Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi kehamilan


Ovum dan spermatozoa yang sudah mengalami pembuahan akan
mengalami pembelahan berkali-kali menjadi zigot, setelah 3 hari terbentuk
suatu kelompok sel yang sama besar yang dikenal dengan morula. Hasil
pembelahan ini akan bermigrasi ke pars ismus dan pars interstisialis tuba dan
kemudian akan disalurkan ke kavum uteri oleh arus serta getaran silia pada
permukaan sel-sel tuba dan kontraksi tuba.1
Pada hari keempat hasil konsepsi mencapai stadium blastula disebut
blastokista, suatu bentuk yang di bagian luarnya adalah trofoblas dan dibagian
dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner cell ini berkembang menjadi
janin dan trofoblas akan berkembang menjadi plasenta. Trofoblas mempunyai
kemampuan menghancurkan dan mencairkan jaringan. Blastula akan lebih
mudah masuk ke dalam desidua dengan bantuan trofoblas. Ketika blastula
mencapai rongga rahim, jaringan endometrium dalam keadaan sekresi.
Jaringan endometrium ini banyak mengandung sel-sel desidua.1,3

Gambar 1. Fisiologi Kehamilan Normal14

Blastula yang masuk ke dalam akan menyebabkan luka kecil yang


kemudian sembuh dan menutup lagi. Pada saat nidasi terkadang terjadi sedikit
perdarahan akibat luka desidua (tanda Hartman). Nidasi terjadi pada dinding
depan atau belakang uterus (korpus), dekat pada fundus uteri. Blastula yang
berimplantasi pada rahim akan mulai tumbuh menjadi janin.1
2.2 Plasenta Previa
2.2.1 Definisi
Plasenta merupakan bagian dari kehamilan yang mempunyai bentuk
bundar dengan ukuran 15 x 20 cm dengan tebal 2,5 sampai 3 cm dan beratnya
500 gram. Plasenta merupakan organ yang sangat aktif dan yang memiliki
fungsi untuk menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup janin. Hal ini
termasuk pertukaran gas yang efisien, transport aktif zat-zat energi, toleransi
imunologis terhadap imunitas ibu pada alograft dan akuisisi janin. Melihat
pentingnya peranan dari plasenta maka bila terjadi kelainan pada plasenta
akan menyebabkan kelainan pada janin ataupun mengganggu proses
persalinan (Manuaba, 2008). Salah satu gangguan pada plasenta adalah
plasenta previa yang merupakan plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah uterus sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri
internum.1
2.2.2 Epidemiologi
Plasenta previa dalam kurun waktu sekarang diestimasikan jumlah
kasusnya adalah 0,28% sampai dengan 2,0%, yang akan semakin meningkat
dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi dan tingginya jumlah seksio
sesaria.2
Pada umumnya, insidensi plasenta previa adalah 1 dalam 200-390
kehamilan pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Berdasarkan data
sertifikat kelahiran tahun 2003 di Amerika Serikat, terdapat 1 kasus plasenta
previa dalam 300 kelahiran. Data di Rumah Sakit Parkland, Amerika Serikat,
didapatkan insidensi plasenta previa adalah 1 dalam 390 dengan jumlah

kelahiran lebih dari 280.000 dari tahun 1998-2006.3 Pada beberapa rumah
sakit umum di Indonesia dilaporkan insidensinya berkisar 1,7% sampai
dengan 2,9%.1
2.2.3 Klasifikasi
Plasenta previa dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi
seluruh ostium uteri internum.
2. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium
uteri internum.4
3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada
pinggir ostium uteri internum.
4. Plasenta previa letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah uterus sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih
kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm
dianggap plasenta letak normal.1

Gambar 1. Klasifikasi Plasenta Previa


2.2.4 Patofisiologi

Plasenta previa adalah kondisi implantasi plasenta yang abnormal


(misalnya di segmen uterus bawah dan bukan di bagian korpus atau fundus).
Patofisiologi secara pasti masih belum diketahui, tetapi karena didapatkan
lebih sering pada pasien yang cenderung umurnya di atas 35 tahun, multipara,
dan memiliki riwayat seksio sesaria ataupun mengalami kuretase uterus,
maka diperkirakan akibat adanya jaringan parut pada endometrium. Hal
tersebut mengarah pada terjadinya jaringan endometrial yang abnormal,
pendarahan yang kurang, miometrium yang lebih tipis, dan tempat implantasi
plasenta bukan pada tempatnya. Plasenta previa juga berhubungan dengan
atrofi endometrial, suatu defek yang disebabkan oleh jaringan parut atau
inflamasi pada endometrium, mengakibatkan implantasi plasenta menjadi
rendah pada ostium uteri internum dan memiliki suplai darah yang banyak.5
Terdapat beberapa teori menjelaskan mengapa terjadi placental
migration pada proses kehamilan. Salah satu teori adalah Trophotropisme,
adalah suatu keadaan plasenta bermigrasi ke bagian yang vaskularisasinya
lebih baik. Kedua, plasenta yang berimplantasi pada os cervical dapat
mengalami atrofi akibat suplai darah yang kurang. Terakhir, sejalan dengan
terbentuknya perkembangan segmen uterus bawah dalam proses kehamilan,
plasenta bergerak menjauh dari os cervical pada kecepatan yang sama.
Kecepatan dari placental migration tidaklah konstan. Dari penelitian
didapatkan bahwa wanita dengan usia kehamilan 29 minggu dan yang
melakukan seksio sesaria, kecepatan migrasi rata-rata plasenta adalah 0,3
mm/minggu, dan pada wanita yang melakukan proses kelahiran normal,
kecepatan migrasi rata-rata plasenta adalah 5,4 mm/minggu.6
Bagian posterior plasenta lebih cenderung melakukan migrasi
dibanding bagian anterior karena pertumbuhan yang tidak proporsional antara
otot halus bagian posterior uteri dengan otot halus bagian anterior uteri. Studi
lain menyatakan bahwa plasenta previa bagian anterior lebih cenderung
melakukan migrasi, yaitu ke segmen uteri bawah yang lebih tipis pada bagian
anterior uterus, sehingga terjadi migrasi yang menaik.6
Sebagai salah satu penyebab utama perdarahan trimester ketiga,
plasenta previa memiliki tanda yang khas, yaitu pendarahan tanpa rasa sakit.

