien.
Tidak jarang kornbinasi defisiensi kobalamin dan asam
folat dapat terjadi. Pada para pasien " tropical sprue "
sering tirnbul defisiensi kedua vitamin tersebut.
Lesi biokirniawi sebagai akibat dalam rnaturasi
rnegaloblastik dari sel sel surnsurn tulang juga dapat
rnengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari
sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari rnukosa
intestinurn. Jadi defisiensi yang berat dari salah satu vitamin dapat rnengakibatkan rnalabsorbsi.
Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh
faktor faktor yang tak ada kaitannya dengan defisiensi
vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan
obpt obat yang rnengganggu sintesis DNA. Meskipun
kurang sering, rnaturasi rnegaloblastik dapat rnerupakan
gambaran defek sel induk hernatopoietik yang didapat. Dan
sangat jarang ialah adanya defisiensi enzirn spesifik yang
kongenital.
Defisiensi Kobalamin
Gambaran klinis defisiensi kobalamin rnelibatkan darah,
traktus gastrointestinal, dan sisterna nervorum.
Manifestasi hernatologis sepenuhnya selalu berakibat
anemia, rneskipun sangat jarang purpura, dapat pula
tampak, karena trornbositopeni. Keluhan dari anemia dapat
Anemia Pernisiosa
Anemia pernisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai
penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan karena tidak
adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa
maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk orang orang Asia ha1 tersebut jarang terjadi. Ini merupakan
penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang untuk usia di
bawah 30 tahun, meskipun anemia pernisiosa yang khas
dapat terjadi pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile
pernicious anemia). Adanya kondisi kelainan yang
diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal
maupun sama sekali tidak disekresi akan mengakibatkan
defisiensi pada bayi atau anak sangat muda.
Kejadian anemia pernisiosa secara substansial
meningkat pada penyakit penyakit imunologik, termasuk
penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi
adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipoparatiroidisme.
Pasien anemia pernisiosa juga inempunyai antibodi dalam
sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan
penyakitnya: yaitu 90% mempunyai antibodi sel
antiparietal, yang langsung melawan H+, K+-ATPase,
sedangkan 60% mempunyai antibodi antifaktor intrinsik.
Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50% para
pasien atrofi gaster tanpa anemia pernisiosa, demikian pula
terdapat pada 10 sampai 15% dari populasi pasien yang
tak diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik bjasanya
tidak ada pada para pasien tersebut. Sanak keluarga dari
para pasien anemia pernisiosa terdapat peningkatan
kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena
kemungkinan juga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik
dalam serumnya. Akhirnya pengobatan dengan
kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya.
Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapat juga
mempunyai andil dalam destruksi sel sel parietal. Anemia
pernisiosa tidak jarang terdapat pada para pasien dengan
agammaglobinemia. Hal ini menunjang peran pada sistem
imun seluler sebagai patogenesisnya. Dan berbeda dengan
Helicobacter pylori yang tidak mengakibatkan destruksi
sel parietal pada anemia pernisiosa.
Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah
atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang
mensekresi asam dan pepsin darl lambung; terkecuali
antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi
kobalamin sekunder; ini termasuk perubahan
megaloblastik dalam lambung clan epitel intestinum dan
Pasca Gastrektomi
Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang
luas karena bahan obat yang merusak, maka akan terjadi
anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah
dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi
kobalarnin yang diberikan oral akan terganggu. Anemia
megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomi parsial,
yang sebabnya belum jelas.
Organisme Intestinal
Anemia rnegaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi
anatomik (striktur, divertikel, anastomosis, blind loops)
atau pseudo obstruksi (diabetes melitus, skleroderma,
amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari
sejumlah besar kumpulan bakteri dalam usus halus yang
mengkonsumsi kobalamin intestinal sebelum diabsorbsi.
Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan
demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu
bila intestinum dihuni lebih banyak oleh kolonisasi bakteri.
Respons hematologis telah diabsorbsi setelah pemberian
antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia
megaloblastik dapat dijumpai pada orang-orang pengidap
cacing pita karena adanya kompetisi dari cacing dalam
memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita
tersebut maka problema tersebut dapat diatasi.
Abnormalitas Ileum
Definisi kobalamin sering dijumpai pada "tropical sprue",
sedangkan ha1 ini merupakan komplikasi yang diluar
kebiasaan dari "~zontropicalsprue" (gluten-sensitive enteropathy). Sebenarnya tiap gangguan yang bersamaan
dengan kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat
menimbulkan defisiensi kobalamin. Keadaan khusus yaitu
termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan
tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh
suatu penyakit dapat mengakibatkan anemia megaloblastik
tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi intestinal
seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga
tampak setelah reseksi ileum.
~ i n d r b mZollinger-Elison (hiperasiditas lambung yang
hebat karena tumor yang mensekresi gastrin) dapat
mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh pengasaman
usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan
R ke faktor intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-FI
komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis kronik dapat juga
mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya
selalu ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin
secara klinis. Akhirnya, gangguan kongenital yang jarang
Nitrous Oxide
Menghirup nitrous oxide sebagai obat bius
menghancurkan kobalainin yang endogen. Pemakaian
seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak
cukup untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara
klinis, tetapi pemakaian berulang atau yang
berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang
mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan
dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit
neurologik akut.
Defisiensi Asam Folat
Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan
padi-padian .telah disarankan oleh US Food and Drug
Administrution sejak Januari 1998,maka kejadian defisiensi
asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi
asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan
defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah
serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemia pernisiosa.
Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga
dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin,
tidak tampak adanya abnormalitis neurologik.
Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat
adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam
folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih
faktor seperti: asupan yang tak memadai, keperluan yang
meningkat, atau malabsorbsi.
Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan
dapat mengalami defisiensi asarn folat karena sumber utama
asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman
beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat.
Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat
karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia
lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita
defisiensi folat.
Keperluan yang meningkat.Jaringan jaringan yang relatif
pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang,
mukosa usus, rnemerlukan cukup besar akan folat.
Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau
penyebab lain terjadinya eritropoiesis yang aktif akan
mengalami deflsiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko
tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang
meningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila
defisiensi timbul pada minggu pertama kehamilan, maka
dapat mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.
Obat- obatan
Selanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalarnin yang
sering menjadi penyebab anemia megaloblastik adalah obat
obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia
megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesis
DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini
dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Langsung penghambat sintesis DNA, mereka terrnasuk
analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin),
analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan obat
yang mengganggu sintesis DNA dengan berbagai macam
mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus
zidovudin (AZT), yang digunakan untuk pengobatan HIV,
sering menimbulkan anemia megaloblastik berat.
Antagonis folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah
metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat
reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan
tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang
kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia
megaloblastik adalah beberapa penghambat dihidrofolat
reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan
berbagai macam kondisi nonmalignan. Obat-obatan
tersebut termasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan
pirimetamin.
Lain-lain. Sejumlah obat yang melawan folat dari
mekanismenyayang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan
ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh
intestinum. Dalam kelompok ini adalah "anticonvulsants"
fenitoin, primidon, dan fenobarbital.Anemia megaloblastik
yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.
Mekanisme Lain
Sebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada
beberapa penyakit herediter. "Orotic aciduria" suatu
defisiensi orotidilik dekarboksilase dan fosforilase, karena
defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya
pertumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun
dari ekskresi sejumlah besar dari asam orotik. Malabsorbsi
folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik,
bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental.
Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin
yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus
pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan
megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu
sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para
pasien tertentu dengan anemia dyserythropoietik
kongenital, suatu golongan gangguanlpenyakit yang
diwariskan dengan ciri anemia ringan sarnpai sedang dan
perjalananny a tidak ganas.
Defisiensi TC 11, seperti abnormalitas yang diwariskan
pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi
yang mencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa
kanak kanak. Anemia megaloblastik tak dijumpai pada
defisiensi TC I yang diwariskan.
ANEMIA MEGALOBLASTIKYANG REFRAKTER
Eritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak
pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas
pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering
menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih
jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti
megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang
sangat hipokromik. Varian ini disebut " megaloblastoid "
yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma.
"Megaloblastoid " tidak berarti " megaloblastoid ringan".
Seperti halnya bentuk lain dari mielodisplasia, anemia
megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan
peningkatan kejadian leukemia akut.
Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis
eritremik dan eritrolekemia akut, di mana pendahulu sel
darah merah nyata terlibat.
Diagnosis
Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu
menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan
laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan
laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit,
retikulosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, laju endap
darah, serum vitamin B 12, serum folat, folat eritrosit,MCV
dan lain-lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film1
hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk
sel sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Didapatkan
secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100fl maka
ANEMIA ~ B L A S T I K
ANEMl A
Morfologi
SDM
I
Normositik
Normokromik
I Hipoproliferatif I
Hemolisisl
Hemorrhagia
I
Mikro atau
Makrositik
Gangguan
maturasi
- Kehilangan darah
- Hemolisis intravaskular
- Defek
metabolik
-Abnormalitas membran
- Hemoglobinopati
- Defek autoimun
- Hemolisis fragmentasi
- Defek sitoplasma
- Defisiensi Fe
- Talasemia
-Anemia side
- Roblastik
- Defek inti
- Defisiensifolate
HEMATOLOCl
Pengobatan
Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka
perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan
penyakit dasar yang melatar belakangi, misalnya adanya
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum
perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk
defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek
yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien
diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk
suntikan kobalamin intramuskular.
Awal pelnberian terapi parenteral dengan kobalan~in
1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, keniudian
dilanjutkan suntikan i.m kohalamin 1000 ug tiap bulan dari
sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola
secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin
B12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lehih
besar pada terapi oral dibanding terapi i.ni.
Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah
terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons
hematologis tampak nyata dalam darah perifer, pasien
merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan
kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke
keadaan normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi
dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke-4 sampai hari
ke-5 setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang
lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah
beberapa minggu. Bila retikulositosis Lidak tampak, atau
bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar
hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang
mengakibatkan anemia (a.1. infeksi, bersamaan dengan
defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme). Hipokalemia
dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan
terapi. TrombosiLosis mungkin ditemukan.
Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua
yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin.
Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat
disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan
kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini
perlu dilakukan dengan hati hati, sebab pasien yang
demikian dapat berkemba~igmenjadi gagal jantung karena
adanya kelebihan cairan.
Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC
(Pocked Red Blood Cells), dan harus selalu dalam
pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi
sedikit akan cukup guna menghindari nasala ah gagal
kardiovaskular akut.
Dengan pengobatan jangka lama selama hidupnya, para
pasien akan mengalami Lidak berlanjutnya manii'cs~asi
defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak
sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang
optimal. Pada pasien anemia pernisiosa perlu dengan
cermat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena
adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma
lambung.
DEFlSlENSl FOLAT
Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati
dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah
I mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per
hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang
disebabkan karena malabsorbsi. Pemberian folat parenteral
jarang diperlukan. Respons he~natologissama dengan
yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada
defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis
yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti
dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan
kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar
defisiensi.
Para pasien dengan keperluan yang terus menerus
lneningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau
mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik,
hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan
mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat.
ANEMIA MU;ALOBLASTIK
KESIMPULAN
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan
oleh defek sintesis DNA dalam sel-sel terutama dari
hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat
dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi
asam folat dan sebab sebab lain.
Asain folat dan vitamin B12 adalah zat yang
berhubungan dengan unsur makanan yang sangat
diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan
vitamin B 12ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua
zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak
sempurnanya sintesis DNA. Hematopoiesis sangat sensitif
pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah
anemia megaloblastik.
Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala
klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian
atau menghilangkan defisiensi tersebut.
'
DIAGNOSIS
Gambar 1. Aktifasi komplemen pada AlHA
ETlOLOGl
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas,
kemungkinan tejadi karena gangguan central tolerance,
dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif
residual.
KARENA
PENDAHULUAN
Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari
nilai normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat
dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.
Patofisiologi
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular.Hal
ini tergantung pada patologi yang mendasari suatu
penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi e~itrosit
terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma
mekanik, fiksasi komplernen dan aktivasi sel pe~mukaanatau
>infeksiyang langsung mendegradasi dan mendestruksi
men~bransel eritrosit. Hemolisis intravaskularjarang terjadi.
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis
.ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi
sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena
sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak
dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga
'difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
Manifestasi Klinis
Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin
mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien
mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan,
meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan
terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi
penting yang harus ditanyakan saat anamnesis.
Pada perneriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa
kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia
'hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia
dan aliran murmur pada katup jantung.
. Selain hal-ha1 umum yang dapat ditemukan pada
anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan
pemeriksaan fisik hal-ha1 yang bersifzt khusus untuk
anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus
tungkai pada anemia sickle cell.
Pemeriksaan Laboratorium
Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis.
Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasia eritroid
di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu
diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari
setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding
retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan
perbaikan supresi eritropoeisis.
Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun
retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular
volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya
hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada
sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel
target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati;
Schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan
lain-lain.
Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain,
peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2,
dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan
destruksi eritrosit.
Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular,
1159
ANEMIAHEMOIS~~K
NON AUTOIMUN
Defisiensi GGPD
Tipe
Sebab
Kegagalan
degradasi faktor
von Wilebrand
multimer besar
yang tidak biasa
Thrombotic
Trombocytopenia
Purpura
Trombus
trombositfibrin
predominan
di ginjal
Pajanan dengan
toksin Shiga
Klasik, kanak-kanak
atau Hemolytic Uremic
Syndrome yang
berhubungan dengan E.
Coli
Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS) familial
(atau rekuren)
Defek faktor H
plasma
Mikroangiopati Trombotik
Mikroangipati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular
yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau
intra,?.~lal,
disertai adanya trombositopenia, dan trauma
mek,.;ni.ksel eritrosit.Yang termasuk kelompok kelainan ini
adalah: Thrombotic Trombositopenia Purpura (TTP) dan
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).
Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP)
~ e l a i n a nini ditandai dengan agregasi trombosit pada
arteriol berbagai organ yang mengakibatkan
trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang
mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet).
Agregasi trombosit dapat mengakibatkanoklusi baik parsial
atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya
terjadi pada sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini
menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga
meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit
yang mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran
darah melalui area turbulen dari rnikrosirkulasi mengalami
oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi
pada semua usia terutama dewasa muda dan lebih sering
perempuan.
Patogenesis. Pada TTP trombus tombositlagregasi
trombosit mengandung banyak faktor von Willebrand
sedangkan pada DIC tombus trombosit mengandung
banyak fibrin tetapi tidak mengandung faktor von
Presentasi klinis
-
Trombus
tombosit
sistemik
Trombus
renal atau
sistemik
Transplantasi atau
obat (mytomicin,
cyclosporin,
tacrolimus,
quinine)
Hemolytic Uremic
Sydrome atau
Thrombotic
Trombocytopenia
Purpura
Klasifikasi
Ada dua tipe TTP: 1). Familial. Muncul pada masa bayi
atau kanak-kanak dan kambuh dengan interval teratur tiga
minggu (dirujuk sebagai thrombotic trombositopenia
kronik kambuh); 2). Idiopatik didapat. Muncul pada orang
dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan biasanya
merupakan episode akut tunggal. Hanya 11-36% yang
kambuh dengan interval tidak teratur. Biasanya terjadi
dalam beberapa minggu setelah terapi awal trombosis arteri
pada pasien trombosis arteri yang mendapat tiklopidin,
inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan sebagian kecil yang
pasien yang menerima Mopidogrel. Kelainan ini juga bisa
terjadi pada waktu kehamilan terutama trimester akhir atau
periode postpartum.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia
hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, tes koagulasi
normal, demam, kelainan neur~logidan gangguan fungsi
ginjal, yang merupakan kelainan patognomonik untuklTP.
Meski tidak selalu dibutuhkan untuk diagnosis, biopsis
kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum
tulang, menunjukkan kelainan arteriol yang khas.
Diagnosis Banding. Idiopathic trombocytopenic purpura
(ITP) atau Evan's Syndrome. Pada kedua kelainan ini
ditemukan juga fragmentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit
sferositik. Pada TTP tes Coombs negatif
Terapi. Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah
dengan pemberian fresh frozen plasma yang mengandung
sedikit trombosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat
(cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan
pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang
diberikan tiap tiga minggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis.
Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma
exchage (plasma tukar) yaitu kombinasi plasmaferesis
dengan infus FFP atau cryosupernatant, setiap hari.
Plasmaferesis bertujuan untuk mengeluarkan faktor von
Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan
autoantibodi terhadap ADMTS 13). Jika respon baik
(trombositmeningkat dan LDH menurun) frehensi plasma
tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan
untuk beberapa minggu atau bulan. Lebih dari 90% pasien
dapat bertahan hidup dengan pemberian segera terapi ini.
Pada keadaan dimana autoantibodi ADAMTS 13
Hipersplenisme
Limpa normal berbagi fungsi dengan jaringan lain dalam
ha1 pembentukan, penyimpanan dan penghancuran sel
darah serta produksi antibodi. Namun limpa memiliki
kemampuan unik untuk melakukan penyaringan terhadap
sel darah serta menyingkirkan sel yang abnormal maupun
benda asing.
Limpa memiliki 2 fungsi dasar, yaitu:
Fungsi penyaring dan surveilan terhadap komponen
darah di pulpa merah (oleh makrofag)
Fungsi sintesis antibodi di pulpa putih
Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel
darah yang berlebihan oleh limpa. Hal ini terjadi ketika
ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun
jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan ini
meningkatkan peran fungsi penyaring, sehingga sel darah
normal pun akan mengalami perlambatan serta proses
penghancuran sementara. Walaupun proses penghancuran
granulosit dan trombosit menyebabkan neutropenia dan
trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut dapat
beradaptasi dengan perlambatan proses penyimpanan di
limpa. Berbeda dengan sel darah merah yang terperangkap
akan mengalami penghancuran menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik.
