Anda di halaman 1dari 11

Persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu

(Alston, 2012).
Organisasi Kesehatan Dunia yaitu WHO (2013) membagi persalinan prematur menjadi tiga
kategori berdasarkan umur kehamilan, yaitu:
a. extremely preterm bila kurang dari 28 minggu
b. very preterm bila kurang dari 32 minggu
c. moderate to late preterm antara 32 dan 37 minggu
Menurut Prawirohardjo (2011), kasus persalinan prematur dapat terjadi sebagai akibat proses
patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi
rahim dan perubahan serviks, yaitu:
1. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun janin, akibat
stress pada ibu atau janin.
2. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asendens dari

traktus

genitourinaria atau infeksi sistemik.


3. Perdarahan desidua
4. Peregangan uterus patologik
5. Kelainan pada uterus atau serviks

Penyebab Persalinan Prematur


Persalinan prematur dapat disebabkan oleh banyak faktor. Cunningham, et.al., (2004)
menyatakan bahwa penyebab persalinan prematur dapat dibagi menjadi:
1. Komplikasi medis dan obstetrik

Kurang lebih 1/3 dari kejadian persalinan prematur disebabkan oleh halhal yang
berkaitan dengan komplikasi medis atau obstetrik tertentu misalnya pada kasus-kasus
perdarahan antepartum atau hipertensi dalam kehamilan yang sebagian besar
memerlukan tindakan terminasi saat kehamilan preterm. Akan tetapi, 2/3 dari kejadian
persalinan prematur tidak diketahui secara jelas penyebabnya karena persalinan
prematur

pada kelompok ini terjadi persalinan yang spontan

atau idiopatik

(Feryanto, 2011).
2. Faktor gaya hidup
Perilaku seperti merokok, gizi buruk, penambahan berat badan yang kurang baik
selama kehamilan, serta penggunaan obat seperti kokain atau alkohol telah dilaporkan
memainkan peranan penting pada kejadian prematur dan hasil akhir bayi dengan berat
lahir rendah (Cunningham et al, 2004). Penyalahgunaan alkohol tidak hanya dikaitkan
dengan kelahiran prematur melainkan dengan peningkatan cedera otak pada bayi yang
lahir prematur. Konsumsi alkohol yang berlebihan selama kehamilan dapat
memengaruhi perkembangan fetus dan harapan hidup neonatus. Wanita yang
mengonsumsi alkohol lebih dari satu gelas per hari dapat meningkatkan risiko
persalinan prematur sementara jika mengosumsi akohol kurang dari 4 gelas tiap
miggu tidak memberikan efek meningkatkan risiko persalinan premature (Offiah,
Donoghue, dan Kenny, 2012). Faktor usia juga diduga berhubungan dengan kejadian
persalinan prematur. Wanita usia muda cenderung mempunyai pasangan seksual yang
lebih banyak dan infeksi pada vagina, sementara wanita usia yang lebih tua cenderung
mengalami kontaksi uterus yang irregular, seperti mioma (Chalermchockcharoenkit,
2002).
3. Faktor genetik
Kelahiran prematur juga diduga sebagai suatu proses yang terjadi secara familial
karena sifat persalinan prematur yang berulang dan prevalensinya yang berbeda-beda
antar ras (Cunningham et al, 2004).

4. Infeksi cairan amnion dan korion Infeksi koriamnion yang disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme telah muncul sebagai penyebab kasus pecah ketuban dini dan
persalinan prematur. Proses persalinan aterm diawali dengan aktivasi dari fosfolipase
A2 (PLA-2) yang melepaskan bahan asam arakidonat dari selaput amnion janin
sehingga

meningkatkan

penyediaan

asam

arakidonat

benas

untuk

sintesis

prostaglandin. Banyak mikroorganisme yang menghasilkan fosfolipase A2 sehingga


mencetuskan persalinan prematur. Endotoksin bakteri (liposakarida) dalam cairan
amnion merangsang sel desidua untuk memproduksi sitokin dan prostaglandin yang
memicu persalinan (Cunningham, 2004). Drife dan Magowan dalam Prawirohardjo
(2011) menyatakan bahwa proses persalinan prematur yang dikaitkan dengan infeksi
diperkirakan diawali dengan pengeluaran produk sebagai hasil dari aktivasi monosit.
Berbagai sitokin termasuk interleukin-1, tumor nekrosing faktor (TNF), dan
interleukin 6 adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan prematur.
Sementara itu, Platelet Activating Factor (PAF) yang ditemukan dalam air ketuban
terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan dari
paru dan ginjal janin. Dengan demikian janin memerankan peran sinergik dalam
mengawali proses persalinan prematur yang disebabkan oleh infeksi. Bakteri sendiri
mungkin menyebabkan kerusakan membran melalui pengaruh langsung dari protease.
Sedangkan Prawirohardjo (2011) menyatakan bahwa kondisi yang terjadi selama
kehamilan dapat berisiko terhadap kejadian persalinan prematur yang dibagi dalam
dua faktor, yaitu:
1. Janin dan plasenta
a. perdarahan trimester awal
b. perdarahan antepartum (plasenta previa, solution plasenta, vasa previa)
c. ketuban pecah dini (KPD)
d. pertumbuhan janin terhambat
e. cacat bawaan janin
f. kehamilan ganda/gemeli
g. polihidramnion

