HIV/ AIDS
Pembimbing:
dr. Ariadi Humardhani, Sp.PD
Disusun oleh:
Tri Ayu Octaviyani
1102011285
Berdasarkan laporan dari tahun ke tahun kasus AIDS menunjukkan trend peningkatan
yang terus - menerus. WHO (World Health Organization) pada akhir tahun 2009 menyatakan
33,3 juta orang hidup dengan HIV dan 1,8 juta orang meninggal karenanya. Diperkirakan
jumlah ini masih jauh lebih banyak lagi karena masih banyaknya kasus-kasus yang tidak
terdeteksi. HIV/AIDS sudah menjadi global effect dengan kecepatan penularan penyebaran yang
sangat pesat, diperkirakan 1 menit 5 orang tertular di seluruh dunia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
Definisi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang system
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel
- sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit.
Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel - sel darah
2
putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400 - 1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus
bisa sampai nol) (KPA, 2007c).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini
secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase
untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi
secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup
mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat
mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi
pembungkus lemak yang melingkar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV
mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan struktural yaitu gag (group
antigen), pol (polymerase), dan env (envelope)
2.1.2
Definisi AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
3
seperti kuman, virus,dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik (Zein, 2006).
2.2
Epidemiologi
1. Situasi Global
Berbagai aspek budaya, sosial, dan perilaku yang berbeda menentukan
karakteristik penyakit HIV di setiap daerah. Angka seroprevalensi di antara pengguna
obat suntik sangat bervariasi di seluruh dunia, namun epidemi terkini terjadi di Eropa
bagian timur, Rusia, dan India bagian utara.
2. Situasi Nasional
Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia pada tahun 1987,
perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia datri tahun ke
tahun secara kumulatif cenderung meningkat. Pada tahun 2006 Ditjen PP & PL Depkes
RI mengadakan kegiatan estimasi populasi rawan tertular HIV dengan hasil sebagai
berikut:
Pada April 2009, jumlah penderita HIV dan AIDS di Provinsi Sumatera Utara
berjumlah 1680 (AIDS 872+HIV808), dengan kasus terbanyak pada kota Medan dengan
jumlah 581 penderita AIDS dan HIV 600 orang, menyusul Deli Serdang berjumlah 142
(HIV 76+AIDS 66) penderita. Jumlah penderita AIDS yang meninggal di Provinsi
Sumatera Utara yang dilaporkan berjumlah 124 orang sampai dengan April 2009.
2.3
Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawankawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang
asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
6
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic
Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang
rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk
virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah
dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV
dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak
2.4
Patogenesis
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili ini
mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus mampu
mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik
dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi
genetik virus juga ikut diturunkan.
Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti sel
CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat
antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV.
HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul
HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara tidak langsung, lapisan
luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang
kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen.
Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu
disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan
antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi. Pada masa ini, tidak ada
dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat serta test HIV belum
bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode).
Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi
penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun,
tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa
pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah
CD4+ akan mencapai <200 sel/L.
Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan DNA
sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun
pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan
gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan, demam lama, pembesaran
kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dll. Infeksi oportunistik dapat
8
terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang
sangat rendah. Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel
hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans
di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encefalopati dan pada sel epitel usus
adalah diare kronis.
2.4
Determinan HIV/AIDS
a. Faktor Host
Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan masyarakat, baik
kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang
mempunyai risiko tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drug Use),
kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan
banyak mitraseksual) misalnya WPS (wanita penjaja seks), dari satu WPS dapat
menular ke pelanggan - pelanggannya selanjutnya pelanggan - pelanggan WPS
tersebut dapat menularkan kepada istri atau pasangannya. Laki-laki yang berhubungan
seks dengan sesamanya atau lelaki seks lelaki (LSL).Narapidana dan anak-anak
jalanan, penerima transfusi darah, penerima donor organ tubuh dan petugas pelayan
kesehatan juga mejadi kelompok yang rawan tertular HIV.
Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), rasio kasus AIDS antara
laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui hubungan
heteroseksual sebesar 50,3%, IDU 40,2%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 3,3%, perinatal
2,6%, transfusi darah 0,1% dan tidak diketahui penularannya 3,5%. Risiko penularan
dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke suaminya
adalah 8%.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan infeksi HIV menjadi
AIDS adalah usia pada saat infeksi. Orang yang terinfeksi HIV pada usia muda,
biasanya lambat menderita AIDS, dibandingkan jika terinfeksi pada usia lebih tua.