Dameshek berpendapat bahwa hipersplenisme
umumnya dihubungkan dengan keadaan splenomegali,
~nenyebabkanterjadinya sitopenia yang berakibat
terjadinya kompensasi hipeplasi sumsum tulang.
Kebanyakan kelainan ini harus dikoreksi dengan
splenektomi.
lnfeksi Mikroorganisme
Mikroorganisme memiliki mekanisme yang bermacammacam saat menginfeksi eritrosit menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Ada yang secara langsung menyerang
eritrosit seperti pada malaria, babesiosis dan bartonellosis.
Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Closrridium
perfringens, pembentukan antibodi atau otoantibodi
terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen
mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit.
Malaria
Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak
sesuai dengan rasio jumlah sel yang terinfeksi, namun
penyebabnya masih belum jelas. Fragilitas osmotik pada
sel yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi mengalami
Bartonellosis
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh Bartonella
baciliformis yang melekat pada permukaan sel eritrosit.
Eritrosit yang terinfeksi mengalami indentasi, invaginasi
serta terbentuknya saluran. Eritrosit yang terinfeksi,
dengan cepat dihancurkan olek hati dan limpa. Anemia
hemolitik akut terjadi pada saat demam "Oroya" di mana
dengan cepat jumlah eritrosit mengalami penurunan
sampai 750.000/uL.
Diagnosis dan terapi. Diagnosis ditegakkan dengan
menemukan B baciliformis pada sel eritrosit. Dengan
pewarnaan Giemsa didapatkan bentuk batang berwarna
merah jingga.
Pengobatan dengan penisilin, streptornisin,klorardenikol
dan tetrasiklin memberikan respons sangat baik.
Babesiosis
Babesia merupakan protozoa intra eritrosit, yang ditularkan
melalui gigitan kutu rambut, yang dapat menginfeksi hewan
ternak maupun hew an liar. Pada manusia penyakit ini tidak
hanya ditularkan melalui gigitan kutu, tetapi juga lewat
,ransfusi darah.
e
PENDAHULUAN
Purpura TrombositopeniaIrnun (PTI) yang dahulu dikenal
sebagai Idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP) dan
kemudian selanjutnya disebut juga sebagai Immune
thrombocytopenic purpura rnerupakan suatu kelainan
didapat yang berupa gangguan autoirnun yang
rnengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya
penghancuran trornbosit secara dini dalam sistern
retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap
trornbosit yang biasanya berasal dari Irnmunoglubolin G
Kata trombositopeniamenunjukkan bahwa terdapat angka
uornbosit yang rendah, sedandkan kata purpura berasal
dari suatu deskripsi akan kulit yang berwama lebam karena
symptom penyakit ini, warna ungu pada kulit ini
disebebkan oleh merernbesnya darah dibawah kulit.
Adanya trombositopenia pada PTI ini akan
rnengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena
uombosit bersarna dengan sistern vaskular faktor koagulasi
darah terlibat secara bersamaan dalam rnernpertahankan
hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat bervariasi
mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sarnpai
dapat mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal. Kadang
juga asirnptornatik.Oleh karena rnerupakan suatu penyakit
autoirnun maka kortikosteroid rnerupakan pilihan
konvensional dalarn pengobatan PTI. Pengobatan akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan rnengatasi penyakit
yang rnendasari PTI sehingga tidak rnengakibatkan
keterlambatan penanganan akibat perdarahan fatal, atau
pun penanganan-penanganan pasien yang gaga1 atau
relaps. Di dalarn rnakalah ini akan disajikan pegangan
mengenai diagnosis klinis dan laboratoriurn, epidemiologi,
patofisiologi, rnenilai dan rnenentukan respon terhadap
pengobatan dan penangan kasus-kasus refrakter.
Berdasarkan etiologi, PTI dibagi rnenjadi 2 yaitu primer
(idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan onset penyakit
!,
Klon 2 sel B
~
Klon 2 sal T
. ----..---p-.---p...-
Kortikosterold
Gambar 2. Pendekatan terapi purpura trombositopenia purpura berdasarkan mekanisme kerja dari
splenektomi, beberapa obat dan plasmafaresis (Cines dan Blanchette, 2002)
Geneti k
Immune thrombocytopenic purpura telah didiagnosis
pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, dan
telah dikatahui adanya kecenderuangan menghasilkan
autoantibodi pada anggota keluarga yang 'saha. Adanya
peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 pada
beberapa populasi etnik telah diketahui. Ale1 HLA-DR4
dan DRB*0410 telah dihubungkan dengan respon yang
menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid,
Antibodi-anti Trombosit
Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia
ditemukan pada 75 % pasien PTI. Autoantibodi IgG
antitrombosit ditemukan pada +50 - 85% penderita.
Antibodi antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG,
dan hampir 50 % kasus, kedua serotipe imunoglobulin
tersebut ditemukaan pada pasien yang sama. Antibodi
IgM juga ditemukan pada sejurnlahkecil pasien tetapi tidak
pemah sebagai autoantibodi tunggal.
Peningkatan jumlah IgG telah tampak di permukaan
trombosit, dan kecepatan destruksi trombosit pada PTI
adalah proporsional terhadap kadar yang menyerupai
trombosit yang berhubungan dengan imunoglobulin.
Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam plasma
atau dalam eluate trombosit pada pasien dengan
penyakit yang aktif, tetapi jarang ditemukan pada pasien
yang mengalami rernisi. Hilangnya antibodi-antibodi
- berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang
normal.
Masa Hidup Trombosit
Masa hidup trombosit normal adalah sekitar 7 hari, tetapi
memendek pada PTI menjadi berkisar dari 2 - 3 hari sampai
beberapa menit. Pasien yang trombositopenia ringan
sampai sedang mempunyai rnasa hidup terukur yang lebih
lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia
berat.
GAMBARAN KLlNlS
PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak,jarang pada umur
dewasa, onset penyakit biasanya mendadak, riwayat
,
infeksi mengawali terjadinya perdarahan b e ~ l a n gsering
dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella)
dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus
merupakan 90% dari kasus pediatrik trornbositopenia
imunologik.Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah
varisella zooster dan ebstein barr. Manifestasi perdarahan
PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan
intrakranialterjadi h a n g dari 1% pasien. Pada PTI dewasa,
bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami
perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulrninan. PTI
akut pada anak biasanya self limitirig, remisi spontan
terjadi pada 90%penderita ,60% sembuh dalam 4-6 minggu
dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.
PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN
PTI Kronik
Onset PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat
perdarahan sering dari ringan sampai sedang. infeksi dan
pembesaran lien jarang terjadi, dan memiliki perjalar~anklinis
yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu. mungkin
intermitten atau bahkan terus menerus. Relnisi spontan
jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap.
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, peteki,
purpura. Pada umumnya berat dan frekwensi perdarahan
berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum
hubungan antara jurnlah trombosil dan gejala antara lain
bila pasien dengan AT > 50.000 /mL maka biasanya
asimptomatik, AT 30.000 - 50.000 /mL terdapat luka memarl
hematom, AT 10.000 - 30.000 /mL terdapat perdarahan
spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada
luka, AT < 10.000 /mL terjadi perdarahan mukosa
(epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria)
dan risiko perdarahan sistem saraf pusat.
Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapat
berasal dari lesi peteki pada mukosa nasal, juga dapat
ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus
genitourinari:l merupakan tempat perdarahan yang paling
sering. menoragi dapat merupakan ge.jala satu-satunya
dari PTI dan n~ungkintampak pertama kali pada pubertas.
Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih
jarang lngi dengan hematemesis.
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang
paling serius pada PTI. Hal ini mengenai hampir 1%
penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan
biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran
bervariasi dari peteki sampai ekqtravasasi darah yang luas.
DIAGNOSIS
Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan
PTI aku: dan kronik. sel-tatidak terdapatnya gejala sistemik
dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk
sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis
pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan
trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan
perdarahan karena trombosit yang rendah (peteki, purpura,
perdarahan konjungtiva dan perdarahan selaput lendir
yang lain). Purpurn Thrombocytopenic Imnrune dewasa
terjadi umumnya pada usia 18 - 40 tahun dan 2-3 kali lebih
sering mengenai wanita dari pada pria.
Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi),
tidak ada limfadenopati . Selain trombositopenia hitung
darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan
untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan
hematologi yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding PTI antara lain: anemia aplastik,
leukemia akul, Disscinlittated intravascular coag~ilutiorz
(DIC), Thrombotic thrornbocytopenicpurpura-hemolytic
uremic syndrome ('TTF-HUS), Antiphospholipid antibody
syndroine (APS), Myelodysplastic syndr-onre,
hipersplenisme, alcoholic liver diseuse, bentuk sekunder
PTI (SLE, HIV, leukemia limfositik kronik),
pseudotrombositopenia karena ethylenediamine
tetraacetate (EDTA), obat-obatan. Untuk menentukan
diagnosis banding PTI tersebut perlu meninjau kembali
patofisiologi klasifikasi trombositopenia pada tabel 1.
Diagram
Perdarahan
Transfusi trombosit
lmunoglobulinintravena
(lglkglhari atau 2-3 hari)
Metilprednisolon
(lglhari atau 3 hari)
Trornboslt
30.000-50.000/mrn3
Trombosit r50.000lrnm~
Prednison atau
tidak diterapi
lidak diterapi
Purpura
trornbositopenia
lmun kronls
Trornbosit
30.000-50.0001mm3
+I
Trornbosit i30.0Wmm3
Pradnison atau
tidak diterapi
Penjarahan
aktif
lmunoglobulin intravena
Metilprednisolon
Solenektomi
lidak ada
perdarahan aktif r Prednison
danazol (10-15 mglkglhari)
dapson (75-100 mglhari)
lmunoglobulin anti-D intravena:
medis
lmunoglobulin intravena
Trombosit c30.0001mm3
,
$- i
Trombosit ~30.0001mm3
Spleniktomi
Splenektomi
Trombosit k0.0001mm3
Tdak dlterapi
Penahambat kllreno t r o m h l t
Prednison
lmunoglobulin lntravena
Alkaloid vinka
Danazol
I
Terapi q d i s
0 b q t ~ b aImunooupreoU
t
Azatioprin
Siklofosfamid
Sikloporin
Obat-ohat percobaan
Antibodi penyerang CD 20
Antibodi penyerang CD.145
Transplantasi sumsum tulang
Trombopoietin
Gambar 3. Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber: Cines DB, Blanchette VS, 2002)
selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma NonHodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada
beberapa penelitian pendahuluan dengan respon
berlansung 12 bulan sejak dihiyung dari onset pengobatan
awal diberikan. Relaps jarang terjadi setelah 2,5 tahun dan
sekitar 50% pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa
tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di
Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi
375 mgrlm2 tiap minggu selarna 4 ininggu didapatkan angka
respon secara keseluruhan adalah 52%. Penelitian di
London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100
mg per minggu selama 4 minggu menunjukkan rituximab
dosis rendah dapat menghasil kan respon yang signifikan
dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.
PROGNOSIS
Respon terapi dapat mencapai 50%-70% dengan
kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil
dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada
PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial
yang berakibat fatal berkisar 2,2 % untuk usia lebih dari 40
tahun dan sampai 47,8 % untuk usia lebih dari 60 tahun.
PAROXYSMAL NOCTURNAL
HEMOCLOBINURIA (PNH)
Made Putra Sedana
PENDAHULUAN
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu
kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya
hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang
umumnya terjadi pada saat pasien tidur dimalam hari., yang
disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic
pada totipoten Hematopoetic stem cell yang menyebabkan
kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah
sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen,
hal ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia
dan kegawatan akibat trombosis vena.
Gambaran kelainan ini pertarna kali dipublikasikan oleh
Strubbing pada tqhun 1882, sedangkan karateristik
Winisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan
Nazari pada tahun 1911serta Micheli ditahun 1931, karena
itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada
dekade keempat dan kelima ,tetapi dapat pula terjadi pada
anak-anak dan orang tua.
Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala
anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta
keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat
ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tulang
dan sitogenetik.
LABORATORIUM
Gambaran anemia hemolitk.
Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia
hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi
besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik.
Retikulositosis
~ s ~ h asumsum
si
tulang : hyperplasia eritropoesis atau
hypoplasia.
DIAGNOSIS
Gejala : anemia, hemoglobinuria.
Hapusan Darah Tepi : gambaran anemia hemolitik,
sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat
juga menyerupai anemia aplasrik.
Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau
hypoplasi.
Flowsitometri :pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD
55 atau CD 59 pada granulosit.
Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif.
Manifestasi trombosis
Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.
DIAGNOSIS BANDING
Anemia Hemolitik Lain.
Anemia Defesiensi besi
Anemia aplastik
Black water fevel:
Paroxysmal cold hemoglobinuria.
PENGOBATAN
Bila anemia transfusi darah dengan Washed
Erythrocyte.
PROGNOSIS
Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun.
Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi:
trombosis; pansitopenia.
Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi:
Leukemia akut; SindromaMielodisplasia;Mielofibrosis;
PENDAHULUAN
Lupus eiitematosus siste~nik(systemic lupi~sel:\~thenzaionrs,
SLE) daprzt mempengaruhi banyak organ di t ~ ~ b udan
h
menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan
spektrum yaiig luas. Kelainan hematologi seringkali
diremukan pada SLE. Anemia dan trombositopenia,
kelainan hematologi yang sering terjadi pada perjalanan
penyakit pasien SLE, biasanya bukan melvpakan kondisi
yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi
gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen
yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, halnpir selalu
merupakan limfopenia, bukan granulositopenia,kondisi ini
jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya
tidak niembutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah
satu penyebab kematian pada pasien SLE.
Q-iteria Diagnosis SLE d a r i pads
~ ~197
~1 menyatakan
bahwa leukopenia, trombo~ito~enia,
dan anemia hemolitik
lnerupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada
revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi
dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1)
anci~iiahelnolitik autoimun, 2) leukopenia (<4000/pl pada
dua knli atau lebih pemeriksaan), 3) limfopenia (<1500/pl
pada dua kali atau lebih pemeriksaan) dan 4)
trombositopenia (<I 00.000lp1 tanpa pemberian obat).Pada
Cc~rolinaLupus Study, dari 265 pasien SLE yang
didiagnosis antara 1995 sampai 1999, frekuensi kelainan
hematologi pada diagnosis awal adalah 11% anemia
hemolitik, 18% leukopenia, 21% limfopenia, dan 11%
trombositopenia.
Sumsu~ntulang menjadi target pada pasien SLE dengan
sitopenia. Sebuah penelitian pada pasien-pasien SLE
dengan sitopenia, yang tidak menggunakan obat
iinunosupresif, melaporkan gambaran sumsum tulang
ANEMIA
Prevalensi
Sebagian besar pasien menderita anemia pada suatu waktu
di sepanjang perjalanan penyakitnya. Prevalensinyacukup
tinggi, sekitar 5 1-98% pasien pernah menunjukkan kadar
hemoglobin kurang dari 12 gldl. Pada umumnya, yang
terjadi adalah anemia derajat sedang, tetapi beberapa
pasien menunjukkan anemia berat.
Etiologi
Anemia pada pasien SLE dapat merupakan penyakit imun
atau non-imun. Anemia yang merupakan penyakit nonimun adalah anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi
besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal,
anemia diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap
penyakit lain (misalnya anemia sel sabit). Anemia yang
diperantaraiimun pada pasien SLE adalah anemia hemolitik
autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia
aplastik, pure red cell aplasia, dan anemia pemisiosa.
Voulgarelis dkk. melaporkan pada dari 132 pasien SLE,
37,1% menderita anemia pada penyakit kronik, 35,6% anemia defisiensi besi, 14,4% anemia hemolitik autoimun dan
12,9% karena penyebab lain.
Salah satu penyebab anemia pada penyakit kronik dan
1179
Pengobatan
Terapi medikamentosa. Kortikosteroid sisternik, 1-1,s mg/
kg prednison setiap hari, cukup efektif. Steroid diberikan
secara parenteral pada pasien dengan penyakit akut dan
kemudian diganti menjadi obat oral setelah keadaannya
stabil dan membaik. Dosis tersebut diberikan selama 4-6
minggu dan secara bertahap diturunkan.
Pada pasien yang responsif dengan steroid, respons
klinis akan terjadi dalam waktu satu minggu. Stabilisasi
hematokrit terjadi dalam 30-90 hari setelah terapi dimulai.
Pasien dengan anemia hemolitik berat dan progresif
cepat dapat diberikan metilprenisolon 1 g IV selama 3 hari
berturut-turut, diikuti dengan dosis steroid konvensional.
Hitung retikulosit dapat digunakan sebagai indikator
respons terapi dan untuk mendeteksi relaps saat dosis
steroid diturunkan. Hitung retikulosit yang menurun
drastis dihubungkan dengan relaps proses hemolitik.
Pengobatan lainnya yang telah dilakukan adalah
pemberian azatioprin 2-2,5 mglkg dikombinasikan dengan
prednison 10-20 mglhari pada pasien-pasien yang gaga1
dengan pemberian prednison.
Splenektomi. Splenektomi dilakukan pada pasien dengan
AHA tipe hangat idiopatik yang membutuhkan dosis
pemeliharaan prednison yang tinggi (20 mglhari atau lebih),
pasien dengan relaps yang sering, atau mereka yang
menunjukkan efek samping yang serius dengan terapi
steroid.
