Anda di halaman 1dari 21

MUCOSAL DEFENSE SYSTEM PAPER

Imunologi

Disusun oleh:
Indah Nilawati / M0613023

UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
SURAKARTA
2016

Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Yang Maha Esa atas selesainya
makalah yang berjudul Mucosal Defense System. Atas dukungan moral dan materil yang
diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Wisnu Kundarto, S.Si., Apt. selaku dosen mata kuliah imunologi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna.Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah
ini.
Surakarta, 14 November 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah imunitas diturunkan dari bahasa latinimmunias, yang mengacu pada
perlindungan terhadap tuntutan hukum yang ditawarkan kepada Senator Roma selama masa
jabatannya. Maka secara historis, imunitas berarti perlindungan dari penyakit atau lebih
spesifiknya penyakit infeksi. Sel sel dan molekul yang bertanggung jawab atas imunitas
akan membentuk sistem imun. Respon bersama dan koordinasinya terhadap pengenalan
senyawa atau partikel asing disebut respon imun.Fungsi fisiologis system imun adalah
pertahanan terhadap mikroba infeksius, dan bahkan senyawa asing non-infeksius dapat
menyebabkan timbulnya respon imunitas (Abbas et al., 2007).
Kebanyakan antigen menerobos sistem imun dan masuk ke dalam tubuh melalui
permukaaan

mukosa

saluran

pernafasan,

saluran

gastrointestinal

dan

saluran

urogenital.Dimana mukosa merupakan area paling luas dalam tubuh yang terkontak dengan
lingkungan eksternal dan pada manusia dewasa luasnya mencappai 400 m 2.Permukaan
mukosa memisahkan lingkungan eksternal dengan lingkungan internal yang steril juga
menunjukkan sistem pertahan pertama sistem imunitas.Barrier ini menghadapi lingkungan
kaya patogen yang telah mengembangkan mekanisme kolonisasi yang efektif pada permukaan
epithelial dan invasi jaringan mukosa, selain itu juga menghadai antigen berbahaya seperti
makanan, udara atau flora normal (Montilla et al., 2004).
Mukosa telah mengembangkan sistem imun yang kompleks dimana secara anatomi
dan fungsinya yang berbeda dari sistem imun.Yang memiliki kemampuan memasang respon
imun terhadap antigen patogen selama mempertahankan supresi aktif terhadap antigen non
patogenik.
Permukaan mukosa saluran gastrointestinal dan pernafasan dikolonisasi oleh limfosit
dan APC yang terlibat dalam respon imun untuk menelan dan menyedot antigen. Seperti kulit,
mukosa epithelia merupakan barrier atau penghalang antara lingkungan luar dan dalam, oleh
karena itu ia merupakan tempat penting untuk mikroba dapat masuk menembus sistem
imunitas (Abbas et al., 2007).
Terdapat tiga fungsi utama dari sistem imun mukosa , yaitu: melindungi membrane
mukosa terhadap kolonisasi dan invasi dari mikroba yang masuk dan memiliki potensial
bahaya, mencegah penyerapan antigen tak terdegradasi termasuk protein asing yang
diturunkan dari makanan yang dikonsumsi, udara dan mikroorganisme komensal, serta

mencegah perkembangan yang akan membahayakan sistem imun jika antigen mencapai
interior tubuh (Holmgren and Czerkinsky, 2005).

BAB II
ISI
2.1 Sistem Imun Mukosa
Sistem imun mukosa merupakan bagian dari sistem imun yang dijajarkan pada
permukaan mukosa dan kontak langsung dengan antigenik lingkungan luar. Sistem imun
mukosa tersusun dari jaringan limfoid yang berhubungan dengan permukaan mukosal (MALT
mucosa-associated lymphoid tissue) dan dapat dipisahkan menjadi beberapa komponen;
GALT gut-associated lymphoid tissue; BALT bronchus-associated lymphoid tissue; dan
NALT nasopharynx-associated lymphoid tissue; kelenjar susu dan kelenjar ludah serta
organ genitourinari (genital dan urinari). Jaringan mukosa padat dengan sel sistem imun.
Diperkirakan bahwa lapisan intestinal/usus mengandung lebih banyak sel limfoid dan
memproduksi antibodi lebih banyak dibandingkan organ lain di dalam tubuh (Montilla et al.,
2004).
Dari definisinya sistem imun mukosa merupakan suatu sistem yang bertanggung
jawab dalam berinteraksi dengan dunia luar, secara spesifik bertanggung jawab merespon
ancaman luar dimana mikroba patogenik melakukan serangan.Mikrobiota pada umumnya
dianggap simbiosis, dan berimplikasi pada pertumbuhan seluler, pemulihan setelah cedera,
dan memelihara fungsi barrier/penghalang, dan penting dalam induksi, pengembangan dan
modulasi respon imun. Sistem imun mukosa menggunakan mekanisme berbeda yang
melindungi host dari patogen (Nelsh, 2014).

Gambar 1.Usus, hidung, saluran pernafasan atas dan saliva, kelenjar susu, kelenjar lakrimal dan
kelenjar lain terdiri dari epithelia lapis tunggal. Vili pada saluran GO utamanya terdiri atas sel epital
kolumnar, dengan tipe lain seperti sel goblet dan sel paneth. Sel goblet menunjukkan beberapa fungsi
termasuk sekresi mucin yang membentuk lapisan penutup mucus tebal. Sel paneth mensekresikan kemokin,
sitokin, AMPs (anti-microbial peptides) (McGhee and Fujihashi, 2012)