9
Dalam Adisasmito (2007), risiko transmisi transplasental yaitu transmisi dari ibu
kepada bayi/janinnya saat hamil atau saat melahirkan adalah 50%, yaitu apabila
seorang ibu pengidap HIV melahirkan anak, maka kemungkinan anak itu terlular HIV.
Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan
melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya 1%.
Petugas kesehatan yang terluka oleh jarum suntik atau benda tajam lainnya yang
mengandung darah yang terinfeksi virus HIV, mereka dapat menderita HIV/AIDS,
angka serokonversi mereka <0,5%.
b. Faktor Agent
Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel CD4+.
Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel efektor imun
yang lainnya, daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi HIV akan jatuh
kedalam stadium yang lebih lanjut.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat.
Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang membuat
individu yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus HIV yang masuk
sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T berbanding terbalik
dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh.
AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case
Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah diagnosis
AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Proporsi kasus AIDS yang
dilaporkan telah meninggal di Indonesia hingga Desember 2009 adalah 19,3%.
c. Faktor Environment
Menurut data UNAIDS (2009), dalam survei yang dilakukan di negara bagian
Sub-Sahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005, prevalensi HIV lebih tinggi di daerah
perkotaan daripada di daerah pedesaan, dengan rasio prevalensi HIV di kota : pedesaan
yaitu 1,7:1. Misalnya di Ethiopia, orang yang tinggal di areal perkotaan 8 kali lebih
mudah terinfeksi HIV dari pada orang-orang yang tinggal di pedesaan.
10
Penelitian Silverman, dkk (2006) desain Case records di Mumbai, pada 175 orang
perempuan korban perdagangan seks di rumah pelacuran di India, 54,3% diantaranya
berasal dari India, 29,7% berasal dari Nepal, 4% berasal dari Bangladesh dan 12% tidak
diketahui asalnya. Dari 28,4% perempuan India korban perdagangan seks yang positif
HIV, perempuan yang berasal dari Kota Karnataka dan Maharashtra lebih mungkin
terinfeksi HIV daripada perempuan yang berasal dari Kota Bengal Barat dengan Odds
Ratio (OR) 7,35. Hal ini dikarenakan Kota Karnataka dan Maharashtra merupakan daerah
dengan prevalensi HIV yang tinggi. Jadi perempuan korban perdagangan seks yang
berasal dari daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi kemungkinan untuk telah
terinfeksi HIV sebelumnya lebih besar
2.5
melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang
dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS dapat diketahui,
misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana.
2.5.1. Transmisi Seksual
Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko
daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih
besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan
sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memuda hkan transmisi HIV.
Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan risiko
tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitraseksual yang pasif menerima ejakulasi
semen dari seorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan karena tipisnya mukosa rektum
11
kulit tertusuk jarum atau benda tajam lainnya yang tercemar oleh darah seseorang
yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV ke
membran mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah sekitara 0,09%. Di rumah
sakit Dr. Sutomo dan rumah sakit swasta di Surabaya, terdapat 16 kasus kecelakaan
kerja pada petugas kesehatan dalam 2 tahun terakhir. Pada evaluasi lebih lanjut tidak
terbukti terpapar HIV (Nasronudin).
2.6 Klasifikasi Klinis
Tabel 4. Klasifikasi Klinis Infeksi HIV pada dewasa
14
15
g. Radang paru
h. Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara
lain tumor dan infeksi oportunistik :
a. Manifestasi tumor diantaranya;
1) Sarkoma kaposi ;
kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50%
biasanya
terjadi
pada
kelompok
homoseksual,
dan
penyebab kematian
Mycobacterium Avilum
Menimbulkan
pneumoni
difus,
timbul
pada
stadium
akhir
dan
sulit
disembuhkan.
Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat
menyebar ke organ lain diluar paru.
terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah
normal. Namun, berkurangnya jumlah virus dalam plasma bukan merupakan penanda
berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T
CD4+ jaringan.
2. Fase kronis
Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini,
sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga
beberapa
tahun.
Para
pasien
tidak
menunjukkan
gejala
ataupun
menderita
limfadenopati persisten dan banyak penderita yang mengalami infeksi opotunistik ringan,
seperti sariawan. Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian
virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun,
karena kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam
jumlah
yang
besar. Setelah
melewati
periode
yang
panjang
dan
beragam,
pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah
CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat
3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang
sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para
pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah,
penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500
sel/L. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi
oportunistik yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis
(disebut
dengan
kondisi yang
menentukan AIDS).