Mikroangiopati Trombotik
Mikroangiopatik trombotik adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan kondisi-kondisi dimana terjadi
trombosis mikrovaskular terlokalisasi atau difus. Sindrom
ini paling sering ditemukan pada pasien dengan lupus aktif,
dimana perusakan jaringan dan aktivasi komplemen
sedang terjadi.
Etiologi mikroangiopati trombotik sangat sedikit
diketahui tetapi sepertinya trombosit, faktor humoral
(antibodi dan komplemen) dan endotelium mikrovaskular
memegang peranan penting pada patogenesisnya. Cedera
pada pembuluh darah kecil merangsang adhesi trombosit
pada endotelium dan agregasi, menurunnya PGIl dan
1181
peningkatan sintesis tromboksan. Terikatnya antibodi atau
kompleks imun dari sirkulasi juga dapat menjadi awal
terbentuknya mikrolrombus, aktivasi komplemen lokal, dan
kemudian kerusakan endotel.
HIPERSPLENISME
Budi Muljono
PENDAHULUAN
Proses lnflamasi
Akutlsub akut: tifoid, sepsis, abses limpa, infeksi
mononukleosis, endokarditis bakterial subakut
Kronik: tuberkulosis, sifilis, Felty's syndrome, rheumatoid arthritis, malaria, leishmaniasis, trypanosomiasis,
(Amazonian splenomegali dan American splenomegalies,
histoplasmosis), skistosomiasis, ekinokokkosis, sarkoid
Boeck's, beryllium disease.
CongestivelBendungan Splenomegali:
Sirosis hati
Trombosis,stenosis atau cavernous transformasi vena
porta
Trombosis yang dapat terjadi penghambatam vena
splenika
Tidak diketahui penyebabnya
Kegagalan jantung
Hiperplasia Splenomegali
Anemia hemolitik murni
Anemia kronik dengan adaltidak ada kerusakan darah:
- Anemia pernisiosa, anemia mikrositik
- Talasemia, hemoglobin C disease.
- Anemia mieloftisis mielosklerosis, mielosis,
megakariositis aleukemik, metaplasia mieloid
agnogenik
- Penyakit hemolitik sejak bayi
- Lupus eritomatosus sistemik
Trombositopenia purpura
Limfatik hipersplenisme yang jinak: penyakit Grave's
Polisitemia Vera
Splenik neutropenia/panhematopeniaprimer
Kriptogenetik, splenomegali tropikal
'
lnfiltratif SplenomeQali
Penyakit Gaucher's
Penyakit Niemann-pick's
Arniloidosis
Diabetik lipernia
Gargoilisme
Kista dan Neoplasma
Kista limfa (epitel, endotel atau parasit, hemangioma)
Kista palsu (perdarahan, serosa, inflamasi)
Hamartoma
Leukemia
Penyakit Hodgkin's
Bukan penyakit Hodgkin's
Histokistosis X
Metastasis keganasan
GEJALA KLlNlS
Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut
karena pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa,
infark ataupun inflamasi dari kapsul limpa.
Pada anemia hemolitik, pembesaran limpa dapat
jmendadak sakit dan disertai infeksi sehingga dapat terjadi
secara tiba-tiba penghancuran eritrosit yang berat.
Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang
mendasari pembesaran limpa (hipersplenisme sekunder).
Demikian juga hasil pemeriksaan laboratorium selain
anemia, leukopenia, trombositopenia, atau kombinasinya
dan ditambah gejala-gejala dari penyakit sekundernya
PENGOBATAN
Pada pasien hipersplenisme primer, splenektomi adalah
yang terutama sedangkan pada hipersplenisme sekunder
sangat tergantung dengan penyakit penyebabnya.
Tindakan splenektomidilakukan bila pemeriksaan sumsum
tulang normal atau hiperselular. Banyak keadaan penyakit
yang disertai pembesaran limpa yang masif seperti
leukemia mielositik kronik, limfoma, leukemia haircell,
mielofibrosis dan metaplasia mieloid, polisitemia Vera,
penyaht gautcher's, leukemia limfositik kronik, dll.
Selain karena trauma, tumor limpa dan penyakit limpa
primer. Tindakan splenektomi biasanya dilakukan pada
pasien anemia karena kelainan bentuk eritrosit, kelainan
hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga
penghancuran eritrosit dan trombosit terhambatl
berkurang. Sehingga splenektomi dapat dilakukan sebagai
pilihan terakhir pengobatan penyakit-penyakit hipertensi
portal, leukemia dan liinfoma.
RlSlKO
Pengangkatan limpa dapat menyebabkan terjadinya infeksi
bakteri atau sepsis terutama 1 sampai 3 tahun setelah
operasi. Setelah pengangkatan limpa terjadi kenaikan cepat
jumlah trombosit yang disertai jurnlah eritrosit.
PENDAHULUAN
RlSlKO TRANSFUSI
Demam
Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibodi
leukosit, antibodi trornbosit, atau senyawa pirogen.
Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji cocok silang
antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien
yang rnendapat transfusi leukosit. Cara lain adalah
dengan rnernberikan produk darah yang mengandung
sedikit leukosit, leukosit yang harus dibuang pada produk
ini minimal 90% dari jumlah leukosit. Transfusijuga dapat
dilakukan dengan rnernasang mikrofiltrasi yang
mernpunyai ukuran pori 40 mrn. Dengan filter berukuran
tersebut jurnlah leukosit dapat berkurang sampai 60%.
Pemberian prednison 50 rng atau lebih sehari atau 50 mg
kortison oral setiap 6jam selama 48 jam sebelum transfusi
atau aspirin 1 g saat rnulai menggigil atau 1jam sebelum
transfusi, dilaporkan dapat mencegah demam akibat
transfusi.
Reaksi Alergi
Renjatan anafilaktik terjadi 1 pada 20.000 transfusi. Reaksi
alergi ringan yang rnenyerupai urtikaria tirnbul pada 3%
transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat
interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA
spesifik pada plasma resipien.
Reaksi Hemolitik
Reaksi ini terjadi karena destruksi sel darah rnerah setelah
transfusi akibat darah yang inkornpatibel. Reaksi hemolitik
juga dapat terjadi akibat transfusi eritrosit yang rusak akibat
paparan dekstrose 5%, injeksi air ke dalam sirkulasi,
transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan
pernanasan berlebihan, transfusi darah beku, transfusi
dengan darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan
tekanan tinggi.
Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin
memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan
donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada
tubuh resipien darah atau janin tersebut. Reaksi antara
antigen eritrosit dan antibodi plasma, baik yang spesifik
maupun nospesifik, menyebabkan antibodi merusak
eritrosit. Destruksi eritrosit yang cepat akan melepaskan
hemoglobin bebas ke dalam plasma sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal, toksemia, dan kematian.
Meskipun saat ini pemahaman mengenai antigen sel
darah merah dan implikasi klinisnya telah sangat maju,
namun reaksi hemolitik akibat transfusi masih dijumpai
pada setiap 250 ribu - 1 juta transfusi. Sekitar separuh
kematian akibat reaksi hemolitik tersebut disebabkan oleh
inkompatibilitasABO akibat kelalaian administratif. Sekitar
1 dari 1000 pasien secara Minis menunjukkan manifestasi
reaksi transfusi lambat dan 1 dari 260.000 pasien
menunjukkan reaksi hemolitik yang nyata karena
mempunyai antibodi terhadap antigen eritrosit minor yang
tidak dideteksi oleh tes antibodi rutin sebelum transfusi.
Reaksi ini akan lebih mudah terjadi pada populasi yang
mempunyai risiko seperti penyakit anemia sel bulan sabit
(sickle cell disease).
~ e n u l a r a nPenyakit
Selain masalah reaksi antigen-antibodi, maka transfusi yang
aman juga harus memperhatikan kemungkinan penularan
penyakit yang dapat menular melalui darah, seperti HIV,
hepatitis B, hepatitis C, dan virus lainnya. Bakteri juga
dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga
dapat menyebabkan infeksi dan terjadinya sepsis setelah
transfusi.
Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali
dilaporkan pada tahun 1982. Kebijaksanaan untuk
menyaring orang dengan perilaku risiko tinggi HIV untuk
tidak mendonorkan darahnya serta kemudian dilakukannya
tes penyaring untuk semua sampel darah donor,
diharapkan dapat menurunkan risiko terjadinya penulpran
HIV melalui transfusi darah.
Kontaminasi
Kontarninasi bakteri pada eritrosit paling sering disebabkan
oleh Yersinia enterocolitica. Angka kontaminasi oleh
Zenterocolitica di Amerika Serikat dan Selandia Baru
masing-masing adalah 1 per 1 juta unit sel darah merah
1187
DASAX-DASAR TRANSFUSIDARAH
Golongan Darah
Antigen
Antibodi
A
B
AB
0
A
B
A dan B
Tidak ada
Anti-B
Anti-A
Tidak ada
Anti-A, anti-B, anti-A,B
GOLONGAN DARAH
Sejak ditemukannya sistem ABO oleh Landsteiner pada
1900, sampai dengan tahun 1999, menurut International
Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 25 sistem
golongan darah dan lebih dari 250 antigen golongan darah
yang telah diidentifikasi. Sistem golongan darah terdiri
dari satu atau lebih antigen yang ditentukan baik oleh gen
tunggal atau sebuah cluster dari dua atau lebih gen
homolog yang berkaitan erat dimana benar-benar tidak
terjadi rekombinasi di antara gen-gen tersebut. Simbol
untuk keduapuluh lima sistem golongan darah tersebut
adalah ABO, MNS, P, RH, LU (Lutheran), KEL (Kell), LE
(Lewis), FY (Duffy),JK (Kidd), DI (Diego), YT (Cmright),
XG, SC (Scianna), DO (Dombrock), CO (Colton), LW, CWRG,
H, XK, GE, CROM, KN, IN, OK, dan RAPH.
Antigen yang tidakhelum termasuk ke dalam sistem
golongan darah dimasukkan menjadi koleksi atau seri
golongan darah. Koleksi Golongan Darah adalah suatu
set dari antigen yang secara genetis, biokimia, atau
serologis berhubungan tetapi tidak memenuhi syarat
untuk status sistem, biasanya karena antigen tersebut
tidak menunjukkan ciri-ciri genetis yang benar-benar:
berbeda dari semua sistem golongan darah yang ada.
Antigen yang tidak termasuk ke dalam sistem atau koleksi
golongan darah, digolongkan menjadi Seri Golongan
Darah.
Sistem golongan darah yang diperiksa dalam
pelaksanaan transfusi darah secara rutin adalah sistem
ABO dan Rhesus yang cara penggolonggannya secara
praktis dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Anti Rh,(D)
Kontrol Rh
Positif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Tipe Rh
D+
D- (d)
Harus diulang atau
diperiksa dengan Rh,(D)
typing (Saline tube test)
DONAS1 DARAH
Seleksi Donor Darah
Donor darah harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat
mendonorkan darahnya, yaitu keadaan umum baik, usia
17-65 tahun, berat badan 50 kg atau lebih, tidak demam
(temperature oral < 37,5"C), frekuensi dan irama denyut
nadi normal, tekanan darah 50-100190- 180rnmHg, dan tidak
ada lesi kulit yang berat.
Persyaratan lain adalah menjadi donor terakhir minimal
8 minggu yang lalu, tidak hamil, tidak menderita
tuberkulosis aktif, tidak menderita asma bronkial
simptomatik, pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi
besar, luka operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan mulut),
tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan
abnormal, tidak menderita penyakit infeksi yang menular
melalui darah.
Imunisasi dan vaksinasi. Calon donor yang baru saja
mendapat imunisasi atau vaksinasi dapat diterima sebagai
donor jika tidak ada gejala setelah tindakan tersebut. Jika
yang didapat adalah vaksin dengan virus hidup yang
dilemahkan, maka calon donor yang tidak menunjukkan
gejala apapun dapat diterima dengan batasan waktu
sebagai berikut:l). cacar air: dua minggu setelah timbul
reaksi imun atau setelah lesi bekas suntikan mereda, 2).
campak, gondong, demarn kuning, polio (oral): dua rninggu
setelah imunisasi terakhir, 3). campak Jerman: dua bulan
setelah imunisasi terakhir.
Malaria. Calon donor yang baru bepergian ke daerah
endemis dapat diterima menjadi donor 6 bulanasetelah
kembali dan terbukti tidak menunjukkan gejala dan tidak
rninum obat antimalaria. Calon donor yang pemah menderita
malaria dapat diterima setelah 3 tahun penyakitnya
admptomatik atau obat dihentikan.
Hn!
Reaksi selama dan sesudah donasi. Reaksi pada donor
jarang terjadi. Reaksi yang dapat terjadi adalah sinkop, rasa
lemas, frekuensi nafas meningkat, pusing, pucat, dan mual.
Reaksi yang jarang terjadi adalah kejang, kehilangan
kesadaran, atau berkemihldefekasi involunter. Masalah
pada jantung, bahkan serangan jantung, dapat terjadi,
walaupun sangat jarang (1 ddri 10 juta donor).
Uji terhadap darah donor. Pengujian yang dilakukan pada
darah donor meliputi a)penetapan golongan darah
berdasarkan ABO, b)penetapan goiongan darah
berdasarkan Rhesus, c)uji terhadap antibodi yang tidak
diharapkan, dilakukan pada darah dari donor yang pemah
mendapat transfusi atau hainil, dan d)uji terhadap penyakit
infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis.
dan tes antibodi HIV.
Uji Cocok-Silang
Uji cocok-silang (crossmatch) atau uji kompatibilitas
adalah prosedur yang paling penting dan paling sering
dilakukan di laboratorium transfusi darah. Uji cocok silang
secara umum terdiri dari serangkaian prosedur yang
dilakukan sebelum transfusi untuk memastikan seleksi
darah yang tepat untuk seorang pasien dan untuk
mendeteksi antibodi ireguler dalam serum resipien yang
akan mengurangi atau mempengaruhi ketahanan hidup dari
sel darah merah donor setelah transfusi.
Terdapat 2 jenis uji cocok-silang, mayor yaitu menguji
reaksi antara sel darah merah donor dengan serum resipien,
dan minor yaitu menguji reaksi antara serum donor dengan
sel darah merah resipien.
Ammann AJ, Cowan MJ, Wara DW, et al. Acquired immunodeficiency in an infant: possible transmission by means of blood
products. Lancet. 1983; 1 :956-8.
Bryant NJ. An introduction to immunohematology. 3rdedition.
Philadelphia: WB Saunders; 1994.
Fatal Bacterial Infections Associated with Platelet Transfusions.
MMWR. 2005;54(7): 168-70.
Finlay HE, Cassorla L, Feiner J, Troy P. Designing and testing a
computer-based screening system for transfusion-related acute
lung injury. Am J Clin Pathol. 2005;124(4):601-9.
Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, first of two parts - Blood transfusion. N Engl-J
Med. 1999;340(6):438-47.
Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, second of two parts - Blood transfusion. N Engl
J Med. 1999;340(7):525-33.
Heather EF, Cassorla L, Feiner J, Toy P.
Kormoczi GF, Mayr WR. Milestones in immunohematology. Transp
Immunol. 2005;14: 155-7.
Possible transfusion-associated acquired immune deficiency syndrome
(AIDS)- California. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
1982;3 1:652-4.
PENDAHULUAN
I'znggunaun darah untuk traal'usi hendakl;rh selalu
dilakukan secilr-n rasional clan efisien yaitu tlengan
lnelnberi kiln hunya komponen darnhlt1criv;rt pli~snii~
yang
dibutuhkan saja. Pemikirirn i n i didasarkan bnliwa darah
tcrdiri dari berrnncum-rnirca111elemen selular dun jug;^
ber.macam macam protein plasma deagun I'ungsi yarig
berbedil-beda yirng tcntunya dapirt dipisahkan, jugn
biasanya pasien hanyu rnemerlukan kompone11 tertentu
si~jasehingga komponen koniponen darah luinnya dirl>al
cli beriknn pada pasien Iirin yang mcmbututik~~~i.
Triinfusi tlarilh pada hakekatnyir adnlul~per~~beriurl
di1r;rh atau komponen dirrah diiri saiu individu (donor) kc
ilidividu lirinnyu (resipien), diriinna clapat 111cnj;rdi
penyela~natnyawa, tapi dapat pulir berbirhaya cle~~gari
ber-bagni komplikasi yang dapal terjadi sehingga traril'usi
darah henduklah dilukukan tlerigi~riiodiknsi yi11ngjelas t1a11
tepat sehingga diperoleh manfilat yirng ,jiruli lebih Ixsirr
daripadu risiko yuny mungkin terjadi.
Dari sat11 unit duralr Icngkap dotior dcr~gariproses
srntrit'ugasi dengan kecepatan tinggi dapat dipisnhkicn
plasr~lir
tnclijadi sel darah meri~lipckut (SI)Ml'),~ror~ibosit,
scgar hekic =ji.csh ji.o?,c,tr plttstrrtr (I:I:I'), kl.iol)rcsil)itat diui
laill lain, sedangkan dari plasri~adengan proses Iraksioasi
akan didapar bcberapa derivatnya aotara Inin nlbu~nio,
i~~iuooglobulin
dan faktor-faktor koilgulasi pckal ~nis;llny;r
faktor V111 pekat dun laktor 1X pckat.
Dcngan inakin niajunyu teknologi al'ercsis snat ini, riiirkil
peliryanan ~ranl'usidarah dapat lebih tepat rne~nenul~i
krbutuhnn komponen darah melalui penggunaali lncsin
~nultikompoaer~
dengan menggunakan dollor runggul. Hi11
i r i i tlilakuknn untirk ri~crninilnalisasirisiko ~l.allsrr~isi
penyakic y;rrig dischi~bkanoleh trar~l'usidi1r;lli.