Pendarahan diperkirakan terjadi ada hubungannya dengan perkembangan


segmen bawah uterus pada trimester ketiga.7
Warna darah biasanya merah segar yang berlainan dengan perdarahan
akibat solusio plasenta yang warna darahnya kehitam-hitaman. Perdarahan
biasanya bisa banyak dan mudah terjadi oleh karena segmen bawah rahim
dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena dalam kehamilan,
bagian tersebut cenderung lebih tipis, sehingga elemen otot yang dimiliki
sangat minimal, dengan demikian pembuluh darah di segmen bawah rahim
tidak tertutup sempurna.1
Anemia, syok dan bahkan kematian maternal dapat terjadi
dikarenakan perdarahan antepartum berat akibat plasenta previa. Kematian
juga bisa terjadi karena perdarahan intrapartum dan postpartum, trauma pada
saat seksio sesaria, infeksi dan emboli. Prematuritas (usia gestasional < 36
minggu) akibat plasenta previa merupakan penyebab dari 60% kasus
kematian perinatal karena dapat terjadi asfiksia intrauterine atau trauma lahir
pada janin. Perdarahan pada janin dapat terjadi apabila dilakukan seksio
sesaria untuk mendapatkan akses ke uterine cavity. Sekitar setengah dari bayi
yang lahirnya lewat seksio sesaria tadi kehilangan darah yang cukup banyak
yang dapat mengakibatkan kematian janin.8
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim
yang tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya
plasenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi akreta
dan plasenta inkreta, bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhannya vilinya
bisa sampai menembus ke buli-buli dan rectum bersama plasenta previa.1
2.2.5 Faktor resiko
a) Usia
Tabassum et al. tahun 2010, mendapatkan bahwa usia adalah salah satu
faktor risiko dari plasenta previa, yaitu usia ibu 35 tahun memiliki risiko
hampir 2 kali lebih besar dibandingkan usia di bawah usia 35 tahun. Pada
pemeriksaan yang dilakukan pada 36.000 orang wanita didapatkan usia di
atas 35 tahun memiliki risiko 1,1% terjadinya plasenta previa

dibandingkan usia di bawah 35 tahun dengan risiko 0,5% (Cunningham et


al., 2010). Pada peningkatan usia ibu, kemungkinan dapat terjadi sklerosis
pembuluh darah arteri kecil dan arteriol miometrium yang berhubungan
dengan proses penuaan uterus, menyebabkan aliran darah ke endometrium
tidak merata sehingga plasenta tumbuh lebih lebar dengan luas permukaan
yang lebih besar, untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat, yang
akhirnya menyebabkan terjadinya plasenta previa.9
b) Paritas
Penelitian oleh Halimi di Saidu Teaching Hospital Swat, Pakistan tahun
2011, didapatkan bahwa adanya hubungan antara insidensi plasenta previa
dengan peningkatan paritas, terutama yang multiparitas. Multiparitas dapat
mengakibatkan berkurangnya vaskularisasi dari desidua dan atrofi desidua
sehingga suplai darah ke plasenta tidak cukup atau berkurang. Hal ini
mengakibatkan plasenta memperluas permukaannya untuk mencari bagian
dengan suplai darah yang banyak yaitu bagian segmen bawah uterus, yang
biasanya dikaitkan dengan placental migration.1
c) Riwayat abortus
Pada penelitian oleh Davood et al. tahun 2008, mendapatkan bahwa
riwayat abortus baik yang diinduksi maupun spontan berpengaruh
terhadap terjadinya plasenta previa, jumlah ibu dengan riwayat abortus
lebih tinggi pada kasus plasenta previa. Mekanisme yang dapat
menjelaskan riwayat abortus sebagai faktor risiko plasenta previa adalah
kerusakan ataupun terbentuknya jaringan parut pada endometrium
sehingga menganggu proses implantasi plasenta di bagian fundus uteri.7
d) Riwayat seksio sesarea
Pada penelitian oleh Laughon et al. didapatkan resiko terjadinya plasenta
previa meningkat 3 kali lipat pada trimester kedua jika terdapat riwayat
seksio sesaria. Hal ini dikonfirmasi lagi dengan penelitian oleh Nyholm et

al. tahun 2011 di Amerika Serikat yang mendapatkan hasil yang sama.
Perubahan patologis dapat terjadi pada miometrium dan endometrium
uterus jika ada jaringan parut bekas seksio sesaria termasuklah
pembentukan polip, infiltrasi limfosit, dilatasi kapiler dan infiltrasi sel
darah merah bebas ke dalam jaringan endometrial yang terdapat di sekitar
jaringan parut. Perubahan patologis ini dapat mengakibatkan implantasi
plasenta yang suboptimal, peningkatan malformasi vaskular dan
kerapuhan dari pembuluh darah sehingga meningkatkan risiko plasenta
previa.10
e) Suku
Penelitian oleh Kim et al. tahun 2011, didapatkan bahwa wanita Asia dan
wanita kulit hitam memiliki risiko mengalami plasenta previa lebih tinggi
dibandingkan wanita kulit putih. Hung et al. tahun 2007, mendapatkan
bahwa faktor risiko plasenta previa pada wanita Asia tidak berbeda dengan
faktor risiko plasenta previa yang ditemukan pada wanita Amerika dan
Eropa. Healy et al. tahun 2002 menemukan bahwa terdapat perbedaan
frekuensi plasenta previa antar suku, yaitu untuk wanita di bagian asia
pasifik insidensinya 1,0% dan untuk wanita kulit putih insidensinya 0,5%.
2.2.6 Gambaran klinis
Gambaran klinis dari plasenta previa adalah sebagai berikut.
a) Gambaran klinis yang paling khas pada plasenta previa adalah
perdarahan tanpa rasa sakit, yang biasanya timbul ketika hampir
mencapai trimester kedua atau setelahnya. Akan tetapi, perdarahan bisa
terjadi lebih cepat dan bisa terjadi abortus akibat posisi abnormal dari
plasenta. Perdarahan maternal bisa berasal dari tepi plasenta atau dari
terganggunya ruang intervili. Anemia neonatal signifikan bisa berasal
dari perdarahan yang diakibatkan pembuluha darah pada vili plasenta
atau perdarahan fetomaternal.7,11
b) Umumnya perdarahan terjadi pada usia kehamilan sekitar 34 minggu,
namun hampir 1/3 pasien mengalami perdarahan sebelum usia

kehamilan 30 minggu, 1/3 lagi mengalami perdarahan ketika usia


kehamilan di atas 36 minggu dan 10% tidak mengalami perdarahan
sampai melahirkan. Onset dari perdarahan biasanya akut, dan frekuensi
perdarahan tidak menunjukkan tingkat keparahan plasenta previa dan
prognosis untuk perkembangan janin.12
c) Plasenta previa dihubungkan dengan 2 kali risiko terjadinya malformasi
kongenital, termasuklah malformasi sistem saraf pusat, traktus
gastrointestinal, sistem kardiovaskular dan respirasi.12
d) Pada 15% dari kasus plasenta previa, janin akan berada pada posisi
oblik ataupun melintang.8

