Anda di halaman 1dari 19

BAB I

STATUS PASIEN
1.1

Identifikasi
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Suku
Agama
Alamat
Tanggal MRS
Nomor CM

1.2

: Ny WD
: 24 tahun
: Perempuan
: Ibu Rumah Tangga
: Sumatera
: Islam
: Lubuk Seberuk
: 2 November 2016
: 37.28.15

Anamnesis
(Autoanamnesis dan Alloanamnesis dilakukan pada tanggal 2 November 2016
pukul 14.00 di ruang OK)

a.

Keluhan Utama:
Nyeri perut sebelah kanan bawah sejak 3 hari SMRS

b.

Keluhan Tambahan:
Demam tinggi, mual, muntah

c.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Sejak 3 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri di ulu hati, nyeri dirasakan
menjalar sampai ke perut kanan bawah, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk,
demam (+) tidak terlalu tinggi, mual (+), muntah (-), pasien kemudian berobat ke
bidan, diberi obat tablet (pasien tidak tahu nama obat) dan di pasang infus (pasien
tidak tahu berapa banyak infus yang diberikan), setelah 2 jam kemudian, pasien
merasa keluhan berkurang, kemudian pasien pulang.
Sejak 2 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri di perut kanan bawah semakin
memberat, demam (+) tinggi, mual (+), muntah (+) 3 kali, isi apa yang dimakan,
pasien kemudian berobat ke Klinik dikatakan sakit usus buntu oleh dokter, dan
dirawat inap. Pasien dipasang infus dan diberikan obat anti nyeri.
Sejak 1 hari SMRS pasien mengeluh nyeri di perut kanan bawah semakin
memberat, demam (+) tinggi, mual (+), muntah (+) 2 kali, isi apa yang dimakan,
tidak bisa BAB (+), tidak bisa flatus (+), BAK tidak ada keluhan. Pasien
kemudian dirujuk ke RSUD Kayuagung.
1

Pasien diperiksa tanda-tanda vital dengan hasil; keadaan umum: tampak


sakit sedang, kesadaran compos mentis, TD: 120/90 mmHg, nadi 120 x/menit,
pernapasan 24 x/menit, suhu 38,5o. Pasien juga dilakukan pemeriksaan penunjang
laboratorium, didapatkan hasil Hb 11,7 g/dL, leukosit 3.800/mm3, hematokrit
35%, trombosit 175.000/mm3 dan BSS 130 mg/dl. Pasien didiagnosis sebagai
apendisitis akut dan direncanakan apendektomi per laparatomi.
d.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit kardiovaskular disangkal.

Riwayat respirasi (merokok, asma, infeksi saluran napas atas dalam 2


minggu, sleep apnea) disangkal.

Riwayat Neurologis (stroke atau stroke ringan/TIA, kejang, neuropati)


disangkal.

1.3

Riwayat diabetes melitus disangkal.

Riwayat masalah tiroid disangkal.

Riwayat masalah ginjal disangkal.

Riwayat masalah hati (ikterus, hepatitis) disangkal.

Riwayat anestesi atau operasi sebelumnya disangkal

Riwayat konsumsi alkohol rutin atau dalam waktu 24 jam disangkal.

Riwayat alergi makanan/obat-obatan disangkal.

Riwayat trauma disangkal.

Pemeriksaan Fisik (2 November 2016)


Status Generalis
Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
GCS
: E4M6V5
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 120 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup.
Pernafasan
: 24 x/menit, regular
Suhu
: 38,5C
VAS
:8
SpO2
: 99%
Tinggi Badan
: 152 cm
Berat Badan
: 54 kg
Status Lokalis
2

Kepala

: Normosefali, ekspresi wajar, rambut hitam, lurus, tidak

Mata

mudah dicabut, alopesia (-), deformitas (-).


: Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-), pupil bulat, isokor, reflex cahaya (+/+).

Hidung
Telinga
Mulut

: Deformitas (-), sekret (-), epistaksis (-)


: Deformitas (-), MAE lapang, sekret (-).
: buka mulut 3 jari (+), gigi lengkap, mallampati grade 1,
bibir kering (-), bibir pucat (-), sianosis (-), atropi papil
(-),faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, snoring (-), gigi

Leher

palsu (-), trismus (-).