2.2 Struktur Sistem Imunologi Mukosa

Jaringan mukosa ditemukan di saluran napas bagian atas, saluran cerna, saluran genital
dan kelenjar mammae. Mekanisme proteksi terhadap antigen pada mukosa, terdiri dari:
membran mukosa yang menutupi mukosa dan enzim adalah perlindungan mekanik dan
kimiawi yang sangat kuat, sistem imun mukosa innate berupa eliminasi antigen dengan cara
fagositosis dan lisis, sistem imun mukosa adaptif dimana selain melindungi permukaan
mukosa juga melindungi bagian dalam badan dari masuknya antigen lingkungan. Sistem imun
lokal ini merupakan 80% dari semua imunosit tubuh pada orang sehat.Sel-sel ini terakumulasi
di dalam atau transit antara berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid Ttisssue (MALT),
bersama-sama membentuk sistem organ limfoid terbesar pada mamalia (Mestecky, et al.,
2015).
Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu; (i) melindungi membran
mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba berbahaya yang mungkin menembus masuk, (ii)
melindungi pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi meliputi protein-protein asing
dari makanan yang tercerna, material di udara yang terhirup dan bakteri komensal, (iii)
melindungi berkembangnya respons imun yang berpotensi merugikan terhadap antigenantigen tersebut bila antigen tersebut mencapai dalam tubuh. Sehingga disini MALT
menyeleksi mekanisme efektor yang sesuai dan mengatur intensitasnya untuk menghindari
kerusakan jaringan dan proses imun berlebih. Sistem MALT terlihat sebagai suatu sistem
imun kompartemenisasi yang bagus dan fungsi esensialnya berdiri sendiri dari aparatus sistem
imun.Secara fungsional, MALT terdiri dari dua komponen yaitu jaringan limfoid mukosa
terorganisir dan sistem imunologi mukosa tersebar (Mestecky, et al., 2015).

Gambaran sistem imun mukosa manusia yaitu: tempat induktif imun mukosa terdiri dari
MALT regional dengan folikel sel B nya dan sel M (M) yang mengandung epithelia yang
terkait dengan folikel melalui antigen luar yang ditranspor secara aktif untuk mencapai APC,
termasuk DC, makrofag, sel B, dan FDC. Ditambah lagi subepitelial DC dapat menangkap
antigen pada tempat efektor(dicontohkan oleh nasal di tengah-tengah) dan bermigrasi melalui
aliran limfatik ke nodus limfa local dimana mereka menjadi APC aktif yang menstimulasi sel
T untuk menghasilkan respon imun yang supresif. Sel B dan sel T asli masuk ke MALT (dan
nodus limfa) melalui HEV.Setelah menjadi memori atau efektor sel B dan sel T, kemudian
berpindah dari MALT ke nodus limfa ke darah perifer untuk ekstravasasi berikutnya pada
tempat efektor mukosa (dicontohkan oleh mukosa usus pada sebelah kanan). Proses ini
diaraahkan oleh adhesi vaskuler dan kemokin, maka sel endothelial mengerahkan fungsi
gatekeeper local untuk imunitas mukosa. Lapisan tipis usus propia mengandung sedikit
limfosit B namun banyak rantai J yang mengekspresikan IgA (dimer/polimer) dan plasmablast
IgM (pentamer) serta sel plasma.Juga secara normal beberapa sel plasma IgG langka dengan
variabel tingkatan rantai J dan banyak sel T (terutama CD4+).Tambahan fitur seperti
pembentukan

SIgA

dan

SIgM

melalui

pIgR

(mSC)

yang

dimediasi

transpor

epithelial(Mestecky, et al., 2015).


2.3 Respon Umum Imunologi Mukosa
Antigen yang berada di lumen diambil oleh sel epitelial abortif dan sel epitelial spesifik
(sel membran atau sel mikrofold atau sel M) di mukosa induktif, dibawa atau langsung
ditangkap oleh antigen-presenting cel (APC) profesional (APC terdiri dari; sel dendritik (DC),
sel limfosit B dan makrofag) dan dipresentasikan kepada sel-sel T konvensional CD4+ dan
CD8+, semuanya berada pada tempat induktif. Beberapa antigen juga bisa langsung diproses
dan dipresentasikan oleh sel epitelial kepada sel T intraepitelial tetangga (neighboring
intraepithelial T cells) meliputi sel T dengan limited resevoire diversity (sel T dan sel
NKT). Respons imun mukosa dipengaruhi oleh alamiah antigen, tipe APC yang terlibat dan
lingkungan mikro lokal. Dengan kebanyakan tipe adalah antigen non patogen (protein
makanan), jalur normal untuk sel dendritik mukosa dan APC lain terlihat melibatkan sel T
helper 2 dan respons berbagai sel T regulator, biasanya hasilnya adalah supresi aktif imunitas
sistemik, toleransi oral. Antigen dan adjuvant, meliputi kebanyakan patogen, mempunyai
motif disensitisasi oleh APC mukosa sebagai pertanda bahaya (contoh; ligan toll-like
reseptor (TLR)) disatu sisi dan kondisi proinflamasi pada umumnya, menghasilkan respons
imun yang lebih kuat dan luas, baik sekresi hormonal maupun sisi efektor imunitaas seluler
dan tidak menghasilkan toleransi oral.Ini diasumsikan bahwa pengenalan patogen oleh TLR
APC mukosa membedakan dari respons pada flora komensal.Tetapi terakhir ditemukan bahwa

pada kondisi normal, bakteri komensal dapat dikenali oleh TLR, interaksi ini tampaknya suatu
yang penting untuk menjaga homeostasis epitel di usus.
Sel B maupun sel T yang tersensitisasi, meninggalkan tempat asal dimana berhubungan
dengan antigen (contohnya plak payeri), transit melewati kelenjar limfe, masuk ke sirkulasi,
dan kemudian menempatkan diri pada mukosa terseleksi, umumnya pada mukosa asal dimana
mereka kemudian berdeferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori, membentuk IgA
sekretori (Gambar 11-1). Afinitas sel-sel ini kelihatannya dipengaruhi secara kuat oleh
integrin pada tempat spesifik (homing reseptors) pada permukaannya dan reseptor jaringan
spesifik komplementari (adressin) pada sel endotel kapiler. Pada penelitian terbaru
mengindikasikan bahwa sel dendritik mukosa dapat mempengaruhi properti homing . Sel
dendritik dari plak payeri dan limfonodi mesentrik, tetapi tidak sel dendritik dari limfa dan
perifer, meningkatkan ekspresi reseptor homing mukosa 47 dan reseptor CCR9, suatu
reseptor untuk gut-assosiated chemokine sel T memori dan sel T CD8+ memori, untuk lebih
suka homing di epitel intestinal. Juga, sel dendritik imprinting of gut homing specifity, terlihat
terdiri dari retinoid acid yang diproduksi oleh sel dendritik intestinal tetapi tidak oleh sel
dendritik limfoid lain. Ini mungkin bisa menjelaskan dugaan sistem imun mukosa umum
dimana imunosit teraktivasi pada suatu tempat menyebarkan imunitas ke jaringan mukosa
jauh dari pada oleh karena imunitas sistemik. Pada saat yang sama, oleh karena kemokin,
integrin dan sitokin terekspresi berbeda diantara jaringan mukosa, fakta tersebut juga bisa
menerangkan