DEFlNlSl
MA'AM
Selular
1)aral I Utuh (bvlrolr blooil)
Sel tlarilh ~iicrilhpckilt ( p r c . k ( ~t.rrl
~ l l)loorl r.c.11):
- Scl clilrah r~icrill~
1)ckilt dengan sedikit lekosit
(/)(rt'krcl t ~ t /)loot/
l
r,cll /rlrkoc~~.r~~.s
r.nlrrceil)
Scl durirli ri~el.ilIipckut cuci (prc.Xecl t.c~cl/)loot1 (,ell
~r~cr.shrtl)
Scl claral~111cral1
pckat 1)cku (/)tlc.krrl t.crl blootl c.c~ll
/i-o,-rrr,/~ic~X~.cl
t.c,tl 1)loocl (,ell tlrgl\c~c~t~oli:c.cl).
'I'ror~~hosit
konsentut (c~otrc~c2tr/t~r~c
p1trrcle1.s ):
'Tronrbosit dcrigan scclikit Iekosit (/~lcr/olc~.v
c.c~trc.c~tr-
Non Selular
Plasrni~scgal bcku (/i.c~.slr,/i~o:c~tr
/)l(csttrtr)
I'laslllil dollol' tllliggiII (.sillg/iztk1110r/ ) ~ t r . s t l l t l )
Kriopt~esi1)11;11
I'irkto~,i111ti I i ~ ~ ~ ~ r o ~( '( i. lI i; i\ .r~ ~ ) I . C ~ ( ~ ~ / ) I I ~ I I L ,
AiiN
lndikasi
Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel
darah merah dan volum plasma dalam waktu yang
bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan
kehilangan darah lebih dari 25-30% volum darah total.
Namun demikian, pemberian darah lengkap pada keadaan
tersebut hendaklah tidak menjadi pilihan utama, karena
pemulihan segera volum darah pasied jauh lebih penting
dari pada penggantian sel darah merah, sedangkan
menyiapkan darah untuk tranfusi lnemerlukan waktu.
Kontraindikasi
Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang
bertujuan meningkatkan sel darah merah.
Dosis dan Cara Pemberian
Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang
dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb
sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%. Pada anak-anak darah
lengkap 8 mLkg akan meningkatkan Hb sekitar 1 gldl.
Pemberian darah lengkap sebaiknya melalui filter darah
1191
lndikasi
Sel darah merah pekat ini digunakan untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan
gejala anemia, yang hanya memerlukan massa sel darah
merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien
dengan gagal ginjal atau anemia karena keganasan.
Pemberian unit ini disesuaikan dengan kondisi klinis
pasien bukan pada nilai Hb atau hematrokit.
Keuntungannya adalah perbaikan oksigenasi dan jumlah
eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien
anemia dengan gagal jantung.
Kontraindikasi
Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam
jumlah banyak dalam waktu singkat.
Dosis dan Cara Pemberian
Pada orang dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan
meningkatkan Hb sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%.
Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah
standar (170 p). Hematokrit yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya hiperviskositas dan
menyebabkan kecepatan tranfusi menurun sehingga
untuk mengatasinya maka diberikan salin normal 50100 ml sebagai pencampur sediaan sel darah merah
dalam CPD atau CPDA-1 tetapi harus hati hati karena
dapat terjadi kelebihan beban.
lndikasi
Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah
merah pada pasien yang sering mendapadtergantung pada
tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat
reaksi tranfusi panas yang berulang dan reaksi alergi yang
disebabkan oleh protein plasma atau antibodi lekosit.
Perhatian
Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya
graft versus host disease (GVHD ), sehingga komponen
darah yang dapat diandalkan untuk mencegah ha1 itu ialah
bila komponen darah tersebut diradiasi.
Dosis dan Cara Pemberian
Pemberian komponen sel darah ini paling baik di
berikan dengan menggunakan filter darah generasi
ketiga.
lndikasi
Pada orang dewasa komponen ini dipakai untuk mencegah
reaksi alergi yang berat atau alergi yang berulang, dapat
pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi
intrauteri.
Perhatian
Hati hati terhadap kontaminasi bakteri akibat cara
pembuatannya secara terbuka, masih dapat menularkan
hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih
mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable,
komponen ini tidak menjamin pencegahan terjadinya
GVHD atau infeksi CMV pasca tranfusi.
Dosis dan Cara Pemberian
Sebaiknya semua proses tranfusi melalui filter darah tanpa
kecuali.
SEL DARAH MERAH PEKAT BEKU YANG DlCUCl
(PACKED RED BLOOD CELL FROZEN,PACKED
RED BLOOD CELL DEGLYCEROLIZED)
Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan
gliserol suatu sediaan krioprotektif terhadap darah yang
usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian dibekukan
pada suhu minus 65Oatau minus 200' Celcius (tergantung
sediaan gliserol) dan dapat disimpan selama 10 tahun.
Karena pada proses penyimpanan beku, pencairan dan
pencuciannya ada sel darah merah yang hilang maka
kandungan sel darah merah minimal 80% dari jumlah sel
darah merah pekat asal, demikian pula hematokrit kurang
lebih 70-80%. Proses pencucian dapat menggunakan
larutan glukosa dan salin. Suhu simpan lo-6OCelcius
dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 jam
karena proses pencucian biasanya memakai sistem
terbuka.
lndikasi
Dapat dipakai untuk menyimpan darah langka.
Perhatian
Risiko terjadinya kontaminasi bakteri dapat terjadi
karena sistem terbuka yang dipakai di mana dapat
menularkan hepatitis namun tidak untuk Citomegalo
virus (CMV)
Dosis dan Cara Pemberian
Pemberian komponen darah ini melalui filter darah dan
sediaan ini memiliki massa eritrosit yang rendah karena
banyak sel darah yang hilang selama proses
pembuatan.
DAM
TROMBOSIT PEKAT(C0NCENTRATEPLATELETS)
Berisi trombosit, beberapa lekosit dan sel darah merah
serta plasma. Trombosit pekat ini dapat diperoleh dengan
cara pemutaran (sentrifi~gasi)darah lengkap segar atau
dengan cara tromboferesis. Satu kantong trombosit pekat
yang berasal dari 450 mL darah lengkap dari seorang donor
berisi kira kira 5,s x I 01 trombosit dengan volum sekitar
50 mL. Satu kantong trombosit pekat yang diperoleh
dengan cara tromboferesis seorang donor darah berisi
sekitar 3 x 10" trombosit, setara dengan 6 kantong
trombosit yang berasal dari donor darah biasa.
Tergantung dari jenis mesin yang dipakai, volum berkisar
antara 150-400 mL. Produk ini memungkinkan tranfusi
trombosit yang cocok pada pasien dengan antibodi
terhadap trombosit.
Trombosit pekat ini dapat disimpan pada suhu 20"-24''
Celcius dengan kantong darah biasa yang diletakkan pada
rotatorlagitator yang selalu berputarlbergoyang, trombosit
dapat disimpansel~ma3 hari, sedangkan den& kantong
darah khusus dengan cara penyimpanan yang sama
trombosit dapat disimpan selama 5 hari. Produk ini daya
hemostatiknya kurang, sedangkan viability pasca
tranfusinya lebih baik. Pada suhu 1-60Celciustrombosit
ini dapat disimpan selama 3 hari. Produk ini fungsi
hemostatiknya lebih baik namun viability pasca
tranfusinya kurang.
lndikasi
Trombosit pekat ini diindikasikan pada kasus perdarahan
karena trombositopenia (trombosit <50.000/uL) atau
trombositopati kongenitalldidapat. Juga diindikasikan
pada mereka selama operasi atau prosedur invasif dengan
trombosit <50.000/uL. Profilaksis diberikan pada semua
kasus dengan trombosit 5-10.000 uL yang berhubungan
dengan hipoplasi sumsum tulang akibat kemoterapi, invasi
tumor atau aplasia primer sumsum tulang. Produk ini
ditranfusikan intravena dengan meniakai saringanlfilter
darah standar. Sebaiknya diberi'kan trombosit pekat yang
sama golongan ABO nya dengan pasien.
Kontraindikasi dan Perhatian
Tranfusi trombosit biasanya tidak efektif pada pasien
dengan destruksi trombosit yang cepat seperti: ITP, TTP
dan KID dan tranfusi biasanya dilakukan hanya pada
adanya perdarahan yang aktif. Pasien dengan
trombositopenia yang disebabkail oleh sepsis atau
hipersplenisme biasanya refrakter terhadap tranfusi
trombosit.
Menggigil, panas dan reaksi alergi dapat terjadi pada
tranfusi trombosit. Antipiretik yang dipilih sebaiknya
bukan golongan aspirin karena dapat menghambat
agregasi dan fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari
trombosit dapat menyebabkan aloimunisasi terhadap HLA
1193
lndikasi
Trombosit jenis ini dipergunakan untuk pencegahan
terjadinya alloimunisasi HLA terutama pada pasien yang
harus menerima kemoterapi jangka panjang.
Kontraindikasi dan Perhatian
Meskipun sediaan ini dapat meniadakan reaksi febris pada
pasien yang mengalami aloimunisasi terhadap HLA antigen, peng'gunaannya tidak dapat mempercepat terjadinya
pemulihan jumlah trombosit. Untuk mendapatkan hasil
yang baik sebaiknya dilakukan uji cocok serasi. Terjadinya
reaksi tranfusi pada sediaan ini dihubungkan dengan
lamanya penyimpanan akibat dilepaskannya sitokin sitokin
seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF alfa yang dilepaskan
leukosit selama penyimpanan.
lndikasi
Komponen ini dipakai untuk meningkatkan jumlah
granulosit pada pasien sepsis dengan leukopenia yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian
antibiotik,dan pada pemeriksaan sumsum tulang
menunjukkan hipoplasi.
Kontraindikasi dan Perhatian
Terapi antibiotik yang tepat atau penggunaan faktor
pertumbuhan hematopoietik mungkin lebih efektif
dibandingkan dengan tranfusi granulosit. Efek samping
yang mungkin terjadi seperti urtikaria, menggigil, demam,
tidak merupakan indikasi untuk menghentikan transfusi ,
namun kecepatan tranfusi harus diperlambat. Untuk
memperkecil kemungkinan tejadinya efek samping dapat
diberikan antihistamin dan steroid sebelum transfusi.
Risiko penularan terhadap CMV dapat terjadi demikian
pula untuk dapat terjadinya GVHD.
lndikasi
Plasma segar beku dipakai untuk pasien dengan gangguan
proses pembekuan bila tidak tersedia faktor pembekuan
pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor
pembekuan multipel antara lain: penyakit hati, KID, TTP,
dan dilusi koagulopati akibat transfusi masif.
Kontraindikasi dan Perhatian
Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan
ekspansi volum karena risiko penularan penyakit yang
tinggi. Albumin, fraksi protein plasma, koloid, atau
kristaloid yang tidak menularkan penyakit merupakan
produk yang lebih aman untuk mempertahankan volum
darah.
Dosis dan Cara Pemberian
Produk ini diberikan dalam 6jam setelah pencairan, dengan
memakai saringanlfilter standar. Plasma harus cocok
golongan ABO-nya dengan sel darah merah pasien dan
tidak perlu uji silang. Jika plasma diberikan sebagai
pengganti faktor koagulasi dosisnya adalah 10-20 m l k g
(4-6 unit untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor
koagulasi 20-30%, dapat pula meningkatkan faktor VIII 2%
(1 unit/kg).
Efek samping yang terjadi dapat berupa menggigil,
demam dan hipervolemia.
KRlOPRESlPlTAT FAKTOR ANTI HEMOFlLlK
(CRYOPRECIPITATEDAHF)
lndikasi
Kriopresipitat digunakan pada pasien dengan kekurangan
F VIII (Hemofilia A) bila F VIII pekat tidak tersedia,
kekurangan F Xm, kekurangan fibrinogen dan untuk pasien
penyakit Von Willebrand.
1195
lndikasi
Konsentrat F VIII diindikasikan untuk pengobatan atau
pencegahan perdarahan pada Hemofilia A dengan
defisiensi F VIII sedang sampai berat atau pasien dengan
inhibitor F VIII titer rendah yang kadariiya tidak lebih dari
5-10 Bethesda unitsIm1.
lndikasi
Konsentrat F IX ini digunakan untuk mengobati pasien
dengan defisiensi F IX yang dikenal sebagai hemofilia B.
Pasien dengan inhibitor dapat diobati dengan kompleks
konsentrat F IX, yang mengandung bypass aktivitas
inhibitor F VIII.
lndikasi
Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasil
resusitasi misalnya pada pasien luka bakar, pasien pada
keadaan hipovolernia dan hipoproteinemia misalnya pasien
dengan syok, pada sindrom nefrotik atau untuk
meningkatkan protein plasma.
IX.
ALBUMIN DAN FRAKSI PROTEIN PLASMA
(ALBUMIN AND PLASMA PROTEIN FRACTION)
Albumin merupakan derivat plasma yang diperoleh dari
darah lengkap atau plasmaferesis, terdiri dari 96% albumin
dan 4% globulin dan beberapa protein lain yang dibuat
dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini
kemudian dipanaskan 60" C selama 10jam sehingga bebas
virus.
Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan
albumin hanya dalam pemurniannya lebih kurang
dibandingkan dengan albumin dalam proses fraksinasi.
Fraksi protein plasma ini mengandung 83% albumin dan
17% globulin.
Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5%,
sementara fraksi protein plasma yang tersedia adalah
larutan 5%. Tiap sediaan mengandung natrium 145 mmoll
L (145 mEqlL). Larutan albumin 5%, osmotik dan
onkotiknya sama dengan plasma sedangkan larutan albumin 25% osmotik dan onkotiknya lima kali lebih besar dari
plasma. Albumin memiliki waktu paruh 16jam dan dapat
disimpan lebih dari 5 tahun pada suhu 2-10" C.
IMUNOGLOBULIN(IMMUNE GLOBULIN)
Imunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi
dengan etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan.Berisi
imunoglobulin G (IgG) dengan sedikit IgA dan IgM.
Terdapat dua sediaan yakni intramuskular (IMIG) dan
intravena (IVIG). Pada sediaan intramuskular (IM), produk
ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada
pemberiannya diperlukan waktu 4-7 hari untuk mencapai
kadar puncak dalam plasma, dosis maksimum yang dapat
diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada pemberiannya
menyebabkan nyeri . Sediaan IM saat ini diberikan hanya
untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril
dengan konsentrasi protein kurang lebih 16.5 g/dL.
Sediaan intravena gammaglobulin (IVIG)
meminimalisasi kelemahan dari pemberian intramuskular.
Produk IVIG cepat mencapai puncak plasma begitu
diinfuskan. Waktu paruh dari IMIG dan IVIG bervariasi
antara 18-32hari.
lndikasi
Preparat Imunoglobulin dapat digunakan untuk profilaksis
antibodi secara pasif pada orang yang rentan terhadap
penyakit-penyakit tertentu dan sebagai terapi pengganti
pada orang dengan imunodefisiensi primer (misalnya
Sindrom Wiskott Aldrich). IVIG dapat digunakan sebagai
imunomodulator pada pasien-pasien dengan kelainan
autoimun misalnya ITP akut dan ITP kronik pada anak
anak dan dewasa. Dapat pula digunakan untuk
"
RH IMMUNE GLOBULIN
1197
PENDAHULUAN
Sejak diterimanya transfusi sebagai cara pengobatan,
pengertian bahwa darah mengalir di dalam sistem sirkulasi
dan ruang intravaskular dapat diisi cairan dari luar
tubuh,perkembanganya lambat. Trasfusi itu sendiri
dikejakan pertama kali pada tahun 1667. Kemudian selama
perang dunia pertama dan sesudahnya, barulah transfusi
sebagai alat pengobatan berkembang pesat.
Pengertian adanya perbedaan genetik antar individu.
yang diungkapkan oleh Landsteiner merupakan ha1 yang
penting. Pengembangan antikoagulan,pengawetan dan
teknik pengerjaan yang steril, memungkinkan
pengumpulan dan penyimpanan darah untuk diberikan
dikemudian hari. Perkembangan teknik terus berkembang
'kususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi
darah donor,perbaikan cara shining donor,pengembangan
inaktivasi kuman patogen, perkembangan mecing (matching) imunologi produk darah donor dengan resipien
(penerima darah), pengembangan produk rekombinan,
jadilah transfusi medis (transfusion medicine) menjadi
suatu spesialisasi di bidang hematologi.Adanya epidemi
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan
penularan infeksi oleh bahan infeksius lain menyebabkan
terjadinya revolusi kemajuan di bidang transfusi medis.
&
KOMPLIKASITRANSFUSI
Potensi komplikasi transfusi darah itu banyak,tapi pada saat
ini masalah komplikasi hanya terdapat pada pasien yang
perlu berulang-ulang mendapat transfusi atau memerlukan
sejumlah darah yang banyak. Reaksi imunologi ini
disebabkan oleh rangsangan al~antigen~asing
yang terdapat
KOMPLIKASI IMUNOLOGI
Aloimunisasi kepada Antigen Transfusi
Aloantibodi bereaksi terhadap antigen eritrosit, sedikit saja
resipien dengan multitranfusi berkembang menjadi
aloantibodi eritrosit. Umumnya terdapat pada mereka yang
telah menerima sekitar 10 kali transfusi, biasanya antibodi
terhadap sistem Rh, Kell (K), lalu Duffy (Fy),dan Kid (Jk).
Aloantibodi bereaksi terhadap antigen leukosit,
terdapat pada resipien yang ditrasnfusi 2 leukosit dan
trombosit, umumnya mereka ini wanita multipara dengan
multi transfusi.
Aloantibodi terhadap protein plasma, misalnya reaksi
anafilaksis disebabkan karena adanya anti-IgA antibodi.