: Jarak thyro-mental 3 jari (+), ROM leher baik, JVP (5-

Thoraks

2)cmH2O, KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)


: Bentuk dada normal, sela iga melebar (-), spider naevi
(-), retraksi (-)

Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Statis dinamis kiri=kanan


: Stem fremitus normal kanan = kiri, sela iga melebar
: Sonor di semua lapang paru, batas paru hati ICS VI,
peranjakan 1 sela iga.
: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-) di kedua lapang paru,
wheezing (-)

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: Iktus kordis tidak terlihat


: Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
: Batas atas: ICS II linea parasternalis sinistra, Batas kiri:
ICS V linea midclavicularis sinistra Batas kanan: Linea

Auskultasi
Abdomen
Inspeksi

sternalis dekstra
: BJ I-II (+) normal, murmur(-), gallop (-)
: Sedikit cembung, umbilikus menonjol (-),venektasi (-),

Palpasi

caput medusa (-), striae (-), scar (-), defans muskular


: Lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan

Perkusi
Auskultasi

kuadran kanan bawah (+), reborn pain sign (+)


: sulit dinilai
: Bising usus menurun

Genitalia

: Tidak dilakukan

Ekstremitas

: Palmar pucat (-/-), edema pretibial (-), akral dingin (-).

Klasifikasi Status Fisik


ASA
: II E
3

1.4

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium pre-op (2 November 2016)
Hemoglobin : 11,7 g/dl
Leukosit
: 3.800/mm3
Trombosit
: 175.000/mm3
Diff count
: 0/0/80/16/3
Hematrokit : 35%
BSS
: 130 mg/dl
Urinalisa
Warna
Kejernihan
Protein
Reduksi
Urobilin
Bilirubin
Leukosit
Eritrosit
Sel epitel

: Kuning
: Jernih
: +++
:::+
: 0-1
: 1-2
: 1-2

Rontgen Abdomen

1.5
1.6
1.7

Diagnosis
Apendisitis perforasi (Alvarado score 8)
Tindakan
Appendektomi per laparotomi dengan general anestesi
Tatalaksana
Preoperatif
Nonfarmakologis
- Oksigen 3 L/m nasal canul
- Kateterisasi urin
- Monitor dan evaluasi pasien selama 24 jam (tanda vital, intake dan output)
Farmakologis
-

IVFD RL gtt XX/ menit


Inj ceftriaxone 2 x 1 gr IV
4

Infus metronidazole flash 3 x 500 mg


Inj gentamisin 2 x 80 mg IV

Intra Operatif
-

Terapi cairan Ringer Asetat 1500 cc


Propofol 1350 mg (13,5 cc)
Atrakurium 32 mg (3,2 cc)
Fentanyl 100 mcg (2 cc)
Ondansentron 8 mg ( 4 cc)
Ranitidine 25mg
Dexamethasone 10mg
Sulfas Atropin 0,25 mg/ml
Neostigmine 0,5 mg/ml

Post Operatif
Farmakologi
-

IVFD Ringer Asetat gtt XXX/menit


Inj ketorolac 3 x amp IV
Inj ondansentron 2 x amp IV

Nonfarmakologis
-

Monitor dan evaluasi pasien selama 24 jam (tanda vital, intake dan urine

output).
Boleh makan saat sadar penuh
Istirahat
Terapi sesuai dengan TS Bedah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Apendisitis
Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks. Apendisitis pada
awalnya dapat sembuh spontan, namun akan terjadi jaringan parut dan fibrosis.
Risiko untuk terjadinya serangan kembali adalah 50 %. Apendisitis yang parah
dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga
abdomen atau peritonitis.
Terjadinya apendisitis umumnya karena infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus, di antaranya sumbatan lumen apendiks,
timbunan tinja yang keras (fekalit), makanan rendah serat, tumor apendiks, dan
pengikisan mukosa apendiks akibat parasit seperti E. hystolitica.
Terdapat gejala awal yang khas, yaitu nyeri pada perut kanan bawah,
yang disebut titik McBurney. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan
kadang muntah. Berbeda dengan apendisitis akut, apendisitis kronis pada
palpasi didapatkan massa atau infiltrat yang nyeri tekan dan leukosit yang sangat
tinggi. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi
menjadi

penyebab

yang lebih

parah.

Hal

ini

sering

terlambatnya diagnosis, sehingga lebih dari setengah

penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.


Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut yang akan menyebabkan perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan
berulang di perut kanan bawah. Pada suatu saat, ketika meradang lagi, yang
disebut apendisitis eksaserbasi akut. Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi
yang paling tepat dengan tindakan operatif, yang disebut apendektomi.
Penundaan operasi dapat menimbulkan bahaya, antara lain abses atau perforasi.

2.2

Anestesi Umum
Anestesi dapat dibagi dua macam, yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu inhalasi dan
2

parenteral.
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum, yaitu
meniadakan nyeri secara
reversible.

sentral

disertai

hilangnya

kesadaran

dan

bersifat

Dalam memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang akan

menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,


3

induksi, maintenance, dan lain-lain.


Anestesi umum meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal
terdiri dari : (1) hipnotik (2) analgesia (3) relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk
ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama
terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak,
sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya.
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk
menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan
dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum (menggunakan zat anestesi yang mudah
4,5,6

menguap, terutama diethyleter)


- Stadium I : analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya
-

kesadaran.
Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
Stadium III : dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi.
Dibagi 4 plane:
- Plane 1: dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
-

pergerakan bola mata.


Plane 2: dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya

paralisis interkostal.
Plane 3: dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis

interkostal.
- Plane 4: dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.
Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga
cardiac arrest.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi

maka

perlu

diperhatikan

maintenance, dan lain-lain.

tujuannya

yaitu

sebagai

premedikasi,

induksi,

2.2.1

Persiapan Pra Anestesi


Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan praanestesi adalah:
- Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
-

dengan fisik dan kehendak pasien


Menentukan
status
fisik
dengan

klasifikasi

ASA

(American

Society Anesthesiology):
ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan

faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.


ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas

16%.
ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat

sehingga

harian terbatas. Angka mortalitas 38%.


ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat

yang

aktivitas

mengancam

jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi

organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.


ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa

operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.


3,4
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.
Macam-macam teknik anestesi yang dapat digunakan:1
Open drop method: cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang
diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui,
dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
Semi open drop method: hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi
terbuangnya zat anestetik, digunakan masker. Karbon dioksida yang dikeluarkan
sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya
dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara
semenit.
Semi closed method: udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang
dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat
anestetik dapat ditentukan. Udara panas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara
luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar

tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume
fresh gas flow kurang dari 100 % kebutuhan.
Closed method: cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi
dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang
mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
2.2.2

Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain:2
-

2.2.3

Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam


Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
Memberikan analgesia, misal : petidin
Mencegah muntah, misal : domperidol
Memperlancar induksi, misal : petidin
Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropine
Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropindan hiosin

Obat-obatan Premedikasi
a. Sulfas Atropin
Sulfas
atropin
termasuk

golongan

anti

kolinergik.

Berguna untuk

mengurangi sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardialyang berasal
dari perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atautindakan operasi. Efek
lainnya yaitu melemaskan otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme
gastrointestinal, dan mengurangi rasamual serta muntah. Obat ini juga menimbulkan
rasa kering di mulut serta penglihatan kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra
anestesi

local

maupun

regional.

Dalam

dosis

toksik

dapat menyebabkan

gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien. Tetapi hal ini dapat
diatasi dengan pemberian prostigmin 12 mg intravena. Sediaan : dalam bentuk sulfat
atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg. Dosis : 0,01 mg/ kgBB. Pemberian : SC, IM,
IV
b. Pethidin
Pethidin

merupakan

narkotik

yang sering digunakan

untuk premedikasi.

Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi


kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah, memudahkan
melakukan pemberian pernafasan buatan , dan dapat diantagonis dengan naloxon.

Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan


hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan
hipovolemia. Juga dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan di medula yang dapat
ditunjukkan dengan respon turunnya CO2, mual dan muntah menunjukkan adanya
stimulasi narkotik pada pusat muntah di medula. Posisi tidur dapat mengurangi
efek tersebut. Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc. Dosis : 1 mg/ kgBB, pemberian :
IV, IM
c. Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepindengan sifat yang
sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan benzodiapin kerja
cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor
benzodiazepin yang terdapat diberbagai area di otak seperti di medulla spinalis,
batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi
sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan
premedikasi

obat

narkotika

dan

2-2,5

menit

tanpa

premedikasi

narkotika sebelumnya.
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal sedasion
sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan yang dilakukan di bawah anestesi
local serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini dikontraindikasikan
pada keadaan sensitive terhadap golongan benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi
pernafasan, acut narrow-angle glaucoma.
Dosis premedikasi sebelum operasi :
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum tindakan
bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau analgesik.
Dewasa : 0,07- 0,1 mg/ kg BB secara IM sesuai dengan keadaan umum pasien,
lazimnya diberikan 5mg. Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025-0,05 mg/ kg BB
(IM). Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10 menit
sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5 mg dengan
total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.