sebagian,

mengapa

didalam

sistem

imun

mukosa,

ada

hubungan

kompartemenisasi khas dengan tempat mukosa terinduksi (contohnya usus dengan glandula
mamae dan hidung dengan saluran pernafasan dan genital).
Adanya hubungan kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan tempat diberikannya
imunisasi mukosa akan efek yang diharapkan. Imunisasi oral akan menginduksi antibodi di
usus halus (paling kuat di proksimal), kolon asenden, glandula mamae dan glandula saliva
tetapi tidak efektif menginduksi antibodi di segmen bawah usus besar, tonsil dan genital
wanita. Sebaliknya imunisasi perektal, akan menghasilkan respons antibodi yang kuat di
rektum tetapi tidak di usus halus dan colon proksimal. Imunisasi per nasal dan tonsil akan
memberikan respons antibodi di mukosa pernafasan atas dan regio sekresi (saliva dan nasal)
tanpa respons imun di usus, tetapi juga terjadi respons imun di mukosa vagina seperti yang
terlihat pada usaha imunisasi HIV. Penelitian pada tikus ditemukan bahwa suntikan transkutan
bisa menimbulkan efek imunitas di mukosa vagina.

2.4 Mekanisme efektor pada imunologi mukosa


Selain mekanisme pembersihan antigen mekanis dan kimiawi, imuitas mukosa terdiri dari
sel lain berupa sistem imune innate yang meliputi netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel,
sel NK (natural killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi patogen dan inisisasi
respons imun adaptif.
Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem
yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas imunoglobulin predominan dalam sekresi
eksternal manusia.Imunoglobulin ini tahan terhadap protease sehingga cocok berfungsi pada
sekresi mukosa.Induksi IgA melawan patogen mukosa dan antigen protein terlarut bergantung
pada sel T helper. Perubahan sel B menjadi sel B penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF- dan
iterleukin (IL)10 bersama-sama dengan IL-4. Diketahui bahwa sel T mukosa menghasilkan
dalam jumlah yang banyak TGF-, IL-10 dan IL-4, sel epitelial mukosa menghasilkan TGF-
dan IL-10, menjadi petunjuk bahwa maturasi sel B penghasil IgA melibatkan lingkungan
mikro mukosa yaitu sel epitel dan limfosit T tetangga
Walaupun IgA predominan sebagai mekanisme pertahanan humoral, IgM dan IgG juga
diproduksi secara lokal dan berperan dalam mekanisme pertahanan secara signifikan. Sel T
limfosit sitolitik mukosa (CTL) mempunyai peran penting dalam imunitas pembersihan
patogen virus dan parasit intraseluler. Sel CTL ini juga akan terlihat setelah pemberian
imunisasi oral, nasal, rektal ataupun vaginal dan yang terbaru perkutaneus.
2.5 Mekanisme regulator pada imunologi mukosa
Sistem imun mukosa telah mengembangkan berbagai cara untuk menjaga toleransi
terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada mikroflora, antigen makanan dan material
udara terhirup. Tolerasi tersebut melalui mekanisme; aktifasi sel penginduksi kematian
(induce-cell death), anergi dan yang paling penting induksi sel T regulatori.Anergi terhadap
sel T antigen spesifik terjadi bila inhalasi atau menelan sejumlah besar protein terlarut, dan
penghilangan (deleting) sel T spesifik terjadi setelah pemberian antigen dosis nonfisiologis,
secara masif. Pada percobaan tikus sudah diketahui ada 4 sel T regulator, yaitu; (i) antigeninduced CD4+ T helper 2 like cells yang memproduksi IL-4 dan IL-10, dan antagonis sel
efektor T helper 1, (ii) sel CD4+CD45RBlow yang memproduksi IL-10, (iii) sel CD4+ dan
CD8+ yang memproduksi TGF- (T helper 3), (iv) Sel Treg (CD4+CD25+) yang mensupresi
proliferasi melalui suatu sel contact-dependent mechanism.
Meskipun in vitro, sel yang terakhir dapat dikembangkan menjadi suatu bentuk sel
antigen spesifik in vivo setelah imunisasi. Sel ini bisa juga mengubah aktifitas supresor pada
sel CD4+ lain dengan cara menginduksi ekspresi dari transkripsi faktor Foxp3 dan atau ikatan
MHC klas II dengan molekul LAG-3 pada sel seperti infectious tolerance. Mereka juga

mempunyai hubungan langsung antara sel T inhibitor oleh Sel Treg , T helper 3, sel Tr 1.
Selanjutnya natural human CD4+CD25+ Treg mengekspresikan integrin 47 mukosa, ketika
bersama sel T CD4+ konvensional menginduksi sel T sekresi Tr 1 like IL 10 dengan aktifitas
supresor kuat terhadap sel T efektor, dimana 41 Treg positif lain memperlihatkan cara
yang sama dengan cara menginduksi Thelper 3-like TGF--secreting supressor T cells.
Data dari studi terakhir mengindikasikan bahwa kesemua sel regulator yang berbeda
tipenya dan mekanismenya dapat diinduksi atau ditambah (expand) oleh adanya antigen
mukosa mengawali terjadinya toleransi perifer. (Sun et al). Sel T CD8+ intraepitelial
mukosa respirasi dan usus juga dicurigai berperan dalam toleransi mukosa. Jadi, mekanisme
pertahanan mukosa dari autoagressive dan penyakit alergi melibatkan berbagai tahap
regulasi.Sedangkan aktivasi, survival dan ekspansi sel regulator ini tampaknya dikontrol oleh
jenis terspesialisasi APC, khususnya sel dendritik jaringan spesifik meliputi sel dendritik di
hati, plak payeri, mukosa intestinal dan paru.