2. Ibu
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.

penyakit berat pada ibu


diabetes mellitus
preeklamsia/hipertensi
infeksi saluran kemih/genital/intrauterin
penyakit infeksi dengan demam
stress psikologik
kelainan bentuk uterus/serviks
riwayat persalinan prematur/abortus berulang
inkompetensia serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)
pemakaian obat narkotik
trauma perokok berat
kelainan imunologik/kelainan resus

Dampak Persalinan Prematur


Permasalahan pada persalinan prematur bukan saja pada kematian perinatal, melainkan
bayi prematur sering disertai kelainan, baik kelainan jangka pendek maupun jangka panjang.
Kelainan jangka pendek yang sering terjadi adalah: RDS (Respiratory Distress Syndrome),
perdarahan intra/periventrikular, NEC(Necrotizing Entero Cilitis), displasi bronko-pulmoner,
sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun kelainan jangka panjang sering berupa serebral
palsi, retinopati, retardasi mental, juga dapat berupa disfungsi neurobehavioral dan prestasi
sekolah yang kurang baik (Prawirohardjo, 2011).
Bayi yang lahir sebelum 32 minggu memiliki risiko yang sangat besar akan kematian
dan kesehatan yang buruk di masa kehidupannya, begitu juga dengan bayi yang lahir di
antara 32 sampai 36 minggu masih tetap memiliki masalah kesehatan dan perkembangan
dibandingkan bayi yang dilahirkan cukup bulan (Institute of Medicine, 2006).
Komplikasi pada persalinan prematur terjadi karena sistem organ yang masih imatur
yang masih belum siap untuk mendukung kehidupan di lingkungan ekstrauterin. Inflamasi
dan pengeluaran sitokin yang mencetuskan parsalinan prematur diduga sebagai patogenesis

chronic lung disease, NEC(Necrotizing Entero Cilitis), ROP(Rethinopathy of Prematurity),


dan kerusakan pada brain white matter ( Behrman dan Butler, 2007).

Diagnosis Persalinan Prematur


Diagnosis persalinan prematur adalah salah satu hal yang sulit. Diagnosis persalinan prematur
didasarkan pada pemeriksaan klinis dari kontraksi uterus dan perubahan seviks. Keadaan
yang lebih sulit adalah ketika pasien mengalami kontraksi yang regular tetapi dengan dilatasi
serviks yang minimal. Bila pasien dengan usia kehamilan di bawah 37 minggu, kontraksi
uterus yang regular dengan dilatasi serviks 3 cm dan penipisan 80%, dipertimbangkan
mengalami

persalinan

prematur

(Chalermchockcharoenkit, 2002).

tanpa

menunggu

perubahan

serviks

Menurut Prawirohardjo (2011), sering terjadi kesulitan

dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan prematur. Tidak jarang kontraksi yang
timbul pada kehamilan tidak benar-benar merupakan ancaman proses persalinan. Beberapa
kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan prematur, yaitu:
a. kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali atau 2-3 kali dalam waktu
b.
c.
d.
e.

10 menit
adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)
perdarahan bercak
perasaan menekan pada daerah serviks
pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm dan

penipisan 50-80%
f. presentasi janin rendah sampai mencapai spina isiadika
g. selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya persalinan prematur
h. terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu
Menurut Prawirohardjo (2011), beberapa indikator dapat dipakai untuk meramalkan
terjadinya persalinan prematur, yaitu sebagai berikut:
1. Indikator klinik Indikator klinik yang dapat dijumpai seperti timbulnya kontraksi
dan pemendekan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya ketuban
pecah dini juga meramalkan akan terjadinya persalinan prematur.

2. Indikator laboratorik Beberapa indikator laboratorik yang bermakna antara lain


adalah jumlah leukosit dalam air ketuban (20/ml atau lebih), pemeriksaan CRP (>0,7
mg/ml), dan pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (>13.000/ml)
3. Indikator biokimia
a. Fibronektin janin: peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks, dan air
ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antar korion dan desidua.
Pada kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50ng/ml atau lebih
mengindikasikan risiko persalianan prematur.
b. Corticotropin Releasing Hormone (CRH): peningkatan CRH dini atau pada
trimester 2 merupakan indikator kuat untyk terjadinya persalinan premature.
c. Sitokin inflamasi: pada keadaan normal (tidak hamil) kadar isoferitin sebanyak 10
U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama kehamilan dan mencapai puncak pada
trimester akhir yaitu 54,853 U/ml. Penurunan kadar dalam serum akan berisiko
terjadinya persalinan prematur.
d. Feritin: Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitive untuk keadaan
kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan dengan berbagai keadaan fase akut
termasuk kondisi inflamasi. Beberapa peneliti menyatakan ada hubungan antara
peningkatan kadar feritin dan kejadian penyulit kehamilan, termasuk persalinan prematur.