Midazolam mempunyai efek samping :

10

Efek yang berpotensi mengancam jiwa : midazolam dapat mengakibatkan depresi


pernafasan dan kardiovaskular, iritabilitas pada ventrikel dan perubahan

pada kontrol baroreflek dari denyut jantung.


Efek
yang berat
dan
ireversibel

berhubungandengan dosis, tidak pernah dilaporkan efek samping yang ireversibel


Efek
samping
simtomatik
:
agitasi,
involuntary
movement,
bingung,pandangan

kabur,

nyeri

pada

: selain

tempat

depresi

suntikan,

SSP

yang

tromboflebitis

dantrombosis.
Midazolam dapat berinteraksi dengan obat alkohol, opioid, simetidin,
ketamin.

2.2.4

Induksi
Pada kasus ini digunakan Propofol. Propofol adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa

nyeri

kadang-kadang

terjadi

di

tempat

suntikan,

tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan

dengan

infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi
lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini
disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal.
otak, metabolisme otak

dan tekanan intrakranial

akan

Aliran darah

ke

menurun. Keuntungan

propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pascaoperasi yang
minimal.
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi pernapasan,
apnea, brokospasme dan laringospasme. Pada system kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia, hipertensi. Pada susunan saraf pusat
3

adanya sakit kepala, pusing, euforia,kebingungan, kejang, mual dan muntah.


2.2.5

Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa,
lebih berat dari udara, tidak mudahterbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda
lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
11

dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah.
Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi
abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal
ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberi oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% :
50%.
b. Ethrane(Enflurae)
Merupakan anestesi yang poten. Dapat mendepresi SSP menimbulkan
efek hipnotik. Pada kontrasepsi inspirasi 3 3,5 % dapat menimbulkan perubahan
EEG yaitu epileptiform, karena itu sebaiknya tidak digunakan pada pasien epilepsi.
Dan dapat meningkatkan aliran darah ke otak. Pada anestesi yang dalam dapat
menurunkan tekanan darah disebabkan depresi pada myokardium. Aritmia jarang
terjadi dan penggunaan adrenalin untuk infiltrasi relatif aman. Pada system
pernafasan, mendepresi ventilasi pulmoner dengan menurunkan volumetidal dan
mungkin pula meningkatkan laju nafas. Tidak menyebabkan hipersekresi dari
bronkus. Pada otot, Ethrane menimbulkan efek relaksasi yang moderat.
Menyebabkan peningkatan aktivitas obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Penggunaan Ethrane pada operasi sectio cesaria cukup aman pada konsentrasi rendah
(0,5 - 0,8 vol %) tanpa menimbulkan depresi pada fetus. Berhati-hati pada
penggunaan konsentrasi tinggi karena dapat menimbulkan relaksasi otot uterus.

Untuk induksi, Ethrane 2 4 vol % dikombinasikan O2 atau campuran


N2O-O2, sedangkan untuk mempertahankan anestesi diperlukan 0,5 3 %.
Keuntungan dari Ethrane adalah harum, induksi dan pemulihan yang cepat,
tidak ada iritasi, sebagai bronkodilator, relaksasi otot baik, dapat mempertahankan
stabilitas dari sistem kardiovaskuler serta bersifat non emetik. Sedangkan
kerugiannya bersifat myocardial depresan, iritasi pada CNS, ada kemungkinan
kerusakan hati. Sebaiknya dihindari pemberiannya pada pasien dengan keparahan
ginjal.
c. Halothane (Fluothane)
12

Berbentuk cairan jernih, sangat mudah menguap dan berbau manis, tidak
tajam dan mempunyai titik didih 50 C. Konsentrasi yang digunakan untuk
anestesi beragam dari 0,23%. Merupakan zat yang poten sehingga membutuhkan
vaporizer yang dikalibrasi untuk mencegah dosis yang berlebihan. Karena
kurang larut dalam darah dibandingkan dengan eter, maka saturasi dalam darah lebih
cepat, sehingga induksi inhalasi relatif lebih cepat dan menyenangkan untuk
pasien. Jika persediaan terbatas maka sebaiknya Halothane digunakan untuk
menstabilkan setelah indeuksi intravena. Pada kondisi klinishalothane tidak
2

mudah terbakar dan meledak.