2.2.7 Diagnosis
a) Anamnesis. Pada anamnesis dapat dinyatakan beberapa hal yang berkaitan
dengan perdarahan antepartum seperti umur kehamilan saat terjadinya
perdarahan, apakah ada rasa nyeri, warna dan bentuk terjadinya
perdarahan, frekuensi serta banyaknya perdarahan. Perdarahan jalan lahir
pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa rasa nyeri, tanpa
alasan, terutama pada multigravida. Hal lain yang harus digali dari
anamnesis adalah kemungkinan adanya penyebab lain dari perdarahan
seperti abrupsi plasenta.1,12
b) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan spekulum bisa dilakukan untuk menilai
ada tidaknya perdarahan vagina dan kuantitasnya; pada kebanyakan kasus,
akan tetapi, kuantitas perdarahan vagina dapat dinilai tanpa menggunakan
spekulum yang dapat memperparah perdarahan. Tanda vital ibu,
pemeriksaan abdomen, bunyi uterine, dan frekuensi denyut jantung janin
harus juga diperiksa.12
c) Ultrasonografi. Merupakan gold standard untuk diagnosis plasenta previa.
Jaringan plasenta harus berada pada posisi 2 cm atau lebih dari os cervical
internum untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis mungkin tidak bisa
ditegakkan dengan pemeriksaan pada bagian transabdominal, jika plasenta
berada di bagian posterior dari segmen bawah uterus karena plasenta tidak

10

bisa dilihat dengan jelas pada lokasi ini. Meminta pasien untuk
mengosongkan kandung kemihnya akan bisa membantu untuk diagnosis
plasenta previa pada bagian anterior dan posisi tredelenburg untuk
diagnosis pada bagian posteriornya. Transvaginal Ultrasonografi dengan
keakuratan

dapat

mencapai

100%

identifikasi

plasenta

previa.

Transabdominal ultrasonografi dengan keakuratan berkisar 95%. Dengan


USG dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap
ostium. Bila jarak tepi kurang dari 5 cm disebut plasenta letak rendah.1,13
d) Magnetic Resonance Imaging. MRI sudah banyak digunakan untuk
melihat adanya abnormalitas pada plasenta, salah satunya plasenta previa.
Biarpun memiliki beberapa kelebihan, namun MRI belum bisa
menggantikan USG sebagai pemeriksaan yang rutin digunakan.3
e) Pemeriksaan Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang harus
dilakukan pada pasien plasenta previa dengan perdarahan vagina adalah
hitung sel darah lengkap, waktu protombin dan waktu aktivasi
tromboplastin, dan tes Kleihauer-Betke untuk menilai perdarahan
fetomaternal.12
2.2.8 Tatalaksana
a) Plasenta Previa Asimtomatik
Prinsip dasar manajemen dari plasenta previa asimtomatik setelah
usia kehamilan 20 minggu adalah:14
1. Pemeriksaan USG ulang untuk menilai letak plasenta dilakukan
pemeriksaan USG transvaginal serial dengan interval 4 minggu (awal
usia kehamilan 28 minggu) untuk mengevaluasi ulang letak plasenta.
2. Pemeriksaan USG untuk mengukur panjang serviks panjang serviks
memberikan informasi yang berguna tentang risiko perdarahan.
Berdasarkan studi, 64% wanita dengan panjang servik lebih dari 3 cm
tidak memiliki riwayat perdarahan dan dapat melahirkan cukup bulan.
3. Sarankan ke pasien untuk segera mencari fasilitas medis jika terjadi
kontraksi atau perdarahan vagina.
b) Penatalaksanaan Plasenta Previa Simtomatik

11

Plasenta previa dengan perdarahan aktif adalah suatu kasus


emergensi obstetrik yang potensial, maka langkah yang harus dilakukan
adalah:14
1. Dapatkan akses intravena pada pasien dan masukkan infus kristaloid
(ringer laktat atau salin normal) untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik dan output urin yang adekuat. (sedikitnya 30 ml/jam).
2. Transfusi Darah dan Pemeriksaan Laboratorium -- Untuk transfusi darah
pada ibu yang plasenta previa dengan perdarahan aktif ditentukan
dengan melihat banyaknya perdarahan dan parameter hemodinamik
(misalnya tekanan darah, frekuensi denyut jantung maternal dan fetus,
perfusi perifer dan output urin), begitu juga hemoglobin. Pendekatan
yang bisa dilakukan adalah memberikan transfusi darah pada ibu yang
hipotensi dengan kegagalan peningkatan tekanan darah setelah 2 liter
kristaloid diberikan. Lakukan juga pemeriksaan profil koagulasi
maternal setelah dilakukan transfusi darah atau perdarahan yang banyak.
3. Monitoring Fetus Monitoring frekuensi denyut jantung fetus harus
dilakukan secara periodik. Adanya takikardia atau perubahan yang lain
pada irama dan frekuensi denyut jantung fetus dapat menandakan
adanya anemia atau hipoksia pada fetus.
4. Monitoring Maternal Lakukan monitoring pada frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah ibu, begitu juga dengan output urin.
Kehilangan darah lewat perdarahan vagina diestimasikan apakah sedikit
ataupun banyak.
c) Penatalaksanaan Konservatif Setelah Perdarahan
Kebanyakan ibu yang datang dengan gejala plasenta previa
memberikan respon terhadap terapi suportif dan tidak memerlukan proses
persalinan segera. Lima puluh persen wanita dengan gejala plasenta previa
(berapapun banyaknya perdarahan) tidak langsung melahirkan setidaknya
sampai 4 minggu kemudian. Berdasarkan studi, 50% persen wanita yang
mengalami episode perdarahan melebihi 500 ml tidak memerlukan proses