Pengelolaan Persalinan Prematur


Tujuan utama pengelolaan persalinan prematur adalah sebagai berikut:
a. Menghambat atau mengurangi kekuatan dan kontraksi uterus untuk menunda proses
persalinan.
b. Untuk meningkatkan kualitas janin sebelum dilahirkan
c. Menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal (Goldenberg, 2002)
Prinsip pengelolaan persalinan prematur bergantung pada:

a. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak dihambat bilamana selaput
ketuban sudah pecah.
b. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.
c. Umur kehamilan. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan makin
perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ > 2.000 atau
d.
e.
f.
g.

kehamilan > 34 minggu.


Penyebab/komplikasi persalinan prematur
Kemampuan neonatal intensive care facilities.
Ada atau tidaknya gejala klinis dari infeksi intrauterin
Ada atau tidaknya pertanda-pertanda yang meramalkan persalinan dalam waktu yang
singkat ini (Prawirohardjo, 2011)
Pengelolaan pada kasus persalinan prematur dengan ketuban yang masih intak dimana
tidak didapatkan bahaya pada ibu dan janin maka pengelolaannya adalah konservatif,

a.
b.
c.
d.
e.

yang meliputi:
Menunda persalinan prematur dengan tirah baring dan pemberian obat-obat tokolitik.
Memberikan obat-obat untuk pematangan paru janin.
Memberikan obat-obat antibiotik untuk mencegah risiko infeksi perinatal.
Merencanakan cara persalinan prematur yang aman dan dengan trauma yang minimal.
Mempersiapkan perawatan neonatal dini yang intensif untuk bayi-bayi prematur

(Fadlun dan Feryanto, 2013).


Menurut Goldenberg (2002), pengelolaan persalinan prematur dapat mencakup:
1. Tirah Baring
Tirah baring adalah salah satu intervensi yang digunakan sebagai pencegahan atau
pengobatan pada persalinan prematur yang mengancam.
2. Hidrasi/Sedasi
Alasan diberikannya hidrasi adalah karena wanita dengan risiko persalinan prematur
memiliki volume plasma di bawah normal. Namun, pemberian hidrasi ataupun sedasi
masih belum memilki data yang mendukung. Hidrasi ataupun sedasi belum
memperlihatkan efek menurunkan kejadian persalinan prematur.
3. Progesteron Adanya hipotesis persalinan prematur karena progesterone withdrawal,
maka salah satu pencegahan ataupun pengobatan persalinan prematur adalah dengan
pemberian progesteron. Namun, penggunaan progersteron ini belum berhasil
menghentikan persalinan prematur.
4. Tokolisis

Pemberian tokolisis untuk menghambat persalinan masih belum efektif. Namun,


pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang
regular dengan perubahan serviks. Alasan pemberian tokolisis dalam pengelolaan
persalinan prematur adalah:
Mencegah mortalitas dan morbiditas bayi prematur
Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan

paru janin
Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengap
Beberapa jenis obat yang dapat digunakan sebagai tokolisis adalah:
a. Obat -mimetik Ada tiga reseptor mimetik di tubuh manusia. 1 di
jantung, usus halas, dan jaringan adiposit, 2 di uterus, 3 di jaringan
lemak coklat. Stimulasi di reseptor 2 menyebabkan relaksasi otot
polos uterus. Contoh obat 2 selektif adalah ritrodin dan terbutalin.
b. Sulfas magnesikus
Sulfas magnesikus belum efektif dalam
menghentikan persalinan prematur. Kontraindikasi absolut dalam
pemberian sulfas magnesikus adalah miastenia gravis dan blokade
jantung. Kontraindikasi relatif adalah penyakit ginjal dan infark
miokardial. Walaupun terdapat efek samping pada ibu dan janin, sulfas
magnesikus masih kurang berbahaya dibandingkan obat -mimetik.
Oleh karena itu, banyak tim medis yang menggunakan obat ini sebagai
obat tokolisis utama.
c. Prostaglandin Synthetase Inhibitors