(a) fragilis bakterioid melepaskan zwitter ion karbohidrat yang meninggkatkan perkembangan
CD4+ sel T pada host mamalia. Jika integritas mukosa usus membahayakan dan B. fragilis
menginvasi jaringan submukosa, pembentukan abses diinduksi oleh zwitter ion karbohidrat.

(b) clostridium disisi lain menyebabkan penyakit hanya jika flora komensal endogen
membahayakan (c) H. pylory menempel pada permuakaan sel epitel lambing kemundian
menginduksi respon inflamasi yang menyebabkan terjadinya gastritis, tukak peptic dan
bahkan kanker lambung
2.6 Imunitas Mukosa pada Masing-Masing Organ
Folikel limfoid yang terisolir ditemukan tersebar di seluruh mukosa saluran napas, cerna,
dan urogenital.
Sistem imunitas mukosa saluran napas Sistem imunitas mukosa saluran napas terdiri
dari nose-associated lymphoid tissue (NALT), larynx-associated lymphoid tissue (LALT), and
the bronchus-associated lymphoid tissue (BALT).1BALT terdiri dari folikel limfoid dengan
atau tanpa germinal center terletak pada dinding bronkus. Sistem limfoid ini terdapat pada
100% kasus fetus dengan infeksi amnion dan jarang terdapat walaupun dalam jumlah sedikit
pada fetus yang tidak terinfeksi.Pembentukan jaringan limfoid intrauterin ini merupakan
fenomena reaktif dan tidak mempengaruhi prognosis.
Respons imun diawali oleh sel M (microfold cells) yang berlokasi di epitel yang melapisi
folikel MALT.Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC yang dibutuhkan dalam pembentukan
respons imun. Sel M bertugas untuk uptake dan transport antigen lumen dan kemudian dapat
mengaktifkan sel T. Sel APC dalam paru terdiri dari sel dendritik submukosa dan interstitial
dan makrofag alveolus. Makrofag alveolus merupakan 85% sel dalam alveoli, dimana sel
dendritik hanya 1%.Makrofag alveolus ini merupakan APC yang lebih jelek dibandingkan sel
dendritik. Karena makrofag alveolus paling banyak terdapat pada alveolus, sel ini berperan
melindungi saluran napas dari proses inflamasi pada keadaan normal. Saat antigen masuk,
makrofag alveolus akan mempengaruhi derajat aktivitas atau maturasi sel dendritik dengan
melepaskan sitokin. Sel dendritik akan menangkap antigen, memindahkannya ke organ
limfoid lokal dan setelah melalui proses maturasi, akan memilih limfosit spesifik antigen yang
dapat memulai proses imun selanjutnya
Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan bermigrasi dari MALT dan kelenjar limfoid
regional menuju darah perifer untuk dapat melakukan ekstravasasi ke efektor mukosa. Proses
ini diperantarai oleh molekul adesi vaskular dan kemokin lokal, khususnya mucosal addressin
cell adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T spesifik antigen adalah efektor penting dari
fungsi imun melalui sel terinfeksi yang lisis atau sekresi sitokin oleh Th1 atau Th2. Perbedaan
rasio atau polarisasi sitokin ini akan meningkatkan respons imun dan akan membantu sel B
untuk berkembang menjadi sel plasma IgA.
Luas permukaan saluran cerna mencapai hampir 400m2 dan selalu terpajan dengan
berbagai antigen mikroba dan makanan sehingga dapat menerangkan mengapa sistem limfoid

saluran cerna (gut associated lymphoid tissue /GALT) memegang peranan pada hampir 2/3
seluruh sistem imun. Pertahanan mukosa adalah struktur komplek yang terdiri dari komponen
selular dan non selular.Pertahanan yang paling kuat masuknya antigen ke jaringan limfoid
mukosa adalah adanya enzim yang terdapat mulai dari mulut sampai ke kolon.Enzim
proteolitik di dalam lambung (pepsin, papain) dan usus halus (tripsin, kimotripsin, protease
pankreatik) berfungsi untuk digesti. Pemecahan polipeptida menjadi dipeptida dan tripeptida
bertujuan agar dapat terjadi proses digesti dan absorpsi bahan makanan, dan membentuk
protein imunogenik yang bersifat nonimun(peptida dengan panjang asam amino <8-10
bersifat imunogenik yang buruk). Efek protease berlipat ganda dengan adanya garam empedu
yang memecah karbohidrat dan akan didapatkan suatu sistem yang poten untuk meningkatkan
paparan antigen(Ag). Kadar pH yang sangat rendah di dalam lambung dan usus halus dan
produk bakteri di dalam kolon berfungsi sebagai respons imun terhadap antigen oral.Sebagian
besar respons imun ini berfungsi melindungi manusia dari bahann patogen. Perubahan untuk
merespons atau menekan respons imun berhubungan dengan cara antigen masuk ke dalam
tubuh. Patogen invasif (yang merusak pertahanan) memicu respons agresif, sedangkan untuk
kolonisasi luminal dibutuhkan yang lebih bersifat respons toleran.
Komponen utama pertahanan tubuh adalah produk gen musin. Glikoprotein musin
melapisi permukaan epitel dari rongga hidung/orofaring sampai ke rektum.Sel goblet yang
menghasilkan mukus secara kontinu memberikan pertahanan yang kuat pada persambungan
epitel. Partikel, bakteri dan virus menjadi terperangkap dalam lapisan mukus dan akan
dikeluarkan dengan proses persitaltik. Pertahanan ini mencegah patogen dan antigen masuk
ke bagian bawah epitel, disebut proses eksklusi nonimun. Musin juga berfungsi sebagai
cadangan IgA.Antibodi ini berasal dari epitel dan dikeluarkan ke dalam lumen.
Antibodi sIgA terdapat dalam lapisan mukus berikatan dengan bakteri/virus dan
mencegah menempel pada epitel.Hubungan faktor-faktor, disebut sebagai faktor trefoil,
membantu memperkuat pertahanan dan memicu pemulihannya bila terdapat defek. Tidak
adanya produk gen musin atau faktor trefoil, manusia menjadi lebih rentan terhadap inflamasi
dan kurang mampu memperbaiki kerusakan barier. Apakah defek tersebut berperan pada
pasien dengan alergi makanan masih dalam penelitian (Muoz AR, 2005).
Lapisan barier berikutnya adalah sel epitel. Bersama-sama dengan persambungan bagian
apeks dan basal yang kuat, membran