Halothane memberikan induksi anestesi yang mulus, tetapi mempunyai sifat


analgesi yang buruk. Penggunaan zat ini untuk anestesi secara tunggal akan
menyebabkan depresi kardiopulmoner yang ditandai dengan sianosis, kecuali
gas

inspirasi

mengandung

oksigen

dengan

bila

konsentrasi tinggi. Halothane

mempunyai efek relaksasi otot yang lebih kecil daripada eter, merupakan suatu
bronkodilator.

Depresi

pusat

pernafasan

oleh

halothane ditandai dengan

pernafasan yang cepat dan dangkal, peningkatan frekuensi pernafasan ini lebih kecil
bila diberikan premedikasi dengan opium. Efek pada kardiovaskuler adalah depresi
langsung pada miokardium dengan penurunan curah jantung dan tekanan darah,
tetapi terjadi vasodilatasi kulit sehingga mungkin perfusi jaringan lebih baik.

2.2.6

Obat Pelumpuh Otot


a. Suksametonium (Succynil choline).
Terutama digunakan untuk mempermudah/fasilitas intubasi trakea karena mula kerja
cepat (1-2 menit) dan lama kerja yang singkat (35menit). Juga dapat dipakai untuk
memelihara relaksasi otot dengan cara pemberian kontinyu per infus atau
suntikan intermitten. Dosis untuk intubasi 1-2 mg/kgBB/IV
Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah (1)bradikardi,
bradiaritma dan asistole pada pemberian berulang atau terlalu cepat serta pada anakanak; (2) takikardi dan takiaritmia; (3) lama kerja memanjang terutama bila kadar
kolinesterase plasma berkurang; (4) peningkatan tekanan intra okuler; (5)
hiperkalemi; (6) dan nyeri otot fasikulasi.

13

Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 500 mg. Pengenceran
dengan garam fisiologis/aquabidest steril 5 atau 25 ml sehingga membentuk larutan 2
6,7

%. Cara pemberian IV/IM/ intralingual/intra bukal.


b. Atrakurium besylate (tracrium)

Sebagai pelumpuh otot dengan struktur benzilisoquinolin yang memiliki beberapa


keuntungan antara lain bahwa metabolisme di dalam darah (plasma) melalui suatu
reaksi yang disebut eliminasi hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan fungsi
ginjal,

tidak

mempunyaimefek

kumulasi

pada

pemberian berulang, tidak

menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Menurut Chapple DJ


dkk (1987) dan Tateishi (1989) bahwa pada binatang atracurium tidak mempunyai
efek yang nyata pada CBF, CMR O2 atau ICP. Metabolitnya yang disebut
laudanosin, menembus bloodbrain barrier dan dapat menimbulkan kejang EEG, tetapi
kadar laudanosin pada dosis klinis atracurium tidak menimbulkan efek ini. Lanier
dkk mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ambang kejang dengan lidokain pada
kucing yang diberikan atracurium. pancuronium, atau vecuronium.

Obat ini

menurunkan MAP tetapi tidak menyebabkan perubahan ICP. Dosis atracurium


untuk intubasi adalah 0 ,5 mg/kg dan dosis pemeliharaan adalah 5-10 ug/kg/menit.
Kemasan : 2,5 ml dan 5 ml yang berisi 25 mg dan 50 mg atrakurium besylate. Mula
kerja pada dosis intubasi 2-3 menit sedangkan lama kerjanya pada dosis relaksasi 1535 menit.
2.2.7

Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dikendalikan.Intubasi trakea bertujuan untuk:5
- Mempermudah pemberian anestesi.
- Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
- Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
- Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
- Pemakaian ventilasi yang lama.
- Mengatasi obstruksi laring akut

2.2.8

Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harusmendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang. Terapi cairanperioperatif bertujuan untuk:
- Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilangselama operasi.
- Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yangdiberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
14

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,penghisapan


lambung, penumpukan

cairan

pada

ruang

isi

ketiga sepertipada ileus obstriktif,

perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 derajat Celcius kebutuhan cairan
2

bertambah 10-15 %.