Reaksi Transfusi Hemolitik
Berkembangnya antibodi yang dapat bereaksi dengan
antigen eritrosit menyebabkan perusakan eritrosit,
biasanya eritrosit donor. Klinis dapat berat,mengancam
kehidupan atau ringan saja. Hemolisis segera terjadi di
daiiiln sirkulasi, yang lanibat terjadi di sistem retikulo
endotelial. Uinuninya terjadi karena kesalahan pencatatan
dan 'ABO mismatching'.
Dapat juga hemolisis terjadi pada darah resipien, bila
plasma yang ditransfusikan mengandung antibodi.
Reaksi transfusi hemolitik segera. Gejala dan keluhan
transfusi hemolitik segera, terjadi segera sesudah darah
yang tidak cocok dilakukan. Klinis kebanyakan berupa
timbulnya panas, dapat dengan menggigil. Dapat juga
dengan cemas, nyeri dada atau punggung, sesak napas,
takikardia dan hipotensi. Keadaan mengancam kehidupan
pada adanya gagal ginjal akut, syok, dan koagulasi
intravaskular. Reaksi hemolisis segera ini terjadi pada:
600.000 transfusi eritrosit, kematian meningkat hingga 44%
bila darah transfusi meningkat mencapai 1 L.
Patogenesis kelainan ini dimulai dengan interaksi
antara antibodi dan membran sel eritrosit yang
mengembang menjadi terbentuknya kompleks imun,
aktivasi kaskade komplemen, mekanisme koagulasi lewat
sitokin dan faktor XII. Mediator vasomotor disini yaitu
histamin, serotonin dan sitokin. Renjatan terjadi karena
pelepasan bahan vasoaktif. Gaga1 ginjal dipikirkan karena
iskemia disebabkan oleh kombinasi hipotensi,
vasokonstriksi dan koagulasi intravaskular.
Penanganan, transfusi harus segera dihentikan begitu
dicurigai adanya reaksi hemolisis. Contoh darah pasca
transfusi dan sisa darah dalam kantung dikirim ke bank
darah (PMI) untuk diteliti penyebab terjadinya reaksi
hemolisis. Beratnya reaksi berhubungan dengan volume
eritrosit yang dimasukkan, walau hanya 30 cc darah yang
tidak cocok mungkin mematikan. Semua reaksi yang berat
memerlukan lebih dari 200cc darah donor. Hidrasi harus
dimulai segera untuk mencegah gagal ginjal. Diberikan
1199
1201
Virus Hepatits B
Virus ini merupakan DNA virus,dengan bungkus
lipoprotein, padanya terdapat HbsAg, dan 'inner m r ' l
inti. Inti ini berisi DNA, DNA polimerase, protein kinase,
dan di ekspresikan dengan nntigenik determinan sebagai
'hepatitis B core' (HBc) antigen. Virus utuh dapat
diperlihatkan dengan mikroskop elektron sebagai benda
s
berukuran 42 nm. Bungkus virus,
dengan b u n g k ~ ~dobel
HbsAg, di dalam serum dapat diidentifikasi dengan metode
serologi. Di dalam sirkulasi, HbsAg ini dapat utuh sebagai
virion atau tidak lengkap sebagai partikel 'sphere' dan
tubulus. Hepatitis B ini ditularkan oleh orang yang sakit
hepatitis B akut atau yang mengidap HbsAg, lewat
parented, hubungan seksual, atau pada perinatal dari ibu
yang infeksius kepada bayinya. Masa inkubasi antara 1-6
bulan. Hanya sekitar 25-40% pasien hepatitis B dengan
jindis, infeksi fulminan (berat) dengan resiko kematian
menimpa sekitar 0,2-0,5YoSemuapasien mengalami hepatitis
sub klinis sementara,yang hanya diketahui dengan
pemeri ksaan laboratorium. Sering dinyatakan infeksi pada
dewasa sekitar 5 1 0 % menjadi karier kronik,kini diduga
yang menjadi kronik lebih rendah lagi, yaitu I%.Dari 1 %
ini,sekitar 25% dapat berkembang menjadi hepatitis kronik,
setelah bertahun-tahun dapat sembuh atau menjadi sirosis
hepatis yang fatal ataupun menjadi karsinoma
hepatoselular. Setelah 12 minggu dnri awal serangan,
umumnya HbsAg menghilang, anti HBs muncul. Pasien
yang menjadi kronik biasanya dengan HbsAg yang tinggi
dan anti HBc positip, tapi anti HBs tidak.Hepatitis Be antigen (HbeAg) berhubungan dengan 'core subcornponen ',
merupakan protein yang larut tapi tak berhubungan
dengan struktur yang dapat dilihat, keberadaanya
berhubungan dengan kadar virus yang tinggi, mempunyai
arti adanya infeksi sekarang atau masih berlangsung
infeksinya dan bersifat infeksius. HbeAg ini menghilang
dari serum mendalui HbsAg, lalu diikuti munculnya anti
Hbe. Semua orang dengan HbsAg harus dianggap
infeksius, walau dengan bervariasi tingkatannya, tapi
adanya HbeAg positip berarti dengan tingkat infeksius
yang tinggi.
Skrining donor untuk hepatitis B. Dengan ditemukannya
HbsAg dan tes sera yang dikembangkan, niaka penurunan
angka kejadian penularan lewat transfusi sangat dramatis.
Sisa infeksius disebabkan oleh menghilangya HbsAg, tapi
membentuk antiHBc, bukanya anti HNs, kini dengan
ditemukanya reaksi rantai polimerase (polymerase chairz
reaction) yang sangat peka, pasien demikian ditemukan
HBV DNAdi dalam serumnya. Kasus demikian di AS diduga
terdapat pada 1per 50000 kasus.
Virus Hepatitis C
Virus ini diduga menyebabkan 90% kasus hepatitis NANB.
Sebelum ditemukan sebabnya hepatitis NANB didasarkan
pada kenaikan serum transaminase tanpa reaksi yang
Virus Hepatitis E
Menular secara 'water borne', menyebar seperti VHA,tidak
bersifat kronik, maka tidak berisiko ditularkan lewat
transfusi.
Virus Hepatitis D
Virus ini mempunyai struktur hibrid,terdiri dari antigen HBs
tertutup sedikit genom RNA yang tidak komplit sehingga
tak dapat bertahan hidup tanpa bantuan fungsi virus B.
Hanya terdapat bila bersama hepatitis B.
Darah transfusi yang mengandung VHD menyebabkan
seorang karier HbsAg yang benigna menjadi hepatitis
fulminan atau penyakit hati berat yang progresif. Karena
VHD hanya dapat ditularkan bila ada VHB, maka adanya
seromarker VHB hams disingkirkan.
Virus Hepatitis A
Dalam praktek transfusi,transmisi hepatitis A ini tidak
meyakinkan. Darah dapat mengandung VHA bila diambil
pada saat viremia fase asimtomatik.
Hepatitis Non-A-B
Sepuluh persen Hepatitis NANB tidak terrnasuk hepatitis
C, dengan penelitian virus tersebut,virus G, SEN dan TT.
Transmisi lewat transfusi relatif sering, tapi bagairnanapun
kini tak terbukti virus ini menyebabkan hepatitis.
Virus Human Immunodeficiency Tipe 1 Dan 2
HIV merupakan retrovirus, dengan RNA dibungkus lipid,
dan 'reverse transkipstase', bagian imunitas ada
dibungkus dan protein core. Penularan lewat parenteral
(transfusi), seksual dan perinatal, dari ibu ke anak. Sesudah
2-3 rninggu terpajan virus, pasien rnenderita seperti
influenza akut atau penyakit rnirip rnononukleosis.
Penyakit rnemasuki masa laten tapi virus terus berkernbang
biak. Fase asirntomatik ini mencapai 10 tahun, lalu C D 4 T
cell menjadi tertekan, pasien berkembang rnenjadi
irnunodefisien berat sehingga mendapat infeksi oportunis
yang berat, neoplasrna atau keduanya dan meninggal.
Pengobatan dengan 'highly active anti retroviral
therapy ', secara drarnatis rnenurunkan rnorbiditas dan
mortalitas di AS.
Vlrus Human T Lymphotropic I Dan li
V HTL L merupakan retrovirus manusia yang pertama
ditemukan di tahun 1978 pada lifoma sel T orang dewasa.
V HTL I1 rne~vpakanretrovirus, diternukan pada tahun 1982
pada pasien dengan lekerni 'hairy sel'. Kedua virus ini
menginfeksi limfosit, berlangsung selama hidup. Virus HTL
I dihubungkan dengan lekemia sel T dewasa atau lirnfoma
dan kelainan nerologi HTLV I associated rnyelopathy
(HAM) atau tropical spastic paraparesis (TSP).
Infeksi V HTL I endernik di Jepang, Karia, Brazil,
Melanesia dan Afrika. Menular lewat hubungan seks,
menyusui, dan pemakaian jarum bersama. Pada transfusi
penularan lewat koponen sel dara, tapi tidak dari kornpnen
plasma yang didinginkan, Limforna sel T dewasa muncul
pada usia 40-60, rnenggambarkan adanya masa infeksi laten
yang lama sebelurn serangan klinisnya muncul. Pada
keadaan transfusi, HAM atau TSP dapat rnuncul dalarn
waktu beberapa bulan atau tahun pasca transfusi.
Skrining donor. Tes donor,dengan rnemeriksa antibodi
pada V HTL 1,tersedia ditahun 1988, ditahun 1997 FDA
rnenginginkan tes untuk antibodi pada V HTL 11. Kemudian
yang dites hanya IgG dengan periode jendela agak lama,
51 hari, perkiraan infeksi lewat transfusi sebesar 1 per 428
000 unit.
Virus Sitomegalo
Virus ini merupakan virus DNA dari keluarga virus herpes.
dipikirkan menyebar lewat sekret mulut,dan kontak seksual.
Dapat juga menular transplasenta, lewat darah transfusi
dan organ donor. Sesudah dengan gejala infeksi dapat
bersifat laten, kemudian dapat mengalarni reaktivasi.
1203
Virus Esptein-barr
Sernbilan puluh persen darah donor mempunyai antibodi
terhadap virus Epstein-Bnrr, karena infeksi berhubungan
dengan leukosit rnaka narnpaknya akan arnan dengan
rnenggunakan darah yang leukositnya dikurangi.
Parvovirus B 19
Virus ini merupakan virus DNA kecil tanpa bungkus,sangat
kebal terhadap pengolahan fisik untuk rnenonaktifkan.
Infeksi sering pada anak urnur 15 tahun. Sekitar 50% anak
telah punya antibodi.Virus menyebar terutarna lewat traktus
respiratorius. Penyakit dengan garnbaran berupa eritema
infeksiosurn dan poliartropati. Pada orang normal virus
B 19 ini menyebabkan penghentian akut produksi eritrosit
yang sembuh dengan sendirinya dalam 4-8 hari. Pada
pasien yang dengan destruksi eritrosit, ha1 ini dapat
rnenyebabkan krisis aplastik akut. Pada pasien dengan
imunodefisien, dapat meni~nbulkananemia kronik yang
mungkin reversibel dengan pemberian imunoglobulin dari
luar. DNA B 19 kebanyakan terdeteksi di dalam, pooled
plasma product', dimana B 19 ini resisten terhadap proses
inaktivasi virus, misalnya dengan pemberian larutan
deterjen dan pemanasan; untuk rnenghindari ini dipakai
cara menghilangkan plasma yang rnengandung banyak
titer DNA B 19.
lnfeksi yang Disebarkan Artropoda
Malaria merupakan penyakit infeksi global narnun di AS
penularan secara transfusi jarang. Donor yang melewati
daerah endemi, setahun tahun tidak boleh menjadi donor,
3 tahun bila pernah tingal di daerah endemik.
Babesiosis, infeksi disebabkan protozoa, menginfeksi
eritrosit, disebarkan oleh kutu, keluhan mulai dari tak ada
Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi merupakan penyebab mayor fatalitas pada
transfusi. Sumber kontaminasi ini, kantong, donor
bakteremia asimtomatik, pembersihan kulit tidak adekuat,
Transfusi tronibosit yang disiinpan pada suhu kamar lebih
sering meninibulkan febris dibanding eritrosit yang
didinpi nkan.
Organisnie yang sering menimbulkan kontaminasi pada
transfusi eritrosit antara lain yersinia, pseudomonas,
enterobakler, dan seratia. Pada trombosit lebih bervariasi
termasuk stafilokokus, streptokokus, klebsila, dan
salmonela. Keluhan dapat berupa seperti febris non
hemolitik sarnpai sepsis akut dengan panas, hipotensi dan
kematian. Keluhan yang berat dihubungkan dengan mikro
organisme derigan endotoksin. Pengobztan sama seperti
pada sepsis karena organisnie lain yang sesuai
Galel SA. ct al. Transfusion metlicine. In: Greer JP, et al, editor.
Wintrobe's clincal hematology. I I!" edition. Vol I. Lippincot
Wiliams & Wilkins: 7003. 11. 83 1-82.
WHO. Adverse effects of transf~~sion.
in the clinicals use of blood in
medicine. obstetl-ic. paediatrics. surfer). and anaesthesia. trauma
and burn. Malta Gcneva: 200 1 . p. 126-52.
Ronald A. Hukom
PENDAHULUAN
Aferesis dalarn bidang Hernelologi-Onkologi rnerupakan
suatu tindakan pengambilan/pengumpulan kornponen
darah tertentu melalui penyandapan darah, dengan
mengernbalikan komponen darah lainnya ke tubuh
seseorang menggunaican alat separasi sel. Tujuan tindakan
aferesis ini adalah untuk mengarnbil sebagian komponen
darah untuk diberikan pada orang lain (aferesis donor),
atau mengurangi junilah komponen darah yang berlebihan
di da!arn tubuh (aferesis terapeutik).
Tindakan rnengarnbil, rnencuci, dan mengembalikan
darah telah dilakukan sej& tahun 1902 di Perancis pada
pasien uremia. Kata aferesis sendiri berasal dari bahasa
Yunani, apo dan hareisis, dengan arti keseluruhan adalah
'suatu proses rnengambil dari sesuatu'. Hemaferesis terrninologi yang sekarang lebih sering digunakan - berarti
pengarnbilan komponen tertentu dari darah dengan
menggunakan alat cell separator. Plasmaferesis untuk
keperluan terapeutik digunakan pertarna kali pada tahun
1952, sebagai usaha mengatasi hiperviskositas pada
penderita rnieloma rnultipel.
Walaupun mula - mula digunakan untuk tujuan terapi,
dalam perkernbangannya sekarang aferesis lebih penting
lag! untuk mernperoleh komponen darah bagi transfusi
(Aferesis Donor). Cell separator digunakan mula - mula
untuk rnemperoleh granulosit dan trombosit dari donor
tunggal bagi pengobatan suportif pada pasien kanker yang
dalam keadaan imunosupresi. Dengan perkembangan
terakhir teknologi aferesis, pelayanan transfusi darah dapat
lebih tepat mernenuhi kebutuhan komponen darah (sel
darah merah, trombosit, dan plasma) melalui penggunaan
mesin aferesis donor multikomponen yang ada. Pada
lekoferesis, sel yang dapat diambil saat ini terrnasuk
lymphocyte killer cells, macrophage-monocyte cells, dan
myeloid stem cells. Hal ini berlangsung sejalan dengan
AFERESIS TERAPEUTIK
Aferesis terapeutik adalah pengambilan bahan patologik
atau abnormal dari sirkulasi darah pasien dengan memakai
mesin aferesis. Tindakan dapat berupa plasmaferesis,
leukaferesis, eritroferesis, trombaferesis, dan
immunoadsorption (pengambilan IgG dan plasmacirculating immune complexes).
Indikasi aferesis terapeutik selain kelainan hematologi
dan onkologi adalah berbagai kelainan neurologi, misalnya
acute inflammatory demyelinating polyneuropathy dan
myasthenia gravis, kelainan metabolik, beberapa penyakit
autoimun dan rematologi. Satu contoh terakhir
penggunaan mesin aferesis adalah LDL (low-density
lipoproteirz) apheresis yang digunakan pada pasien
dengan kolesterol LDL tinggi yang persisten, atau kelainan
LDL genetik yang refrakter terhadap obat. Aferesis LDL
dilakukan dua kali sebulan dan mulai dikembangkan di
1207
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Paraprotein
Metabolit toksis
lmunologis
Vaskulitas
Defisiensifaktor
koagulasi
Sindrom hiperviskositas
Krioglobulinemia
Penyakit cold agglutinin
Hiperkolesterolemiafamilial
Sindrom Goodpasture
Miastenia Gravis
Sindrom Guillain - Barre
Pemfigus
Inhibitor faktor koagulasi
Purpura trombositopenia imun
S.L.E
Glomerulonefritismesangiokapiler
Purpura trombositopenia trombotik
KOMPLlKASl AFERESIS
Dalam pengawasan yang baik, prosedur aferesis adalah
tindakan yang aman. Komplikasi yang dapat terjadi
berhubungan dengan vascular access, perubahan
homodinamik, problem mekanik berkaitan dengan
instrumentasi, deplesi komponen sel dan plasma, reaksi
terhadap cairan pengganti (termasuk antikoagulan), reaksi
alergi, dan infeksi.
Efek samping yang paling sering terjadi pada prosedur
aferesis adalah hipokalsemia, dengan gejala yang timbul
berupa kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan,
dan pandangan gelap. Bila timbul gejala hipokalsemia,
maka perlu diberikan suntikan kalsium sampai gejala hilang.
Kontraindikasi seseorang untuk menjadi donor aferesis
antara lain adalah bila calon donor memiliki nilai Hb/Ht,
lekosit, trombosit, albumin di bawah normal; golongan
MESlN AFERESIS
Pengambilan komponen darah dengan mesin aferesis saat
ini makin luas dilakukan, dengan mesin aferesis yang
jenisnya makin banyak tersedia. Di Amerika Serikat,
trombaferesis biasa dikerjakan dengan Fenwal CS3000,
Fenwal Amicus, COBE (Gambro) Spectra, Gambro Trima
Version 4, dan Haemonetics LN9000. Granulosit dapat
diambil misalnya dengan Fenwal CS3000, COBE (Gambro)
Spectra, Haemonetics LN9000, dan Fresenius AS1 04.