dan ruang antara sel membatasi masuknya

makromolekul yang besar. Namun demikian, persambungan yang kuat ini masih mungkin
dilalui oleh di- dan tripeptida serta oleh ion-ion tertentu.Pada keadaan inflamasi,
persambungan ini menjadi kurang kuat sehingga makromolekul dapat masuk ke dalam lamina
propria, contohnya respons terhadap antigen makanan atau masuknya mikroorganisme

lumen.Pada keadaan ini, antigen makanan akan menjadi antigen asing, dimana pada individu
yang memiliki bakat alergi akan menginduksi proses alergi menjadi berlanjut.
Sel epitel usus dapat memproses sebagian antigen lumen dan mempresentasikannya ke
sel T dalam lamina propria.Dalam keadaan normal, interaksi ini menyebabkan aktivasi
selektif sel T CD8+ regulator.Pada penyakit tertentu (contohnya inflammatory bowel disease),
aktivasi beberapa sel rusak sehingga menyebabkan inflamasi menetap. Pada alergi makanan,
alergen yang menembus epitel akan menempel pada sel mast mukosa .
Sel T yang teraktivasi dalam Peyers patch setelah paparan dengan antigen disebut
sebagai Th3. Sel ini berfungsi mengeluarkan transforming growth factor-, memicu sel B
untuk menghasilkan IgA dan berperan pada terjadinya toleransi oral (aktivasi antigen spesifik
non respons terhadap antigen yang masuk per oral).
Sel T regulator yang paling baru dikenal adalah dengan fenotip CD4+ CD25+
CD45RA+.Sel ini awalnya dikenal pada gastritis autoimun dan berfungsi menghambat kontak
antar sel dan dapat menyebabkan kelainan autoimun pada neonatus yang mengalami
timektomi.

2.6 Imunoglobulin A sekretori pada saluran cerna


Antibodi IgA adalah antibodi yang tidak dapat berikatan dengan komplemen (yang dapat
memicu respons inflamasi) dan berfungsi utama sebagai inhibitor penempelan bakteri/virus ke
epitel.Antibodi IgA dapat menggumpalkan antigen, menjebaknya dalam lapisan mukus dan
membantu mengeluarkannya dari tubuh (Gambar 11-4).Antibodi IgA sekretorik dilindungi
oleh sel epitel dari protease lumen dengan diproduksinya komponen sekretori yaitu
glikoprotein. Molekul ini menutupi bagian Fc dari antibodi dimer dan melindunginya dari
proses proteolitik. Sistem IgA tidak akan matur sebelum usia 4 tahun sehingga pada umur
tersebut dapat terjadi peningkatan respons imun terhadap antigen makanan. IgA sekretorik
dari ASI dapat memberikan imunisasi pasif dalam menghadapi patogen dan berperan menjadi
barier bagi neonatus.IgE tidak ditemukan dalam saluran cerna karena mudah dipecah oleh
protease lambung dan usus halus.Pada alergi makanan harus terdapat IgE dalam saluran
cerna.Hal ini dapat terjadi karena adanya antigen yang melewati barier mukosa dan
mempresentasikannya ke sel mast (Nagura, 1990).
2.7 Flora komensal pada saluran cerna
Komponen terakhir dari MALT adalah flora komensal yang berperan membentuk
kumpulan imunologi dari sistem imun mukosa usus.Flora komensal diperkirakan ada 10121014 bakteri per gram jaringan kolon.Flora ini menguntungkan manusia karena membantu
digesti, memicu pertumbuhan dan diferensiasi sel epitel, memproduksi vitamin, dll.Bila ada
penyakit, flora dapat terpengaruh dan terjadi pertumbuhan berlebihan dari strain yang kurang
dapat ditoleransi, contohnya pada kolitis pseudomembran akibat Clostridium difficile.Flora
komensal normalnya dapat menjaga keseimbangan spesies bakteri ini.Pada beberapa kasus,
flora normal dapat dikembalikan dengan pemberian probiotik.
Sistem imunitas mukosa saluran genital secara umum sama dengan yang terjadi di
saluran pernafasan ataupun gastrointestinal. Pada mukosa genital wanita, terjadi
keseimbangan yang baik antara imunotoleransi terhadap antigen asing di dalam sperma/fetus
dan kebutuhan imunitas lokal melawan patogen.Ada perbedaan epitel vagina berupa epitel
terstratifikasi yang lebih berespons terhadap kemokin dan sitokin dan epitel endoserviks yang
kolumnar yang berespons terhadap sitokin serupa dengan pada saluran nafas dan
pencernakan.Ini kemungkinan adanya keperluan endoserviks harus relatif steril terhadap
patogen.
Berbagai macam patogen bisa melewati mukosa genital yang menyebabkan sakit.Disini
peran imunitas mukosa sangat penting.Seperti yang terlihat pada infeksi Human
papilomavirus (HPV) di genital. Dari penelitian terbukti bahwa eradikasi virus HPV tersebut