Kebutuhan cairan pra operasi dihitung dengan cara jumlah cairan rumatan x lamanya
puasa. Jumlah cairan rumatan didapat dengan rumus 10 kg pertama x 4 ml/jam + 10
kg kedua x 2 ml/jam + berat badan selanjutnya lebih dari 20 kg x 1 ml/jam
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.

Kebutuhan cairan pada

dewasa untuk operasi


Ringan

= 0-2 ml/kgBB/jam.

Sedang

= 2-4 ml/kgBB/jam

Berat

= 4-8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari 10 %


EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah
yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
2.2.9

Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif
di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

15

BAB III
ANALISIS KASUS
Ny. WD, perempuan, 24 tahun datang ke RSUD Kayu Agung dengan keluhan utama
nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari yang lalu. Keluhan tambahan demam tinggi, mual,
muntah, dan nafsu makan berkurang.
Sejak 3 hari yang lalu, pasien mengeluh nyeri di ulu hati, hilang timbul yang
dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan menjalar sampai ke perut kanan bawah, demam (+) tidak
terlalu tinggi, mual (+), muntah (-), nafsu makan biasa.
Sejak 2 hari yang lalu, pasien mengeluh nyeri di perut kanan bawah semakin
memberat, demam (+) tinggi, mual (+), muntah (+) 2 kali, isi apa yang di makan dan minum,
pasien kemudian berobat ke Klinik dikatakan sakit usus buntu oleh dokter, dan dirawat inap.
Pasien dipasang infus dan diberikan obat anti nyeri.
Sejak 1 hari yang lalu, pasien mengeluh nyeri di perut kanan bawah semakin
memberat dan terus menerus disertai demam tinggi, mual (+), muntah (+) 4 kali, isi apa yang
16

dimakan dan minum, nafsu makan menurun (+), tidak bisa BAB, tidak bisa flatus (+), BAK
tidak ada keluhan. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD Kayuagung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis dengan TD: 120/80
mmHg, nadi: 120x/menit, RR: 24x/menit, suhu: 38,5C, VAS: 8, Nyeri tekan titik McBurney
(+), Rebound tenderness (+), defans muscular (+), psoas sign (+), abturator sign (+), bising
usus menurun.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb: 11,7 gr%, Leukosit: 3.800/mm 3, DC:
0/0/80/16/3, Trombosit: 175.000/mm3, Ht: 35%, dan GDS: 130 mg/dl.
Pada kasus ini, dari anamnesis ditemukan keluhan utama nyeri perut pada kuadran
kanan bawah disertai demam tinggi dan mual muntah. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
suhu: 38,5 C, nadi: 120 x/m, laju pernapasan: 24 x/m, Nyeri tekan titik McBurney (+), dan
Rebound tenderness (+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan shift to the left. Kemudian
kami diagnosis pasien ini dengan appendisitis akut (ALVARADO score 8). Pasien kemudian
direncanakan untuk operasi appendektomi cito dengan general anestesi. Status ASA II E.
Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan pada rencana tindakan operasi adalah
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta perdarahan selama operasi. Dibagi
menjadi tiga yaitu preoperasi, intraoperasi, dan postoperasi.
Kebutuhan cairan preoperasi dihitung dengan mengalikan jumlah cairan rumatan
(maintenance) dengan lamanya puasa.

Jumlah cairan rumatan dihitung dengan rumus

sebagai berikut:
[4 ml x 10 kg pertama per jam + 2 ml x 10 kg kedua per jam + 1 ml x berat badan
selanjutnya diatas 20 kg per jam].
Pada kasus ini, BB 54 kg, maka didapatkan perhitungan jumlah cairan rumatan pasien ini
adalah 4 ml x 10/jam + 2 ml x 10/jam + 1 ml x 34/jam = 94 ml/jam. Pada kasus ini pasien
puasa selama 4 jam. Sehingga kebutuhan cairan preoperasi yaitu 94 ml/jam x 4 jam = 376 ml.
Diberikan cairan pre induksi sebanyak dari cairan preoperasi yaitu 188 ml ~ 200 ml.
Kebutuhan cairan intraoperasi pada pasien ini sebagai berikut:
Lamanya operasi 3 jam
o 1 jam pertama
Cairan rumatan
Sisa cairan induksi
376 ml 200 ml
Berat operasi/third space
4 x 54 kg

