Anda di halaman 1dari 15

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Definisi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT )
KDRT

adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan,

yang

penderitaan

secara

penelantaraan
melakukan

berakibat
fisik,

rumah
perbuatan,

timbulnya
seksual,

tangga,

kesengsaraan

psikologis,

termasuk

pemaksaan

dan

ancaman

atau

atau
atau
untuk

perampasan

kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah


tangga.
Lingkup rumah tangga menjadi :
a. suami, isteri, dan anak ( termasuk anak angkat dan anak tiri )
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan
orang sebagaimana dimaksus huruf a karena hubungan
darah, perkawinan ( mertua, meantu, ipar, besan), persusuan,
pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah
tangga
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut
II.2 Bentuk bentuk kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT)
Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud :
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti: pemukulan
menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu, parang), membenturkan kepala
ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan rokok atau dengan kayu yang
bara apinya masih ada, menendang, mencekik leher.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis berupa

makian, ancaman cerai, tidak memberi nafkah, hinaan, menakut-nakuti, melarang


melakukan aktivitas di luar rumah.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 8
Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, maupun
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual seperti memaksa isteri melakukan hubungan seksual walaupun
isteri dalam kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri
melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain.
4. Penelantaran rumah tangga
Penelantaran rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 9
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Penelantaran
seperti meninggalkan isteri dan anak tanpa memberikan nafkah, tidak
memberikan isteri uang dalam jangka waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.
II.3. Pemeriksaan fisik pada kekerasan dalam rumah tangga
( KDRT )
A. Tujuan pemeriksaan fisik pada korban KDRT
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 21 yang
menyatakan bahwa:
1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan
harus:
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;

b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum


et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau suratketerangan
medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan disarana
kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. 1Tujuan
pemeriksaan fisik pada kasus KDRT adalah untuk memberikan keterangan
tentang kondisi korban sebagai salah satu bagian dari pembuatan visum et
repertum yang akan digunakan sebagai bukti yang sah yang termasuk dalam
keterangan ahli,sehingga proses hukum bisa dijalankan.
B. Karakteristik kasus dan korban KDRT
Banyak wanita menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu
hal yang tabu. Itulah mengapa mereka cenderung menutupi penderitaan fisik dan
psikologis yang dilakukan pasangannya. Adanya sikap posesif terhadap korban
ataupun perilaku mengisolasi korban dari dunia luar dapat dilihat sebagai tanda
awal

KDRT.

Korban

biasanya

tampak

depresi,

sangat

takut

pada

pengunjung/pasien lainnya dan yang merawatnya, termasuk pegawai rumah sakit.


Perhatikan perubahan sikap korban. Mereka akan cenderung menarik diri dari
lingkungan sosialnya. Mereka umumnya tak ingin orang sekitarnya melihat tandatanda kekerasan pada diri mereka. Kontak mata biasanya buruk. Korban menjadi
pendiam. Korban harus diperiksa secara menyeluruh untuk memeriksa dengan
teliti tanda-tanda kekerasan yang pada umumnya tersembunyi. Sebagai contoh,
kulit kepala dapat menunjukkan tanda tanda kekerasan. Korban juga akan mencoba
untuk menyembunyikan atau menutupi luka-lukanya dengan memakai riasan
wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu atau perhiasan.2
C. Karakteristik Luka Pada Korban KDRT
Orang yang mendapat siksaan fisik dari pasangannya tak jarang mengalami
cedera. Hanya saja mereka cenderung menutupinya dengan mengatakan bahwa luka
tersebut akibat terjatuh, atau kecelakaan umum. Untuk membedakannya, perlu
diketahui ciri-ciri khusus luka akibat kekerasan yang dilakukan dalam rumah
tangga.Karakteristik

luka

yang

disebabkan

oleh

adanya

KDRT,

biasanya

menunjukkan gambaran sebagai berikut:2


1) Luka bilateral, terutama pada ekstremitas.
2) Luka pada banyak tempat.
3) Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau bekas tali
yang terbakar.

