Anda di halaman 1dari 3

BEST PRACTICE GURU

"BEST PRACTICE GURU: KARYA INOVATIF DAN PTK KAH?"


Oleh Alamsari, M. Pd.
Konon, katanya karya tulis yang paling mudah dibuat adalah best practice. Sesuai
istilahnya best practice adalah karya yang berisi pengalaman terbaik guru dalam
mengajar. Lalu, samakah best practice dengan PTK atau karya inovatif?
Jawabnya bisa ya dan juga bisa tidak. Dalam suatu ajang lomba, banyak yang salah
menafsirkan arti best practice itu sendiri. Betul, PTK dan karya inovatif bisa jadi
best practice. Akan tetapi tidak semua PTK dan karya inovatif dapat menjadi best
practice. Hakikatnya, best practice adalah pengalaman guru yang paling berkesan
dan paling berdampak (memberikan hasil luar biasa) bagi guru dan siswa dalam
pembelajaran. Kata kuncinya adalah DAMPAK. Hasil yang luar biasa memang
menjadi karakteristik dari best practice. Suatu PTK dan atau KARYA INOVATIF
belum tentu mampu memberikan dampak luar biasa. Dampak luar biasa dapat
dilihat dari seberapa luas dan seberapa signifikan hasil perlakuan yang dilakukan.
Duh,
bingung
ya?
Saya
juga
bingung.
Saya
kasih
contoh
saja
ya!
Contoh kasus:
Dalam bukunya Multiple Intelegences: Memanusiakan Manusia karya Munib Chotib
dituliskan pernah ada satu sekolah yang terancam tutup. Sekolah itu, sudah
terlanjur dikenal oleh masyarakat sebagai sekolah yang jelek, murid-muridnya
nakal, guru-gurunya tidak berkualitas. Bahkan, masyarakat sekitar sekolah tidak
ada yang mau memasukkan anaknya ke sana. Duh, gawat bener kan!
Nah, akhirnya sekolah tersebut berpindah manajemen. Sekolah itu berganti
pimpinan baru. Pimpinan baru sadar bahwa sekolah itu sudah tidak tertolong lagi.
Oleh karena itu, ia memutuskan mengganti nama sekolah itu. Terus, ia juga
mengganti semua guru-gurunya. Guru-guru direkrut melalui jalur seleksi yang
ketat. Lalu, guru-guru terpilih ditatar selama 3 bulan. Ia juga mengubah semua
manajemen
sekolah
yang
ada.
Pada awal tahun ajaran baru Sekolah itu hanya menerima siswa "sisa" dari sekolah
lain. Sebab, siswa yang pintar sudah masuk sekolah negeri semua. Namun,
pimpinan baru tak khawatir. Dengan perubahan yang telah dilakukan, ia yakin akan
mampu mengubah siswa "sisa" tersebut menjadi siswa luar biasa. Untuk itu, dalam
pembelajaran, sekolah itu menerapkan pembelajaran berbasis Multiple
Intellegences. Setiap anak diyakini memiliki kecerdasan. Setiap guru mengajar
dengan penuh kesabaran. Akhirnya, pada tahun pertama dan kedua siswa yang
mereka didik berhasil menjuarai berbagai lomba-lomba. Pada tahun ketiga, siswa
mereka
berhasil
menjadi
peraih
nilai
UN
tertinggi
di
provinsi.
Nah, luar biasa bukan. Contoh di atas merupakan contoh perlakuan yang
menimbulkan dampak luar biasa. Dari sekolah biasa menjadi sekolah luar biasa.
Dari siswa biasa menjadi siswa luar biasa. Dari pembelajaran biasa menjadi
pembelajaran
luar
biasa.
PEMBELAJARAN: HASIL YANG SIGNIFIKAN?" Coba kita bersama-sama melakukan
refleksi. Bagaimana pembelajaran di kelas yang kita lakukan? Sudah benarkah?
Sudah sesuaikah? Sudahkah kita menggunakan strategi atau metode