Sistem aferesis Spectra merupakan salah satu alat
mutakhir untuk separasi dan pengambilan komponen darah
dari donor atau pasien. Dari donor, produk darah diambil
untuk ditransfusikan pada pasien, sementara untuk
prosedur terapeutik pada pasien digunakan untuk
penukaran atau deplesi komponen darah. Selain itu sistem
Spectra ini dapat juga digunakan dalam pengambilan
granulosit dan sel mononukleus, termasuk untuk prosedur
pengambilan sel asal darah perifer (PBSC).
Sistem aferesis Spectra ini terdiri dari alat disposable
(preconnected separation channel and blood tubing) dan
mesin aferesis, termasuk suatu alat Return Flow
Controller. Di RS Kanker Dharmais, alat ini banyak
digunakan pada prosedur tromboferesis dari donor
tunggal untuk ditransfusikan pada pasien kanker dengan
t r o m b ~ s i t o ~ e nyang
i a memerlukan transfusi multipel.
PENDAHULUAN
Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan leukemia
yang pertama dltemukan serta diketahui patogenesisnya.
Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan
kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22qatau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22,
yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph).
Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa
kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal
antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis
t(9;22)(q34;ql I), seperti tampak pada Gambar 1.Dengan
kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980
diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami
pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya gabungan
antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34),
yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster
region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22
(22ql1). (Gambar2) Gabungankedua gen ini sering ditulis
sebagai BCR-ABL, diduga h a t sebagai penyebab utama
terjadinyakelainan proliferasipada LGK.
Secara klasifikasi, dahulu LGK tennasuk golongan
penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi
dari sen granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga
pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi sen granulosit, mulai dari promielosit
(bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit sampai
granulosit.
Keluhan
Frekuensi (%)
Splenomegali
Lemah badan
Penurunan berat badan
Hepatomegali
Keringat malam
Cepat kenyang
P.erdarahan/purpura
Nyeri perut (infark limpa)
Demam
Sitogenetik
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang
dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK
dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum
diket'ahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima
dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi,
sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak
..-.-..
BCR
ABL
BCR
ABL
Karyotipik
t(9;22)(q34;q12)
t(9;22)(q34;q13)
t(9;22)(q34;qlI )
t(8;22)(pll;ql I )
t(4;22)(ql2;qI 1)
t(9;12)(q34;p13)
De1(4)(q12)
Gen-gen yang
Terlibat
BCR-JAK
BCR-PDGFRB
BCR-FGFRI
BCR-FGFRI
BCR-PDGFRA
ABL-TEL
FIPILI-
lstilah Klinik
LGK atipik
LGK atipik
LGK BCR-ABL negatif
LGK BCRABL negatif
LGK atipik
LGK atipik
LGK hipereosinofilia
PDGFRA
PEMERIKSAANPENUNJANG
Busulfan (Myleran).
- Termasuk golongan alkil yang sangat kuat.
- Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikkan sarnpai
12mg/hari.Harus dihentikan bila lekosit antara 1020.000/mm3,dan bam dimulai kembali setelah lekosit
>50.000h3.
Tidak boleh diberikan pada wanita harnil.
Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan
itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan,
sedangkan fenitoin akan.menurunkan efeknya.
Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian
busulfan disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang
baik.
Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi
sumsum tulang yang berkepanjangan
1213
PROGNOSIS
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara
3-5 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini deilgan
ditemukannya beberapa obat baru, maka median
kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara
signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis
kombinasi hidrea dan interferon median kelangsungan
hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil
yang lebih rnenjanjikan, tetapi inedian kelangsungan hidup
belum dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa
hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung.
Faktor-faktor di bawah ini m'emperburuk prognosis
pasien LGK, antara lain:
Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala
sistemik seperti penurunan berat badan, demam,
keringat malam.
* Laboratorium: anemia berat, trombositopenia,
trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph
negatif, BCR-ABL negatif
Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk
mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi,
waktu remisi yang singkat
'
POLISITEMIA VERA
M. Darwin Prenggono
PENDAHULUAN
Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti
poly (banyak), cyt (sel), dan hemia (darah) sedang Vera
(benar) adalah suatu penyakit kelainan pada sistem
mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada
hemopoetik sel induk (heniatopoietic stern cells) dengan
peningkatan sensitivitas pada growth factors yang
berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi
peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering
diartikan sama antara polisitemia dan eritrositosis, pada
polisitemia (banyak sel) menggambarkan peningkatan dari
dari total kuantitas atau volum (mass) dari sel darah pada
tubuh tanapa memperdulikan jumlah leukosit atau
trombosit.Sedang peningkatan jumlah dan volume saja
dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan
hematokrit adalah lebih benar disebut eritrositosis.
Eritrositosis menggambarkan peningkatan dari volume sel
darah merah atau mass (polisitemia, juga disebut
eritrsitosis absolute) atau menghasilkan penurunan
volume plasma (disebut polisitemia/eritrositosisrelatif atau
spurious). Polisitemia rubra Vera atau polisitemia Vera nama
sinonim lainnya tercatat sebagai polisitemia splenomegalik,
eritrositosis megalosplenik (Senator), penyakit VaquezS,
penyakit Osler S, polisitemia mielopati (Weber), polisitemia
kriptogenik (R. C. Cubot).
Polisitemia Vera selanjutnya disingkat PV, merupakan
suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif yang
melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang
mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik terjadi karena
sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk
darah yang abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya,
sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan
eritropoietin untuk proses pematangannya (eritropoietin
serum <4 mU/mL), ha1 ini jelas mernbedakannya dari
EPIDEMIOLOGI
Polisitemia Vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60
tahun, rasio perbandingan antara pria dan perempuan
antara 2: 1 dan dilaporkan insiden polisitemia Vera adalah
2.3 per 100. 000 populasi dalam setahun. Keseriusan
penyakit polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya
survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati
1,5 - 3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari
10 tahun.
--
--
-- -
'
PEMERIKSAAN LABORATORILIM
Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia Vera pada sad1
perjalanan penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah
didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6
jutalml pada pria dan >5,5 jutdml pada perempuan, dan
sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik
kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan
anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit.
Granulosit
Granulositjumlahnya meningkat terjadi pada 2/,kasus PV,
berkisar antara 12-25 ribulml tetapi dapat sampai 60 nbul
mL. Pada dua perliga kasus ini juga terdapat basofilia.
Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribul
mL, bahkan dapat > I jutdmL. Sering didapatkan dengan
morfologi trombosit yang abnormal.
B,, Serum
B,, serumdapat meningkat ha1 ini dijumpai pada 35% kasus
dan dapat pula menurun ha1 ini dijumpai pada k 30% kasus,
dan kadar UB ,,BC meningkat pada >75% kasus PV.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali
ada kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya
seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi
sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas
normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit,
Anti Rh,(D)
Kontrol Rh
Positif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Tipe Rh
D+
D- (d)
Harus diulang atau
diperiksa dengan Rh,(D)
typing (Saline tube test)
DIAGNOSIS
Sebagai suatu kelainan mieloproliferatif,PV dapat memberikan
kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sama dengan
berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder).
Karena kompleksnya penyakit ini, lnrernational Polycythemia Study Group ke dua menetapkan 2 kriteria pedoman
dalam menegakkdn diagnosis polisitemia Vera dari 2 kategori
diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika
memenuhi kriteria: a).Dari kategori: Al+A2+A,,atau, b). Dari
kategori: Al+A,+ 2 kategori B.
Kategori A
Meningkatnya massa sel darah merah, ha1 ini diukur
dengan krom-radioaktif CrS1.Pada pria 2 36 rnLkg, dan
pada perempuan 2 32 mL/kg.
Saturasi oksigen arterial > 92%. Eritrositosis yang terjadi
sekunder terhadap penyakit atau keadaan lainnya juga
disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah
satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya
saturasi oksigen arterial, di mana pada PV tidak
didapatkan penurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien
tersebut berada dalam keadaan:
- Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi p02
akan bergeser ke kiri, dan
- Hemoglobinopati, di mana afinitas oksigen
meningkat sehingga kurva PO, juga akan bergeser
ke kiri.
Spenomegali.
1217
POL~S~TEM~A
VERA
Kategori B
Trombositosis: trombosit 2 400.000/mL,
Leukositosis: leukosit 2 12.000/mL (tidak ada infeksi).
Neutrophil alkaline phospharase (NAP) score
meningkat lebih dari I00 (tanpa adanya panas atau
infeksi).
Kadar vitamin B ,>900 pg/mLdan atau UBl,BC dalam
serum> 2200 p g / k .
Dalarn beberapa leteratur disebutkan usulan modifikasi
kriteria diagnostik PV sebagai berikut:
PENATALAKSANAAN
Kategori A
Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas ratarata angka normal atau Packed Cell Volume pada lakilaki >0,6 atau pada perempuan 0 5 6
Tidak ada penyebab polisitemia sekunder
spenomegali yang teraba
Petanda klon abnormal (kariotipe abnormal)
Prinsip Pengobatan
Menurunkan viskositas darah sarnpai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengontrol eritropoesis
dengan flebotomi.
Menghindari pembedahan elektif pada fase eriuositiw
polisitemia yang belum terkontrol.
Menghindari pengobatan berlebihan (over treabnent).
Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan
berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor '
radioaktif atau kernoterapi sitostatika pada pasien di
atas 40 tahun bila didapatkan:
Kategori B
Trombositosis >4 00 000 per mm"
Jumlah neutropil r I0 x 109/ L dan bagi perokok r 12,5 x
lo9k
Flebotomy untuk
mempertahankan
hematokrit < 0,45
b
Urnur
70 th
ya
tidak
Adanya r~wayatatau
ada trornbosis atau
phlebotomy yang seringkali atau
jumlah trombosit > 400.000 atau
splenomegali yang progresif
ya
Tanpa rnielosupresi
.':.
ada komplikasi
Media Pengobatan
Flebotomi. Flebotomi dapat merupakan pengobatan
yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama
bertahun-tahun d a n merupakan pengobatan yang
dianjurkan.
Indikasi flebotomi:
Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht
> 55% (target Ht 555%).
Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada
derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat
hiperviskositas dan.penurunan shear rate, atau sebagai
penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom
paraneoplastik.
Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah
mempertahankan hematokrit 1 4 2 % pada perempuan, dan
5 4 7 % pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas
dan penurunan shear rate. lndikasi flebotomi terutama pada
semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien
yang masih dalam usia subur.
Prosedur flebotomi : a).Pada permulaan, 250-500 cc
darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection
set standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan dengan
usia >55 tahun atau dengan penyakit vaskular
aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh
dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti
plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti
plasma (coloid/plasma expander) setiap kali, untuk
mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung
karena hipovolemik; b). Sekitar 200 mg besi dikeluarkan
pada tiap 500 cc darah (normal total body iron + 5 g).
Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan
flebotomi berulang. Gejala defisiensi besi seperti glositis,
keilosis, disfagia, dan astenia dapat cepat hilang dengan
pemberian preparat besi.
Fosfor radioaktif (PJ.Pengobatan dengan fosfor radioaktif
ini sangat efektif, mudah, dan relatif murah untuk pasien
yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi
yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur.
P,, pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2
secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis
dinaikkan 25%. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu
pemberian P,, pertama: 1). Mendapatkan hasil,
re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat
diulang akan tetapi ha1 ini jarang dibutuhkan. 2). Tidak
mendapatkan hasil selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25%
a!
Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika:
hanya untuk Polisitemia rubra primer (PV),
flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali
sebulan,
trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis,
urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan
antihistarnin,
splenomegali simptomatiMmengancam ruptura limpa.
Cara pemberian kemoterapi sitostatika:
Hidroksiurea ("Hydrea 500mgltablet) dengan dosis
800-1200 mg/m2/hariatau diberikan sehari 2 kali dengan
dosis 10- 15 mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target dapat
dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk
pemeliharaan.
Chlorambucil (@LeukeranSmgltablet) dengan dosis
induksi 0,l-0,2 mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan
dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu.
Busulfan (@Myleran2mgltablet) O,O6mg/kgBB/hari atau
1,8 mg/m2/hari, jika telah tercapai target dapat
dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk
pemeliharaan.
Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih
sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan
klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit:
Pada pria 9 7 %dan memberikannya lagi jika >52%,
Pada perempuan 142% dan memberikannya lagi jika
>49%.
Kemoterapi biologi (sitokin). Tujuan pengobatan dengan
produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontrol
trombositemia (hitung trombosit >800.000/mm'), produk
biologi yang digunakan adalah Interferon a. Interjeron a
(%~tron-A3 & 5 juta Iu, "overon-A 3 & 9 jutaIu) digunakan
WLISlTEMlA VERA
PROGNOSIS
Polisitemia adalah penyakit kronis dan keseriusan penyakit
Polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya survival
median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobati 13-3
tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.
Penyebab utamamorbiditi dan mortaliti adalah:
Trombosis dilaporkan pada 15-60% pasien, tergantung
pada pengendalian penyakit tersebut dan 10-40%
penyebab utama kematian.
Komplikasi perdarahan timbul 15-35% pada pasien
polisitemia Vera dan 6-30% menyebabkan kematian
Terdapat 3-10% pasien polisitemia Vera berkembang
menjadi mielofibrosis dan pansitopenia
Polisitemia Vera dapat berkembang menjadi leukemia
akut dan sindrom mielodisplasia pada 1 3 % pasien
dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan
risiko transformasi 13,5% dalam 5 tahun dengan
pengobatan klorambusil dan 10,2% dalam 6- 10 tahun
pada pasien dengan pengobatan 32P.Terdapatjuga 5.9%
dalam 15 tahun risiko terjadinya transformasi pada
pasien dengan pengobatan hydroxyurea.
Means RT. Erytrhocytosis. In: Greer JP, Rodgers GM, Foeerster JF.
Paraskevas F, Lukens JN, et al, editors. 11th edition. Volume 2.
Wintrobe's clinical hematology; 2004. p. 1495-505.
Mossuz P, Girodon F, Donnard M. Diagnostic value of serum
erythropoietin level in patients with absolute erythrocytosis.
Haematologica. 2004;l 194-8.
Person TC, Messinezy M, Westwood N, Green AR, Bench,AJ, et al.
A polycythemia Vera update: diagnosis, pathology, and
treatment. American Sociaety of Hematology. 2000;51-65.
Radin AI. Polycythemia rubra vera. Current therapy in
hematology-oncology. 5* edition. 1995. p. 236-42.
Spivak JL. Polycythemia vera. Harrison's principles of internal
medicine. 16Ih edition. 1997. p. 679-81.
Stuart BJ, Viera AJ. Polycythemia vera. American family physician.
2004.
White P. Myeloproliferative and myelodysp1astic syndromes:
polycythemia vera. Handbook of cancer chemotherapy. 3Ih
edition. In: Skeel RT, editor. Boston: Little, Brown & Co; 1991.
p. 324-5.
TROMBOSITOSIS ESENSIAL
Irza Wahid
PENDAHULUAN
Di Amerika Serikat istilah trombositosis esensial disebut
primary (essential) thrombocythemia, sedangkan di Eropa
disebut thromboc.ythenlia Vera. Trombositosis esensial
merupakan anggota dari kelompok gangguan
mieloproliferatif. Schafer A1 menggabungkan
trombositosis esensial dengan gangguan mieloproliferatif
lainnya dengan istilah trombositosis klonal. Dalam ha1 ini
yang digolongkan sebagai trombositosis klonal adalah
trombositosis esensial, polisitemia primer dan
mielofibrosis. Penyakit mieloproliferatif lainnya adalah
leukemia granulositik kronik (BCRJABL positif), leukemia
eosinofilik kronik, leukemia netrofilik kronik serta penyakit
mieloproliferatif yang tidak tergolongkan.
Trombositosis esensial diperkirakan terdapat pada 400
orang dari 1.000.000 populasi. Hampir semua pasien
trombositosis esensial berusia lebih dari 50 tahun,
walaupun demikian pemah dilaporkan kasus pada anak
berusia 2 tahun. Kurang dari 10 % pasien berusia kurang
dari 10 tahun. Prevalensi trombositosis esensial lebih tinggi
pada perempuan dibandingkan pria. Cortelazzo S dkk pada
penelitiannya terhadap 100 orang pasien dengan
trombositosis esensial memperlihatkan rerata usia pasien
adalah 50 tahun (interval 17-82 tahun) dengan
perbandingan pria dan perempuan 39 %:61 %.
GAMBARAN KLlNlS
DIAGNOSIS
Peningkatan jurnlah trornbosit yang rnenetap rnerupakan
gambaran diagnosis utarna trornbositosis esensial.
Walaupun dernikian penyebab lain peningkatan jurnlah
trombosit harus disingkirkan. Trornbositosis yang disertai
dengan splenornegali lebih rnengarahkan diagnosis kepada
trombositosis esensial dibandingkan dengan trombosis
reaktif.
Kriteria diagnosis:
Hitung trornbosit A50.000 ul (dikonfirmasi lebih dari I
Tidak diternukan penyebab lain peningkatan hitung
trornbosit
Tidak diternukan sindrorn mielodisplasia atau gangguan
mieloproliferatif lainnya.