= 94 ml
= 176 ml
= 216 ml

17

= 486 ml ~ 500 ml
o 1 jam kedua
Cairan rumatan
Perdarahan
Berat operasi/third space

= 94 ml
= 25 ml
= 216 ml
= 335 ml

o 1 jam ketiga
Cairan rumatan
Perdarahan
Berat operasi/third space

= 94 ml
= 25 ml
= 216 ml
+
= 335 ml
Berat operasi/third space ditentukan dengan 3 pembagian yaitu ringan 0-2 ml/kg;
sedang 2-4 ml/kg; dan berat 4-8 ml/kg. Pada kasus ini appendektomi dikategorikan sebagai
sedang, sehingga ditetapkan untuk penggantian cairan selama operasi digunakan 4 ml/kg.
Pada kasus ini terjadi perdarahan selama operasi sebanyak 50 ml. Perdarahan yang
terjadi diganti dengan cairan kristaloid. Setiap 1 ml darah ~ 3-4 ml kristaloid. Sehingga pada
kasus ini didapatkan jumlah cairan yang digunakan untuk menggantikan perdarahan sebanyak
50 ml x 3 = 150 ml
Selama intraoperatif pasien diberikan cairan Ringer Asetat sebanyak 1500 ml. Jumlah
perdarahan pada kasus operasi ini tidak melebihi jumlah EBV pasien yaitu 65 ml x 54 = 3510
ml dengan EBL yaitu 702 ml, sehingga tidak perlu dilakukan transfusi, cukup diganti dengan
pemberian cairan kristaloid saja. Karena kehilangan cairan pada intraoperatif bersifat
isotonis, maka pemilihan cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid yang isotonis seperti
Ringer Laktat, NaCl 0,9%, dan Ringer Asetat. Pada kasus ini, dipilih Ringer Asetet karena
cairan ini bersifat sebagai volume expander yang akan mengisi cairan intravaskuler lebih
lama.
Kebutuhan cairan postoperatif ditentukan dari kebutuhan cairan total dikurang dengan
jumlah cairan yang telah diberikan. Kebutuhan cairan total pada kasus ini yaitu 1532 ml,
sedangkan jumlah cairan yang telah diberikan sebanyak 1500 ml. Sehingga sisa cairan yang
harus diberikan postoperasi sebanyak 32 ml ditambah dengan cairan maintenance pasien.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi, C.F., Andersen D.K., Billiar, T.R., et al. Schwartzs principles of surgery.
10th Ed. New York: McGraw Hill Education. 2015. p 1241
2. Tony, H. Anestesi Umum dalam Farmakologi dan Terapi, edisi IV. BP FKUI: Jakarta.
1998
3. Snell, R.S. Clinical anatomy by system. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins.
2006. p 433
4. Ellis, H. Clinical anatomy: applied anatomy for students and junior doctors. 11th Ed.
Massachusettss: Blackwell Publishing Ltd. 2006. p 79
5. Ellis H, Calne SR, Watson Chistopher. The 50th Anniversary Edition

General

Surgery: Lecture Notes. Willey Blackwel. 2016: 201-204.


6. Beuchamp, Evers, dan Maatox. Sabiston Textbookk of Surgery: The Biological Basis
of Modern Surgical Practice 19th Edition. Elsevier: (2012)1278-1291
7. Ishikawa, H. Diagnosis and treatment of acute appendisitis. Tokyo: Journal of Japan
Medical Association. 2003. 127(5):747-750 (http://www.med.or.jp/english/pdf /
2003_05/217_221.pdf)
8. Guyton AC, Hall JE; 1997; Textbook of Medical Physiology. 9th ed. Pennsylvania:
W.B.Saunders company;: 375-393; Dikutip dari : Hartanto, Widya W; 2007; Terapi
Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik Dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Diunduh dari :
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan
%20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
8. Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung;
Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran; Diunduh dari :
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan
%20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
9. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. 5th Ed. McGraw Hill: 2013. P 1161-1182

19

Anda mungkin juga menyukai