pembelajaran? Sudahkah sesuai karakteristik siswa? Sudahkah berbasis need


assesment? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang musti dijawab.
Susahkan? Ya! Susah! Jadi guru itu susah. Makanya, kalau ada orang yang
mengatakan
jadi
guru
gampang
berarti
orang
itu
bukanlah
guru.
Lalu, apa kaitannya antara guru, pembelajaran, dan hasil yang signifikan?
Pengalaman saya, dalam pembelajaran, guru acapkali cenderung "menyalahkan"
siswa manakala hasil belajar yang dicapai kurang memuaskan. Jika menengok
dalam karya tulis semisal PTK pun, pada latar belakang penulisan banyak yang
mengklaim hasil pembelajaran kurang menggairahkan karena metode atau strategi
pembelajaran yang tidak sesuai sehingga harus ditingkatkan. Benarkah? Saya
pribadi sebenarnya bertanya-tanya. Terus terang, ketika akan memberikan vonis
nilai kepada siswa, saya harus berpikir 1000 kali sebelum memutuskan. Saya takut,
jangan-jangan vonis nilai yang saya berikan tidak tepat. Saya juga takut, janganjangan siswa yang mendapat nilai kecil disebabkan saya yang tidak becus
mengajar.
Nah, dalam proses pembelajaran, refleksi sebenarnya menjadi langkah awal. Guru
senantiasa harus selalu merasa "CURIGA". Curiga terhadap apa saja yang terkait
pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan. Guru hendaknya jangan semata-mata
berorientasi pada hasil tetapi juga harus berorientasi pada proses. Hasil yang baik
ditimbulkan
oleh
proses
yang
juga
baik.
SOAL BERSTANDAR DAN HASIL YANG SIGNIFIKAN: SEBUAH KENISCAYAAN"
Seyogyanya hasil pembelajaran adalah sebuah keniscayaan. Baik atau tidaknya
proses pembelajaran yang dilakukan pada akhirnya memang akan terlihat pada
hasil. Untuk itu, guru-guru menyiapkan instrumen-instrumen penilaian. Instrumen
itu dirancang sedemikian rupa serta diuji validitas dan reliabilitasnya. Di Amerika,
setiap tahun guru-guru mampu menelurkan ribuan soal berstandar nasional.
Bagaimana
dengan
Indonesia?
Tak perlu dijawab. Tanyakan pada diri kita sendiri. Saya sendiri belum mampu
membuat soal berstandar nasional. Pernah dalam suatu pelatihan saya mencoba
membuat
soal
berstandar
nasional,
hasilnya
soal
saya
berantakan.
Kenapa
harus
berstandar
sih?
Ya! Saat ini kita berurusan dengan hasil. Apalagi jika yang diinginkan adalah hasil
yang signifikan. Bagaimana kita dapat percaya pada hasil pembelajaran anak jika
soal yang digunakan belum diuji? Memang, soal yang diujikan pada anak tidak
harus soal berstandar. Soal buatan guru pun dapat digunakan. Hanya saja, saat ini
kita berhadapan pada angka-angka. Angka-angka sebenarnya bias. Tidak bisa kita
jadikan patokan. Anak dengan nilai 80 belum tentu ia lebih pintar dari anak dengan
nilai 70. Anak dengan nilai 90 di sekolah A tak menjamin ia lebih pintar dari anak
dengan nilai 60 di sekolah B. Saya punya pengalaman tentang ini.
"Dulu, saya pernah mengajar di sebuah sekolah Islam terpadu. Dalam pemberian
nilai, kami menuliskan nilai apa adanya. Maka, tak heran di rapor murid kami,
sangat mudah menemui angka 40, 50, atau 60. Murid paling pintar di sekolah itu
paling-paling nilainya hanya 60, 70, dan ada beberapa yang 80 dan 90. Tiga tahun
berselang, murid kami menamatkan sekolahnya. Mereka berencana mau masuk
sekolah unggulan di Kabupaten itu. Namun, sangat disayangkan dari 20 murid kami
yang ingin masuk (sekedar ikut tes) hanya sekitar 6 orang saja yang boleh
mendaftar. Sisanya gugur dan layu sebelum berkembang lantaran nilai mereka di

bawah standar yang ditetapkan. Enam murid kami yang berhasil ikut tes pada
akhirnya harus bersaing dengan ribuan siswa dari sekolah lain (termasuk sekolah
yang notabenya unggul dan nilai muridnya tinggi-tinggi). Nilai rata-rata keenam
murid saya masih jauh dibandingkan nilai dari murid-murid sekolah lain. Tes pun
dilaksanakan. Setidaknya ada beberapa tahapan tes. Pada hari terakhir, hasil tes
diumumkan dan keenam murid saya dinyatakan lulus bahkan beberapa orang
diantaranya
menduduki
peringkat
3
besar
nilai
tes
tertinggi.
Tak hanya sampai di situ. Selama satu tahun berjalan pembelajaran di SMA
tersebut, murid kami bahkan mampu menjadi yang terbaik di kelasnya, pun di
sekolahnya"
Hasil pembelajaran memang menipu. Jangan pernah puas dengan hanya sekali uji
saja. Apalagi sampai memvonis anak ini mampu atau tidak mampu. Nah, untuk itu
soal berstandarlah solusinya. Melalui soal berstandar, setidaknya guru mampu
MEMINIMALISIR kesalahan penafsiran terhadap hasil pembelajaran anak didiknya.
Diposkan oleh Alam Bintang di 18:02
Email This

Anda mungkin juga menyukai