12

persalinan segera; rata-rata perpanjangan masa kehamilannya adalah 17


hari.
Pendekatan berikut dilakukan secara berulang untuk setiap episode
perdarahan dengan tujuan untuk menstabilkan kondisi pasien dan
memperlama masa kehamilan.14
1. Terapi anemia pemberian zat besi diperlukan untuk terapi anemia yang
optimal. Pencahar dan diet tinggi serat membantu mencegah konstipasi
dan hindari olahraga berlebihan yang dapat memicu perdarahan.
2. Kortikosteroid Antenatal Pilihan terapi kortikosteroid antenatal
seharusnya diberikan pada wanita dengan gejala plasenta previa pada
usia kehamilan 24-34 minggu untuk meningkatkan maturitas fungsi paru
fetus. Kortikosteroid antenatal tidak diberikan pada wanita yang
asimtomatik atau pada mereka yang mengalami perdarahan setelah usia
kehamilan 34 minggu.
3. Penilaian Fetus Perdarahan vagina yang aktif merupakan indikasi
dilakukannya penilaian terhadap fetus, misalnya pemeriksaan denyut
jantung.
4. Tokolisis Tokolisis telah digunakan untuk mengurangi atau
menghentikan kontraksi uterus, yang mungkin dapat menyebabkan
terlepasnya plasenta dan perdarahan. Studi observasional pada wanita
dengan gejala plasenta previa mendapatkan bahwa terapi ini dapat
memperlama masa kehamilan dan menghasilkan peningkatan berat lahir
bayi tanpa menimbulkan efek yang merugikan bagi ibu atau fetus. Akan
tetapi, studi ini secara umum tidak menunjukkan adanya penurunan
jumlah episode perdarahan, jumlah kehilangan darah atau jumlah
transfusi darah setelah pemberian tokolisis.
d) Persalinan
Indikasi untuk melakukan persalinan pada ibu yang plasenta previa
jika ada kondisi berikut ini, yaitu:

13

1. Frekuensi denyut jantung fetus yang tidak stabil dan tidak responsif
terhadap terapi oksigen dan penggantian volume intravaskular pada
ibu
2. Perdarahan maternal yang sulit ditangani dan mengancam jiwa.
3. Perdarahan vagina yang signifikan setelah usia kehamilan 34 minggu.
Melahirkan lewat seksio sesaria merupakan pilihan utama rute
persalinan. Anestesi total biasanya dilakukan untuk seksio sesaria
emergensi, terutama pada ibu yang hemodinamiknya tidak stabil atau jika
status fetus yang tidak stabil. Akan tetapi anestesi regional adalah pilihan
yang dapat dilakukan pada ibu yang hemodinamiknya stabil dan frekuensi
denyut jantung fetus menunjukkan tanda yang baik.
d.1 Rute Persalinan
Plasenta Previa Totalis seksio sesaria selalu diindikasikan jika
ada hasil pemeriksaan USG yang mengindikasikan plasenta previa totalis
dan fetus hidup. Persalinan pervaginam dapat dipertimbangkan pada
kondisi yang langka, seperti adanya kematian fetus, selama ibu berada
dalam kondisi hemodinamik yang stabil.
Plasenta Letak Rendah jumlah seksio sesaria dan perdarahan
antepartum berkurang dengan meningkatnya jarak antara tepi plasenta dan
ostium uteri internum. Ada suatu konsensus umum bahwa adanya alasan
yang mungkin untuk persalinan pervaginam tanpa perdarahan ketika
plasenta berjarak 20 mm dari ostium uteri internum, sehingga persalinan
dapat dilakukan apabila tidak ada kontraindikasi lain untuk persalinan
pervaginam. Salah satu studi retrospektif melaporkan persalinan
pervaginam pada 25% dari 24 wanita dengan jarak serviks-plasenta antara
11-20 mm dan pada 69% dari 29 wanita dengan jarak serviks-plasenta
antara 11-20 mm. Meskipun berbagai faktor mempengaruhi keputusan
untuk melakukan seksio sesaria, data ini mendukung untuk melakukan
persalinan pervaginam jika plasenta berjarak 10 mm dari ostium uteri
internum.

14

Plasenta Previa Marginalis berdasarkan riwayat, diyakini bahwa


persalinan pervaginam kadang dapat dilakukan dengan selamat pada
wanita yang plasenta previa marginalis karena kepala fetus mentamponade plasenta yang berbatasan dengannya, sehingga mencegah
perdarahan. Akan tetapi, kebanyakan wanita dengan plasenta previa
marginalis akan dilakukan persalinan dengan seksio sesaria. Disarankan
persalinan seksio sesaria terjadwal untuk kasus ini untuk meminimalkan
risiko persalinan emergensi dan perdarahan.14

2.2.9

Prognosis Plasenta Previa


a) Maternal
Dengan berkurangnya jumlah seksio sesaria, tersedianya bank darah,
dan pemberian anestesi yang benar, secara keseluruhan akan bisa
menurunkan angka mortalitas ibu yang mengalami plasenta previa menjadi
kurang dari 1 dalam 1000.
b) Fetal
Angka kematian perinatal akibat plasenta previa sudah menurun
menjadi sekitar 1%. Meskipun kejadian persalinan prematur, terlepasnya
plasenta, dan perdarahan yang tidak terkontrol tetap masih terjadi, angka
mortalitas bisa diturunkan dengan memberikan pelayanan obstetrik dan
perinatal yang ideal.8

2.3 Ketuban Pecah Dini


2.3.1 Definisi
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan
korion yang sangat erat ikatannya. Lapisan ini terdiri dari beberapa sel
seperti sel epitel, sel mesenkim, dan sel trofoblas yang terikat erat dalam
matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air ketuban dan
melindungi janin terhadap infeksi.
Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan.
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum

15

persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37


minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan premature. Dalam
keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban
pecah dini.
Ketuban pecah dini premature terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya
selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang terjadi
dalam kolagen matriks ekstraseluler amnion, korion, dan apoptosis
membrane janin. Membrane janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli
seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan memproduksi
mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormone yang
merangsang aktivitas matrix degrading enzyme.1
2.3.2 Mekanisme ketuban pecah dini
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi
uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah
tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban
inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh.
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks
ekstraseluler. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen
menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban
pecah.
2.3.3 Faktor resiko untuk terjadinya ketuban pecah dini adalah :
a. Berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen
b. Kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan
struktur abnormal antara lain merokok
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP)
yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease.
Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1

16

mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraseluler dan


membrane janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang
persalinan. Pada penyakit periodontitis dimana terdapat peningkatan MMP,
cenderung terjadi ketuban pecah dini.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga
selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada
hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan
janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput
ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis.
Ketuban pecah dini pada kehamilan premature disebabkan oleh adanya
faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Ketuban
pecah dini premature sering terjadi pada polihidroamnion, inkompeten
serviks, solusio plasenta.1
2.3.4 Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan
premature, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin,
meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya persalinan normal.1
a. Persalinan premature
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode
laten tergntung umur kehmilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam
24 jam setelahketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50%
persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu terjadi
dalam 1 minggu.1
b. Infeksi
Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia,
omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada

17

ketuban pecah dini premature, infeksi lebih sering daripada aterm. Pada
ketuban pecah dini premature, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara
umum insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini mengingkat
sebanding dengan lamanya periode laten.1

c. Hipoksia dan asfiksia


Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidriamnion yang menekan tali
pusat hingga terjadi asfiksia dan hipoksia. Terdapat hubungan antara
terjadinya gawat janin dan derajat oligohidroamnion, semakin sedikit air
ketuban, janin semakin gawat.1
d. Sindrom deformitas janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan
janin terlambat, kelainan disebabkan oleh komrpresi muka dan anggota
badan janin, serta hipoplasia pulmonary.1
2.3.5