Surnsurn tulang dengan:
hiperplasia rnegakariositik
fibrosis < 113 bagian
Kriteria tarnbahan:
Splenornegali
Invitro: pernbentukan koloni rnegakariositik spontan
DIAGNOSIS BANDING
TROMBOSITOSIS ESENSIAL
Trombosis
Klonal
Penyakit dasar
lskemla
D~g~tallserebmvaskular
Trombosis arteri lvena
besar
Hemoragis
Splenomegah
Gambaran darah tepi
Fungsl trombosit
Gambaran sum-sum
tulang
Jumlah
Morfologl
Trombosis
Reaktif
Tidak ada
Karakteristik
Sering
Tidak ada
Risiko t~nggi
Tidak ada
Risiko Tinggi
Ya, sekltar 40 %
Trombosit raksasa
Mungkln abnormal
Tldak ada
Tidak ada
Trombosit normal
Normal
Meningkat
Giant, dysplastic
forms with
increased ploydy
associated with
larges masses of
platelet debris
Meningkat
Normal
Trombositosis
Esensial
Pollsltemla
Vera
Mlelofibrosls
ldlopatlk
Normal IL
777
.1
12 - 25
Bervariasi,
600 - 2500
450 - 800
450 - 1000
Eritrosit berinti
Jarang
Jarang
Umum
Alkali
fosfatase
leukosit
Normal
Biasanya 7
Normal - 7 7
Sum-sum
tulang
Hiperselular
Megakariosit 7TT
Hiperselular
Cadangan Fe T
Fibroblast
(-1 -7T
(-) - 7
77- 777
40% - 50%
80%
80%- 99%
Transformasi
blastik (%)
5%
10 - 15%
5%- 20%
Pemeriksaan
khusus
Tes fungsi
platelet
abnormal
Masa eritrosit 7
Etitropoetin L
Marrow imaging
tlemog!obin
Leukosit
(xloBn)
Trombosit
(~10~11)
Splenomegali
("1
Be~ariaSi
PENATALAKSANAAN
Hidroksiucea ~nerupakanterapi pilihan pertama pada
trombositosis esensial dengan risiko tinggi. Hal ini
disebabkan oleh efektifitas serta jarangnya timbul efek
samping. Hidroksiurea tidak hanya efektif dalam
nlengurangijurnlah trombosit tetapi juga dalam mengurangi
risiko timbulnya trombosis. Dosis yang digunakan adalah
15 mglkgbb. Efek samping yang dapat timbul adalah
anemia, netropenia, lebih jarang lagi dapat timbul ulkus
pada kakilmulut dan lesi pada kulit. Efek leukemogeniknya
masih dalam perdebatan.
Anagrelid suatu derivat quinazolin dapat menghambat
proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Anagrelid telah
MIELOFIBROSIS
Suradi Maryono
PENDAHULUAN
Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang
dihubungkan dengan adanya tirnbunan substansi kolagen
berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan ini secara
definitif rnerupakan kelainan sel stem hematopoiesisklonal,
dihubungkandengan chronic myeloproliferative
disorders ( C M P D ) , dimana adanya hematopoeisis
ekstramedular merupakan gambaran rnenyolok.
Penyakit ini termasuk jarang didapatkan dalam praktek
sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada
tahun 1879 (Sit. Clark dan William 2005), dengan narna lebih
30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, rnielofibrosis
idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis
dengan Metaplasia Mieloid (MMMJ. MMM perlu
dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana
mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. (
Tabel 1)
Terdapat kelainan bersifat familial yang jarang terdapat,
misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy,
mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan
pertumbuhan fibroblas sumsum tulang.
Kondisi Neoplastik.
~angguanmielo~roliferatif
kronik
Metaplasia mieloid agnogenik
Polisitemia rubra Vera
Leukemi mieloid kronik
Kondisi neoplastik lainnya.
Leukemia megakarioblastikakut (Mi')
Fibrosis dengan mielodisplasia
Agnogenik transisional
Mielodisplatik metaplasia mieloid
Sindrom mieloproliferatif
Mieoloid akut lain
Leukemia
Leukemia limfoid akut
Leukemia Hairy cell
Mieloma
Karsinoma
Mastositosis sistemik
Kondisi Non Neoplastik.
Penyakit granulomatosa
Penyakit paget
Hipoparatiroidisme
Hiperparatiroidisme
Osteoporosis
Osteodistrofi ginjal
Defisiensi Vitamin D
Gray pletelet syndrome
Lupus eritematosus sistemik
Sklerosis sistemik
Diadaptasi dari Clark dan William (Wintrobe's clinical
hematology, 2005).
HEMATOPOIESISKLONAL
Pada tahun 1951, Dameshak mengelompokkan MMM
dengan CML (chronic myeloid leukemia), PV
PERUBAHANTINGKAT MOLEKULAR
Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus
yang menghasilkan hemopatia klonal pada MMM.
Abnormalitas sitogenetik ternyata tidak konsisten seperti
halnya perubahan gene bcr/abl pada CML, yang
dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada
patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya
MMM belum jelas, sampai sekarang masih dalam
penelitian.
Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti
antara sel progenitor cytokine-independent dari pasien
MMM dengan progenitor cytokine-dependent
(diperkirakan normal). Immunophilin FKBP5 1 berekspresi
berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan fungsi ini
terutama pada cytokine- independence. Faktor transkripsi
GATA- 1 aktif pada diferensiasi rnegakariosit normal. Pada
penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-1
menghasilkan sindrom yang menyerupai MMM. Sehingga
peru-bahan langsung pada GATA-1 penting untuk
terjadinya MMM. Beberapa gen yang berhubungan
dengan pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya: Gen
retino-blastoma yang mungkin mengalami delesi atau
perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami
metilasi. Perkembangan MMM mungkin berhubungan
dengan abnormalitas gen p53 atau gen ras.
GWALA
Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimptomatis,
diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah
yang abnormal atau secara insidensil terdapat
splenomegali.(Tabel 2)
Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan
penurunan berat badan (7-39%),sindrom hipermetabolik
(demam, keringat malam terdapat 5-20% pasien),
perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut,
Gout dan kolik renal terdapat 4-6%, tophi jarang
didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri
substernal kadang diketemukan.
Fatique
Anemia
Le ukositasis
Trombositosis
Senng ditemukan (10-50% kasus)
Asimtomatik
Penuru nan berat badan
Keringat malam
Perdar ahan
Nyeri spleni k
Le ukositopenia
Trombositopenia
Kurang sering ditemukan ( 4 0 % kasus)
Edema perifer
Hipertensi portal
Lim fadenopati
Kuning
Gout
-
- -
TANDA
Splenomegali yang cukup besar mempakan penemuan fisik
yang utama (Tabel 2). Hepatomegali diketemukan separuh
pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti
komplikasi: asites, varises esofagus, perdarahan
gastrointestinal dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan
petekie, ekhimosis dan limpadenopati. Beberapa pasien
mernperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik serupa pada
sweet-syndrome dan mengalami hematopoiesis
ekstramedular dermal, osteosklerosisyang sebagian diikuti
periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila
permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin
akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang
diikuti komplikasi neuroplogis berupa: tekanan intralcranial
meninggi, delirium, koma, perdarahan subdural, kemsakan
motorik, sensorik dan paralasis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit
bentuk tear drop yang dihubungkan adanya eritrosit
berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan platelet besar abnormal (Gambar la,lb). Retikulosit
meningkat; eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target juga sering diketemukan.Abnormalitas morfologi ini
diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya
sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoiesis
ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi masih
belum jelas.
;?&;?Fif ;""
u., I
.::, . -.
.'k>. ,
-.,,,
SUMSUM TULANG
Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil
(dvtap) dan memerlukan biopsi sumsum tulang untuk
menegakkan diagnosis MMM. Suatu konsensus telah
dibuat oleh Italian Society of Hematology.
Data morfologi dan klinis digabungkan untuk
mendiagnosis banding MMM dari penyakit CMPD
lainnya, dan dari sindroma mielodisplasia dengan fibrosis
sumsum tulang. Kriteria tersebut adalah: fibrosis sumsum
tulang dan kelainan morfologi hiperplasia sumsum tulang
dan hematopoiesis ekstramedular. Ketiga elemen tersebut
di atas harus terdapat untuk diagnosis MMM. (Tabel 3)
Gambar 2a. Reticulin stain dari spesimen biopsi sumsum tulang
menampilkan peningkatan kolagen (diperbesar 400x)
(Sumber:Clark dan William, Wintrob's 2005)
Kriteria Mayor
Fibrosis sumsum tulang difus
Hilangnya t9:22 kromosom atau bcr/abl rearrangement pada
sel darah perifer
Splenomegali.
Kriteria Minor
Anisopoikilositosis dengan tear dropred cells
Sel darah merah berinti dalam sirkulasi
Clustred marrow megakaryoblastdan anomalous
megakariocytes
Metaplasia mieloid
'Catatan : Ketiga kriteria mayor ditambah dua'kriteria minor
manapun atau dua kriteria mayor pertama ditambah empat
kriteria minor manapun harus didapatkan, untuk diagnosis
MMM.
*Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)
ABNORMALITAS KROMOSOM
Separuh pasien MMM terdapat abnormalitas klonal
kariotipe. Hanya sedikit pasien memperlihatkan
abnormalitas pada metafase, yang membuktikan pada
pasien MMM. menyisakan sel hematopoiesis
PEMERIKSAAN PATOLOGI
KERUSAKANSISTEM IMUN
Secara klinis abnormalitas sistem imun sering terjadi pada
MMM, hal ini kontras dengan CMPD lainnya. Sel lirnfosit
T dan B langsung terpengaruh oleh defek sel stem pada
MMM dan defek fungsional sel B dan T mungkin dapat
diperlihatkan. Variasi abnormalitas sistem imun humoral
telah ditemukan. Menurumya kadar C3 dapat terjadi dan
menyebahkan naiknya kemungkinan infeksi bakterial.
Autoantibodi patologis dapat ditemukan antara lain:
autoantobodi antieritrosit, antibodi antiplatelet, antibodi
antinuklir, antiimunoglobulin dan antibodi antifosfolilpid.
Pada MMM sumsum tulang difiltrasi limfoid. Gamopati
monoklonal dapat timbul 10% pasien MMM, pada
beberapa kasus kejadian simultan MMM dan diskrasia sel
plasma pemah dilaporkan.
tejjadi
semakin
~ ei.r'!5.!!z.:'
m b , e r asehingga
t~
.
;sp],enomegali..yang
. , .... ,+,;!,!
r , . .....
:!:
-\:.-.I,;
t i q b y \ w s a k.i t. _danan-nyeri
_ . _ . _ ~ I,_.,
I _tulang..
_
,,, g ; j ,.--i:,,
.; ; * ; i
. ;:;19fb,a;gsianpasien terjadi lGpertens1 portal' dengan
vaiises esofagus, akiba't
. . . . . dari:
. .
,~.eriaikan
..:.. .. aliran
_:.
darah
.
splenoportal, trombosis vena hepitika, trombosisvena
portal, hernokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal.
Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek
platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC)
atau defisiensi faktor pernbekuan.
Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi,
perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents,
gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah
leukemia dilaporkan 5-20% kasus. Perubahan ke arah
leukemia tidak jelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi
sitostatika,kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa
dengan leukemia mieloid akut.
.Ci.,ll
.I!!:!!
&.
.,
_
i
l
PENATALAKSANAAN
' '.I..
,<,,$,,,
t ,
lradiasi
Pasien dengan hipersplenismemungkin dapat memberikan
respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada
kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien
mengalami perbaikan keluhan nyeri dan 2 50% terjadi
pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan
perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan
pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy, 2-3 kali per
rninggu. Dosis total 700-2400 cGy dapat memberikan hasil
yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara
baru dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor
hematopoiesisekstramedular simptomatisjuga memberikan
respons terhadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri
tulang dari tumor atau periostitis dan pada deposit susunan
saraf pusal.
Splenektomi
Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter
terhadap terapi: Sitopenia, hipertensi portal, atau gejala
akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan
perbaikan: simptom hipersplenisme, hipertensi portal,
anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan ini tidak
selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan.
Splenektomi pada MMM harus hati-hati, karena
organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi
adhesi, naiknya aliran darah dan status compromised
pasien. Adanya DIC(K1D) ringan yang ditandai kenaikan
kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan
risiko perdarahan yang tidak mudah diperbaiki preoperatif.
Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38%, pada
stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada
perawatan rumah sakit yang lebih modern turun <lo%
dan 25% dalam 3 bulan. Splenektomi kadang menimbulkan
krisisaplastik, karena lien menjadi tempat hematopoeisis
ekstramedular, pada fibrosis sumsum tulang berat.
Dilaporkan adanya komplikasi splenektomi yang
bermakna: infeksi intraabdominal, trombositosis berat
dengan trombosis dan hepatomegali yang cepat
membesar. Dua terakhir tersebut mungkin memerlukan
siklus kemoterapi pascaoperatif.
Pengobatan Lain
\
Interferon dipertimbangkan karena dapat menekan aktivitas.
TGF-P dan efektivitasnya pada CML. ~nterferon-amungkin\
bermanfaat menghilangkan nyeri tulang, trombositopenia.
dan sper~ektomi,tetapi efektivitas ini menurun dengan :
adanyaj7ulike symptoms berat dan memberatnya anemia,?
Vitamin D beserta analognya dapat menekan proliofera4,
magakariosit dan memperbaiki mielofibrosis yang
dihubungkan dengan rickets. Anagrelid dapat menurunkan
trombosit tetapi tidak memperbaiki kelainan klinis lainnya~.
Beberapa pasien dapat diberikan eritropoeitin bahkan lebifi
baik bila dikombinasikandengan interferon. Pasien dengaq
MMM berat dapat diberikan preparat antiangiogeni$
Talidomid, 20% kasus terjadi perbaikan dengaq
menurunnya simptom konstitusional, ukuran lien dad
perbaikan hitung darah. Efek samping serius dilaporka$
antara lain: leukositosis dan trornbositosis bera?
hematopoiesis ekstramedular perikardial, dan dapat terjadr,
pada dosis awal yang sangat rendah 50 mghari.
Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid 5%
mghari dengan prednison O,Smg/ks/hari, 95% memberik~
respon komplit dalam 3 bulan pengobatan.
Suramin dan imatinib dilaporkan pernah diberikan p a d
MMM, dengan hasil yang belum jelas.
Kuretase secara mekanik sejumlah jaringan fibrotik
sumsum tulang iliaka, diperkirakan dapat meningkatkaq
hematopoiesis dan memperbaiki anemia, walaupun hal ini
dengan prosedur komplek dan tidak selalu berhasil padd
semua pasien.
?i
HSCT analog setelah pemberian dosis tinggi busur?
fan, pernah dilakukan pada sejumlah MMM lanjut
refrakter terhadap terapi lain, walaupun dengan mortalit&
cukup tinggi (6 dari 12pasien), hampir semua pasien tetjaa
perbaikan simtom hipersplenisme dan separuh pasieri
terjadi perbaikan anemia dan trombositopenia.
$,
4'.
Dlagnosls Banding
Diagnosis MMM berdasarkan triad: fibrosis sumsua
tulang, hematopoiesis ekstramedular dan hematopoies$
klonal dengan tidak diketemukannya penyakit yank
mendasari. Tidak diketemukan tanda-tanda patognomonik
dan bukti hematopoiesis klonal secara tidak langsung bilh
kariotipe abnormal tidak ditemukan. Biopsi sumsum tulang
penting dilakukan untuk menentukan adanya fibrosis d@
membuktikan adanya hematopoiesis klonal dalam bentuv
panhiperplasia serta untuk menyingkirkan adanya proses
infiltrasi. Untuk diagnosis memakai Italian concensus
conference (Tabel 3), walaupun mungkin tidak berlak$
untuk fase awal MMM.
i:
4
Mieloflbrosis Akut
MMM kadang sukar dibedakan dengan mielofibrosis aka,
Lewis dan Szur(1983. sit Clark dan William, 2005)
melaporkan adanya pasien dengan: Fibrosis sumsuth
4
I;,
IY
;*y
$$:;,
.
if$!
,. .
$',:i
;
.,,
...
vs
'I!
!?!<:
,' ,
ip., >.
.,J.C
..
,@.
$.;,I
Bianco Paulo, et al. Bome marrow stromal stem cells: nature, biology and potential applications. Stem Cells. 200 1; 193: 180-92.
Clark DA, Willlam WL. Myelofibrosis. Wintrobe's clinical hematology. l lth edition. In: Richard Lee, Foerster. Lukens, Paraskevas.
Greer and Rodgers, editors. Baltimore Maryland: William &
Vilkins; 2005. p. 2273-83.
Heckner dan Freund. Atlas hematologi. Praktikum hematologi dengan
mikroskop. In: Alih bahasa Wanandi SI, Suwono WJ, editors.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1999. p. 82-4.
Lunberg LG, et al. Bone marrow in polycythemia vera, chronic
myelocytic leukemia and myelofibrosis has an increased
vascularity. Amer J pathol. 2000;157:15-19.
Mesa AR, et al. A phase 2 trial of comb~nationlow-dose thalidomide
and prednison for the treatment of myelofibrosis with myeloid
metaplasia. Blood. 2003;101:7: 1534-5 1.
Papaiakovon VE, et al. Thalidomide in cancer medicine. Annals
Oncology. 2004;15: 1 15 1-60.
Spirak JL. Polycythemia Vera and other myeloproliferative
diseases. In: Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Longo DL, et
al, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih
Edition. New York: Mc Graw-hill; 2005. p. 626-31.
Tefferi A. The forgotten myeloproliferative disorder: myeloid
metaplasia. The Oncologist. 2003;8:3:223-3 1.
Vannocchi AM, e t al. Development of myelofibrosis in mice
genetically impaired for GATA- I expression (GATA- I low mice).
Blood. 2002: 100;1123-3.
