BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Industri pelayanan kesehatan pada era globalisasi saat ini harus
mampu mempertinggi daya saing dengan berusaha memberikan kepuasan
kepada pasiennya. Layanan kesehatan harus menciptakan dan mengelola
suatu sistem untuk memperoleh lebih banyak pasien dan kemampuan
untuk mempertahankan pasiennya.
Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena
apabila pasien merasa puas mereka akan terus melakukan pemakaian
terhadap jasa pilihannya, akan tetapi jika pasien merasa tidak puas mereka
akan memberitahukan dua kali lebih hebat kepada orang lain tentang
pengalaman buruknya (Anisza, 2012). Oleh karena itu dibutuhkan inovasi
di dalam pelayanan kesehatan.
Kota Denpasar berupaya untuk menciptakan inovasi-inovasi baru
didalam pelayanan kesehatan, salah satunya adalah membuka layanan
Voluntary Counselling and Testing (VCT) di pusat kesehatan layanan dasar
masyarakat. VCT adalah proses kegiatan konseling pra tes, pasca tes dan
tes HIV secara sukarela dan bersifat confidential sehingga secara lebih dini
membantu orang untuk mengetahui status HIV dan mendapat pertolongan
sedini mungkin (KPAN, 2007).
Tujuan dari dibentuknya layanan VCT pada pusat kesehatan
masyarakat (Puskesmas) adalah untuk mendekatkan dan mempermudah
akses dari masyarakat baik masyarakat umum ataupun masyarakat
populasi resiko tinggi untuk mengetahui lebih awal mengenai status HIV
mereka, hal tersebut sangat bermanfaat bagi strategi efektif pencegahan
sekaligus pintu masuk untuk mendapatkan layanan manajemen kasus dan
perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi orang dengan HIV AIDS
(ODHA) (Kemenkes, 2010). Namun di dalam pelaksanaan layanan VCT
ini khususnya untuk populasi resiko tinggi yaitu waria paling sering
terdapat hambatan, antara lain adalah pelayanan kesehatan yang dianggap
tidak cukup atau tidak memadai atau jarak yang terlalu jauh sehingga
menimbulkan ketidakpuasan (Kemenkes, 2010).
Dilaporkan homoseksual menjadi faktor resiko penularan HIV
tertinggi dibandingkan heteroseksual beresiko, hal ini didukung dengan
data angka prevalensi HIV, pada populasi pemakai jarum suntik (penasun)
sebesar 39,5%, populasi wanita pekerja seks (WPS) sebesar 7,2%, dan
pada populasi homoseksual yaitu lelaki seks lelaki (LSL) sebesar 12,8%
dan waria sebesar 7,4%, masyarakat umum dan ibu hamil (bumil) sebesar
33,1% sehingga pemerintah perlu meningkatkan program pencegahan dan
penularan HIV khususnya kepada populasi homoseksual (LSL dan waria)
(PP & PL Dinkes Kota Denpasar, Juni 2015).
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mencatat pada hasil
pemetaan populasi rawan tertular HIV di Provinsi Bali terdapat waria
sebanyak 250 orang (KPAP Bali, 2014). Di Kota Denpasar pada hasil
pemetaannya mencatat terdapat 120 waria (KPAK Denpasar, 2011). Dari
120 waria tersebut tercatat terdapat 54 orang waria terinfeksi HIV dan
sudah mendapatkan pendampingan pengobatan antiretroviral virus di
Yayasan Kerti Praja (YKP) (PP & PL Dinkes Kota Denpasar, 2015).
Informasi yang diperoleh dari direktur Yayasan Gaya Dewata
(YGD), secara umum pengetahuan waria di Bali tentang penyakit AIDS
cukup tinggi. Artinya mereka tahu kalau AIDS itu berbahaya dan
mematikan. Akan tetapi pengetahuan yang cukup baik ini belum tentu
menjamin bahwa mereka aman dari ancaman AIDS karena ketika
melayani kliennya, waria tak selalu memakai kondom. Posisi tawar
mereka sangat rendah. Mereka sulit menolak ajakan kliennya yang
kebanyakan tak suka pakai pengaman (kondom).
Oleh karena masih adanya perilaku berisiko tersebut pada waria,
waria diharapkan dapat secara terus menerus untuk mengakses layanan
VCT, sehingga mereka dapat merubah perilaku dari yang berisiko (tidak
memakai kondom) menjadi perilaku yang tidak berisiko (memakai
kondom) sehingga dapat mencegah penularan HIV AIDS.
Kota Denpasar memiliki 11 (sebelas) Puskesmas yang melayani
layanan VCT namun sampai saat ini baru 4 (empat) Puskesmas yang
tersebut,
maka
dianggap
perlu
Denpasar
d. Mengetahui gambaran tingkat kepuasan waria berdasarkan sudut
pandang empati (empathy) layanan VCT di Kota Denpasar
atau
referensi
serta
untuk
pedoman
intervensi