Penatalaksanaan ketuban pecah dini1


a. Pastikan diagnosis
b. Tentukan umur kehamilan
c. Evaluasi ada tidaknya infeksi meternal ataupun infeksi janin
d. Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin
Riwayat keluarnya air ketuban berupa cairan jernih keluar dari vagina
yang kadang-kadag disertai tanda-tanda lain dari persalinan. Diagnosis
ketuban pecah dini premature dengan inspekulo dilihat adanya cairan
ketuban keluar dari kavum uteri. Pemeriksaan pH vagina perempuan hamil
sekitar 4,5; bila ada cairan ketuban pHnya sekitar 7,1-7,3. Antiseptic yang
alkalin akan menaikkan pH vagina.1

18

Dengan pemeriksaan ultrasound adanya ketuban pecah dini dapat


dikonfirmasikan dengan adanya oligohidroamnion. Bila ketuban normal
agaknya ketuban pecah dapat diragukan serviks.1
Penderita dengan kemungkinan ketuban pecah dini harus masuk ke
rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Jika pada perawatan air ketuban
berhenti keluar, pasien dapat pulang unutk rawat jalan. Bila terdapat
persalinan dalam kala aktif, korioamnionitis, gawat janin, persalinan
diterminasi. Bila ketuban pecah dini pada kehamilan premature, diperlukan
penatalaksanaan yang komprehensif. Secara umum penatalaksanaan pasien
ketuban pecah dini yang tidak dalam persalinan serta tidak ada infeksi dan
gawat janin, penatalaksanaannya bergantung pada usia kehamilan. 1
2.3.6 Diagnosis
Temukan pecahnya selaput ketuban, dengan adanya cairan ketuban di
vagina. Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakkan sedikit bagian
terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan. Penentuan
cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (Nitrazin test) merah
menjadi biru. Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan
USG. Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu
ibu lebih dari 38C serta air ketuban keruh dan berbau. Leukosit darah
>15.000/mm3. Janin yang mengalami takikardia, mungkin mengalami
infeksi intrauterine. Tentukan tanda-tanda persalinan dan scoring pelvic.
Tentukan adanya kontraksi yang teratur. Periksa dalam dilakukan bila akan
dilakukan penanganan aktif.1
2.3.7 Penanganan
a) Konservatif
Rawat dirumah sakit, berikan antibiotic (ampisilin 4x500mg atau
eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2x500 mg selama 7
hari. Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama ketuban masih

19

keluar, atau sampai air ketuban tidak lagi keluar. Jika usia kehamilan 32-37
minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negative beri
deksametasone, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin.
Terminasi kehamilan pada kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32-37
minggu, ada infeksi, beri antibiotic dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda
infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterine). Pada usia kehamilan
32-37 minggu berikan steroid untuk memacu kematangan paru janin dan bila
memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis
betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametasone I.M 5
mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.1
b) Aktif
Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea.
Dapat pula diberikan misoprostol 25ug-50ug intravaginal tiap 6 jam maksimal
4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotic dosis tinggi dan
persalinan diakhiri.1
a. Bila skor pelvic <5, lakukan pamatangan serviks, kemudian induksi. Jika
tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
b. Bila skor pelvic >5, induksi persalinan.
2.4 Kehamilan dengan Faktor Resiko (Skor Puji Rochyati dan Kartu Soedarto)
Kehamilan resiko tinggi merupakan suatu kehamilan dimana kehidupan
atau

kesehatan

ibu

maupun

janin

dalam

bahaya

akibat

adanya

gangguan/komplikasi kehamilan. Risiko adalah suatu ukuran statistik dari


peluang atau kemungkinan untuk terjadinya suatu keadaan gawatdarurat yang
tidak diinginkan pada masa mendatang, seperti kematian, kesakitan,
kecacatan, ketidaknyamanan, atau ketidak puasan (5K) pada ibu dan bayi.
Klasifikasi kehamilan dengan resiko bertujuan untuk memudahkan tenaga
kesehatan dalam memberikan penatalaksanaan yang tepat dan sesuai.

20

Ukuran risiko dapat dituangkan dalam bentuk angka disebut dengan SKOR
(Poedji Rochjati). Digunakan angka bulat di bawah 10, sebagai angka dasar 2,
4 dan 8 pada tiap faktor untuk membedakan risiko yang rendah, risiko
menengah, risiko tinggi. Berdasarkan jumlah skor kehamilan dibagi tiga
kelompok:
a. Kehamilan Risiko Rendah (KRR) dengan jumlah skor 2
Kehamilan resiko rendah adalah kehamilan tanpa masalah / faktor
risiko, fisiologis dan kemungkinan besar diikuti oleh persalinan normal
dengan ibu dan bayi hidup sehat. Tempat persalinan dapat dilakukan di
rumah maupun di polindes, tetapi penolong persalinan harus bidan, dukun
membantu perawatan nifas bagi ibu dan bayinya.
b. Kehamilan Risiko Tinggi (KRT) dengan jumlah skor 6-10
Kehamilan resiko tinggi adalah kehamilan dengan satu atau lebih faktor
risiko, baik dari pihak ibu maupun janinnya yang memberi dampak kurang
menguntungkan baik bagi ibu maupun janinnya, memiliki risiko kegawatan
tetapi tidak darurat. Ibu PKK/ kader memberi penyuluhan agar pertolongan
persalinan oleh bidan atau dokter di Puskesmas, di Polindes atau
Puskesmas, atau langsung dirujuk ke Rumah Sakit, misalnya pada letak
lintang dan ibu hamil pertama (primi) dengan tinggi badan rendah.
c. Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST) dengan jumlah skor 12
Kehamilan resiko sangat tinggi adalah kehamilan dengan faktor risiko:
1) Perdarahan sebelum bayi lahir, memberi dampak gawat dan darurat bagi
jiwa ibu dan atau banyinya, membutuhkan rujukan tepat waktu dan
tindakan segera untuk penanganan adekuat dalam upaya menyelamatkan
nyawa ibu dan bayinya.
2) Ibu dengan faktor risiko dua atau lebih, tingkat risiko kegawatannya
meningkat, yang membutuhkan pertolongan persalinan di rumah sakit oleh
dokter Spesialis. Ibu diberi penyuluhan untuk kemudian dirujuk guna

21

melahirkan di Rumah Sakit dengan alat lengkap dan dibawah pengawasan


dokter spesialis.
Adapun batasan faktor risiko / masalah dapat juga diklasifikasikan menjadi:
2.4.1 Ada Potensi Gawat Obstetri / APGO
Klasifikasi Ada Potensi Gawat Obstetri / APGO ini merupakan kehamilan
yang perlu diwaspadai berdasarkan riwayatnya.

