Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kesehatan memiliki andil terhadap pembangunan suatu bangsa. Layaknya

investasi, kesehatan yang terpelihara akan meningkatkan produktivitas kerja


(Khomsan, 2002). Remaja kelak akan menjadi estafet pembangunan. Gangguan
sekecil apapun mampu mengubah rencana-rencana terhadap suatu kemajuan, dan
gangguan tersebut dapat berasal dari mana saja termasuk gangguan pencernaan
karena faktor kebiasaan, tak terkecuali keluhan dispepsia pada remaja.
Dalam konsensus Roma III disebutkan bahwa pengertian dari dispepsia
adalah, rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang terletak pada perut bagian atas atau
upper abdomen (Djojoningrat, 2009). Dispepsia merupakan masalah kesehatan
sehari-hari. Di dunia terdapat sekitar 13%-14% populasi yang mengalami
dispepsia setiap tahun (Harahap, 2009). Angka dispepsia di dunia tergolong tinggi.
Pada penelitian dengan menggunakan upper abdominal pain, didapatkan
prevalensi untuk dispepsia pada Singapore sebesar 7-8%, di Skandinavia 18,4%,
di Amerika Serikat 23-25,8%, di India 30,4%, dan di New Zealand 34,2%, dan di
Asia Tenggara 14,5% (Mahadeva et al, 2006).
Di Indonesia, menurut Data Depkes tahun 2004, dispepsia berada pada
urutan ke 15 dari 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia
(Harahap, 2009). Pada praktek dokter umum, diperkirakan hampir 30% kasus
dispepsia ditemukan dan 60% pada praktek gastroenterologist. Berdasarkan
penelitian umum, didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami

dispepsia beberapa hari. Angka insiden diperkirakan antara 1-8%. Belum ada data
yang menjelaskan epidemiologi dispepsia di Indonesia (Djojoningrat, 2009).
Penelitian tentang dispepsia pada siswa SMA pernah dilakukan di Medan
pada tahun 2009 dimana seluruh responden adalah remaja perempuan. Dari
penelitian di dapatkan siswi yang menderita dispepsia adalah sebesar 64,4%.
Penelitian berhubungan dengan ketidakteraturan makan yang dilakukan oleh siswi
SMA Al Azhar Medan (Annisa, 2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2003), berdasarkan
karakteristik pendidikan, tingkat pendidikan SLTA menduduki urutan pertama
pada dispepsia organik, dan urutan kedua pada dispepsia fungsional dengan
presentase masing-masing 45,5% dan 27,7%. Penyebab timbulnya dispepsia
diantaranya adalah faktor diet dan lingkungan, sekresi cairan lambung, fungsi
motorik lambung, persepsi viseral lambung, fungsi motorik lambung, dan infeksi
Helicobacter pilory (Djojoningrat, 2006).
Pola makan tidak teratur dan gaya hidup umumnya menjadi masalah yang
timbul pada remaja (Susanti, 2011). Ketidakteraturan makan menjadi salah satu
faktor tercetusnya dispepsia, seperti disebutkan oleh Li Y dkk (2002) dalam
Mahadeva (2006), penelitian di China menunjukkan bahwa kebiasaan makan yang
buruk menjadi faktor pemicu yang cukup signifikan untuk dispepsia. Pada
penelitian tahun 2008, jumlah kasus dispepsia pada supir truk sebesar 52,1%, dua
faktor yang paling kuat berperan dalam hal ini adalah konsumsi minuman
beralkohol dan ketidakteraturan makan (Ervianti, 2008). Tidak teraturnya makan
bisa disebabkan oleh diet yang tidak sehat yang dilakukan siswa, mindset ingin

tampil menarik menjadi salah satu faktor mengapa siswa suka mengurangi
frekuensi makannya (Annisa, 2009).
Remaja memiliki pola makan yang berbeda dari usia lainnya, remaja
cendenrung mengkonsumsi makanan yang berlebih atau kurang dari kadar yang
seharusnya.

Kekurangan gizi pada remaja mengakibatkan menurunnya daya

tahan tubuh terhadap penyakit dan meningkatkan angka penyakit (morbiditas),


mengalami pertumbuhan tidak normal, dan tingkat kecerdasan rendah (Soekirman
dalam Emilia, 2009). Banyak remaja yang tidak menyadari kebiasaan mereka
sekarang berpengaruh besar terhadap status kesehatan mereka pada masa
mendatang (Stang et al dalam Emilia, 2009).
Academy of Eating Disorder, New York menyebutkan bahwa remaja akhir
dan dewasa muda memiliki gejala gangguan terhadap kebiasaan makan, kejadian
tersebut biasanya dikaitkan dengan pubertas, sifat melepaskan diri dari orang tua,
identitas dan hubungan pertemanan yang sering memicu konflik sehingga
mengganggu kebiasaan makan (Richard, 2006). Selain itu persepsi bentuk tubuh
juga berpengaruh terhadap pola makan remaja, penelitian yang dilakukan Emilia
menunjukkan sekitar 16% sampel pernah melakukan diet seperti mengurangi
jumlah makan, mengurangi frekuensi makan.
Angka mengenai ketidakteraturan makan pada siswa pernah tercatat di
SMA Al Azhar Medan sebesar 53.4%. seluruh responden adalah perempuan
berjumlah 73 orang, dan angka siswa yang memiliki pola makan yang tidak
teratur adalah sebanyak 39 orang (Annisa,2009)

Penelitian yang akan dilakukan sekarang berkenaan dengan hubungan


tingkat ketidakteraturan makan dengan kejadian dispepsia dilakukan pada siswa
SMA N 1 Padang Panjang. Siswa bersekolah dimulai pukul 07.15 dan selesai
pukul 15.00, dengan keberadaan siswa dalam waktu yang panjang di sekolah,
memungkinkan untuk terjadinya keluhan dispepsia, faktor ini menjadi salah satu
alasan dilaksanakannya penelitian di tempat ini.
1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan pertanyaan untuk penelitian

sebagai berikut:
Apakah ada hubungan antara tingkat ketidakteraturan makan dengan kejadian
dispepsia pada siswa di SMA 1 Padang Panjang.
1.3
1.3.1

1.3.2

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Mencari hubungan antara tingkat ketidakteraturan makan dengan
dispepsia remaja SMAN 1 Padang Panjang.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui tingkat ketidakteraturan makan remaja SMAN 1 Padang
Panjang.
2. Mengetahui angka kejadian dispepsia siswa SMAN 1 Padang Panjang.
3. Mengetahui hubungan antara tingkat ketidakteraturan makan dengan
kejadian dispepsia pada siswa SMAN 1 Padang Panjang.

1.4

Manfaat Penelitian
1. Bidang Keilmuan dan Pendidikan

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bidang


dispepsia mengenai hubungan tingkat ketidakteraturan makan dengan
kejadian sinroma dispepsia.
2. Bidang Keilmuan dan Pelayanan Kesehatan
Penelitian ini diharapkan menjadi trigger bagi para klinisi untuk
mengedukasi masyarakat tentang dispepsia.

Anda mungkin juga menyukai