Wieczorek AJ, et al. Autocrinelparacrine mechanisms in human
hematopoiesis. Stem Cells. 2001;19:2:99-101.
PENDAHULUAN
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan
gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid.
Bila tidak diobati, penyalut ini akan mengakibatkan kematian
secara cepat dalam waktu beberapa lninggu sampai bulan
sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960an pengobatan
LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun
yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara
cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat
disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan
LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih
baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok
sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti
anti biotik generasi baru dan transfusi komponen darah
untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu sejak
sekitar 2 dekade tahun yang lalu juga telah dikembangkan
teknik diagnostik leukemia
dengan
cara
immunophenotyping dan analisis sitogenetik yang
menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.
DIAGNOSIS
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokirnia.
Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun
yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru:
immunophenoqping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan
pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,
gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris
pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri
dari 8 subtipe (MO sampai dengan M7, Tabel 2). Klasifikasi
ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American
British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi
diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting
untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia
tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA
tipe M 1, M2, M3, M4 dan M6. '
I.
1237
Subtipe
FAB
Nama Umum
(% kasus)
Mo
MI
M2
M3
M4
M4Eo
Leukemia mielomonositik
dengan eosinofil abnormal
(5-10%)
Leukemia monositik akut
(2-9%)
Eritroleukemia
(3-590)
Leukemia megakariositik Akut
(3-12%)
M5
M6
M7
Hasil Pengecatan
Myeloper Sudan
Esterase
Oksidase
Black
non-spesifik
+
+
Gen yang
terllbat
EV11
AMLI-ETO,
DEK-CAN
PML-RARa
PLZFRARa,
NPM
RARa
MLL,
DEC-KAN
EV11
CBFPMYHI1
+
+
+
Translokasi dan
penyusunan kembali
(% kasus)
11q23 (20%)
inv(3q26) &
t(3;3) (3%),
inv(16),t(16,16)
(80%)
11923 (20%)
t(8.16) (2%)
MLL,
+*
t(1.22) (5%)
tdk diketahui
sel positif terhadap a-naftilasetat dan glikoprotein trombosit llblllla atau antigen yang berkaitan dengan faktor Vlll
dan negatif terhadap naflilbutirat (Sumber : Referensi no. 13)
Sitogenetik
Awal
Kemoterapi
lnduksi
Favorable
Standar 7+3
Intermediate
Standar 7+3
- Unfavorable
Standar 7+3
'
Ami Ashariati
PENDAHULUAN
Sindrom dismielopoetik (SDM) atau myelodysplastic syndrome (MDS) primer dalah suatu sindrom yang di tandai
oleh displasi dari sistem hemopoetik (dysmyelopoesis,
dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik tunggal
rnaupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan
diferensiasi. Yang sebabnya belum diketahui. Jika
penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya
defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat,
pengobatan sitostatik, dan sebagainya.
SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan
rerata umur 60-75 tahun; laki-laki sedikit lebih sering
daripada perempuan dan penyebabnya sampai masih tidak
diketahui.
SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang
sebelumnya disebut sebagai preleukemia, smouldering
leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia
sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic
anemia. Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya
sitopeni, baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhankeluhan anemi yang membangkang, perdarahan karena
trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala
akibatnya.
Klasifikasi dan kriteria-kriteria SDM ini telah diajukan
oleh Bennet dan Vincent.
DIAGNOSIS
Diagnosis SDM dipertimbangkan untuk setiap pasien
dewasa yang disertai gejala-gejala sebagai berikut:
1. Anemi dadperdarahan-perdarahan dantfebris yang
tidak jelas sebabnya dan refrakter terhadap pengobatan.
2. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni
dari satu atau lebih dari sistem darah
- Adanya sel-sel mudahlas dalam jumlah sedikit
( ~ 3 0 %dengadtanpa
)
monositosis di darah tepi.
- Sumsung tulang dapat hipo, normo, atau
hiperselular dengan disertai displasi sistem
hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan
megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan
sebagainya).
- Namun gambaran itu tidak dapat dimasukkan dalam
diagnosis yang jelas dari penyakit-penyakit lain
seperti ITP, lekemi, anerni aplastik. Dan lain-lain.
Diagnosis SDM ditetapkan bila ada butir 1 ditambah
paling sediMt tiga dari butir 2.
Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu
&ngan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan
pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat
memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas
kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan
SDM primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum
tulang ditemukan pada 30-50% pasien SDM de now.
Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi,
trisome, monosomi clan anomali struktur ('hbell).
Delesi 5q
Monosomi 7
Trisomi 8
Kehilangan kromosom Y
Delesi 20q
3q rearangements
Berbagai abnormalitas kromosom 11
Berbagai abnormalitas kromosom 17p
Defek kromosom kompleks lain
Sumber: Fenaux P, Morel P, Lai JL (1996). Cytogenetic of
myelodysplastic syndromes. Semin Hematol; 33:127- 138.
Darah Tepi
Hb
Leukosit
Blast (%)
Trombosit
Sumsum Tulang
Eritrosit
Sideroblas (%)
Granulopoesis
Blast (%)
Trombopoesis
RA
RASB
RAEB
RAEBt
CMML
N atau
<I
N atau
N atau
cl
N atau
<5
6 3 0
<5
N atau
+++
+++
+++
+++
<I5
O.+
c5
O.+
>I5
O.+
<5
O.+
4 5
<! 5
+++
++++
5-20
20-30
5-20
+++
+++
+++
TATALAKSANA
Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien SDM,
tetapi sebagian besar tidak efektif di dalam mengubah
perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien SDM
bergantung pada usia, berat ringannya penyakit dan
progresivitas penyakitnya.Pasien dengan klasifikasi RA dan
RAEB pada umurnnya bersifat indolent sehingga tidak perlu
pengobatan spesifik, cukup suportif saja.
Cangkok sumsum tulang (BM Transphntation)
Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan
utama pada SDM temtama dengan usia c30 tahun, dan
mempakan terapi kuratif, tetapi masih mempakan pilihan
~ 5 dari
% pasien.
Kemoterapi
Pada fase awal dari SDM tidak dianjurkan untuk diberikan
kemoterapi, umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEBT, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C dosis
rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan
respons rate antara 50-75% dan respons ini tetap bertahan
2-14 bulan setelah pengobatan.-~osisARA-c yang
direkomendasi adalah 20 mg/m2hari secara drip atau 10
mg/m2 secara subkutan setiap 12jam selama 21 hari.
GM-CSFatau GCSF
Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat
diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk merangsang
diferensiasi dari hemutopoetic progenitor cells. GM-CSF
diberikan dengan dosis 30-500 mcglm2hari atau G-CSF
50-1600 mcglm2 (0.1-0.3 mcg/kgBBhari/subkutanselarna
7-14 hari.
Lain-lain
Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat
digunakan untuk pengobatan pasien SDM. Piridoksin
dosis 200 mghari selama 2 bulan kadang-kadang dapat
memberikan respons pada tipe RASB walaupun sangat
kecil. Danazol 600 mg/hari/oral selama 3 bulan dapat
meningkatkan trombosit terutama pada SDM tipe
trombopeni.
13-cis retinoic acid dengan dosis 1.0 mgkgBBharil
oral dapat memberikan response rate 21-33% setelah 3
minggu pengobatan.
++
<I5
PROGNOSIS
+++
Klasifikasi FA6
Klasifikasi WHO
Refractory anemia with
excess blasts-2 (RAEB-2)
Prediksi
Survival
Karakteristik
10-19% marrow blasts
10 bulan
213 cylopenia
Myelodysplasticsyndrome,
unclassified (MDS-U)
113 cylopenia
abnormal white or
megakaryocyte cells
< 5% marrow blasts
Not listed
anemia
deleted chromosome 5q
9 tahun,
8 bulan
6 bulan
Chronic
myelomonocylic
leukemia (CMML)
Myelodysplastic/
myeloproliferativediseases
(MDSIMPD)
absence of Philadelphia
chromosome
< 20% marrow and peripheral-blood blasts
dysplasia of one cell line
18 bulan
Refractory
anemia
Refractory anemia
5 tahun,
9 bulan
5 tahun,
9 bulan
2 tahun.
9 bulan
2 tahun,
8 bulan
1 tahun,
6 bulan
Refarctow Cvto~enia
with excess blakts
(WEB)
no peripheral-blood blasts
anemia
5.15% marrow red-cell
precursors with ringed
sideroblasts
GOOD
FA6 Type
(% of patients)
RA (28)
W R S (24)
RAEB (23)
W E B - T (9)
CMML (16)
Leukemic
Evolution (%)
12
8
44
60
14
Median
Survival
Survival
Range
50
51
11
5
11
18-64
14-76+
7-16
2.5-1 1
9-60+
Months
Months
Younger age
Normal or moderately reduced neutrophil and platelet counts
Low blasts counts in the bone marrow and n o blasts in the
blood
No Auer rods
Ringed sideroblasts
Normal karyotypes or mixed karyotypes withouts complex
chromosome abnormalities
In vitro bone marrow culture reveals nonleukemic growth
pattern
POOR
-
Advanced age
Severe neutropenia (<0.5x103/mm3) or thrombocytopenia
(<50~103/mm3)
High blasts count in B M or blasts in peripheral blood
Auer rods
Absence of ringed sideroblasts
DASAR-DASAR BIOLOGIS
LIMFOPROLIFERATIF
Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari
8 q e2
Manonlyaf f=ALL
Mqoaty at t=ALL
'
lmatur
Matur
Leukemia :
Indolent : Large granular
lymphocyte (LGL) leukemia
Agresif : NK-cell leukemia
NasaVnasal type NWT cell
lymphoma
Sel B nayve yang mengenali antigen melalui membranebound antibodi, terdapat pada senter germinal organ lirnfoid
sekunder: kelenjar limfe, limpa dan MALT (mucosaassociated lymphoid tissue).Genornik DNA sel B kemudian
mengalami 3 tipe modifikasi yaitu (Gambar 4):
Receptor editing. Proses pergantian rantai polypeptide
antibodi dengan rantai yang lain, biasanya terjadi pada
imunoglobulin rantai ringan.
Class switching. Beberapa sel B pada senter germinal
mengalami pergantian dari ekspresi IgM dan IgD menjadi
*ef yf?;.,
. .
. . . . . . . ;,.
-?+' =' -.
.
.
<. . . .
. . ~.
..
. , '
rn
s&nabz
. . .
..
-i: -
% I
F I
.. : :
I..
;>
'.<
.
e
,,:.,
. ,,,:.
.
. ' , . ..
c-.
gem
.,.,,
,..
,,
.
..
, / , .
Gen
Sel B
Sel induk
Sel pro-B
G e m line
G e m line
Sel pre-B
Sel B imatur
Mutasi
sornatlk
Protein Ig
Limfoma
Marker
CD34
CD19,CD79a,
BSAP,CD34,CDIO, TdT
CD19, C D ~ ~ CD79a.
R.
BSAP, CD34, CD10, TdT
IgM
(membrane)
B-LBUALL
B-CLL. MCL
Geminal
center (CB.
CC)
rnulai mutasi
somatik
lg (minimal atau
tidak ada)
CD19. CD20.
C D ~ ~ R , C D ; ~BSAP,
~,
CD10, BCL6
Sel B rnernori
lgHlL rea&ngement
rnutasi sornatik
IgM
MZL, B-CLL
Sel plasma
lgHlL rearrangement
mutasi sornatik
IgG>IgA>IgD
Plasmasitomal
mieloma
Keterangan :
CB
: centroblast
LPHL
CC
: centrocyks
DLBCL
lg
B-LBL
: irnunoglobulin
: 6-cell lymphoblasticlymphoma
cHL
MZL
B-CLL
BSAP
MCL
MUM-I
BL
: Burkilt lymphoma
TdT
: ~ermihaldeoxynucleotidyl
FL
BL
F L - - - - - - - - - - +DLBCL
-C3-
*4
Tlpe hlstologls
Tfanslokasl
Mekanisme
aktlvasi
proto-onkogen
Proto-
kasus
Onkogen
Fungsi protoonkogen
Limfoplasmasitik
t(9;14)(p13;q32)
50
PAX4
Deregulasi
transkripsional
Folikular
t(14;18)(q32;q21)
t(1;18)(pll;q21)
t(18;22)(q21 ;ql 1)
90
BCL-2
Deregulasi
transkripsional
Mantle cell
t(l1;14)(q13;q32)
70
MALT
t(l1;18)(q21;q21)
t(1;14)(p22;q32)
50
jarang
BCL-1 lcyclin
Dl
APl2lMLT
BCL-10
Diffuse large
8-cell
der(3)(q27)
35
BCL-6
Deregulasi
transkripsional
Protein fusi
deregulasi
transkripsional
Deregulasi
transkripsional
Burkiti
t(8;14)(q24;q32)
t(2;8)(pll ;q24
t(8;22)(q24:qll)
t(2;5)(p23;q35)
80
15
5
60
c-MYC
Deregulasi
transkripsional
Faktor transkripsi
regulasi proliferasi sel
NPMIALK
Protein fusi
Anaplasfic large
T-cell
Keterangan:
: Paired homeobox family-5
PAX-5
:8-cell leukemiallymphoma-2
BCL-2
BCL-1
: B-cell leukemia/lymphoma-1
: Apoptosis inhibitorkinase
AP121MLT
Gambaran Klinis
siapa yang terkena penyakit: pasien dengan populasi
sel normal yang banyak mempunyai kemungkinan
mengalami transformasi neoplasma. Limfoblastik
Represor
transkrlpsional pada
pembentukan senter
germinal
:8-cell leukemiallymphoma-6
: 8-cell leukemiallymphoma-10
: Nucleophosminlanaplastic lymphoma kinase
BCL-6
BCL-10
NPMIALK
Faktor transkripsi
regulasi proliferasi dan
diferensiasi sel B
Regulasi negatif
apoptosis
Patogenesis
Proses genetik yang terjadi selama diferensiasi sel
melibatkan rearrangement dan mutasi gen imunoglobulin.
Selama proses ini, dapat terjadi kelainan-kelainan genetik
translokasi atau mutasi gen imunoglobulin yang
mengakibatkan perkembangan neoplasma. Sebagian besar
translokasi kromosom pada neoplasma limfoid
memindahkan protoonkogen ke daerah promoter gen
reseptor antigen (gen imunogloblulin atau gen reseptor
sel T).
PENDAHULUAN
KELENJAR LlMFE
Gambar 2. Transforrnasi limfosit B dan T menurut konsep Lukes. Modifikasi dari Lukes RJ.
Boerhave Committee for Postgraduate Medical Edcuation. International Course on Malignant
Lymphomas, Noorwijkerhout, 1979, V-2.
/
Penulis
1. Rappaport
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Lukes
Lennert
Gerard Marchant
Bennet
Dorfman
WHO
Formulasi Praktis
Tahun
1966 dan
1976
1974
1974
1974
1974
1974
1976
1982
1993
1997
Nama Klasifikasi
Modified Rappaport
Lukes-Collins
Lennert
Kiel
BNLC*
Dorfrnan
WHO"
Formulasi Praktis 1
Working Formulation 1
WF
REAL
WHO 1 REAL
6-cell neoplasms
I. Precursor B-cell neoplasm: precursor B-acute
lyrnphoblast~cleukemiallymphoblastic lymphoma (8ALL, LBL)
II. Peripheral B-cell neoplasms
A. B-cell chronic lymphocytic leukemialsmall
lymphocytic lymphoma
B. B-cell prolymphocytic leukemia
C. Lymphoplasmacytic lymphomalimmunocytoma
D. Mantle cell lymphoma
E. Follicular lymphoma
F. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT
type
G. Nodal marginal zone B-cell lymphoma &monocytoid
B-cells)
H. Splenic marginal zone lymphoma &villous
lymphocytes)
I. Hairy cell leukemia
J. Plasmacytomalplasma cell myeloma
K. Diffuse large B-cell lymphoma
L. Burkitt's lymphoma
T-cell and putative NK-cell neoplasms
I. Precursor T-cell neoplasm: precursor T-acute
lymphoblastic leukemiallymphoblastic lymphoma
(TALL, LBL)
II. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms
A. T-cell chronic lymphocytic leukemialprolymphocytic
leukemia
B. T-cell granular lymphocytic leukemia
C. Mycosis fungoideslSezary syndrome
D. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise
characterized
E. Hepatosplenic gammaldelta lymphoma
F. Subcutaneus panniculitis-like T-cell lymphoma
G. ~n~iommunoblastic
T-cell lymphoma
H. Extranodal T-INK-cell lymphoma, nasal type
I. Enteropathy-type intestinal T -cell lymphoma
J. Adult T-cell lymphomafleukemia (HTLV I + )
K. Anaplastic large cell lymphoma, primary systemic
type
L. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneous
type
M. Aggressive NK-cell leukemia
PENDEKATAN DlAGNOSTlK
Anamnesis
Umum:
Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum
- Berat badan menumn 10%
gejala
dalam waktu 6 bulan
- Demam tinggi 38C 1 minggu
sistemik
tanpa sebab
- Keringat malam
Keluhan anemia
Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)
Penggunaan obat (Diphantoine)
Khusus:
Penyakit autoimun (SLE, Sjogren, Reuma)
Kelainan darah
Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis,
tuberkulosis lues, penyakit cakar kucing)
I+
WF
WF
T-cell CLUPLL
LGL
ATUL (chronic and smouldering types
Mywsis fungoides/Sezarysyndrome
A.E
A-E
A.E
Plasmacytomalrnyeloma
Hairy cell leukemia
A,F
Other
Other
A,B,E,F
F
G,H
G,H
I
J
J
E,F,G,H,J
E.F,G,H
E.F.G,H
E.G,H
H
I
Referensi : Rosenberg SA, Berard CW; Brown BW et al. Nati