1) Primi muda
Primi muda didefinisikan sebagai wanita yang hamil pertama pada umur
16 tahun. Pada kondisi ini rahim dan panggul belum tumbuh mencapai
ukuran dewasa, akibatnya diragukan keselamatan dan kesehatan janin
dalam kandungan, selain itu mental ibu belum cukup dewasa. Bahaya
yang mungkin terjadi antara lain: bayi lahir belum cukup umur,
perdarahan bisa terjadi sebelum bayi lahir, dan perdarahan dapat terjadi
sesudah bayi lahir.
2) Primi tua
Primi tua didefinisikan apabila seorang wanita baru hamil setelah lama
perkawinan 4 tahun, dengan kehidupan perkawinan biasa: suami istri
tinggal serumah, suami atau istri tidak sering keluar kota, dan tidak
memakai alat kontrasepsi (KB). Dapat juga didefinisikan sebagai wanita
yang hamil pertama pada umur 35 tahun. Pada usia tersebut mudah
terjadi penyakit pada ibu dan organ kandungan yang menua. Jalan lahir
juga tambah kaku. Ada kemungkinan lebih besar ibu hamil mendapatkan
anak cacat, terjadi persalinan macet dan perdarahan. Bahaya/ komplikasi
yang dapat terjadi antara lain: persalinan tidak lancar/macet, hipertensi,
preeklamsia, ketuban pecah dini, perdarahan setelah bayi lahir, bayi lahir
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) < 2500 gr. Dapat juga berisiko

22

mengalami kelainan-kelainan antara lain: kehamilan mola hidantidosa,


abortus, kehamilan ektopik, resiko nondisjungsi meningkat seiring
dengan usia ibu yaitu anak lahir dengan cacat bawaan sindrom down.
3) Anak terkecil < 2 tahun
Seorang wanita yang hamil dengan jarak kelahiran kehamilan
sebelumnya kurang dari 2 tahun, dapat memungkinkan terjadinya:
perdarahan setelah bayi lahir karena kondisi ibu lemah, bayi lahir belum
cukup bulan, bayi lahir dengan berat badan rendah / BBLR < 2500 gr.
4) Primi tua sekunder
Primi tua sekunder didefinisikan sebagai wanita yang hamil dengan
persalinan terakhir 10 tahun yang lalu. Ibu dalam kehamilan dan
persalinan ini seolah-olah menghadapi persalinan yang pertama lagi.
Resiko yang dapat terjadi: persalinan dapat berjalan tidak lancar,
perdarahan pasca persalinan, penyakit ibu (hipertensi, diabetes, dll).
5) Grande multi
Grande multi gravida/para didefinisikan sebagai wanita yang pernah
hamil/ melahirkan 4 kali atau lebih. Karena ibu sering melahirkan maka
kemungkinan akan banyak ditemui keadaan: kesehatan terganggu
(anemia, kurang gizi), kekendoran pada dinding rahim dan dinding
perut, tampak ibu dengan perut menggantung. Pada keadaan ini, dapat
timbul komplikasi: kelainan letak janin, persalinan letak lintang, robekan
rahim pada kelainan letak lintang, placenta previa, solusio placenta,
persalinan lama, perdarahan pasca persalinan.
6) Umur 35 tahun atau lebih
Seorang wanita yang hamil berumur 35 tahun atau lebih, kemungkinan
telah terjadi perubahan pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir
tidak lentur lagi, selain itu ada kecenderungan didapatkan penyakit lain

23

dalam tubuh ibu. Bahaya yang dapat terjadi: hipertensi dan preeklamsia,
ketuban pecah dini, persalinan tidak lancar / macet, dan perdarahan
setelah bayi lahir.
7) Tinggi badan 145 cm atau kurang
Terdapat tiga batasan pada kelompok risiko ini:
a) Ibu hamil pertama sangat membutuhkan perhatian khusus. Luas
panggul ibu dan besar kepala janin mungkin tidak proporsional,
dalam hal ini ada dua kemungkinan yang terjadi: panggul ibu sebagai
jalan
b) Ibu hamil dengan kehamilan sebelumnya belum penah melahirkan cukup
bulan, dan berat badan lahir rendah < 2500 gram. Bahaya yang dapat
terjadi: persalinan berjalan tidak lancar, bayi sukar lahir, persalinan operasi
sesar.

c) Lahir ternyata sempit dengan janin / kepala tidak besar, dan panggul
ukuran normal tetapi anaknya besar / kepala besar.
d) Ibu hamil kedua, dengan kehamilan lalu bayi lahir cukup bulan tetapi
mati dalam waktu (umur bayi) 7 hari atau kurang.
8) Riwayat obstetric jelek (ROJ)
Riwayat obstetric jelek dapat terjadi pada ibu hamil dengan:
a) Kehamilan kedua, dimana kehamilan yang pertama mengalami:
keguguran, lahir belum cukup bulan, lahir mati, lahir hidup lalu mati
umur 7 hari.
b) Kehamilan ketiga atau lebih, kehamilan yang lalu pernah mengalami
keguguran 2 kali.
c) Kehamilan kedua atau lebih, kehamilan terakhir janin mati dalam
kandungan.

24

Bahaya yang dapat terjadi pada wanita hamil dengan riwayat obstetric
jelek: kegagalan kehamilan dapat berulang dan terjadi lagi, dengan
tanda-tanda pengeluaran buah kehamilan sebelum waktunya keluar
darah, perut kencang; penyakit dari ibu yang menyebabkan kegagalan
kehamilan, misalnya: diabetes mellitus, radang saluran kencing, dll.