lebih oleh karena proses seluler dari pada proses humoral. Protein awal HPV yang berfungsi
untuk replikasi dan proliferasi dikenali oleh sel T antigen-spesifik.Respons ini tergandung dari
tingkat lesi dan kemungkinan onkogenik oleh infeksi HPV.Infeksi alam HPV sangat lambat
dan tidak imunogenik karena sedikit sekali dipresentasikan ke sel dendritik profesional dan
tidak menimbulkan reaksi inflamasi serta mempunyai jalur yang berbeda pada respons imun
terhadap virus.Sedangkan sekresi IgA di mukosa vagina terlihat lemah, sehingga seakan-akan
terjadi defisiensi imun relatif terhadap HPV.Padahal HPV ini punya potensi untuk menjadikan
kanker serviks.Untuk itu khusus HPV perlu diklarifikasi mekanismenya sehingga bisa dibuat
suatu vaksin untuk HPV.
Terhadap virus herpes simplek (HSV), mukosa vagina memberikan efek protektif respons
imun innate berupa; (i) sekresi protein, komplemen dan defensin, (ii) respons awal terhadap
virus oleh sel epitel dan sel dendritik khas ditandai dengan produksi interferon, yang
selanjutnya mengawali respons imun adaptif, (iii) rekruitmen sel efektor seperti neutrofil,
makrofag dan sel NK. Sekali partikel virus HSV2 mencoba menginfeksi mukosa vagina,
dihadapkan pada mekanisme pertahanan berupa; mukus, flora normal bakteri, pH asam dan
berbagai sekresi protein. Mukosa genital kaya akan substansi seperti defensin, secretory
leucocyte protease inhibitor (SLPI), laktoferin, surfaktan, lisosim dan lainnya meskipun
komplemen adalah yang paling sebagai innate protein.
2.8 Aspek Klinis Imunologi Mukosa
a. Imunisasi
Alasan utama menggunakan vaksinasi melalui mukosa adalah bahwa fakta kebanyakan
infeksi masuk melalui permukaan mukosa dan pada infeksi ini, jarang diberikan vaksin
topikal untuk menginduksi respons imun protektif. Vaksinasi mukosa diharapkan akan
memberikan perlindungan dengan cara mencegah penempelan dan kolonisasi patogen pada
epitel mukosa dan mencegah penetrasi dan replikasi di mukosa serta menangkal ikatan toksin
mikrobial pada epitel mukosa dan sel lain yang terkena. Beberapa organisme (V. cholerae)
memberikan imunitas dengan cara memproduksi IgA sekretori dan dihubungkan dengan
memori imunologi. Organisme lain (H. pylori, klamidia, herpes) memberikan imunitas
protektif dengan diperantarai oleh sel T helper CD4 dan mungkin juga sel sitolitik CD8 dan
sel NK.Pada mukosa pernafasan dan genital yang lebih permeabel dan mudah dipenetrasi oleh
antibodi daripada mukosa intestinal, juga bisa mendapatkan imunitas protektif dengan
pemberian imunisasi parenteral. Cara yang sama juga bisa terjadi pada infeksi enterik
(Shigella spp dan Salmonella typhi). Infeksi kedua organisme ini bisa menyebabkan penyakit
setelah multiplikasi dan induksi inflamasi di kelenjar limfoid mukosa. Walaupun demikian
masih ada kesulitan dalam mengembangkan vaksin mukosa untuk mendapatkan kadar

antibodi IgAs yang memadai. Baru beberapa vaksin mukosa yang ditemukan. Idealnya vaksin
mukosa: (i) terlindungi dari eliminasi fisik dan enzim pencernakan, (ii) tempat target masuk
mukosa meliputi membran atau sel M, (iii) paling tidak, vaksin untuk melawan infeksi,
menstimulasi secara tepat sistim imun innate yang akan mengaktifkan sistem imun adaptif.
Untuk itu perlu dicari sistem pengantaran antigen dan adjuvant yang baik.Dalam penelitian,
adjuvant

yang

paling

baik

adalah

toksin

kolera.Molekul

DNA

bakteri

atau

oligodeoxynucleotide juga merupakan adjuvant yang menjanjikan.


Pada vaksin oral polio, akan bisa menghasilkan antibodi di darah yang menimbulkan
efek proteksi mencegah terjadinya mielitis akibat sebaran virus polio yang menempel di
sistem saraf. Kelebihan OPV dibanding dengan IPV, OPV bisa juga mempoduksi IgAs yang
memberikan respons imun lokal di mukosa intestinal, tempat primer virus polio untuk
replikasi dan multiplikasi.Hal ini bisa mencegah penularan orang ke orang, dan
menimbulkan herd immunity. Walau ada kelemahan akan adanya virulensi yang pulih pada
virus vaksin sehingga bisa menyebabkan sakit.
Vaksin-vaksin untuk melawan infeksi enterik antara lain V.cholerae, S.typhidan
rotavirus. Tetapi masih belum ditemukan vaksin untuk ETEC dan shigella. Kolera merupakan
organisme terbanyak penyebab diare bakterial.Sebelumnya diberikan imunisasi parenteral
tetapi tidak menimbulkan respons imun mukosa usus sehingga sekarang sudah ditarik.Saat ini
ada 2 vaksin kolera oral yang terdiri dari pertama, vaksin rekombinan dan vaksin inaktifasi
yang terbukti aman dan stabil, efektif, dan bisa menghasilkan herd immunity.Efek poteksi
didapat dari produksi antibodi SigA anti-toksin dan anti-bakterial di usus.Kedua, vaksin
kolera hidup yang dilemahkan terbukti aman dan bisa memberikan proteksi 60-100% di
negara tidak endemis, tetapi tidak bisa membeikan proteksi yang bermakna di negara endemis
sepeti Indonesia.
Vaksin terhadap tifus pertama kali berupa vaksin sel utuh, memberikan proteksi yang
baik tetapi terdapat reaksi lokal yan berat dan sering demam. Saat ini ada 2 jenis yang
direkomendasikan yaitu vaksin yang terdiri dari antigen Vi kapsul polisakarida murni,
diberikan secara parenteral dosis tunggal yang memberikan proteksi 70% dan aman
ditoleransi dengan baik. Jenis yang lain adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang diberikan
secara oral memberikan perlindungan 67% selama 3 tahun, akan tetapi proteksi imunitas
mukosa lokal belum diketahui.
Vaksin rotavirus yang terdahulu adalah suatu vaksin quadrivalen dari rotavirus resus
monyet, tetapi cepat ditarik karena dicurigai menyebabkan intususepsi.Saat ini telah
dikembangkan vaksin oral rotavirus hidup yang dilemahkan, memberikan proteksi 62-90%.

