Anda di halaman 1dari 3

Banda Aceh-LintasGayo.

co : WALHI Aceh bersama dengan Mongabay mengadakan


diskusi kasus pencemaran Merkuri dengan tema Analisis Kebijakan Pertambangan Illegal dan
Pencemaran Lingkungan Hidup yang dilaksanakan di Dhapu Kupi, Simpang Surabaya, Banda
Aceh pada hari Kamis/11 September 2014 jam 09.00 s/d 12.30 WIB.
Acara ini dimoderatori oleh Yarmen Dinamika (Redaktur Harian Serambi Indonesia),
dengan

menghadirkan

narasumber

dari

BAPEDAL

(Rosmayani),

Dinas

Kehutanan

(Faisal,S.Hut, MM), Akademisi (DR. Elly Supriadi), Direktur WALHI Aceh (Muhammad Nur),
dan Yuyun Ismawati, dari Bali Fokus. Peserta diskusi yang hadir mewakili kalangan media,
LSM, dan unsur Pemerintahan.
Kegiatan ini memberikan gambaran atas beberapa kasus yang terjadi akibat
pertambangan illegal yang terjadi di Aceh, seperti matinya ikan di Aceh Jaya. menurut penelitian
yang dilakukan oleh FKH Unsyiah, bahwa penyebab ikan mati itu karena tumpahnya Sulfida,
dan penelitian lain menyebutkan bahwa itu terjadi karena tercemarnya air sungai oleh merkuri
serta sianida akibat penambangan.
Dari paparan narasumber yang disampaikan bahwa ternyata penambangan illegal itu
tidak cuma hanya di 3 kabupaten di Aceh saja, tapi ada 12 kabupaten/Kota lokasi penambangan
yang terdeteksi. Untuk manggamat sendiri, kasusnya kini sudah membooming dan akan menjadi
bom waktu, karena melihat proses pengolahan emas yang mereka lakukan, sangat
memprihatinkan sekali. Ini terjadi karena para penambang ini masih tidak paham akan efek yang
mereka timbulkan akibat penggunaan merkuri untuk mengikat emas yang mereka dapat.

Yang menarik lagi adalah untuk kasus penambangan illegal ini masih banyak terjadi di
kawasan hutan lindung, ini diakibatkan karena menurut Dinas Kehutanan sendiri mereka dilema
dalam melakukan pengawasan, karena sering bentrok dengan persoalan adanya keterlibatan
pihak oknum (orang ketiga) yang sangat mempengaruhi dalam segala kegiatan yang ada, serta
minimnya anggaran yang dialokasikan untuk pengawas perlindungan Hutan.
Menurut Yuyun Ismawati, saat ini sudah ada Konvensi Minamata Merkuri, yang akan
ditandatangani dan diratifikasi oleh 50 Negara. Jika ini sudah diratifikasi oleh 50 Negara, maka
konvensi ini bisa dijadikan pedoman. Indonesia sudah menandatangani konvensi ini, hanya saja
belum meratifikasinya.

Sebenarnya kasus pencemaran merkuri ini bukan hanya di Aceh saja, tapi di Indonesia
kasus akibat pencemaran merkuri yang korbannya adalah masyarakat yang tidak berdosa yang
tidak terlibat sama sekali dengan kegiatan penambangan itu sudah banyak terjadi, hanya saja
tidak dipublikasikan. Merkuri ini sifatnya teratur genetic, artinya jika ibu yang hamil tercemar
merkuri, anak yang dilahirkan itu akan cacat. Untuk Aceh kasus kelahiran yang tanpa perut,
tanpa langit-langit kepala dan sebagainya, belum ada penelitian yang mengarahkan bahwa ini
adalah akibat tercemar merkuri, papar Yuyun.
Hal lain yang disampaikan dalam diskusi ini adalah ternyata penambang illegal itu bukan
orang Aceh asli, ketika terjadi kecelakaan atau sakit, tidak ada aturan yang mengatur itu, karena
menurut qanun kependudukan Aceh, yang disebut orang Aceh itu adalah orang yang lahir di
Aceh, sehingga bagi Dinas Kesehatan sendiri, ketika mereka harus membantu, terpaksa dengan
cara illegal juga hanya melihat dari aspek kemanusiaan saja. Begitu juga ketika harus
mengevakuasi penduduk yang berada dalam wilayah yang sudah dalam ambang batas merkuri.
Diskusi ini untuk mencari formasi penyelesaian masalah merkuri, dan tidak cuma hanya pada
pertemuan ini saja. Akan kita coba agendakan kedepannya untuk dapat membahas lebih lanjut
bagaimana idealnya mengelola sumber daya alam itu dengan konsep ramah lingkungan.

Beberapa catatan penting yang coba dirangkum dari diskusi ini antara lain kegiatan yang
mempertemukan lintas komunitas/lembaga dengan berbagai aspek profesi terkait merkuri.
Selanjutnya jumlah penambang rakyat mencapai 5000 titik lebih di 12 Kabupaten/Kota di Aceh.
WALHI Aceh merekomendasikan kepada Pemerintah Aceh untuk segera mengeluarkan Rencana
Aksi Daerah (RAN) untuk pertambangan illegal dalam rangka mencegah perusakan lingkungan
hidup yang lebih besar.
Jika perbaikan tata kelola tidak segera dilakukan untuk menghindari dampak yang lebih besar,
maka WALHI Aceh akan menempuh upaya hukum dalam penyelamatan kerusakan yang kian
marak akibat pertambangan Illegal.

Anda mungkin juga menyukai