9) Persalinan yang lalu dengan tindakan


Persalinan dengan tindakan yaitu persalinan yang ditolong dengan alat
melalui jalan lahir biasa atau per-vaginam, misalnya: tindakan dengan
cunam / forcep / vakum (bahaya yang dapat terjadi: robekan / perlukaan
jalan lahir, perdarahan pasca persalinan; dan atau pengeluaran placenta
secara manual. Dapat juga persalinan yang lalu ibu diberi infus / tranfusi
karena terjadinya perdarahan.
10) Bekas operasi caesar
Bekas operasi caesar yang dimaksud adalah bahwa pada persalinan lalu
janin dilahirkan secara sectio caesarea, sehingga pada dinding rahim ibu
terdapat cacat bekas luka operasi. Bahaya yang dapat terjadi pada
kehamilan/persalinan: robekan rahim sehingga dapat menyebabkan
kematian janin dan kematian ibu, perdarahan dan infeksi.
2.4.2 Ada Gawat Obstetri / AGO
Klasifikasi ada gawat obstetric (AGO) didefinisikan sebagai adanya
tanda bahaya pada saat kehamilan, persalinan, dan nifas. Klasifikasi ini
dibedakan menjadi:
1) Penyakit pada ibu hamil
a) Anemia

25

Ibu hamil yang mengalami anemia akan mengeluh: lemah badan,


lesu, lekas lelah, mata berkunang-kunang dan jantung berdebar. Dari
inspeksi didapatkan keadaan ibu hamil: pucat pada muka, pucat pada
kelopak mata, lidah dan telapak tangan. Dari hasil Laboratorium:
kadar Hb < 11 g%. Adapun pengaruh anemia pada kehamilan:
menurunkan daya tahan ibu hamil, sehingga ibu mudah sakit;
menghambat pertumbuhan janin, sehingga janin lahir dengan berat
badan lahir rendah; dan persalinan premature.
b) Malaria
Keluhan yang dirasakan ibu hamil diantaranya: panas tinggi,
menggigil keluar keringat, sakit kepala, dan muntah-muntah. Bahaya
yang dapat terjadi pada kehamilannya: abortus, IUFD, persalinan
premature.
c) Tuberculosa paru (TBC paru)
Keluhan yang dirasakan ibu: batuk lama tak sembuh-sembuh, tidak
suka makan, badan lemah dan semakin kurus, batuk darah. Penyakit
ini tidak secara langsung berpengaruh pada janin, namun anak dapat
tertular setelah dilahirkan. Jika TBC berat, dapat menurunkan fisik
ibu, tenaga, dan produksi ASI dapat berkurang. Adapun bahaya yang
dapat terjadi selama kehamilan: keguguran, bayi lahir belum cukup
umur, dan janin mati dalam kandungan.
d) Payah jantung
Keluhan yang dirasakan ibu: sesak napas, jantung berdebar, dada
terasa berat dan kadang-kadang nyeri, nadi cepat, dan kaki bengkak.
Bahaya yang dapat terjadi: payah jantung bertambah berat, kelahiran
prematur, BBLR, dan bayi dapat lahir mati.
e) Diabetes mellitus (DM)

26

Dugaan adanya DM pada ibu hamil apabila: ibu pernah mengalami


beberapa kali kelahiran bayi yang besar, pernah mengalami kematian
janin dalam rahim pada kehamilan minggu-minggu terakhir, dan
ditemukan glukosa dalam air seni (glikosuria). Bahaya yang dapat
terjadi:

persalinan

prematur,

hidramnion,

kelainan

bawaan,

makrosomia, kematian janin dalam kandungan sesudah kehamilan


minggu ke-36, kematian bayi perinatal (bayi lahir hidup, kemudian
mati < 7 hari). Diabetes mellitus dalam kehamilan dapat
mempengaruhi timbulnya komplikasi dalam kehamilan sebagai
berikut: preeklamsia, kelainan letak janin, dan insufisiensi plasenta.
Sedangkan sebagai penyulit yang sering dijumpai dalam persalinan:
inersia uteri dan atonia uteri, distosia bahu karena anak besar, lebih
sering pengakhiran partus dengan tindakan termasuk seksio sesarea,
lebih mudah terjadi infeksi, dan angka kematian maternal lebih tinggi.
Diabetes mellitus lebih sering mengakibatkan infeksi nifas dan sepsis,
dan menghambat penyembuhan luka jalan lahir, baik ruptur perineum
maupun luka episiotomi.
f) HIV / AIDS
Bahaya yang dapat terjadi dalam kehamilan: terjadi gangguan pada
sistem kekebalan tubuh dan ibu hamil mudah terkena infeksi,
kehamilan memperburuk progesifitas infeksi HIV (HIV pada
kehamilan menyebabkan pertumbuhan intra uterin terhambat dan
berat lahir rendah, serta peningkatan risiko prematur), bayi dapat
tertular saat persalinan atau tertular melalui ASI.
g) Toksoplasmosis
Toksoplasmosis penularannya melalui makanan mentah atau kurang
masak, yang tercemar kotoran hewan-hewan domestik yang
terinfeksi. Bahaya yang dapat terjadi diantaranya: infeksi pada

27

kehamilan muda menyebabkan abortus, dan infeksi pada kehamilan


lanjut dapat menyebabkan kelainan kongenital dan hidrosefalus.
2) Pre-Eklamsia ringan
Tanda-tanda terjadinya preeklamsi ringan: edema pada tungkai, muka,
karena penumpukan cairan disela-sela jaringan tubuh; hipertensi, dan
dalam urin terdapat proteinuria. Terjadinya edema pada tungkai
bawah atau kaki pada kehamilan lebih dari 24 minggu dimungkinkan
masih dalam batas normal diakibatkan oleh seringnya tungkai yang
digantung atau kekurangan vitamin B1. Namun bengkak pada muka
dan

tangan

disertai

dengan

naiknya

tekanan

darah,

dapat

dimungkinkan terjadinya preeklamsia ringan.


Bahaya bagi janin dan ibu diantaranya: menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin, dan janin mati dalam kandungan.
3) Hamil kembar/Ganda
Kehamilan kembar/ganda adalah kehamilan dengan dua janin
(gemelli), tiga janin (triplet) atau lebih, dalam rahimnya dapat
menyebabkan terjadinya overdistensi dan menekan organ dalam
sehingga dapat menyebabkan keluhan-keluhan: sesak nafas, edema
kedua bibir kemaluan dan tungkai, varises maupun hemorrhoid.
Bahaya yang dapat terjadi diantaranya: preeklamsi, hidramnion,
anemia, persalinan prematur, kelainan letak, persalinan sukar, dan
perdarahan saat persalinan.
Pengaruh kehamilan ganda terhadap ibu diantaranya: kebutuhan akan
zat-zat gizi bertambah, sehingga dapat menyebabkan anemia dan
defisiensi zat-zat gizi lainnya; kemungkinan terjadinya hidramnion
bertambah 10 kali lebih besar; frekuensi preeklamsi dan eklamsi lebih
sering; karena uterus yang besar, ibu mengeluh sesak napas, sering
BAK, serta terdapat edema dan varises pada tungkai dan vulva; dapat