4) Luka lecet, luka gores minimal, bilur.


5) Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya pukulan pada bagian
mata sehingga melukai struktur dalam mata, bisa juga terjadi jika berlaku
perlawanan yang kuat antara korban dengan pelaku sehingga secara tidak
sengaja melukai korban.
D. Bentuk-Bentuk Luka
Adanya bentukan luka memberi kesan adanya kekerasan. Bentukan luka
merupakan tanda, cetakan atau pola yang timbul dengan segera di bawah epitel oleh
senjata penyebab luka. Bentuk luka dapat karena benda tumpul, benda tajam (goresan
atau tikaman) atau karena panas. 2
1) Kekerasan Tumpul
Kekerasan tumpul yang melukai kulit merupakan luka yang paling sering
terjadi, berupa luka memar, lecet dan luka goresan. Adanya luka memar yang
sirkuler ataupun yang linier memberi kesan adanya penganiayaan. Luka
memar parallel dengan sentral yang bersih memberi kesan adanya
penganiayaan dari objek linear. Adanya bekas tamparan dengan bentukan jari
juga harus dicatat. Luka memar sirkuler dengan diameter 1 1,5 cm dengan
tekanan ujung jari mungkin terlihat sama dengan bentuk penjambretan.
Bentukan-bentukan tersebut sering tampak pada lengan atas bagian dalam dan
area-area yang tidak terlihat waktu pemeriksaan fisik. Penganiayaan dengan
menggunakan ikat pinggang atau kawat menyebabkan luka memar yang
datar,dan penganiayaan dengan sol atau hak sepatu akan menyebabkan luka
memar pada korban yang ditendang.
2) Memar
Beberapa faktor mempengaruhi perkembangan luka memar, meliputi kekuatan
kekerasan tumpul yang diterima oleh kulit, kepadatan vaskularisasi jaringan,
kerapuhan pembuluh darah, dan jumlah darah yang keluar ke dalam jaringan
sekitar. Luka memar yang digunakan untuk identifikasi umur dan penyebab
luka, tidak selalu menunjukkan kesamaan warna pada tiap orang dan tidak
dapat berubah dalam waktu yang sama antara satu orang dengan orang lain.
Beberapa petunjuk dasar tentang penampakan luka memar sebagai berikut:
a) Waktu merah, biru, ungu, atau hitam dapat terjadi kapan saja dalam
waktu 1 jam setelah trauma sebagai resolusi dari memar. Gambaran

warna merah tidak dapat digunakan untuk memperkirakan umur


memar.
b) Memar dengan gradasi warna kuning umurnya lebih dari 18 jam.
c) Meskipun warna memar kuning, coklat, atau hijau merupakan indikasi
luka yang lama, tetapi untuk mendapatkan waktu yang spesifik sulit.
3) Bekas Gigitan
Merupakan bentuk luka lain yang sering ada pada domestic violence. Beberapa
bentukan gigitan ini sulit untuk dikenali, misalnya penampakan memar
semisirkuler yang non spesifik, luka lecet, atau luka lecet memar, dan masih
banyak lagi gambaran yang dapat dikenali karena lokasi anatomi dari gigitan
dan pergerakan tidak tetap pada kulit.
4) Bekas Kuku
Ada 3 macam tanda bekas kuku yang mungkin terjadi, bisa tunggal atau
kombinasi, yaitu sebagai berikut:2
a) Impression marks
Bentukan ini merupakan akibat patahnya kuku pada kulit. Bentuknya
seperti koma atau setengah lingkaran.
b) Scratch marks
Bentuk ini superficial dan memanjang, kedalamannya sama dengan
kedalaman kuku. Bentukan ini terjadi karena wanita yang menjadi korban
berkuku panjang.
c) Claw marks
Bentukan ini terjadi ketika kulit terkoyak, dan tampak lebih menyeramkan.
5) Strangulasi
Hanging, ligature, atau manual adalah 3 tipe dari strangulasi (penjeratan).
Dua tipe terakhir mungkin berhubungan dengan domestic violence.
a) Ligature strangulation (garroting) dan Manual strangulation (throttling).
Ligature strangulation (garroting) merupakan bentuk strangulasi dengan
menggunakan tali, seperti kabel telepon atau tali jemuran. Sedangkan
Manual