Vaksin untuk infeksi saluran nafas antara lain vaksin influensa dan pneumokok yang
disuntikkan. Diharapkan akan terbentuk IgG yang melindungi penyebaran sistemik organisme
tersebut. Dimana mungkin juga secara transudasi memberikan proteksi lokal mukosa saluran
pernafasan bawah.Saat ini telah ada vaksin influensa yang diberikan topikal lewat nasal.
Dengan cara ini tejadi respons imun seperti alamiahnya, bisa terjadi imunitas lokal dengan
membentuk sIgA yang menempel di permukaan virus hemaglutinin dan neuroamidase dan
sistemik dengan cara membentuk IgG yang mencegah penyebaran virus sistemik, viremia.
Kedua macam vaksin tersebut memberikan proteksi sebesar 60-90%.
Vaksin mukosa untuk imunoterapi saat ini mulai dipikirkan.Adanya toleransi
imunologi di mukosa menjadikan pilihan strategi untuk mengembangkannya, untuk
mengobati kesakitan yang diakibatkan reaksi imun terhadap alergen maupun antigenself atau autoimmune disease.Masih perlu diteliti lagi seberapa besar dan seberapa sering
alergen yang diberikan untuk bisa menimbulkan efek protektif dengan aman.Teknik-teknik
baru dengan menggunakan modifikasi alergen, vaksinasi gen alergen atau analog peptida
digabung dengan adjuvant yang sesuai meningkatkan keamanan dan efikasi imunoterapi
mukosa pada alergi dan asma.
b. Penyakit inflamasi usus
Ada dua penyakit yang penting pada penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel
disease) yaitu kolitis ulserativa (UC) dan Crohns disease (CD).Kedua penyakit itu bisa
mengenai baik anak-anak maupun dewasa.Penyakit UC adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan adanya respons inflamasi dan perubahan morfologi pada kolon.Inflamasi terbatas di
sepanjang kolon dan dapat diikuti dengan ulkus, edema dan perdarahan.Sedangkan CD adalah
inflamasi menyerupai UC tetapi bisa terjadi di seluruh bagian dari usus. Bisanya segmen yang
sakit diselingi bagian segmen usus yang sehat disebut sebagai skip area.
Respons inflamasi yang merusak disebabkan langsung oleh karena pengenalan terhadap selfantigen seperti musin, sel goblet, kolonosit, dan sel-sel lain. Sejumlah penelitian mencurigai
CD pada manusia adalah suatu penyakit yang diperantarai sel T helper 1 dan berlebihan.
Sedangkan untuk UC masih sedikit diketahui apa yang memerantarainya. Beberapa studi
menyebutkan bahwa profil sitokin UC lain dengan CD. Kemungkinan yang lebih berperan
dalan UD adalah T helper 2 dibanding T helper 1, juga dicurigai adanya respons imun
humoral yang abnormal terjadi pada UC.
c. Imunitas mukosa saluran pernafasan pada asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK)

Imunoglobulin A berperan pada homeostasis mukosa dan pertahanan host serta merupakan
mekanisme pertahanan pertama terhadap kelainan jalan nafas kronis. Ini sudah diketahui,
tetapi perannya terhadap PPOK dan asma baru sedikit diketahui. Pada PPOK diperkirakan
bahwa respons IgA mukosa terganggu dan terjadi kekurangan transport IgA melewati epitel
bronkus, yang mungkin memunculkan proteinase neutrofil, dimana akan mendegradasi
reseptor imunoglobulin yang dimediasi rute transepitelial ini. Sebaliknya, respons IgA
terhadap alergen pada asma memainkan peran suatu proses patogenik dengan cara aktifasi
eosinofil. Jadi, IgA menginduksi degranulasi eosinofil, dimana kita ketahui bahwa produk
degranulasi eosinofil terdiri dari mediator-mediator inflamasi yang menyebabkan klinis asma
terjadi.Defisiensi IgA selektif berhubungan dengan peningkatan prevalensi atopi, dimana pada
percobaan pada tikus dengan asma menunjukan adanya efek protektif oleh IgA.Sehingga
masih diperlukan penelitian lagi untuk mencari peran imunitas mukosa dan kemungkinan
imunoterapi yang efektif terhadap asma dan PPOK.
d. Peran imunitas mukosa urogenital terhadap infeksi saluran kemih
Selain pertahanan fisik, kimiawi dan sistem imune innate , IgA mempunyai peran yang sangat
penting dalam pertahana terhadap antigen dan patogen di saluran urogenital. Ada satu
penelitian yang mengukur kadar IgA urine pada anak-anak perempuan dengan ISK
asimtomatik dan anak-anak ISK simtomatik dibandingkan dengan anak sehat tanpa ISK.
Mereka menemukan bukti bahwa pada anak sehat, ekskresi IgA rendah pada bayi kurang dari
6 bulan dan pada umur 6-15 tahun terlihat sekresi IgA meningkat dengan bertambahnya umur.
Pada anak-anak dengan ISK berulang asimtomatik tanpa kelainan saluran kemih, ternyata
mempunyai kadar IgA yang lebih rendah dibanding kontrol. Sedangkan pada anak dengan
ISK simtomatik tanpa kelainan saluran kemih mempunyai kadar ekskresi IgA yang lebih
tinggi dari kontrol. Anak dengan ISK simtomatik dengan kelainan saluran kemih mempunyai
kadar ekskresi IgA paling tinggi. Disimpulkan bahwa kadar IgA rendah bisa dijadikan
pertanda terjadinya ISK berulang pada anak-anak perempuan tanpa kelainan saluran kemih.
Imunoterapi kelihatannya mempunyai prospek yang baik untuk tatalaksana ISK
dimasa mendatang.Paling tidak ada 2 penelitian yang mendukung hal tersebut.Penelitian
dengan menggunakan vaksinasi pervaginal terdapat perbadaan bermakna angka reinfekasi
dibanding plasebo.Pada kelompok vaksin memperlihatkan 50% pasien tidak terjadi reinfeksi
ISK dibanding hanya 17% pada plasebo. Sedangkan penelitian yang menggunakan vaksin
oral, suatu metaanalisis menyatakan bahwa pasien ISK yang mendapatkan vaksin (18
uropatogenik E. coli) terjadi penurunan yang nyata pada angka rekurensi dibanding dengan
plasebo. Tidak didapatkan perbedaan efek samping yang bermakna dibanding kontrol.