Jika
kondisi
lazim
yang
menentukan AIDS tidak muncul, pedo man CDC yang digunakan saat ini
menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang
atau sama dengan 200 sel/L sebagai pengidap AIDS. Hampir semua orang yang
terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala yang
berkaitan dengan HIV atau AIDS.
18
Gejala Minor
menegakkan AIDS.
Anak
Definisi kasus AIDS terpenuhi bila ada sedikitnya 2 tanda mayor dan 2 tanda
minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan imun yang lain yang diketahui, seperti
kanker, malnutrisi berat atau sebab-sebab lain.
Gejala Mayor :
Gejala Minor :
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis orofaringeal
Infeksi umum yang rekuren
Batuk - batuk selama lebih dari 1 bulan
Ruam kulit yang menyeluruh
19
20
tetap tidak bias disimpulkan, maka test Western Blotharus diulangi lagi setelah 6
bulan.
c. PCR (Polymerase chain reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi
HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas. Diagnosis infeksi
HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di
Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat bila
menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor
dan satu gejala minor.
Salah satu cara penentuan serologi HIV yang dianjurkan adalah ELISA, mempunyai
sensitivitas 93 - 98% dengan spesifitas 98 - 99%. Pemeriksaan serologi HIV sebaiknya
dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih
spesifik Western blot.
Tes serologi standar terdiri dari EIA dan diikuti konfirmasi WB. Melalui WB
dapat ditentukan antibodi terhadap komponen protein HIV yang meliputi inti (p17, p24,
p55), polimerase (p31, p51, p66), dan selubung (envelope) HIV (gp41, gp120, gp160).
Bila memungkinkan pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes penapisan melalui EIA
terdapat potensi false positif 2%. Interpretasi WB meliputi:
a. Negatif
b. Positif
c. Indeterminate
21
Terapi Antiretroviral
Antiretroviral therapy ditemukan pada tahun 1996 dan mendorong suatu
evolusi dalam perawatan penderita HIV/AIDS. Replikasi HIV sangat cepat dan terusmenerus sejak awal infeksi, sedikitnya terbentuk 10 miliar virus setiap hari. Namun
karena waktu paruh virus bebas (virion) sangat singkat maka sebagian besar virus
akan mati. Penurunan CD4 menunjukkan tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh
yang disebabkan oleh HIV. Pemeriksaan CD4 ini berguna untuk memulai, mengontrol
dan mengubah regimen ARV yang diberikan.
Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita
yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah yang arif dan bijaksana, serta
22
Obat anti retroviral terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, nleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Saat ini regimen pengobatan anti retroviral
yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen
yang dapat dipergunakan dengan keunggulan dan kerugian masing-masing. Kombinasi
ARV lini
pertama
yang
umumnya digunakan
di
23
*Tidak dianjurkan wanita hamil trimester pertama/wanita yang berpotensi tinggi hamil
24
Tabel 10.Toksisitas utama pada pada regimen lini pertama dan anjuran obat penggantinya
25
26
Tabel 11. Definisi Kegagalan Terapi secara klinis dan kriteria CD4 pada ODHA dewasa
Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis
pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung
HIV
(post
exposure
prophylaxis). Selain itu juga digunakan untuk pencegahan penularan dari ibu ke bayi.
Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih regimen ART baik di tingkat program
ataupun tingkat individual :
Efika si obat
Profil efek samping obat
Persyaratan pemantauan laboratorium
Kemungkinan kesinambungan sebagai pilihan obat di masa depan
Antisipasi kepatuhan oleh pasien
27
2.9 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat
atau mencegah orang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer merupakan hal yang paling
penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara
lain :
a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan
ABC yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan
seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk
mencegah penularan HIV/AIDS
28
suportif
yaitu
pengobatan
untuk
meningkatkan
keadaan
umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan
pemberian vitamin.
b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai
penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. Jenis-jenis mikroba
yang menimbulkan
Toxoplasma,
dan
cytomegalovirus/CMV,
Papovirus)
jamur
dan
(Kandidiasis),
bakteri
virus
(Mycobacterium
(Herpes,
TBC,
29
enzim
jarang
dan
lebih
mudah
diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat
menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun membunuh HIV.
3. Pencegahan Tersier
Orang yang di diagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat
membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, selain itu
juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA perlu
diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan
aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Misalnya :
Memperbolehkannya
untuk
membicarakan
hal-hal
tertentu
dan
mengungkapkan perasaannya
Membangkitkan harga dirinya
atau
sedang
dengan
dalam
tahap
melihat
keberhasilan
terminal)
yang
hidupnya
mencakup
2.10 Prognosis
30
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS
meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV
yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.
DAFTAR PUSTAKA
31
32