strangulation

(throttling)

biasanya

menggunakan

tangan,

dilakukan dengan tangan depan sambil berdiri atau berlutut di depan


tenggorokan korban.
b) Strack dan McLane melakukan penelitian pada 100 wanita yang
dilaporkan mengalami pencekikan oleh pasangan mereka dengan tangan
kosong, lengan ataupun menggunakan alat (kabel listrik, ikat pinggang,
tali, peralatan mandi). Petugas kepolisian melaporkan luka tidak tampak
pada 62% wanita, luka tampak minimal pada 22% dan luka yang

signifikan seperti warna merah, memar ataupun bekas tali yang terbakar
pada 16% sisanya. Hampir 50% dari para korban mengalami perubahan
suara dari disfonia sampai afonia.
c) Disfagia, odinofagia, hiperventilasi, dispneu, dan apneu dilaporkan atau
ditemukan. Dengan catatan, laporan menunjukkan bahwa beberapa korban
dengan keadaan awal ringan, dapat meninggal dalam waktu 36 jam setelah
strangulasi.
d) Pada ligature strangulation sering tampak petechiae. Petechiae pada
konjungtiva terlihat sama banyaknya dengan petechiae pada daerah
jeratan, seperti wajah dan daerah periorbita.
e) Pada leher mungkin ditemukan goresan dan luka lecet dari kuku korban
atau kombinasi dari luka yang dibuat oleh pelaku dan korban. Lokasi dan
luas bervariasi dengan posisi pelaku (depan atau belakang) dan apakah
korban atau pelaku menggunakan satu atau dua tangan. Pada Manual
strangulation korban sering merendahkan dagunya dalam upaya
melindungi leher, hal ini akan mengaakibatkan luka lecet pada dagu
korban dan tangan pelaku.
f) Luka memar tunggal atau area eritematous sering terlihat pada ibu jari
pelaku. Area dari luka memar dan eritema sering terlihat bersama,
berkelompok pada bagian samping leher, sepanjang mandibula, bagian
atas dagu, dan di bawah area supraklavikula.
g) Ligature mark terlihat dari halus sampai keras. Menyerupai lipatan kulit.
Tanda (misalnya pola seperti gelombang kabel telepon, seperti jalinan pita
dari tali) dapat memberi kesan korban telah dicekik. Sifat dan sudut pola
ini diperlukan untuk membedakan penggantungan dengan Ligature
strangulation. Pada Ligature strangulation, penekanan dari penjeratan
biasanya horizontal pada level yang sama dengan leher, dan tanda
penjeratan biasanya di bawah kartilago thyroid dan sering tulang hyoid
patah. Pada penggantungan, penekanan cenderung vertical dan berbentuk
seperti air mata, di atas kartilago thyroid, dengan simpul pada daerah
tengkuk, di bawah dagu, atau langsung di depan telinga. Tulang hyoid
biasanya masih utuh.
h) Keluhan lainnya termasuk kehilangan kesadaran, defekasi, muntah yang
tidak terkontrol, mual dan kehilangan ingatan.
E. Distribusi Luka
Luka-luka pada KDRT biasanya mempunyai distribusi tertentu, sebagai berikut:

1) Luka pada domestic violence biasanya sentral.