Contoh obatnya adalah

indometasin. Namun, penggunaan ini tidak bnayak dilakukan karena


efek samping pada ibu dan janin.
d. Calcium Channel Blockers Calcium Channel Blockers adalah obat
untuk mengurangi masuknya kalsium sehingga dapat mengontrol
kontraktilitas otot dan aktivitas pacemaker di jantung dan jaringan
uterus. Obat yang digunakan adalah nifedipin. Nifedipin dilaporkan
dapat memperpanjang usia kehamilan dibandingkan ritrodin atau

plasebo. Nifedipin juga sama efektifnya dengan sulfas magnesikus


dalam menunda persalinan. Kontraindikasi dalam menggunakan
Nifedipin adalah hipotensi, gagal jantung, dan stenosis aorta. Efek
samping pada ibu dalam penggunaan Nifedipin adalah sebagai hasil
vasodilatasi pembuluh darah yaitu sakit kepala dan edema perifer. Efek
samping untuk janin masih perlu diteliti lebih lanjut. Penggunaan
Nifedipin sebagai tokolisis yang lebih baik daripada sulfas magnesikus
masih memilki bukti yang sedikit.
5. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan kejadian Respiratory Distress
Syndrome (RDS) sehingga dapat menurunkan morbiditas perinatal pada nonatus yang
lahir sebelum usia 34 minggu. Efek ini diperolah hanya pada persalinan yang terjadi
lebih dari 24 jam setelah pemberian dosis pertama dan sebelum 7 hari. Ibu hamil yang
berada pada usia kehamilan antara 23 dan 34 minggu yang berisiko mengalami
persalinan prematur sebaiknya diberikan kortikosteroid. Pada pasien yang megalami
ketuban pecah dini, kortikosteroid direkomendasikan untuk diberi pada kehamilan 3032 minggu. Kortikosterid yang paling sering digunakan adalah:
Betametason : 2 x 12 mg intramuskular dengan jarak pemberian 24 jam
Deksametason : 4 x 6 mg intravena dengan jarak pemberian 6 jam
Betametason dilaporkan lebih efektif dalam menurunkan perdarahan
intraventrikular dibandingkan dengan deksametason.
6. Antibiotika Antibiotika diberikan hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung
risiko terjadinya infeksi, seperti ketuban pecah dini. Obat diberikan per oral, yang
dianjurkan adalah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lain adalah
ampisilin 3 x 500 mg selama tiga hari atau antibiotka lain klinsdamisin
7. Proses persalinan
Pada kasus yang melahirkan di usia 24 minggu, sebaiknya melakukan operasi sesar.
Patogenesis Persalinan Prematur

Persalinan prematur dapat terjadi secara spontan atau karena ada indikasi. Persalinan
prematur secara spontan dapat terjadi pada selaput ketuban yang masih intak atau karena
ketuban pecah dini (preterm premature rupture of fetal membranes). Persalinan prematur atas
indikasi bisa tejadi karena kondisi yang terjadi pada ibu ataupun janin. Kondisi pada ibu yang
sering menginduksi adalah kejadian preeklampsia, plasenta previa sedangkan pada janin
adalah karena pertumbuhan janin terhambat. Namun, kedua kondisi ini dapat terjadi secara
bersamaan. Dari semua kasus persalinan prematur yang terjadi, 25% terjadi atas indikasi dan
75% terjadi secara spontan dimana 45% dengan selaput ketuban yang masih intak dan 30%
dengan kasus ketuban pecah dini (Romero, 2007).
Mekanisme umum persalinan pada persalinan aterm ataupun prematur melibatkan
psoses anatomik, biokimia, imunologi, endokrin, dan hal klinis pada ibu dan janin. Banyak
klinisi lebih menekankan pada komponen uterus meliputi kontraksi miometrium, dilatasi
serviks, dan pecahnya ketuban. Namun, dapat terjadi perubahan sistemik seperti peningkatan
kadar Corticotropin Releasinng Hormone (CRH) di plasma.

Keseluruhan aktivasi

mekanisme persalinan dipicu oleh suatu sinyal. Prostaglandin dipertimbangkan sebagai kunci
dalam onset persalinan karena dapat memicu kontraksi miometrium, perubahan matrix
ekstraselular yang berhubungan dengan pendataran serviks dan aktivasi membran desidua
(Romero, 2007).

Gambar. Mekanisme biokimia dalam persalinan umum


PG : Prostaglandin
RE- : Resepor Estrogen
RP-A: Reseptor Prostaglandin-A
MMPs : Metaloproteinisasi
RP-B : Reseptor Prostaglandin-B
IL-8 : Interleukin-8
Menurut Prawirohardjo (2011), kasus persalinan prematur dapat terjadi sebagai
akibat proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak
terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks, yaitu:
1. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun
janin, akibat stress pada ibu atau janin
2. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asendens dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik
3. Perdarahan desidua
4. Peregangan uterus patologik
5. Kelainan pada uterus atau serviks

Anda mungkin juga menyukai