Sehingga, dengan adanya resistensi yang semakin meningkat, imunoterapi terhadap ISK akan
menjadi alternatif yang efeksif dan aman.
Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu; (i) melindungi membran
mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba berbahaya yang mungkin menembus masuk, (ii)
melindungi pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi meliputi protein-protein asing
dari makanan yang tercerna, material di udara yang terhirup dan bakteri komensal, (iii)
melindungi berkembangnya respons imun yang berpotensi merugikan terhadap antigenantigen tersebut bila antigen tersebut mencapai dalam tubuh.
Mekanisme pembersihan antigen melalui beberapa cara yaitu; mekanis dengan barries
fisik, kimiawi dengan enzim-enzim, sistem imune innatemeliputi netrofil fagositik dan
makrofag, denritik sel, sel NK (natural killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan dalam
eliminasi patogen dan inisisasi respons imun adaptif.Mekanisme pertahanan sistem imun
adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori.
Sistem imunitas mukosa mempunyai berbagai cara untuk menjaga toleransi
terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada mikroflora, antigen makanan dan material
udara terhirup. Tolerasi tersebut antara lain melalui mekanisme; aktifasi sel penginduksi
kematian (induce-cell death), anergi dan yang paling penting induksi sel T regulator. Adanya
toleransi imun ini melindungi tubuh dari terjadinya reaksi imun yang berlebihan yang
merugikan.
Kelainan klinis yang berhubungan dengan imunitas mukosa diantaranya adalah
defisiensi IgA selektif, inflammatory bowel disease, asma dan PPOK . Defisiensi IgA selektif
adalah defisiensi berat atau total tidak ada imunoglobulin A dalam serum atau sekresi, tanpa
ada defisiensi klas imunoglobulin lain dimana fungsi sel T limfosit, fagosit dan komplemen
masih normal. kemungkinan penyebab defisiensi ini adalah gangguan sintesis akibat sel B
tidak bisa mencapai matur atau gangguan sekresi. Penyakit inflamasi usus (inflammatory
bowel disease) yaitu kolitis ulcerativa (UC) dan Crohns disease (CD), penyebabnya belum
diketahui.Sejumlah penelitian mencurigai CD pada manusia adalah suatu penyakit yang
diperantarai sel T helper 1 dan berlebihan. Sedangkan untuk UC masih sedikit diketahui apa
yang memerantarainya. Pada asma, respons IgA terhadap alergen memainkan peran suatu
proses patogenik dengan cara aktifasi eosinofil, sedangkan PPOK diperkirakan bahwa respons
IgA mukosa terganggu dan terjadi kekurangan transport IgA melewati epitel bronkus, yang
mungkin

memunculkan

proteinase

neutrofil,

dimana

akan

mendegradasi

reseptor

imunoglobulin yang dimediasi rute transepitelial ini.


Sistem imunitas mukosa ternyata mempunyai sifat kompartemenisasi dimana ada
hubungan imunitas antara satu kompartemen dengan kompartemen lain. Adanya hubungan

kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan tempat diberikannya imunisasi mukosa akan efek
yang diharapkan. Vaksinasi mukosa dan imunoterapi kelihatannya mempunyai prospek yang
baik untuk tatalaksana infeksi dimasa mendatang, menggantikan peran antibiotik yang
semakin bertambah resistensinya dan antivirus.Untuk itu, pemahaman imunologi mukosa
yang komplek dan belum sepenuhnya dimengerti menjadi sangat penting.

Daftar Pustaka
Holmgren, Jan and Czerkinsky. 2005. Mucosal Immunity and Vaccines. Nature Medicine
Supplement Volume 11 Number 4
Mestecky, Jiri., Strober, Warren., Rusell, Michael W., Kelsall, Brian L., Cheroutre, Hilde.,
Lambrecht, Bart N. 2015. Mucosal Immunologi Volume 1, Fourth Edition. America:
Elsevier.
Montilla, N Aguilera., Blaz, M Perz., Santalla, M Lopz, and Villa, J M Martin. 2004.
Mucosal Immune System: A Brief Review. Immunologia Volume 23 Nomor
2.Madrid: Universidad Complutense de Madrid.
Muoz AR. 2005. Mucosal Immunity In The Respiratory Tract: The Role Of Iga In Protection
Against Intracellular Pathogens. Doctoral Thesis from the Department of
Immunology.Stockholm: The Wenner-Gren Institute, Stockholm University.
Nagura, Hiroshi. 1990. Mucosal Defense Mecchanism and Secretory IgA System.
Bifidobacteria Microflora. Vol. 9 (1), 17-25. Sendai: Tohoku UniversitySchoolof
Medicine
Nelsh, Andrew S. 2014. Mucosal Immunity and The Microbiome. AnnalsATS Volume 11
Supplement 1.Georgia: Emory University School of Medicine.

Anda mungkin juga menyukai