dalam public domain sehingga berada di luar scope UNCLOS. Dari sinilah
muncul
hukum maritim yang lebih mengatur pada lalu lintas commercial ships atau
marine
transport, baik sebagai alat transportasi orang maupun pengangkut barang
lewat
laut. Karena itu, tidak dapat dimungkiri bahwa hukum maritim juga
"berangkat"
dari ocean affairs.
Hukum laut atau yang lebih dikenal dengan the law of the sea lebih
mengarah
kepada pengaturan-pengaturan publik yang bisa dikatakan lebih luas.
Misalnya
saja, masalah kedaulatan suatu negara akan wilayah lautnya serta
pengaturan hak
lintas kapal asing.
Suatu contoh kasus hukum laut adalah kasus Bawean 2003 tentang hak
lintas
Armada Angkatan Laut Amerika melalui ALKI Timur-Barat serta penentuan
pulau-pulau terluar Indonesia untuk penarikan archipelagic baselines dan
kasus-kasus pencemaran laut.
Sengketa yang timbul dari hukum laut lebih melibatkan negara sehingga
penyelesaiannya lebih mengarah kepada dirumuskannya suatu bilateral atau
multilateral agreement. UNCLOS juga mengenal law of the sea tribunal
untuk
penyelesaian sengketa hukum laut.
Sementara itu, hukum maritim atau yang biasa disebut maritime law
mengatur
akibat-akibat dari penggunaan laut sebagai alat transportasi, mencakup
hal-hal
seperti collisions, salvage, towage, pilotage, serta marine insurance.
Hal-hal semacam itu belum diatur khusus di Indonesia. Aturan tentang
peran
pandu (pilotage) dan marine insurance masih mengacu pada Kitab UU Hukum
Dagang
(KUHD). Dengan demikian, perlu juga dipikirkan kemungkinan perumusan
suatu
Indonesian Maritime Act.
Dengan demikian, hukum maritim lebih mengarah ke pengaturan-pengaturan
private.
Sengketa yang timbul dari hukum maritim inilah yang mungkin memerlukan
suatu
peradilan khusus di bidang maritim. Hanya, perlu diingat lagi bahwa
sebenarnya
kita sudah punya Dewan Maritim Indonesia.
Dewan Maritim Indonesia
Perlunya pendirian peradilan khusus yang menangani kasus maritim mungkin
bisa