2) Tempat luka yang umum adalah daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian
(misalnya dada, payudara dan perut).
3) Wajah, leher, tenggorokan dan genitalia juga tempat yang sering mengalami
perlukaan.
4) Lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada kepala dan leher.
Pelaku laki-laki menghindari untuk menyerang wajah, tetapi kemudian
memukul kepala bagian belakang.
5) Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban domestic violence.
6) Trauma pada maxillofacial termasuk luka pada mata dan telinga, luka pada
jaringan lunak, kehilangan pendengaran, dan patah pada mandibula, patah
tulang hidung, orbita dan zygomaticomaxillary complex.
Luka karena perlawanan, misalnya patah tulang, dislokasi sendi, keseleo, dan
atau luka memar dari pergelangan tangan atau lengan bawah dapat mendukung
adanya tanda dari korban untuk menangkis pukulan pada wajah atau dada. Termasuk
luka pada bagian ulnar dari tangan dan telapak tangan (yang mungkin digunakan
untuk menahan serangan). Luka lain yang umum ada termasuk luka memar pada
punggung, tungkai bawah, bokong, dan kepala bagian belakang (yang disebabkan
karena korban membungkuk untuk melindungi diri). Luka lecet yang banyak atau
luka memar pada tempat yang berbeda sering terjadi memperkuat kecurigaan adanya
domestic violence. Peta tubuh dapat membantu penemuan fisik adanya kekerasan
termasuk dengan memperhatikan kemungkinan tanda-tanda kekerasan pada daerahdaerah yang tersembunyi. Terdapatnya luka yang banyak dengan tahap penyembuhan
yang bervariasi memperkuat dugaan adanya KDRT yang berulang.
II.4 Aspek hukum KDRT
Semakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial atau WCC dalam
menanamkan kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta perlindungan
kepada korban kasus KDRT dipengaruhi oleh lahirnya peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan
Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan
Korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional
Terhadap Perempuan, Undang- Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan tugas dan
fungsi kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi memberikan perlindungan hukum

terhadap kasus KDRT dan termasuk lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam
perlindungan terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.
A.

Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam


Rumah Tangga.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang selanjutnya disebut sebagai UU PKDRT diundangkan
tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 No. 95. Fokus UU PKDRT ini ialah kepada upaya pencegahan,
perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. UU
PKDRT Pasal 3 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dilaksanakan berdasarkan :
a. Penghormatan hak asasi manusia
b. Keadilan dan kesetaraan gender
c. Nondiskriminasi
d. Perlindungan korban.
UU PKDRT Pasal 4 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
bertujuan :
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

B. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan.
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan yang selanjutnya disebut sebagai Perpres Komnas
Perempuan ialah merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden No. 181
Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan menyatakan tidak
berlaku Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan. Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip
negara hukum yang menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap
perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi

manusia sehingga dibutuhkan satu usaha untuk mencegah dan menanggulangi


terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
C. Ketentuan pidana
Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undang-undang
Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai
berikut :
a. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 44
1.

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup


rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun atau denda paling

2.

banyak Rp 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah).


Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban jatuh sakit atau luka berat, dipidanakan penjara paling lama 10

3.

tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipadana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun atau

4.

denda paling banyak Rp45.000.000,-(Empat puluh lima juta rupiah).


Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-harian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,-(Lima juta rupiah).

b. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 45


1. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,(Sembilanjuta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidanakan penjara paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp3.000.000,- (Tiga juta rupiah).
c. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 46
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama

12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,- (Tiga puluh
enam juta rupiah).
d. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 47
1. Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000,00-(dua

belas

juta

rupiah)

atau

paling

banyak

Rp

300.000.000,00-(tiga ratus juta rupiah).


e. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut,

gugur

atau

matinya

janin

dalam

kandungan,

atau

mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana


penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00-(dua puluh lima juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00- (lima ratus juta rupiah).
f. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp. 15.000.000,00-(lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
g. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa :
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu
dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.
D. Pemulihan korban pada kekerasan rumah tangga

Pemulihan korban berdasarkan kepada Undang-undang No. 23 tahun 2004


tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga :
a. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
a.
b.
c.
d.