28

terjadi inersia uteri, perdarahan postpartum, dan solusio plasenta


sesudah anak pertama lahir.
Sedangkan pengaruhnya terhadap janin diantaranya: usia kehamilan
tambah singkat dengan bertambahnya jumlah janin pada kehamilan
kembar, sehingga kemungkinan terjadinya bayi prematur akan tinggi;
apabila sesudah bayi pertama lahir dapat terjadi solusio plasenta,
maka angka kematian bayi
kedua tinggi; sering terjadi kesalahan letak janin, juga akan
mempertinggi angka kematian janin.
4) Hidramnion (Polihidramnion)
Polihidramnion merupakan kehamilan dengan jumlah cairan amnion
lebih dari 2 liter, biasanya nampak pada trimester III dan dapat terjadi
perlahan-lahan atau sangat cepat. Keluhan-keluhan yang dirasakan
ibu diantaranya: sesak nafas; perut membesar dan nyeri perut karena
rahim berisi cairan amnion > 2 liter; edema pada labia mayor dan
tungkai. Bahaya yang dapat terjadi diantaranya: preeklamsi, cacat
bawaan pada bayi, kelainan letak janin, persalinan prematur dan
perdarahan pasca persalinan.
Etiologi hidramnion belum jelas, namun ada faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya hidramnion, antara lain: penyakit jantung,
nefritis, edema umum (anasarka), anomaly congenital pada anak
(seperti: anensepali, spina bifida, atresia atau striktur esophagus,
hidrosefalus, dan struma blocking oesophagus).
5) Janin mati dalam rahim
Keadaan janin mati dalam rahim disebut juga kematian janin dalam
rahim (KJDR) atau lebih popular disebut Intra Uterine Fetal Death
(IUFD). Keluhan-keluhan yang dirasakan ibu diantaranya: ibu tidak
merasakan gerakan janin, perut terasa mengecil, payudara mengecil.

29

Berdasarkan keluhan ibu, maka dapat dilakukan pemeriksaan: DJJ


(tidak terdengar), maupun tes kehamilan (hasil negatif). Bahaya yang
dapat terjadi pada ibu dengan janin mati dalam rahim, yaitu terjadinya
gangguan pembekuan darah ibu, disebabkan dari jaringan-jaringan
mati yang masuk ke dalam pembuluh darah ibu.
6) Hamil serotinus / Hamil lebih bulan
Hamil lebih bulan (serotinus) didefinisikan sebagai kehamilan yang
melebihi umur kehamilan 42 minggu. Dalam keadaan ini, fungsi dari
jaringan placenta dan pembuluh darah menurun. Dampaknya bagi
janin diantaranya: janin mengecil dan kulit janin mengkerut, janin
lahir dengan berat badan rendah, dan janin dalam rahim dapat mati
mendadak.
7) Letak sungsang
Kelainan letak janin sungsang merupakan kelainan posisi janin dalam
rahim, dengan kepala di atas (bawah PX) dan bokong atau kaki
dibawah. Kelainan letak sungsang yang dimaksud apabila hal ini
terjadi pada kehamilan tua (hamil di atas usia kehamilan 32 minggu).
Bahaya yang dapat terjadi pada janin adalah bahwa bayi dapat lahir
dengan sindrom gawat napas yang berat, dan bayi dapat lahir mati.
8) Letak lintang
Kelainan letak lintang merupakan suatu keadaan dimana kepala
berada di lateral/samping kanan atau kiri dari sumbu jalan lahir rahim
ibu. Dimaksud mengalami kelainan letak janin (lintang) di dalam
rahim ibu ini apabila terjadi pada usia kehamilan lebih dari 32
minggu. Bayi letak lintang tidak dapat lahir melalui jalan lahir biasa,
karena sumbu tubuh janin melintang terhadap sumbu tubuh ibu. Pada
janin letak lintang yang baru mati dalam proses persalinan, bayi dapat
dilahirkan dengan alat melalui jalan lahir biasa. Sedangkan pada janin

30

kecil dan sudah beberapa waktu mati masih ada kemungkinan dapat
lahir secara biasa. Bahaya yang dapat terjadi pada kehamilan akibat
kelainan letak lintang dan pada persalinan yang tidak di tangani
dengan benar, adalah dapat terjadi robekan rahim, dan akibatnya bagi
ibu: perdarahan yang mengakibatkan anemia berat, infeksi, syok dan
dapat mengakibatkan kematian. Sedangkan bagi janin: kematian janin
mati.

2.4.3 Ada Gawat Darurat Obstetri / AGDO


Klasifikasi ada gawat darurat obstetric yaitu apabila terdapat
komplikasi/penyulit yang mengancam nyawa ibu dan bayi. Hal ini
dapat diakibatkan oleh:
1) Perdarahan antepartum
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada trimester
III kehamilan/ sebelum terjadinya persalinan atau perdarahan yang
terjadi sebelum kelahiran bayi. Perdarahan antepartum harus
dijadikan perhatian penuh, karena merupakan tanda bahaya yang
dapat mengancam nyawa ibu dan atau janinnya.
lama-lama ibu menderita anemia berat; maupun sekaligus banyak
yang menyebabkan ibu syok, nadi lemah dan tekanan darah menurun.
Diagnosis yang mungkin berdasarkan keadaan tersebut adalah:
a) Plasenta Previa, yaitu apabila plasenta melekat di segmen bawah
rahim dan menutupi sebagian / seluruh mulut rahim.
b) Solusio Plasenta, yaitu apabila plesenta sebagian atau seluruhnya
lepas dari tempatnya sebelum janin lahir. Hal ini umumnya

31

disebabkan karena trauma / kecelakaan, tekanan darah tinggi atau preeklamsia, maka terjadi perdarahan pada tempat insersi plasenta.
Akibat perdarahan dapat menyebabkan adanya penumpukan darah
beku di belakang plasenta, sehingga umumnya darah yang keluar
berwarna merah tua dan membentuk stolsel/bekuan darah.
Bahaya yang dapat terjadi akibat perdarahan antepartum diantaranya:
bayi

terpaksa

dilahirkan

sebelum

cukup

bulan,

dan

dapat

membahayakan janinnya yaitu mati dalam kandungan. Serta dapat


membahayakan ibu: kehilangan darah, timbul anemia berat dan syok,
dan dapat mengakibatkan kematian ibu.
2) PreEklamsia berat / Eklamsia
Preeklamsi berat terjadi apabila ibu dengan preeklamsia ringan tidak
dirawat dan tidak ditangani dengan benar. Preeklamsia berat apabila
tidak ditangani dengan benar akan menyebabkan terjadinya kejang,
menjadi eklamsia. Bahaya yang dapat terjadi, bagi ibu: dapat tidak
sadar (koma) sampai meninggal, sedangkan bagi janin: dalam
kehamilan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan janin dan
bayi lahir kecil (intra uterine growth retardation/ IUGR), dan dapat
mati dalam kandungan.

Anda mungkin juga menyukai