Tenaga kesehatan;
Pekerja sosial;
Relawan pendamping; dan/atau
Pembimbing rohani.

b. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 40


1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya
2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
c. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan
kerja sama. Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban Peraturan
Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 1 ayat 1 ialah:
Segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar
lebih berdaya baik secara fisik maupun psikis.
a. PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa Penyelenggaraan
pemulihan ialah: Segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan
korban KDRT. PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan :
Bahwa penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh
instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai
dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas
yang diperlukan untuk pemulihan korban. Hal yang sama disebutkan dalam
PP RI Pasal 19 yang menyebutkan : Untuk penyelenggaraan pemulihan,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial,
baik nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari ketentuan ini, lembaga sosial
mendapat kesempatan untuk berperan dalam melakukan upaya pemulihan
korban KDRT.

b. PP PKPKDRT Pasal 4 menyebutkan Penyelenggaraan kegiatan pemulihan


korban meliputi :
a. Pelayanan kesehatan
b. Pendampingan korban
c. Konseling
d. Bimbingan rohani
e. Resosialisasi
D. Perlindungan saksi dan Korban kekerasan dalam rumah tangga
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga Pasal 10, korban berhak mendapatkan :
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
e. Pelayanan bimbingan rohani
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga Pasal 15, setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upayaupaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a.
b.
c.
d.

Mencegah berlangsungnya tindak pidana;


Memberikan perlindungan kepada korban;
Memberikan pertolongan darurat; dan
Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban


yang selanjutnya disebut dengan UU PSK berlaku sejak tanggal 11 Agustus
2006 setelah diundangkan di Lembaran Negara RI No. 64 Tahun 2006. Pokok
materi UU PSK ini meliputi perlindungan dan hak saksi dan korban, lembaga
perlindungan saksi dan korban, syarat dan tata cara pemberian perlindungan
dan bantuan, serta ketentuan pidana. UU PSK ini dikeluarkan karena
pentingnya saksi dan korban dalam proses pemeriksaan di pengadilan sehingga
membutuhkan perlindungan yang efektif, profesional, dan proporsional
terhadap saksi dan korban.Perlindungan saksi dan korban dilakukan
berdasarkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman,
keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. Perlindungan saksi dan

korban berlaku pada semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan
peradilan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman pada saksi dan/atau
korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.
Perlindungan saksi dan korban juga dilakukan karena adanya hak-hak seorang
saksi dan korban yang harus dilindungi seperti:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

dukunga keamanan
Memberikan keterangan tanpa tekanan
Mendapat penerjemah
Bebas dari pertanyaan yang menjerat
Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
Mendapat identitas baru
Mendapatkan tempat kediaman baru
Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
Mendapat nasihat hokum
Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir, dan/atau


n. Bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dalam hal saksi dan korban
mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang

Republik

Indonesia

No.

23

Tahun

2004,

tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


2. Konsiderans Perpres No. 65 Tahun 2005 tentang Komnas Perempuan
3. http://www.who.int/violenceprevention/approach/definition/en/index.html

diakses pada tanggal 10 Februari 2016


4. Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
5. www.hukumonline.com/berita/R_U_U_Perlindungan_saksi_dan_korban,
diakses pada tanggal 10 Februari 2016
6. UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 Tahun 2006
7. Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara
Hak dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
8. Hasbianto, Elli N. (1996). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram
Kehidupan
9. Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan
Indonesia. Jakarta: Ameepro.

10. Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua. The


International Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.
11. Rahman, Anita. (2006). Pemberdayaan PerempuanDikaitkan Dengan 12 Area
12. Sciortino, Rosalia dan Ine Smyth. (1997). Harmoni: Pengingkaran Kekerasan
Domestik di Jawa. Jurnal Perempuan, Edisi: 3, Mei-Juni.
13. WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal
dan

Anda mungkin juga menyukai